Pemimpin yang ZAlim
Berbicara
masalah kepemimpinan yang zalim, hal ini sudah muncul jauh sebelum Rasulullah
hadir di muka bumi ini.
Salah
satu potret pemimpin zalim yang Allah gambarkan di dalam Alquran sebelum diutusnya Nabi Muhammad adalah kisah
raja Firaun.
Mark
Twain pernah mengatakan, bahwa di dalam hidup ini terjadi pengulangan historis
atau pengulangan peristiwa yang serupa.
Apa
yang telah dialami oleh masa sebelumnya, bisa saja akan dialami kembali pada
masa setelahnya.
Allah
SWT berfirman dalam surah Al-Hijr ayat 92-93 :
فَوَرَبِّكَ
لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Artinya
: Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu. ( QS. Al-Hijr : 92-93)
Rasulullah
SAW bersabda :
الَ
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُم.ْ
Artinya
: Ketahuilah…Setiap orang diantara kalian adalah pemimpin yang akan di mintai
pertanggung jawabannya, seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya dan
akan di mintai pertanggung jawabanya tentang kepimpinannya. (HR. Al-Bukhari).
pemimpin akhir zaman
Dan
diantara ciri-ciri pemimpin akhir zaman yang di sebutkan dalam hadits
Rasulullah SAW tersebut diantaranya adalah :
1. Para pemimpin sesat
Diriwayatkan
dari Aus RA berkata, bahawa Rasulullah SAW bersabda:
إِنِّي
لاَ أَخَافُ عَلىَ أُمَّتيِ إِلاَّ الأَئِمَّةَ المُضَلِّينَ.
Artinya
: Aku tidak takut (ujian yang akan menimpa) pada umatku, kecuali (ujian) para
pemimpin sesat.” (HR. Ibnu Hibban).
Sufyan
as-Tsauri menggambarkan mereka dengan mengatakan: Tidaklah kalian menjumpai
para pemimpin sesat, kecuali kalian mengingkari mereka dengan hati, agar amal
kalian tidak sia-sia.
2. Para pemimpin yang jahil agama
Dari
Jabir bin Abdillah RA bahawa Rasulullah SAW berkata kepada Ka’ab bin Ajzah:
أَعَاذَكَ
اللهَ مِنْ إمَارَةِ السُّفَهَاءِ.
Artinya
: Aku memohon perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang
bodoh. (HR. Ahmad).
Dalam
hadits riwayat Ahmad diatas dikatakan bahawa maksud pemimpin yang bodoh adalah
pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah SAW. Yaitu
pemimpin yang tidak menerapkan nilai-nilai syariah Islam.
3. Para pemimpin yang menolak kebenaran, dan menyeru
pada kemungkaran
Dari
Ubadah bin Shamit RA berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:
سَيَكُونُ
عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَأْمُرُونَكُمْ بِمَا لاَ تَعْرِفُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا تُنْكِرُونَ
فَلَيْسَ لاِؤلَئِكَ عَلَيْكُمْ طَاعَةٌ.
Artinya
: Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum
yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian
ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk
mentaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
4. Para penguasa yang memerintah dengan mengancam dan
menekan rakyatnya
Dari
Abu Hisyam as-Silmi RA berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:
سَيَكُونُ
عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ يَمْلِكُوْنَ رِقَابَكُمْ وَيُحَدِّثُوْنَكُمْ فَيَكْذِبُونَ،
وَيَعْمَلُوْنَ فَيُسِيؤُونَ، لا يَرْضَوْنَ مِنْكُمْ حَتَّى تُحَسِّنُوا قَبِيْحَهُمْ
وَتُصَدِّقُوْا كَذِبَهُمْ، اعْطُوْهُمُ الحَقَّ مَا رَضُوا بِهِ.
Artinya:
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka
berbicara (berjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari (janjinya).
Mereka melakukan pekerjaan, lalu pekerjaan mereka itu sangat buruk. Mereka tidak
suka dengan kalian hingga kalian menilai baik (memuji mereka) dengan keburukan
mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta kalian memberi kepada mereka
hak yang mereka senangi. (HR. Thabrani).
5.
Para pemimpin yang mengangkat pembantu orang-orang jahat dan selalu
mengakhirkan shalat (mengabaikan syariat)
Dari
Abu Hurairah RA yang berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:
يَكُونُ
فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ،
وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ
لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا.
Artinya
: Akan datang di akhir zaman nanti para penguasa yang memerintah dengan
sewenang-wenang, para pembantunya (menteri-menterinya) fasik, para hakim nya menjadi
pengkhianat hukum, dan para ahli hukum Islam (fuqaha’nya) menjadi pendusta.
Sehingga, siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka sungguh
kalian jangan menjadi pemungut cukai (kerana khawatir akan bersubahat dengan
mereka). (HR. Thabrani).
6. Para pemimpin yang memerintah dengan diktator
(kejam).
Rasulullah
SAW bersabda :
إِنَّ شَرَّ الوُلاَةِ الحُطَمَةُ.
Artinya
: Sesungguhnya seburuk buruknya para penguasa adalah penguasa al-huthamah
(diktator).” (HR. Al-Bazzar).
Pemimpin
al-huthamah (diktator) adalah pemimpin yang menggunakan politik tangan besi
terhadap rakyatnya dengan memaksakan rakyat meskipun tidak di sukai oleh
rakyatnya.
Dari
Abu Layla al-Asy’ari bahwa Rasulullah Saw bersabda:
وسَيأتي
أُمَرَاءُ إنْ اسْتُرْحِمُوا لَمْ يَرْحَمُوا، وإنْ سُئِلُوا الحَقَّ لَمْ يُعْطُوا،
وإِنْ أُمِرُوا بالمَعْرُوفِ أَنْكَرُوا، وسَتَخَافُوْنَهُمْ وَيَتَفَرَّقَ مَلأُكُمْ
حَتى لاَ يَحْمِلُوكُمْ عَلى شَيءٍ إِلاَّ احْتُمِلْتُمْ عَلَيْهِ طَوْعاً وَكَرْهاً،
ادْنَى الحَقِّ أَنْ لاَ تٌّاخُذُوا لَهُمْ عَطَاءً ولا تَحْضُروا لَهُمْ في المًّلاَ
Artinya
: Dan akan datang para pemimpin, jika mereka diminta untuk mengasihani
(rakyat), mereka tidak mengasihani; jika mereka diminta untuk menunaikan hak
(rakyat), mereka tidak menunaikannya; dan jika mereka disuruh berlaku adil
mereka menolak keadilan . Mereka akan membuat hidup kalian dalam ketakutan; dan
memecah-belah tokoh-tokoh kalian. Sehingga mereka tidak membebani kalian dengan
suatu beban, kecuali mereka membebani kalian dengan paksa, baik kalian suka atau
tidak. Serendah-rendahnya hak kalian, adalah kalian tidak mengambil pemberian
mereka, dan tidak kalian menghadiri pertemuan mereka. (HR. Thabrani).
