Suluk
Suluk
secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan
sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah.
Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam
melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus
aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat
untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian
Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan
melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian
hati untuk mengenal diri dan Tuhan.
Kata
suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16]
ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan
Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk
disebut salik.
Suluk
secara harfiah berarti me nempuh (jalan). Kata suluk berasal dari terminologi
Alquran, fasluki, yang terdapat dalam surah an-Nahl ayat ke-69, fasluki subula
rabbiki dzululan, yang artinya, dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah
dimudahkan (bagimu).
Dalam
kaitannya dengan Islam https:id.wikipedia.org/wiki/Islam dan sufisme
https:id.wikipedia.org/wiki/Sufis me, kata suluk berarti menempuh jalan
(spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) berarti
disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris Islam
(syariat) sekaligus atur an-aturan esoteris Islam (hakikat).
Bersuluk
juga mencakup hasrat untuk mengenal diri, memahami esensi kehidupan, pencarian
Tuhan, dan pen carian kebenaran sejati (Ilahiah), melalui penempaan diri seumur
hidup dengan melakukan syariat la hiriah sekaligus syariat batiniah demi
mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan. Seseorang yang menempuh
jalan suluk disebut salik. Dalam komunitas tarekat, pengertian suluk cenderung
bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai kehidupan rohani.
Syekh
Muhammad Ali Ba'athiyah, seorang ulama Yaman kontemporer melalui kitabnya
as-Suluk al-Asasiyyah (2015: 2-3) menerangkan hakikat suluk adalah jalan yang
ditempuh oleh seorang mukmin yang dilaluinya, baik pada waktu malam, siang,
maupun pada seluruh waktu dan jam. Suluk juga berarti cara atau metode yang
ditempuh oleh seorang mukmin yang saleh, bertakwa, yang hatinya wara'
(hati-hati), bersih dan lurus, yang de kat kepada Allah dan jauh dari setan
dalam setiap detik perjalanan umurnya bersama Allah SWT tidak untuk selain-Nya.
Sastra Jawa
Dalam
perspektif lain, dalam sastra Jawa, suluk berarti ajaran falsafah untuk mencari
hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan. Sedangkan, dalam seni pedalangan,
suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana
tertentu (Abimanyu, 2014: 191).
Para
wali penyebar Islam di Ja wa atau Wali Songo dikenal kerap menggunakan suluk
sebagai media dalam mendakwahkan Islam. Barangkali sebab masyarakat Jawa kala
itu masih sangat akrab dengan sastra, para wali dengan ide cerdasnya
menggunakan media suluk ketika berdakwah.
Sunan
Bonang dikenal banyak mengasilkan banyak karya sastra, seperti contoh Suluk
Wali, Suluk wragul, Suluk Wujil, Suluk Regol, Suluk Kaderesan, dan lain-lain.
Ada pula Su nan Kalijaga seperti pada suluk ter kenalnya, yakni Suluk Linglung.
Sebagaimana
suluk pada umumnya, dalam Suluk Linglung pun berisikan pepeling (nasihat) yang
sarat akan nilai dakwah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Di antara
aspek yang tersirat maupun tersurat dalam Suluk Linglung di antaranya, yakni
berupa nasihat mengenai pengendalian nafsu, berserah diri, tafakur, dan
menjalankan syariat Islam.
Selain
dalam suluk dalam bentuk karya sastra, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga juga
banyak menggubah su luk menjadi karya seni lain berupa tem bang (nyanyian).
Budayawan Em ha Ainun Nadjib adalah salah se orang yang rajin menggunakan tem
bang suluk dalam setiap dakwah-dakwahnya.
Suluk profetik
Ihwal
karya sastra digunakan se bagai suluk untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
penyair bernama Di mas Indiana Senja barangkali tengah menempuhnya. Melalui
buku kumpulan puisi bertajuk Suluk Senja (Pustaka Senja, 2015), Dimas ingin
menjadi pesalik dan puisi-puisinya menjadi suluknya. Melalui puisi-puisi
apiknya, ia berusaha memaknai suluk dari yang filosofis.
Simaklah
puisi berjudul "Suluk Senja", filosofis ketika mengar tikulasikan diri
sebagai pesalik. Ia menulis, "Aku tak pernah mengeja bahasa malam demi
amanat yang tak putus sanadnya, demi moyang yang selalu kudus namanya. Menekuri
setiap kharakat cinta yang disabdakan semesta." Kesadaran penyair sebagai
hamba Tuhan yang terus mengeja kehidupan sungguh hadir. Penyair pun seolah
begitu menggamblangkan diri sebagai amanat yang harus ditekuni setiap
kharakatnya dengan cinta kepada semesta.
Jika
puisi berjudul Suluk Senja begitu filosofis dalam menggambarkan perjalanan
dalam hal vertikal (hablummi nallah), berbeda dengan puisinya berjudul
"Dalam Zikir Senja; Saat Kau Mengajariku Cara Menasbihkan Cinta kepada
Semesta" yang lebih kepada kesadaran penyair berkonteks horizontal
(hablumminannas).
Ia
menulis, "Yah, dalam dekap angin pantai sore itu, saat matahari/tiba-tiba
muncul dari balik bukit di dadamu, tempat/ bersemayam penantian dan kesetiaan,
tiba-tiba/ ombak menggulung, dan aku mendengar lantunan tasbih dari gedebur di
hatimu. Sesekali kau mengajakku untuk menik mati buih-buih putih yang
mengingatkanku pada pertemuan sunyi, yang kunamai percintaan paling puisi.
Puisi
di atas merupakan puisi yang dipersembahkan kepada penyair Acep Zamzam Noor.
Persembahan tersebut tak lain adalah wujud kesadaran penyair sebagai pesalik
yang hakikatnya makhluk sosial. Maka, dalam perjumpaan-perjumpaan penyair
dengan manusia lain pada waktu kapan pun, muaranya adalah puisi atau menuju
kebaikan. Dua konsep vertikal dan horizontal sebagaimana tersirat pada dua
puisi di atas, barangkali Dimas sebagai pesalik tengah menjajaki melalui suluk
yang sufistik sekaligus profetik.
Suluk dan Wirid
Istilah
suluk dalam khasanah sastra Jawa ada dua macam, yakni suluk pedalangan dan
suluk yang berisi ajaran tasawuf. Suluk pedalangan ialah jenis puisi tembang,
yang sering dilantunkan oleh seorang dalang dalam seni pewayangan, baik wayang
kulit purwa atau jenis pertunjukan wayang lainnya. Suluk jenis ini berfungsi
sebagai pendukung latar suasana pada bagian-bagian cerita tertentu, misalnya
untuk suasana sedih akan dilantunkan jenis suluk yang disebut tlutur. Pada
umumnya, suluk pedalangan ini diambilkan dari jenis tembang gedhe yang
merupakan pengaruh dari kakawin atau dari bentuk seloka dari sastera
Sansekerta. Tidak berlebihan bila teks cakepan suluk pedalangan ini sering kali
telah bergeser dari sumbernya, bahkan sebagian lagi sulit untuk diterjemahkan
atau bahkan tidak dapat dilacak lagi dari mana sumber awalnya.. Dalam
pedalangan di Jawa, isi teks cakepan suluk pedalangan tidak harus sesuai dengan
cerita pokoknya, karena semata-mata hanya menekankan kesamaan suasana
ceritanya. Berbeda dengan suluk pedalangan di Bali, yang isi teksnya banyak
diambil dari bagian seloka-seloka Sansekerta atau kakawin Jawa Kuna yang sama
dengan bagian cerita pedalangan yang dilakonkan oleh dalang yang bersangkutan.