7. Para penguasa zindik (berpura-pura iman)
Dari
Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
صِنْفَانِ
مِنْ أُمَّتِي لَنْ تَنَالَهُمَا شَفَاعَتِي: إِمَامٌ ظَلُومٌ، وَكُلُّ غَالٍ مَارِقٍ.
Artinya
: Dua golongan umatku yang keduanya tidak akan pernah mendapatkan syafa’atku:
pemimpin yang bertindak zalim (terhadap rakyatnya), dan orang yang berlebihan
dalam beragama hingga sesat dari jalan agama. (HR. Thabrani).
8. Pemimpin yang banyak menipu rakyatnya
Dari
Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :
سَيَأْتِي
عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا
الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ
فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي
أَمْرِ الْعَامَّةِ.
Artinya
: Akan datang kepada masyarakat tahun-tahun yang penuh tipuan dan kebohongan.
Pada tahun-tahun itu pembohong dipandang jujur, yang orang yang jujur dianggap
pembohong, pada tahun-tahun tersebut para pengkhianat dianggap orang yang
amanah, sedangkan orang yang amanah dianggap pengkhianat.
Pada
saat itu yang berbicara adalah ruwaibidhah.
Lalu
ada sahabat bertanya,
Apakah
ruwaibidhah itu ?
Rasulullah
menjawab, Orang bodoh yang berbicara/mengurusi urusan umum/publik. (Dalam
riwayat lain disebutkan, ruwaibidhah itu adalah orang fasik yang berbicara/mengurusi
urusan umum/publik dan al-umara (pemerintah) fasik yang berbicara/mengurusi
urusan umum/publik) (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Ya’la dan al-Bazzar).
Wahai
saudaraku sekalian ingatlah tanda-tanda Rasulullah di atas.
Mari
kita merenung sejenak adakah tanda-tanda tersebut sudah nampak kepada pemimpin
islam kita
Ya
Allah tunjukkan para pemimpin kami pada jalan yang lurus, jalan yang Engkau
Ridhoi.
Jauhkan
kami dari fitnah mereka yang akan menimpa diri kami. Mudah-Mudahan kehidupan
kami berada dalam Rahmat dan kasih sayang -Mu. Aamiinn Yaa Robbal ‘Aalamiin
Berikut
hadisnya, Rasulullah bersabda,
اسْمَعُوا،
هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ
بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ
بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ
Dengarkanlah,
apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa
yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong
kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia
juga tak akan menemuiku di telaga. [HR. al-Tirmidzi, al-Nasai dan al-Hakim].
عَنْ
كَعْبٍ بْنِ عُجْرَةَ قاَلَ: خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ وَنَحْنُ تِسْعَةٌ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعَةٌ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ مِنَ الْعَرَبِ
وَاْلآخَرُ مِنَ اْلعَجَمِ فَقَالَ إِسْمَعُوْا هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُوْنُ
بَعْدِيْ أُمَرَاءُ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ
عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ
وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَم يُعِنْهمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ
بِكَذِبِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ.
Dari
Ka’ab bin ‘Ujrah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw menghampiri kami,
kami berjumlah sembilan, lima, dan empat. Salah satu bilangan (kelompok) dari
Arab sementara yang lain dari ‘Ajam. Beliau bersabda: Dengarkan, apa kalian
telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin,
barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan
mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak
akan mendatangi telagaku. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka,
tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia
termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku.
Dari
aspek matan menurut para ulama, hadis tersebut mengandung peringatan kepada
umat Islam agar tidak menjadi bagian dari kelompok yang mencintai dan mendukung
pemimpin yang zalim (Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Vol. 8, hlm. 8).
Nabi
Muhammad mengancam kelompok yang seperti ini dengan tidak menganggap mereka
sebagai golongannya. Oleh karena itu yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam
ketika melihat pemimpin yang berlaku zalim adalah menasehati, menegur atau
memberi peringatan kepadanya, bukan malah membela mati-matian dan membenarkan
segala hal yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Namun demikian yang juga
perlu diperhatikan adalah bahwa dalam rangka nahi munkar kepada pemimpin yang
zalim itu juga harus dengan cara yang ma’ruf (baik, bijaksana, adil,
proporsional dan tidak melanggar ketentuan, baik agama maupun negara). Hal ini
sesuai dengan hadis Nabi saw:
عَنْ
أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَفْضَلُ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ » أَوْ « أَمِيرٍ جَائِرٍ »
[رواه أبو داود والترمذى وابن ماجه وأحمد].
Dari
Abu Sa’id al-Khudri (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda, jihad
yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa
atau pemimpin yang zalim [HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad].
Mungkin
tidak semua umat Islam dapat atau berani menegur dan menasehati pemimpin yang
zalim secara langsung. Namun bukan berarti kemudian umat Islam pasrah atau
malah membenarkan kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Dalam hal
ini, Rasulullah memberikan arahan bahwa ketika melihat suatu kemunkaran terjadi
umat Islam hendaknya berusaha mengubahnya sesuai kemampuan. Hadis Nabi saw,
عَنْ
أَبِي سَعِيْدٍ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ
رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه النسآئى ومسلم
وابن ماجه والترمذى وغيرهم].
Dari
Abu Saʻid (diriwayatkan) ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak
mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan
hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. [HR. al-Nasa’i,
Muslim, Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan lain-lain].
Bagi
umat Islam yang sedang diamanahi untuk menjadi pemimpin, maka sudah seyogyanya
mereka menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah dan berpihak kepada
kemaslahatan rakyat. Pemimpin yang demikian akan dijanjikan oleh Allah balasan
pahala yang melimpah, sebagaimana yang diterangkan dalam hadis berikut ini,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمْ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ فِي خَلَاءٍ
فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا
فِي اللهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ
إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ
شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ [رواه البخاري].
Dari
Abu Hurairah dari Nabi saw (diriwayatkan) beliau bersabda, ada tujuh golongan
yang Allah melindungi mereka dalam lindungan-Nya pada hari kiamat, di hari ketika
tiada perlindungan selain perlindungan-Nya, yaitu; imam yang adil, pemuda yang
tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seseorang yang senantiasa mengingat Allah
saat sendiri sehingga matanya berlinang, seseorang yang hatinya selalu terkait
dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seseorang yang
diajak berkencan oleh wanita bangsawan dan rupawan, namun ia menjawab; ‘Saya
takut kepada Allah’, serta seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi,
sehingga tangan kirinya tidak tahu menahu terhadap amalan tangan kanannya [HR.
al-Bukhari].
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis yang saudara tanyakan,
terdapat dalam berbagai kitab hadis, termasuk kitab karya al-Tirmidzi,
al-Nasa’i dan al-Hakim. Adapun secara kualitas hadis tersebut adalah shahih.
Demikian jawaban dari kami. Semoga dapat memberikan wawasan dan ilmu tambahan
bagi saudara.
Begitu
juga dengan kezaliman pemimpin yang dialami oleh orang-orang terdahulu, akan
terjadi lagi di masa sekarang dengan pemain yang berbeda.
Kepemimpinan
yang Zalim Wahbah az-Zuẖaili dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa manakala rakyat
yang melakukan kezaliman, Allah akan menguasakan kepada mereka orang yang zalim
seperti mereka.
Allah
sudah memberi peringatan di dalam Al-Qur’an :
:
وَكَذٰلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظّٰلِمِيْنَ بَعْضًاۢ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan
demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim berteman dengan sesamanya,
sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’am [6]: 129) Al-A’masy
pernah berkata : ”Apabila manusia telah rusak, maka orang-orang jahat di antara
mereka akan dijadikan pemimpin mereka”.
Mereka
akan mengangkat menteri-menteri dan pegawai istana dari orang-orang yang bodoh
dan sesat seperti mereka.
Lalu
para pejabat itu akan ditiru oleh kebanyakan orang dalam melakukan
perbuatan-perbuatan mereka yang buruk, sehingga kerusakan akan mengalahkan
kebaikan.
Ternyata,
pemimpin zalim hadir tidak saja dari perilaku pemimpin itu sendiri.
Tetapi
juga disebabkan karena rakyatnya yang masih berbuat zalim, sehingga
dihadirkanlah pemimpin yang seperti mereka.
Selain
itu, adanya pemimpin zalim juga disebabkan karena diamnya orang-orang baik yang
tidak berani menasehati mereka atau mengingatkan akan kebijakan yang mereka
buat.
Sehingga
dampak buruk dari kebijakan yang mereka buat terus berkembang dan sulit untuk
dientaskan.
Hamka
dalam tafsirnya juga memberi nasihat, seharusnya ulama-ulama pada masa sekarang
mencontoh nabi Ibrahim yang tidak takut menegur seorang penguasa yang berlaku
zalim terhadap kepemimpinannya.
Karena
menurut Hamka para ulama itu adalah wakilnya para Nabi di dunia.
Dampak untuk Negeri
Dampak
dari kepemimpinan yang zalim selalu memilukan dan tidak mencerminkan kekuasaan
yang adil dan beradab.
Kita
dapat melihat bagaimana Firaun membunuh bayi laki-laki agar tidak ada yang
dapat menggantikan kedudukannya.
Menurut
Ibnu Khaldun, kezaliman pemimpin dapat mengakibatkan hancurnya pembangunan.
Di
antaranya menuntut kerja paksa, menguasai harta-harta manusia dengan membeli
apa yang mereka miliki dengan harga rendah, tidak adilnya penguasa dalam
pengelolaan pajak, dan menuntut rakyat dengan tanpa hak.
Melihat
fenomena pemimpin zalim di negeri sendiri.
Di
antaranya para pejabat tinggi negara melakukan korupsi atau tepatnya mencuri
uang rakyat, tapi mereka masih mendapatkan tempat tinggal mewah di dalam sel.
Padahal,
akibat dari perbuatan mereka tersebut bisa membuat perekonomian menurun.
Selain
itu, dampak dari kebijakan pemimpin zalim tersebut adalah terjadinya krisis
kepercayaan rakyat terhadap pemimpin.
Sehingga
muncullah sebagian orang yang malas membayar pajak, terjadi perampokan antar
warga, dan perebutan kekuasaan.
Potret Kepemimpinan Bercirikan Firaun
Kita
dapat melihat pemimpin yang bercirikan Firaun di masa sekarang telah hadir
terang-terangan membuat kebijakan otoriter, baik kepada rakyatnya sendiri
maupun kepada negara lain.
Contohnya saja, seperti :
Adanya
kesewenang-wenangan penguasa dalam sebuah sistem pemerintahan yang arogan pada
(abad VII H) bulan Sya’ban 726 H/ Juli 1326 M, membuat Ibnu Taimiyah bangkit
untuk memberikan pemikiran-pemikirannya. Walaupun pemikiran-pemikiran Ibnu
Taimiyah tersebut banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan elit politik,
namun hal itu tidak menyurutkan semangat Ibnu Taimiyah untuk menyeru dan
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah kekuasaan yang ada pada masa
itu.
Mengikuti
perkembangan dari zaman ke zaman, maka pemikiran Ibnu Taimiyah ini masih sangat
relevan apabila dikaji dan diterapkan pada masa sekarang ini. Karena kezaliaman
tidak pernah akan habis dan berhenti selama masih adanya pemimpin yang zalim.
Konsepsi
Ibnu Taimiyah tentang pemimpin zalim meliputi: dasar pemikiran Ibnu Taimiyah
tentang pemimpin zalim, sikap Ibnu Taimiyah terhadap pemimpin zalim dan hukum
melawan pemimpin zalim. Al-Qur’an sebagai prinsip dasar masyarakat Islam
dijadikan oleh Ibnu Taimiyah sebagai rujukan untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan. Dalam hal ini pula Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin yang dapat
mengendalikan rakyat adalah kewajiban yang asasi dalam agama. Bahkan tegaknya
tidak mungkin direalisasikan, kecuali dengan adanya “Kepemimpinan”. Dari
sinilah ada sebuah riwayat yang mengatakan enam puluh tahun dari kehidupan
seorang pemimpin yang zalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa adanya
kepemimpinan.
Selanjutnya
Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa masyarakat dilarang untuk memberontak
(perang) sehingga terjadinya pembunuhan. Karena menurutnya bisa menimbulkan
kehancuran dan akan menimbulkan kezaliman yang lebih besar dan juga untuk
menghindari akan terjadinya kekosongan kekuasaan. Untuk menghindari itu, Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih
baik dari pada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam, dengan menyetujui
ungkapan bahwa Allah mendukung negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah
tidak mendukung negara tidak adil sekalipun Islam.
Contoh
di abad ini :
Presiden
Korea Utara, Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Sebagian
rakyat Korea Utara ada yang diam-diam kabur, pergi menuju negara lain karena
tidak tahan hidup di bawah penguasa yang membatasi ruang gerak mereka.
Seperti
dilarang menggunakan internet dengan bebas, serta menonton dan mengakses
informasi dari negara lain.
Selain
itu, mereka juga tidak boleh mempublikasikan tentang negara mereka, apalagi
mengkritik pemerintah.
Jika
ketahuan, maka mereka akan dipenjara atau ditembak mati.
Tidak
hanya itu, mereka yang hanya rakyat biasa juga dibiarkan miskin dan memaksa
mereka untuk memuja dan memujinya. Lalu memberikan penghormatan dengan
berlebihan jika ia mendatangi suatu daerah atau hanya sekedar lewat.
Begitu
juga dengan Donald Trump yang menyebabkan konflik Timur Tengah terus bergejolak
dan sulit untuk menemukan titik terang.
Dampak
dari kebijakannya yang terkesan ekstremisme dan sangat kontroversial
menciptakan krisis kemanusian di beberapa belahan dunia. Sering sekali
kebijakannya tersebut mendapat kecaman dunia internasional.
Misalkan
saja pengakuannya terhadap pemindahan kedutaan besar AS ke Jerusalem.