Adapun jenis sastra suluk yang berisi ajaran tasawuf, kata suluk di sini
berasal dari kata salaka atau sulukun bahasa Arab yang berarti pengembaraan
atau perjalanan. Kata ini kemudian dihubungkan dengan makna hidup manusia,
yakni perjalanan hidup yang harus ditempuh, atau pengembaraan hidup untuk
mencari kebenaran Ilahi. Dari pandangan lain, sering juga terdengar penelusuran
dari etimologi tradisional Jawa, yakni yang sering disebut kerata basa atau
jarwadhosok. Keratabasa atau Jarwadhosok adalah memaknai kata dengan cara
mencari kemungkinan kepanjangan kata tersebut. Dalam hubungannya dengan kata
suluk, dinyatakan bahwa kata suluk berasal dari kata yen sinusul muluk yang
berarti kalau dikejar semakin membubung tinggi. Maksudnya, keilmuan dalam
suluk, bila semakin dipikirkan akan semakin jauh untuk dijangkau pikiran atau
logika awam. Hal ini dikarenakan, permasalahan dalam suluk ini berhubungan erat
dengan hal-hal gaib yakni hal supranatural dalam hubungannya dengan Tuhan dan
54 kehidupan manusia. Oleh karena itu wajar bila sebagian besar karya suluk
memiliki struktur yang tidak mudah dipahami maknanya atau relatif
membingungkan, terutama bagi yang tidak biasa menggelutinya. Jenis sastra suluk
ini berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dalam hubungannya dengan ajaran
tasawuf Islam atau Islam-kejawen. Dalam ajaran ini pada umumnya dibicarakan
tentang sangkan paraning dumadi yakni asal dan tujuan hidup manusia. Di
dalamnya, sering kali dijumpai idiom-idiom yang berhubungan dengan falsafah
hidup dan masalah kemanusiaan dalam hubungannya dengan ketuhanan, atau bentuk
isbat seperti nggoleki susuhing angin, nggoleki galihing kangkung, atau
nggoleki tapaking kuntul nglayang mencari sarang angin, mencari hati atau
batang keras pada pohon kangkung, mencari jejak burung kuntul yang melayang dan
sebagainya. Sebagian sastra suluk ditulis dalam bentuk dialog, baik antara guru
dengan murid, antara sahabat, antara orang tua dengan anak atau cucu, atau
antara suami dengan isteri. Di Jawa, ajaran suluk ini dapat dibedakan menjadi
suluk Islam dan Islam- kejawen. Suluk Islam pada umumnya merupakan suluk yang
berasal dari daerah Pesisiran pantai yang kental dengan pengaruh Islam. Suluk
Pesisiran ini merupakan hasil gubahan dari masyarakat pesantren di pantai utara
Jawa, sehingga cenderung menekankan ajaran transendensi Tuhan. Untuk menuju
kesempurnaan hidup manusia harus menjalankan syariat Islam sehingga dapat dekat
dengan Tuhan. Kemanunggalan manusia sebagai hamba dengan Tuhan tetap ada
batas-batasnya. Manusia tetap berada pada kemanusiaannya dan tidak pernah menyatu
luluh dengan Tuhan. Tuhan tetap di atas segala-galanya dan tak terjangkau oleh
akal pikir dan jiwa-raga manusia. Eksistensi Tuhan semacam ini dalam suluk
sering disebut tan kena kinaya ngapa yang berarti ‘tidak dapat
diandai-andaikan’, atau adoh tanpa wangenan celak tanpa sesenggolan yang
berarti ‘jauhnya tak berbatas dan meskipun dekat sekali tetapi tak dapat
bersentuhan’. Adapun suluk Islam-kejawen, pada umumnya berasal dari daerah
pedalaman, terutama pengaruh kraton. Suluk ini merupakan hasil olahan yang
menekankan panteisme dan monisme, atau mengajarkan immanensi Tuhan Tuhan bisa
hadir dalam diri manusia. Oleh karena itu, di dalamnya sering berisi idiom-
idiom seperti manunggaling kawula-Gusti atau jumbuhing kawula-Gusti bersatunya
hamba dengan Tuhannya. Kemanunggalan ini pada suatu saat dapat 55 benar-benar
luluh atau jumbuh, sehingga dapat mengaburkan batas-batas antara manusia dengan
Tuhannya. Kemanunggalan itu sering digambarkan seperti curiga manjing warangka,
warangka manjing curiga bilah keris yang berada di dalam sarungnya dan sarung
yang berada di dalam bilahnya atau kodhok ngemuli lenge katak menyelimuti
liangnya, dengan makna bahwa Tuhan yang berada dalam diri manusia menguasai dan
melindungi manusia yang bersangkutan. Pada jenis suluk ini, sebagiannya
menafikan syariat Islam dengan mengajarkan bahwa manusia harus selalu ingat
kepada Tuhan dan bersembahyang setiap saat seiring dengan aktivitas keluar dan
masuknya nafas. Ajaran suluk semacam ini dianggap menyimpang oleh kelompok Wali
Sanga, dan beberapa tokoh yang mengajarkannya dihukum mati. Suluk semacam ini
antara lain terdapat dalam ajaran Seh Sitijenar dalam berbagai suluk yang
menceritakan tokoh Seh Sitijenar dan ajaran Ki Amongraga dalam Suluk
Tambangraras atau Serat Centhini. Sastra suluk pada umumnya ditulis dalam
bentuk tembang macapat. Namun juga ada yang berbentuk prosa, yang biasanya
disebut wirid. Pada umumnya judul sastra suluk dimulai dengan kata suluk, atau
wirid untuk prosanya. Contoh jenis suluk antara lain: Suluk Wujil 1529 AJ,
Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, Suluk Residriya, Suluk Seh Malaya, Suluk
Tekawardi, Suluk Purwadaksina, Suluk Gontor, Suluk Luwang, dan masih banyak
lagi.
Adapun
judul-judul wirid antara lain :
1.
Wirid
Hidayat Jati dan.
2.
Wirid
Maklumat Jati.
Salik
Seorang
salik adalah seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan
sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga
dengan jalan suluk. Dengan kata lain, seorang salik adalah seorang penempuh
jalan suluk.
Untuk
menjadi seorang salik, seorang muslim selama seumur hidupnya harus menjalani
disiplin dalan melaksanakan syariat lahiriah sekaligus juga disiplin dalam
menjalani syariat batiniah agama Islam. Seseorang tidak disebut sebagai seorang
salik jika hanya menjalani salah satu disiplin tersebut.
Seorang
salik juga disebut sebagai seorang murid ketika ia menjalani disiplin spiritual
tersebut di bawah bimbingan guru sufi tertentu, atau dalam tarekat tertentu.
Kata
suluk dan salik biasanya berhubungan dengan tasawuf, tarekat dan sufisme.
Sufisme / Tasawuf
Sufisme
/ shufiyyah atau tasawuf / tashawwuf) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana
cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk
memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan
tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan
dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau gabungan dari beberapa
tradisi[butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8,
sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Sufisme merupakan
sebuah konsep dalam Islam, yang didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian
batin, dimensi mistis Islam; yang lain berpendapat bahwa sufisme adalah
filosofi perenial yang telah ada sebelum kehadiran agama, ekspresi yang
berkembang bersama agama Islam.
Ada
beberapa sumber perihal etimologi dari kata Sufi. Pandangan yang umum adalah
kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah
sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi
mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi
berasal dari kata saf, yakni barisan dalam sholat. Suatu teori etimologis yang
lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti
kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.
Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya
ilmu ketuhanan.
Banyak
ulama jaman dahulu dan sarjana modern mencoba memberikan definisi tentang
tasawuf atau sufisme. Buya Hamka, salah satu ulama nasional, mendefinisikan
tasawuf sebagai "kehendak memperbaiki budi dan men-shifa'-kan
(membersihkan) batin, yang mana hal ini mudah dipahami karena tasawuf identik
dengan tazkiyatun-nafs (pembersihan jiwa). Annemarie Schimmel memberikan
definisi tasawuf yang lebih ringkas, yakni dimensi mistik dalam Islam. Definisi
ini sejalan dengan yang dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, bahwa sufisme
merupakan dimensi batin (esoteris) Islam yang memiliki dasar di dalam Al-Quran
dan Sunnah Nabi.
Sementara
itu ulama-ulama masa awal juga memberikan beragam pengertian atau definisi.