Ia
juga terang-terangan memihak kepada Israel dan ingin menarik Mesir, Arab Saudi,
Yordania, dan Uni Emirat Arab (UEA) ke pihaknya. Sehingga dengan demikian,
mudahlah ia menguasai Palestina dan misi-misi besarnya yang lain. Dampak dari
kebijakannya tersebut menambah daftar pengungsi di negara konflik tersebut,
krisis ekonomi, krisis pendidikan dan banyak nyawa yang dibiarkan hilang tak
berdaya.
Cara
Menyikapi Salah satu cara yang telah dicontohkan oleh para nabi terdahulu dalam
menyikapi pemimpin zalim adalah berusaha untuk mengingatkan mereka.
Nabi
Musa tak lelah mengingatkan Firaun sang pemimpin yang sombong, terkait membuat
kebijakan zalim dengan membunuh bayi laki-laki dan membiarkan rakyatnya
terpecah belah. Selain itu, juga dengan cara sabar. Sebagaimana sabda
Rasulullah: “Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak ia sukai,
hendaklah ia bersabar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hasan
al-Basri pernah mengatakan bahwa: “Kezaliman pemimpin itu adalah azab Allah.
Sedangkan azab Allah tidak bisa dihadapi dengan pedang, akan tetapi kezaliman
pemimpin itu ditolak dengan cara kita kembali kepada Allah, bertaubat
kepada-Nya dan memperbaiki diri kita.”
Kenapa
salah satu caranya dengan memperbaiki diri? Ini ada kaitannya seperti yang
telah penulis singgung di atas, bahwa Allah akan memberi pemimpin sesuai dengan
keadaan rakyatnya. Maka, perlulah kita saling mengintropeksi diri agar Allah
memberikan pemimpin yang adil, amanah dan berakhlakul karimah.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan
demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi
sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan.” (Qs Al An’am: 129)
Tentang
makna ‘nuwalli‘ yang ada dalam ayat di atas ada empat pendapat ahli tafsir:
1.
Pertama,
Kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai kekasih bagi sebagian yang lain.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Said dari Qotadah.
2.
Kedua,
Sebagian orang yang zalim itu kami jadikan mengiringi yang lain di neraka
disebabkan amal yang mereka lakukan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ma’mar dari
Qotadah.
3.
Ketiga,
Kami jadikan orang yang zalim sebagai penguasa bagi yang lain. Pendapat ini
diungkapkan oleh Ibnu Zaid.
4.
Keempat,
Kami pasrahkan sebagian orang yang zalim kepada yang lain dalam artian tidak
kami tolong. Pendapat ini disebutkan oleh al Mawardi.
Sedangkan
yang di maksud dengan ‘amal‘ dalam ayat di atas adalah berbagai bentuk maksiat
(Zadul Masir fi ‘Ilmi Tafsir karya Ibnul Jauzi 3/124, cetakan ketiga Al Maktab
Al Islamy tahun 1984/1404)
Ibnu
‘Asyur mengatakan, “Ayat tersebut bisa dipahami mencakup seluruh orang yang
zalim. Sehingga ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah akan menjadikan seorang
yang zalim akan dikuasai dan dizalimi oleh orang selainnya. Inilah penafsiran
yang diberikan oleh Abdullah bin Zubair, salah seorang shahabat Nabi, saat
beliau berkuasa di Mekkah. Ketika Ibnu Zubair mendengar bahwa Abdul Malik bin
Marwan membunuh ‘Amr bin Said al Asydaq setelah ‘Amr memberontak terhadap Abdul
Malik, beliau naik ke atas mimbar. Di sana Ibnu Zubair berkata, “Ketahuilah
bahwa Ibnu Zarqa’-yaitu Abdul Malik bin Marwan. Marwan diberi gelar Azraq dan
Zarqa’ yang berarti biru karena kedua matanya berwarna biru- telah membunuh
Lathim Syaithan (orang yang ditampar oleh setan yaitu ‘Amr bin Said)” kemudian
Ibnu Zubair membaca ayat di atas.
Lathim
Syaithon adalah gelar ejekan yang diberikan untuk Amr bin Said disebabkan dua
ujung mulutnya tidak simetris. Banyak pihak yang mengatakan bahwa hal itu
disebabkan setan pernah menamparnya.
Oleh
karena itu, ada orang yang mengatakan bahwa jika orang yang zalim itu tidak
menghentikan kezalimannya maka dia akan ditindas oleh orang zalim yang lain.
Fakhruddin
Ar Razi mengatakan, “Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zalim maka
hendaklah mereka meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan.” (Tafsir At Tahrir
wat Tanwir karya Ibnu Asyur 8/74 cetakan Dar Tunisiah 1984)
Dalam
Tafsirnya yang sebagiannya telah dikutip oleh Ibnu Asyur di atas, Ar Razi
mengatakan, “Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan jika rakyat suatu
negara itu zalim (baca: gemar maksiat, korupsi dll) maka Allah akan mengangkat
untuk mereka penguasa yang zalim semisal mereka. Jika mereka ingin terbebas
dari kezaliman penguasa yang zalim maka hendaknya mereka juga meninggalkan
kemaksiatan yang mereka lakukan.
“Ayat
di atas juga menunjukkan bahwa di tengah-tengah suatu komunitas manusia harus
ada yang menjadi penguasa. Jika Allah tidak membiarkan orang-orang yang zalim
tanpa pemimpin meski juga sesama orang yang zalim maka tentu Allah tidak akan
membiarkan orang-orang shalih tanpa pemimpin yang mendorong rakyatnya agar
semakin shaleh.
Ali
bin Abi Thalib berkata,
لا
يصلح للناس إلا أمير عادل أو جائر ، فأنكروا قوله : أو جائر فقال : نعم يؤمن السبيل
، ويمكن من إقامة الصلوات ، وحج البيت
“Tidaklah
baik bagi suatu masyarakat jika tanpa pemimpin, baik dia adalah orang yang
shalih ataupun orang yang zalim.” Ada yang menyanggah beliau terkait dengan
kalimat ‘ataupun orang yang zalim’. Ali menjelaskan, “Memang dengan sebab
penguasa yang zalim jalan-jalan terasa aman, rakyat bisa dengan tenang
mengerjakan shalat dan berhaji ke Ka’bah.” (Tafsir Al Kabir wa Mafatih Al Ghaib
karya Muhammad ar Razi 13/204 cetakan Dar al Fikr 1981/1401)
Sudahkah
kita semua bertaubat dan meninggalkan berbagai bentuk maksiat dan kezhaliman
hingga Allah datangkan pemimpin yang adil ?
Ancaman untuk Pemimpin Zalim, tak Hanya Neraka
Sungguh
berat beban seorang pemimpin. Sebab, pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia
yang fana ini, melainkan juga akhirat kelak.
Oleh
karena itu, sifat amanah harus melekat pada dirinya. Allah SWT menebar ancaman
kepada para pemimpin yang berbuat zalim kepada rakyat atau orang yang
dipimpinnya.
Azab
yang pedih :
“Siapapun
pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka” (HR Ahmad). Demikian
sabda Nabi Muhammad SAW. Allah mengancam orang yang semena-mena.