Dimyati Sajari mengidentifikasi bahwa hingga abad ke-3 Hijriah, sebagaimana
disitir oleh Ibrahim Basyuni dalam Nasy'at at-Tashawwuf al-Islami, sudah terdapat
empat puluh definisi. Beberapa definisi dari ulama-ulama terkemuka dirangkum
oleh Abu Nashr al-Thusi (w. 377 H/988 M) di dalam kitab Al-Luma' sebagai
berikut :
Muhammad
bin Ali al-Qashshab: tasawuf adalah akhlak mulia, yang tampak jelas di zaman
yang mulia, yang berasal dari orang mulia, beserta kaum yang mulia.
Junaid
al-Baghdadi (w. 298 H/911 M): tasawuf adalah hendaknya engkau bersama Allah
tanpa menyertakan yang selain-Nya.
Ruwaim
bin Ahmad (w. 303 H/915 M): tasawuf adalah mengarahkan diri bersama Allah atas
apa yang dikehendaki-Nya.
Sumnun
bin Hamzat: tasawuf adalah hendaknya engkau merasa tidak memiliki sesuatu dan
tidak dimiliki oleh sesuatu.
Abu
Muhamad al-Jariri (w. 311 H/921 M): tasawuf adalah masuk ke dalam setiap akhlak
yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang hina.
Amr
bin Utsman al-Makki: tasawuf adalah hendaknya seorang hamba melakukan sesuatu
yang utama di suatu waktu tertentu.
Ali
bin Abdul Rahman al-Qannad: tasawuf adalah menempuh maqam-maqam
(tahapan-tahapan) dan mempertahankannya dengan melanggengkan berkomunikasi
dengan Allah.
Berbagai
pengertian dan definisi tentang tasawuf pun bermunculan, namun terdapat benang
merah yang menghubungkannya, yaitu akhlak, sebagaimana dinukil Al-Hujwiri yang
mengaitkan tasawuf dengan akhlak. Terkait hal ini, Abu Hasan al-Nuri mengatakan
bahwa tasawuf itu bukan bentuk dan bukan pulai ilmu, melainkan akhlak, atau
dalam kalimat berbeda Abu Muhammad Murta'isy mengatakan at-tashawwuf
husnul-khuluq (tasawuf adalah penghalusan akhlak).
Meskipun
secara esensi dipraktikan sejak awal mula Islam, namun terminologi tasawuf
sebagaimana fiqh dan kalam tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw
dan para sahabat. Istilah ini baru dikenal ketika Abu Hasyim al-Kufi (w. 160
H/776 M) mencantumkan kata al-Sufi di belakang namanya, namun bukan berarti dia
adalah sufi pertama karena sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh sufi terkenal
seperti Hasan al-Basri (w. 110 H/728 M). Sebelum istilah tasawuf dikenal di
masa awal, menurut Reynold A. Nicholson sebagaimana dikutip Dimyati Sajari,
bentuk-bentuk tasawuf pada mulanya adalah gerakan kejuhudan (asketis) yang
merupakan bentuk tertua dari sufisme.
Hasan
al-Bashri (w. 110 H/728 M), seorang tabi'in yang hidup di abad ke-8 Hijriah,
merupakan murid dari Huzaifah bin al-Yaman yang merupakan sahabat sekaligus
kepercayaan Nabi Muhammad saw dengan julukan Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang
Rahasia Rasulullah). Hasan al-Bashri, yang sangat terkenal dengan kehidupannya
yang sederhana dan zuhud, membuatnya didaulat dikenal sebagai tokoh awal sufisme.
Namun, hidup sederhana dan zuhud bukanlah hal asing di masa itu, karena Nabi
Muhammad saw dan para sahabat adalah tokoh-tokoh awal yang menjalani kehidupan
seperti demikian. Bahkan di masa-masa sebelum Islam, Muhammad muda kerap
berkhalwat di Gua Hira untuk mensucikan dirinya dan menjauh dari masyarakat
jahiliyah.