“Sesungguhnya
dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan
melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapatkan
siksa yang pedih” (QS asy-Syura: 42).
Seorang
pemimpin yang zalim akan merasakan akibatnya pada Hari Pembalasan. “Sungguh,
manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat
kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci
Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR
Tirmidzi).
Didoakan kesukaran
Rasulullah
SAW mendoakan kesusahan bagi para penguasa yang menindas umat beliau. “Ya
Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan
mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan
memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia,” demikian munajat beliau, sebagaimana
diriwayatkan Imam Muslim.
Doa
itu menyiratkan dua tipikal pejabat. Ada yang kerap menyusahkan rakyatnya. Ada
pula yang cenderung memudahkan hidup mereka.
Semestinya,
seorang pemimpin menjalankan tugas dengan baik dan seadil-adilnya. Bila ia
terus berupaya, insya Allah, pertolongan dari-Nya akan datang.
Jika
ia justru menyepelekan amanah, kesulitan akan menimpanya. “Tidaklah seseorang
diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang
terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).
Dijauhi rakyat
Rasulullah
SAW berpesan agar kaum Muslimin mematuhi pemimpin (ulil amri) dari kalangan
mereka, selama pemimpin itu tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah.
Jika
rakyat diperintahkan untuk maksiat, maka hilanglah kewajiban untuk taat.
“Ketaatan
hanyalah dalam perkara yang ma’ruf,” sabda beliau, seperti diriwayatkan Imam
Bukhari. Maka, pemimpin yang zalim akan cenderung dijauhi orang-orang yang
masih berpegang teguh pada kebenaran.
Inilah
pentingnya nasihat atau kritik. Kalangan ulama atau orang-orang berilmu dapat
mengingatkan penguasa agar tetap amanah dan tak salah arah. Ujaran pun disampaikan
dengan tegas, tetapi baik dan sopan. Tidak kemudian dibumbui niat ingin
mempermalukan penguasa.
Kekuasaan Dipegang Orang-orang Bodoh dan Zalim
Pada
kesudahan masa seratus tahun nanti, hendak dijumpai kekuasaan orang-orang bodoh
dan zalim. Mereka berada banyak penolong dalam kezaliman mereka, bahkan
mencambuk manusia dan menghinakan mereka. Rasulullah SAW telah mnegumpamakan
cambuk-cambuk tersebut dengan ekor sapi serta memperingatkan mereka dengan
neraka dan azab Allah SWT.
Dari
Abu Umamah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pada kesudahan masa seratus
tahun, hendak berada orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi. Mereka pergi
pada pagi hari dalam kemurkaan Allah dan kembali pada sore hari dalam kemarahan
Allah." (HR. Al- Albaniy)
Dari
Abu Hurairah r.a bahwa dia mendengar Raulullah SAW bersabda, "Jika engkau
diberi kesempatan yang panjang, engkau hendak melihat suatu kaum yang pergi
pada pagi hari dalam kemurkaan Allah dan kembali pada sore hari dalam kemarahan
Allah. Di tangan mereka berada semisal (cambuk) ekor sapi." (HR. Ahmad)
Dari
Abu Hurairah r.a bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Berada dua
golongan berbakat neraka yang belum pernah kulihat sebelumnya, yaitu suatu kaum
yang bersamanya cambuk seperti ekor sapi, yang dipukul untuk memukul manusia,
dan para wanita yang berpakaian, tetapi telanjang, berlanjut lenggak-lenggok,
dan kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak hendak masuk
surga, bahkan tidak hendak mencium baunya. Padahal,baunya dapat tercium dari perjalanan
(jarak) sekian dan sekian." (HR Muslim)
Sebagai
dari tanda itu telah terjadi dalam sejarah Islam dan hendak muncul lebih hebat
lagi sebelum terjadinya kiamat, yaitu ketika ilmu dicabut dan muncul kebodohan
sehingga Islam tidak tersisa lagi, kecuali nama dan tulisannya saja.
Turunnya bencana lingkungan kehidupan dan siksaan
berat dari pemimpin yang Zalim
Rasulullah
SAW memberitahukan bahwa di kesudahan masa seratus tahun nanti sebelum
munculnya Al-Mahdi, umat hendak ditimpa musibah agung, seperti cobaan dan
siksaan berat yang dilakukan oleh para pemimpin dan hakim yang zalim. Mereka
mempersempit ruang gerak orang beriman sehingga seseorang hendak rindu dapat
menempati seperti tempat saudaranya yang sudah meninggal supaya terbebas dari
cobaan, siksaan, kejahatan, dan kezaliman para pemimpin tersebut. Kondisi itu
hendak terus berlanjut sampai munculnya Al-Mahdi untuk menghukum mereka. Dia
memenuhi bumi ini dengan kabaikan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya bumi ini
telah dipenuhi dengan kezaliman dan pembunuhan.
Dari
Abu Sa'id Al-Khudri ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hendak turun kepada
umatku di kesudahan masa seratus tahun nanti cobaan yang dahsyat dari pemimpin
mereka. Belum pernah terdengar cobaan yang lebih dahsyat darinya sehingga bumi
yang luas itu terasa sempit untuk mereka karena bumi dipenuhi dengan kejahatan
dan kezaliman. Seorang mukmin tidak mendapatkan tempat berpindah dari kezaliman
itu. Kemudian, Allah Azza wa Jalla mengutus seseorang dari keturunanku. Dia
hendak memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi dipenuhi dengan kejahatan
dan kezaliman. Masyarakat bumi dan langit ridha dengannya, dan bumi tidak
menyimpan sesuatu pun dari bijinya, kecuali mengeluarkannya. Begitu juga dengan
langit, kecuali Allah menuangkannya ke bumi. Dia hidup di tengah-tengah mereka
selama tujuh, delapan, atau sembilan tahun supaya semua yang hidup dan mati
menikmati apa yang tellah diperbuat Allah Azza wa Jalla terhada masyarakat bumi
dari kebaikan-Nya."(HR Hakim)
Kondisi
ini yaitu rangkaian dari bencana sebelumnya. Kezaliman mengakibatkan kondisi
seperti ini. Begitu juga dengan berbagai fitnah, kejahatan, kezaliman pemimpin
terhadap rakyatnya, dan sedikit rezeki serta kebajikan. Semua itu mengakibatkan
kebimbangan manusia antara beriman dengan kufur.
Dari
Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kiamat tidak hendak
terjadi sampai seseorang yang melewati kuburan dan mengatakan, sekiranya diri
sendiri dapat menempati tempatnya."(HR Asy-Syaikhoni)
Bersabarlah Terhadap Pemimpin yang Zalim
Ibnu
Abil 'Izz mengatakan, “Hukum pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat
zalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mereka maka akan timbul kerusakan
yang lebih besar dari kealiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap
kezaliman mereka dapat melebur dosa-dosa akan melipatgandakan pahala. Allah
Ta'ala tidak menjadikan mereka berbuat zalim selain karena kerusakan yang ada
pada diri kita juga. Ingat, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan
yang dilakukan ( al jaza' min jinsil 'amal ). Oleh karena itu, hendaklah kita
bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan
kita.