Tokoh
sufi lainnya yang hidup sejaman dengan Abu Hasyim al-Kufi adalah Ibrahim bin
Adham (w. 165 H/782 M). Kisah pertobatan Ibrahim bin Adham sangatlah terkenal
dan menjadi legenda sufi, dari seorang Pangeran Balkh menjadi seorang yang
hidupnya sangat zuhud. Sebagaimana diceritakan oleh Abu Nuaim, Ibrahim bin
Adham sangat menekankan pentingnya uzlah dan tafakur.
Seiring
dengan munculnya berbagai cabang ilmu dalam Islam di abad ke-2 dan ke-3 Hijriah,
maka berkembang pula Ilmu Tasawuf. Berbagai ajaran tentang tasawuf pun
bermunculan, namun akhlak adalah benang merah dari semua ajaran yang ada, dan
hal ini dapat dipahami sebagai akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada
sesama, dan akhlak kepada Allah. Hal ini dikembangkan dari tiga pilar agama
dalam Islam, yakni iman-islam-ihsan; di mana yang terkahir, ihsan, merupakan
landasan sekaligus tujuan dari praktik sufisme yang ingin dicapai ketika
seorang sufi berserah diri seutuhnya kepada Allah.
Banyak
pendapat yang pro dan kontra mengenai asal usul ajaran tasawuf, apakah ia
berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Sebagian pendapat
mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum
Nabi Muhammad menjadi Rasulullah, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa
asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad saw.
Ada
juga pendapat lain yang menyebutkan tasawuf muncul karena faktor politik,
ketika terjadi pertikaian antar umat Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib yang berlanjut terus hingga beberapa abad kemudian. Lalu
munculah gerakan tasawuf sebagai perlawanan atas pertikaian yang ada, yang di
pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah, dan kemudian diikuti
oleh figur-figur lain seperti Sufyan ats-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.
Sufisme Berasal dari Islam
Asal
usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal,
yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi
disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah
dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995)
Seorang
penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme
sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan
didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan.
Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari
Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo,
1374), I, 4.].
Sufi
tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana tersebut dalam
hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).
Tasawuf
adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran seperti: Perumpamaan
orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti
laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf, yang
dimaksud pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung secara psikologis,
sebagaimana kita ketahui manusia banyak menggantungkan keberhargaan dirinya
kepada dunia (seperti harta, jabatan, pasangan, teman, dan lain-lain). Dalam
Tasawuf, keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada Allah. Karena jika
memang mereka percaya Allah adalah yang paling kuat dan berharga, maka
menggantungkan kepada selain Allah adalah taghut (sesembahan). Inilah kenapa
dalam tareqahnya, seorang Sufi (penempuh Tasawuf) harus bisa menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sumber kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah
lain, Tasawuf adalah ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin (psikologis).
Sisi
psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dan
lain-lain sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis
(bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna
sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu. Adanya
sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan memperkuat status
Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara agama-agama yang besar,
karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut dulunya sempat benar, sehingga
masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin
(psikologis) dari ajaran Islam.
Sufisme
Pengaruh di Luar Islam
Sufisme
berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum
asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan
kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut
menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr.
G.B.J Hiltermann & Prof. Dr. P. Van De Woestijne).
(Sufisme)
yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur
terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini
sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai
pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan
DIA (J. Kramers Jz).
Al
Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat
Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya
daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar,
dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang
kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan
mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan
corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum
Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non
Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persia
yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama
Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka
masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan
Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin
luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari
ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik
ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi,
Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam
Islam (Prof. Dr. H. Abubakar Aceh).
Paham
tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu :
1.
Perasaan
kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama
Islam.
2.
Adat
atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan
berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam
walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain,
dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang
Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980).
Tasawuf
dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan
"Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW
dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut
Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata : “Tatkala kita telusuri
ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka
baik yang keluar dari lisan ataupun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu
dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah
pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para sahabatnya yang
mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At
Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc).
Tarekat
Tarekat
/ Tharīqah merupakan sebuah istilah yang merujuk kepada aliran-aliran dalam
dunia tasawuf atau sufisme Islam. Secara bahasa berarti "jalan" atau
"metode", dan secara konseptual bermakna "jalan kering di tengah
laut" merujuk kepada sebuah ayat dalam Alquran: "Dan sungguh, telah
Kami wahyukan pada Musa, ‘Tempuhlah perjalanan di malam hari bersama para
hamba-hamba-Ku, [dan] buatlah untuk mereka jalan kering di tengah laut'."
(Q.S. Thāhā [20]: 77).
Pemimpin
sebuah tarekat biasa disebut sebagai Mursyīd (dari akat kata rasyada, yang
artinya: "penuntun"). Adapun para pengikut tarekat biasa disebut
sebagai Murīd (dari akar kata arāda, yang artinya: "yang
menginginkan"), yang bermakna orang yang menginginkan untuk mendekat
kepada Tuhan; atau Sālik (dari akar kata salaka, yang artinya "yang
memasuki"), yang bermakna orang yang memasuki atau menempuh jalan menuju
Tuhan.
Metafora
tarekat sebagai jalan harus dipahami secara khusus, sehubungan dengan istilah syariat
yang juga memiliki arti jalan. Dalam hal ini tarekat bermakna sebagai jalan
yang khusus atau individual, yang merupakan fase kedua dari skema umum tahapan
perjalanan keagamaan: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Ada
banyak aliran tarekat yang berkembang di dunia Islam, beberapa diantaranya
lahir dan besar di Indonesia.
Kata
tarekat atau tharīqah (Arab: طريقة) berasal dari kata tharīq (Arab: طريق) yang
memiliki bebeberapa arti :
1.
Jalan
atau petunjuk jalan atau cara.
2.
Metode
atau sistem (uslub).
3.
Mazhab,
aliran, atau haluan (mazhab).
4.
Keadaan
(halah).
5.
Tiang
tempat berteduh, tongkat, atau payung (‘amud al-mizalah). Menurut Mulyadi
Kartanegara, dalam konteks tradisi Arab, kata tarekat dimaknai sebagai: jalan
kecil (jalan pintas) menuju wadi (oase) di gurun dan sulit dilalui karena terkadang
sudah tertutup pasir.
Dalam
konteks agama, Alwi Shihab mendefinisikan tarekat merupakan suatu metode
tertentu yang ditempuh seseorang secara kontinyu untuk membersihkan jiwanya
dengan mengikuti jalur dan tahapan-tahapan dalam upayanya mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Hal ini senada dengan pendapat Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad
bin ‘Ali (740-816 M) bahwa tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik
(para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui berbagai maqamat
(tahapan-tahapan).
Dengan
demikian tarekat memiliki dua pengertian :
1.
Pertama,
merupakan metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam
mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan.
2.
Kedua,
tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan
adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila
ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu :
1.
Sistem
kerahasiaan.
2.
Sistem
kekerabatan (persaudaraan).
3.
Sistem
hierarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid,
wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan
silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan
karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian
di atas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf.
Pengertian itu dapat ditemukan pada berbagai tarekat yang ada, seperti
al-Ahadiyyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Rifa'iah, Samaniyah, dan lain-lain.
Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau
nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung
dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan.
Empat Fase Perjalanan
Bagan
yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual (syari'ah,
tariqah, haqiqah, dan ma'rifah yang dianggap tidak terlihat)
Kaum
sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam,
yaitu syari'ah (syariat), tariqah (tarekat), haqiqah (hakikat), dan ma'rifah
(makrifat). Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat,
sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
Dalam kitab Sirr al-Asrar, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan penjelasan
seraya mengutip sebuah hadits dan ayat berikut :
Rasulullah
saw pernah bersabda : Tidurnya orang alim jauh
lebih mulia daripada ibadah orang bodoh. ... Firman-Nya: Allah
mewafatkan jiwa-jiwa ketika ajalnya tiba, adapun bagi yang belum sampai
ajalnya, (Allah mewafatkannya) dalam
tidur mereka. Kemudian Dia menahan jiwa-jiwa yang ajalnya telah tiba,
dan membebaskan jiwa-jiwa yang lain (yang belum sampai ajalnya) hingga batas waktu
yang telah ditentukan. (Q.S. Az-Zumar: 42). Inilah yang dimaksud orang alim
dalam hadits Nabi s.a.w. di atas. Mereka termasuk insan ruhani, manusia khusus,
yang sekalipun ajal belum tiba tetapi mereka sudah kembali ke negeri asali sang
jiwa, yakni negeri hakikat di semesta al-qurbah yang dekat dengan Allah Ta'ala.