Perhatikanlah
firman Allah Ta'ala berikut, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu
adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy Syura [42] : 30)
“Dan
mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri”.” (QS. Ali Imran [3] : 165)
“Apa
saja ni'mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa' [4] : 79)
Allah
Ta'ala juga berfirman, “Dan demikianlah Kami melihat sebahagian orang-orang
yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian orang lain yang disebabkan oleh
apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An'am [6] : 129)
Bila
rakyat menginginkan terbebas dari kezaliman seorang pemimpin. Maka hendaklah
mereka meninggalkan kezaliman.
(Inilah
nasihat yang sangat bagus dari seorang ulama Robbani. Lihat Syarh Aqidah Ath
Thohawiyah, hal. 381, Darul 'Aqidah)
Ibnu
Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah
Allah Ta'ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat
manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seolah-akan
adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan
lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa
mereka. Namun, jika rakyat melakukan zalim, maka penguasa mereka akan ikut
melakukan zalim.
Jika
tampak tindak kejahatan di tengah-tengah rakyat, maka hal ini akan terjadi pada
pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan menerapkannya,
maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan
menerapkannya.
Jika
dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang yang lemah, maka
pemimpin akan mengambil hak yang dari rakyatnya serta akan membuat mereka malas
dengan tugas yang berat.
Setiap
yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan pula oleh pemimpin mereka
dari mereka dengan paksaan.
Dengan
demikian setiap amal perbuatan rakyat akan menjaga amalan penguasa mereka.
Berdasarkah
hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji adalah diangkat sebagaimana
keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka
demikian pula pemimpin pada saat itu.
Ketika
rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian
berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin
seperti Mu'awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan
Umar, maka tentu pemimpin kita sesuai dengan keadaan kita.
Begitu
pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi
rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan
konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta'ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa'adah,
2/177-178)
Pada
masa pemerintahan 'Ali bin Abi Tholib radhiyallahu 'anhu ada seseorang yang
bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi dan fitnah (musibah),
sedangkan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak?
Ali
menjawab, “Karena pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjadi
rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi
rakyatnya adalah kalian.”
Oleh
karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka
hendaklah setiap orang mengubah dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah
penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan
mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah
Ta'ala,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.”
Doa Rasulullah Tentang Zalim
Islam
tidak hanya mengatur urusan ibadah vertikal (hablumminallah), namun juga sangat
perhatian terhadap urusan muamalah (hablumminananas). Itu sebabnya Al-Qur'an
mengajarkan doa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (QS.
Al-Baqarah: Ayat 201)
Saat
ini ramai gelombang protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang disahkan
oleh pejabat DPR dan pemerintah. Kebijakan para pejabat negara ini dianggap
merugikan dan menyusahkan masyarakat dan kalangan pekerja.
Dalam
persfektif syariat, Nabi Muhammad telah mengingatkan umatnya agar menjauhi
perkara zhalim. Rasulullah menyampaikan pesan khusus kepada para pejabat agar
berlaku adil dan amanah. Dalam satu Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, beliau
berdoa:
اللَّهُمَّ
مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ.
وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم
"Ya
Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia
menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka,
maka susahkanlah dia". (HR. Muslim No 1828)
Dikutip
dari SINDOnews, Ustaz Farid Nu'man Hasan (Dai lulusan Sastra Arab Universitas
Indonesia) mengatakan hadis ini menunjukkan pembelaan Rasulullah kepada umatnya
dan kepada para pejabat yang berbuat baik kepada umatnya. Rasulullah mendoakan
kebaikan bagi mereka. Betapa beruntungnya mereka.
Imam
Ibnu Al Malak rahimahullah menjelaskan makna doa Rasulullah :
أي:
رحمهم ويسَّر عليهم
"Yaitu
sayangilah dan mudahkanlah mereka". (Syarh Al Mashabih, 4/257).
Hadits
ini juga menunjukkan sikap tegasRasulullah kepada mereka yang menyusahkan
umatnya. Rasulullah mendoakan keburukan bagi mereka. Betapa meruginya mereka.
Imam
Ibnu Al-Malak rahimahullah menerangkan makna doa buruk tersebut:
أي:عسَّر
عليهم أمورهم وأوصل المشقة إليهم
"Yaitu
persulitlah urusan mereka (yang menyulitkan manusia) dan antarkanlah kesempitan
hidup kepada mereka. (Ibid)
Imam
an-Nawawi rahimahullah mengatakan:
هَذَا
مِنْ أَبْلَغ الزَّوَاجِر عَنْ الْمَشَقَّة عَلَى النَّاس ، وَأَعْظَم الْحَثّ عَلَى
الرِّفْق بِهِمْ ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِهَذَا الْمَعْنَى
"Ini
termasuk hadis yang paling tajam larangan keras mempersulit urusan manusia, dan
dorongan yang paling besar dalam bersikap lembut kepada mereka, dan banyak
hadits dengan makna seperti ini." (Syarh Shahih Muslim, 6/299)
Imam
An-Nawawi dalam Al-Adzkar membuat bab berjudul:
بابُ
جَواز دُعاء الإِنسان على مَنْ ظَلَمَ المسلمين أو ظلَمه وحدَه
"Bab
Bolehnya doa seseorang (dengan doa keburukan) kepada orang yang menzalimi kaum
muslimin atau menzalimi dirinya seorang."
Beliau
rahimahullah menjelaskan:
وَقَدْ
تَظَاهَرَ عَلىَ جَوَازِهِ نُصُوْصُ الْكِتَابِ وَالسُنَةِ وَأَفْعَالُ سَلَفِ الْأُمَةِ
وَخَلَفِهَا
"Telah
jelas kebolehan hal tersebut, berdasarkan nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (yaitu salaf) maupun
generasi terkemudian (khalaf)." (Al Adzkar, 1/493).
Pemimpin Adil Akan Dinaungi Allah di Hari Kiamat
Rasulullah
berpesan kepada umatnya bahwa setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab
atas yang dipimpinnya.
Beliau
bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung
jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab
atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dan bertanggung
jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah
suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu
adalah pemimpin di rumah majikannya dan bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya." (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Malik dan
Ibnu Hibban)
Dalam
riwayat lain, Nabi menyampaikan 7 golongan yang akan dinaungi Allah Ta'ala pada
hari Kiamat.
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: اْلإِمَامُ الْعَادِلُ،
وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ،
وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ
دعته امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ،
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Tujuh
golongan yang akan mendapatkan naungan 'Arsy Allah Ta'ala dimana tidak ada
naungan kecuali hanya naungan Allah Ta'ala, yaitu:
1.
Pemimpin
yang adil
2.
Pemuda
yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah Ta’ala
3.
Seorang
yang hatinya senantiasa terpaut (bergantung) dengan masjid
4.
Dua
orang yang saling mencintai karena Allah Ta'ala. Mereka berkumpul karena Allah
dan mereka pun berpisah juga karena Allah Ta’ala.
5.