Negeri ini tidak akan dapat dicapai oleh mereka yang masih hidup kecuali dengan
Ilmu Hakikat; dan ilmu ini tidak dapat diperoleh kecuali dengan menempuh jalan
Syariat, Thariqat, dan Makrifat.
Di
dalam kitab tersebut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani juga mengutip sebuah hadits:
(Ilmu) syariat itu pohon, rantingnya thariqat, daunnya makrifat, dan buahnya
hakikat.
Mempelajari tarekat
Muhammad
Hasyim Asy'ari sebagaimana dikutip oleh Mohammad Sholikhin, seorang
penganalisis tarekat dan sufi, mengatakan bahwa ada delapan syarat dalam
mempelajari tarekat :
Qashd
shahih, menjalani tarekat dengan tujuan yang benar. Yaitu menjalaninya dengan
sikap ubudiyyah, dan dengan niatan menghambakan diri kepada Tuhan.
Shidq
sharis, haruslah memandang gurunya memiliki rahasia keistimewaan yang akan
membawa muridnya ke hadapan Ilahi.
Adab
murdhiyyah, orang yang mengikuti tarekat haruslah menjalani tata-krama yang
dibenarkan agama.
Ahwal
zakiyyah, bertingkah laku yang bersih/sejalan dengan ucapan dan tingkah-laku
Nabi Muhammad SAW.
Hifz
al-hurmah, menjaga kehormatan, menghormati gurunya, baik ada maupun tidak ada,
hidup maupun mati, menghormati sesama saudaranya pemeluk Islam, hormat terhadap
yang lebih tua, sayang terhadap yang lebih muda, dan tabah atas permusuhan
antar-saudara.
Husn
al-khidmah, mereka-mereka yang mempelajari tarekat haruslah mempertinggi
pelayanan kepada guru, sesama, dan Allah SWT dengan jalan menaati segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Raf'
al-himmah, orang yang masuk tarekat haruslah membersihkan niat hatinya, yaitu
mencari khashshah (pengetahuan khusus) dari Allah, bukan untuk tujuan duniawi.
Nufudz
al-'azimah, orang yang mempelajari tarekat haruslah menjaga tekad dan tujuan,
demi meraih makrifat khashshah tentang Allah.
Tujuan
Tujuan
tarekat adalah membersihkan jiwa dan menjaga hawa-nafsu untuk melepaskan diri
dari pelbagai bentuk ujub, takabur, riya', hubbud dunya (cinta dunia), dan
sebagainya. Tawakal, rendah hati/tawadhu', ridha, mendapat makrifat dari Allah,
juga menjadi tujuan tarekat.
Ada
yang menganggap mereka yang menganggap orang-orang sufi dan tarekat sebagai
orang yang bersih (shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran "dan yang
baginya sama saja antara nilai emas dan batu-batuan," tulis Muhammad
Sholikhin dalam bukunya. Ada pula yang menganggap mereka mencapai makna orang
yang berkata benar, semulia-mulianya manusia setelah para Nabi sebagaimana
firman Allah dalam QS. An-Nisa (4):69. Namun, Ibnu Taimiyah mengatakan pendapat
ini salah sama sekali. Yang benar, adalah "orang-orang yang berijtihad
dalam ketaatannya kepada Allah."
Beberapa contoh suluk, yakni:
1.
Suluk
Sukarsam, mengenai hakikat kepemimpinan.
2.
Suluk
Syarab al Asyiqin, berisi ajaran wahdat al-wujud dan tahap pencapaian makrifat.