Seorang
yang diajak wanita untuk berbuat zina, dimana wanita itu memiliki kedudukan dan
kecantikan, namun ia mampu mengucapkan, "Sungguh aku takut kepada
Allah".
6.
Seorang
yang bersedekah dan dia sembunyikan sehingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
7.
Seorang
yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian sehingga kedua matanya meneteskan
air mata.
Doa Rasulullah Bagi Para Pemimpin
Terdapat
sebuah hadits yang di dalamnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mendoakan
keburukan dan kebaikan bagi para pemimpin, yaitu hadits dari ‘Aisyah
radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
اللَّهُمَّ،
مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ
مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
“Ya
Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah
umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku,
lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.”
(HR.
Muslim, no. 1828)
Hadits
ini sering dijadikan alasan untuk mencela ulil amri, atau alasan untuk
melakukan demonstrasi atau bahkan dijadikan alasan memberontak kepada ulil
amri. Sama sekali ini pendalilan yang tidak tepat. Karena beberapa poin:
Pertama,
para ulama, seperti Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili, dan para ulama
sunnah lainnya, ketika menjelaskan hadits ini, penjelasan mereka tidak lepas
dari:
1.
Hadits
ini adalah ancaman bagi para pemimpin yang zalim kepada rakyatnya.
2.
Hadits
ini adalah motivasi bagi para pemimpin untuk menyayangi rakyatnya.
3.
Hadits
ini menunjukkan al jaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan perbuatan.
4.
Hadits
ini menunjukkan sayangnya Rasulullah kepada umatnya.
Tidak
kami ketahui di antara ulama Ahlussunnah yang memahami dari hadits ini, bahwa
maknanya boleh mencela ulil amri atau bahkan sampai jadi dalil bolehnya
memberontak. Intinya, hadits ini adalah salah satu dari dalil wa’id (ancaman)
bagi para pemimpin (secara umum) yang tidak menjalankan amanah dengan baik. Dan
dalil-dalil ancaman bagi pemimpin itu banyak sekali. Tidak hanya hadits ini.
Kedua, dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendoakan
pemimpin yang zalim secara umum. Yang disebutkan oleh beliau adalah sifatnya,
yaitu yang zalim kepada umat. Bukan nama atau individu secara spesifik. Maka
tidak tepat jika dijadikan dalil untuk mencela seorang ulil amri atau pemimpin
secara mu’ayyan (spesifik).
Penjelasan Hadits Doa Rasulullah Bagi Para Pemimpin
Terdapat
sebuah hadits yang di dalamnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mendoakan
keburukan dan kebaikan bagi para pemimpin, yaitu hadits dari ‘Aisyah
radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
اللَّهُمَّ،
مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ
مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
“Ya
Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah
umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku,
lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim, no. 1828)
Hadits
ini sering dijadikan alasan untuk mencela ulil amri, atau alasan untuk
melakukan demonstrasi atau bahkan dijadikan alasan memberontak kepada ulil
amri. Sama sekali ini pendalilan yang tidak tepat. Karena beberapa poin:
Pertama,
para ulama, seperti Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili, dan para ulama
sunnah lainnya, ketika menjelaskan hadits ini, penjelasan mereka tidak lepas
dari:
1.
Hadits
ini adalah ancaman bagi para pemimpin yang zalim kepada rakyatnya.
2.
Hadits
ini adalah motivasi bagi para pemimpin untuk menyayangi rakyatnya.
3.
Hadits
ini menunjukkan al jaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan perbuatan.
4.
Hadits
ini menunjukkan sayangnya Rasulullah kepada umatnya.
Tidak
kami ketahui di antara ulama Ahlussunnah yang memahami dari hadits ini, bahwa
maknanya boleh mencela ulil amri atau bahkan sampai jadi dalil bolehnya
memberontak.
Intinya, hadits ini adalah salah satu dari dalil wa’id (ancaman) bagi para pemimpin (secara umum) yang tidak menjalankan amanah dengan baik. Dan dalil-dalil ancaman bagi pemimpin itu banyak sekali. Tidak hanya hadits ini.
Kedua,
dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendoakan pemimpin yang
zalim secara umum. Yang disebutkan oleh beliau adalah sifatnya, yaitu yang
zalim kepada umat. Bukan nama atau individu secara spesifik.
Maka
tidak tepat jika dijadikan dalil untuk mencela seorang ulil amri atau pemimpin
secara mu’ayyan (spesifik).
Contoh
lain, hadits tentang doa keburukan bagi orang yang disebutkan sifatnya:
Diriwayatkan
dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246,
254),
عن
أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم
رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال
: قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال
: رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال :
رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين
“Dari
Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda:
‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian,
wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata
kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa
mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi,
‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup,
namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka
berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah
melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka
kukatakan, ‘Amin”.” (Dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
(8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga
oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679)).
Di
dalam hadits ini Malaikat Jibril ‘alaihissalam mendoakan keburukan bagi :
1.
Orang
yang tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan.
2.
Anak
yang tidak berbakti kepada orang tua.
3.
Orang
yang tidak bershalawat ketika disebut nama Nabi.
Dan
diaminkan doanya oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bukan berarti artinya
kita boleh mencela secara spesifik orang-orang yang melakukan perbuatan
tersebut. Apalagi dicela di depan umum, semisal mengatakan :
1.
Sesungguhnya
Fulan telah durhaka kepada orang tuanya.
2.
Dasar
kau Fulan, ahli maksiat di bulan Ramadhan.
3.
Dasar
laknat kau Fulan, disebut nama Nabi kok tidak shalawat.
Demikian
juga hadits-hadits Rasulullah tentang laknat beliau kepada beberapa jenis orang
:
1.
Rasulullah
melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.
2.
Rasulullah
melaknat pelaku maksiat dan pelaku bid’ah
3.
Rasulullah
melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya
4.
Rasulullah
melaknat orang yang mengubah batas tanah
5.
Rasulullah
melaknat orang menyerupai lawan jenis
6.
Rasulullah
melaknat orang yang minum khamr
7.
Rasulullah
melaknat orang yang menyambung rambut
8.
Rasulullah
melaknat orang yang mentato, dll.
Padahal laknat itu artinya : mendoakan agar jauh dari
rahmat Allah
Namun
Rasulullah menyebutkan dalam hadits-hadits tersebut berupa sifat-sifat secara
umum. Sehingga bukan berarti kita boleh mencela orang-orang tersebut secara
spesifik dan di depan umum. Semisal mengatakan, dasar kau Fulan, tukang tato, dasar
kau Fulan pemabuk, saudara-saudara sekalian… ketahuilah Fulan itu banci, ia
menyerupai lawan jenis.
Ini
semua tidak dibenarkan karena :
1.
Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam mencela perbuatan secara umum, bukan individu
secara mu’ayyan (spesifik). Perlu kehati-hatian menerapakan hukum yang umum
kepada individu secara spesifik.
2.
Andaikan
ada yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, bukan berarti boleh kita cela
di depan umum. Namun kita nasehati secara pribadi dengan cara yang baik.
Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
تعمدني
بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ
لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ
Berilah
nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di
tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu
termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau
menyelisihi dan menolak saranku. Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu
tidak aku turuti.” (Diwan Asy Syafi’i, hal. 56)
Oleh
karena itulah, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang
menasehati pemimpin,
من
أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه
فذاك،وإلا كان قد أدى الذي عليه
Barangsiapa
ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat
tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat
mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak
diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu.” (HR. Ahmad,
dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097)
Ketiga,
dalil yang mutasyabih (samar maknanya atau pendalilannya) harus dibawa kepada
dalil yang muhkam (jelas maknanya atau pendalilannya). Inilah jalannya
orang-orang yang Allah berikan ilmu yang benar. Inilah jalannya salafus shalih
dan ulama Ahlussunnah. Adapun ahlul bid’ah dan orang-orang menyimpang, mereka
menonjolkan pendalilan yang mutasyabih dan meninggalkan dalil-dalil yang
muhkam.
Allah
ta’ala berfirman,
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ
وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ
مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ
كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dialah
yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7)
Ibnul
Qayyim rahimahullah menjelaskan,
طريقة
الصحابة والتابعين وأئمة الحديث؛ كالشافعي، والإمام أحمد، ومالك، وأبي حنيفة، وأبي
يوسف، والبخاري، وإسحاق… أنهم يَردون المتشابه
إلى المحكَم، ويأخذون من المحكم ما يُفسِّر لهم المتشابه ويُبينه لهم، فتتَّفق دَلالته
مع دَلالة المحكَم، وتوافق النصوص بعضُها بعضًا، ويُصدِّق بعضُها بعضًا، فإنها كلها
من عند الله، وما كان من عند الله فلا اختلاف فيه ولا تناقض
Jalannya
para sahabat, tabi’in dan para imam ahlul hadits seperti Asy Syafi’i, imam
Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al Bukhari dan Ishaq … mereka
mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Mereka mengambil
dalil-dalil yang muhkam untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat yang
mutasyabih. Sehingga sejalanlah ayat-ayat yang mutasyabih dengan ayat-ayat yang
muhkam. Dan nash antara satu dengan yang lain akan sejalan serta saling
membenarkan. Karena semua nash tersebut berasal dari Allah. Dan apa yang
berasal dari Allah, tidak akan ada perselisihan dan tidak ada pertentangan.”
(I’lamul Muwaqqi’in, 2/209-210)
Ada
banyak sekali dalil yang dengan jelas dan tegas memerintahkan untuk mendengar
dan taat pada ulil amri secara mutlak, baik dia shalih atau fajir, selama bukan
dalam maksiat.
Diantaranya
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia
bersabda,
من
أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير
فقد عصاني
Barang
siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang
durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada
pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada
pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku.” (HR. Muslim no. 1835)
Dari
Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:
دعانا
النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على
السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ
الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ
Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami.
Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh
kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak
kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak
melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin). Kecuali ketika
kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan
Allah.” (HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709)
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
من
كَرِه من أميرِهِ شيئا فليصْبِرْ عليهِ . فإنّه ليسَ أحدٌ من الناسِ خرج من السلطانِ
شِبْرا ، فماتَ عليهِ ، إلا ماتَ ميتةً جاهليةً
Barang
siapa yang tidak suka terhadap suatu hal dari pemimpinnya, maka hendaknya ia
bersabar. Karena tidak ada yang memberontak kepada penguasa satu jengkal saja,
kemudian ia mati, kecuali ia mati jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 7054, Muslim no.
1849)
Dari
Abu Bakrah Nafi bin Al Harits Ats Tsaqafi, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ
أَكرم سُلطانَ اللهِ أَكرمَه اللهُ ، ومَنْ أهانَ سُلطانَ اللهِ أهانه اللهُ
Barangsiapa
yang memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakan dia. Barangsiapa yang
menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakan dia.” (HR. Tirmidzi no. 2224,
Ahmad no. 20433, dihasankan Al Albani dalam Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus
Sunnah li Abi Ashim no. 1017)
Dan
banyak sekali dalil-dalil lainnya, yang tidak samar lagi bagi para penuntut
ilmu.
Ulama
juga ijma’ wajibnya mendengar dan patuh kepada ulil amri walaupun fasiq dan
zalim. An Nawawi mengatakan,
وأما
الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث
بمعنى ما ذكرته وأجمع أهل السنة على أنه لا ينعزل السلطان بالفسق
Adapun
memberontak kepada ulil amri dan memerangi ulil amri, hukumnya haram
berdasarkan ijma ulama. Walaupun ulil amri tersebut fasiq dan zalim.
Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sangat jelas dan ahlussunnah sudah
sepakat tentang tidak bolehnya memberontak kepada penguasa yang fasiq.” (Syarah
Shahih Muslim, 12/228)
Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan :
قال
بن بطال في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على وجوب
طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن
الدماء وتسكين الدهماء
Ibnu
Bathal mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat hujjah terhadap haramnya
memberontak kepada penguasa (Muslim) walaupun ia zalim. Dan ulama telah ijma
akan wajibnya taat kepada penguasa yang berhasil menguasai pemerintahan. Serta
wajibnya berjihad bersama dia. Dan taat kepadanya lebih baik daripada
memberontak. Karena taat kepadanya akan menjaga darah dan menstabilkan keamanan
masyarakat.” (Fathul Bari, 7/13)
Maka
mengapa dalil-dalil dan ijma yang terang benderang ini ditinggalkan demi
membela pendalilan yang samar? Allahul musta’an.
Kesimpulannya,
tidak benar menjadikan hadits di atas sebagai dalil untuk mencela ulil amri di
depan publik atau mengajak umat untuk memberontak kepada ulil amri. Ini adalah
talbis (upaya menutupi kebatilan sehingga nampak seolah benar) dan mencampurkan
yang haq dan yang batil.
Asy
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:
ليس
من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر لأن ذلك يفضي إلى الفوضى
وعدم السمع والطاعة في المعروف ، ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع ، ولكن الطريقة
المتبعة عند السلف النصيحة فيما بينهم وبين السلطان ، والكتابة إليه ، أو الاتصال بالعلماء
الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير
Artinya :
Bukan
termasuk manhaj salaf, menyebarkan aib-aib pemerintah dan menyebutkannya di
mimbar-mimbar. Karena hal ini akan membawa pada chaos (kekacauan) dan akan
hilangnya ketaatan pada pemerintah dalam perkara-perkara yang baik. Dan akan
membawa kepada perdebatan yang bisa membahayakan dan tidak bermanfaat. Adapun
metode yang digunakan para salaf adalah dengan menasehati penguasa secara
privat. Dan menulis surat kepada mereka. Atau melalui para ulama yang bisa
menyampaikan nasehat kepada mereka, hingga mereka bisa diarahkan kepada
kebaikan.”
Lafalkan Doa Ini Agar Terhindar dari Pemimpin Zalim
Memilih
pemimpin mungkin terbilang gampang. Banyak yang kemudian meremehkan proses
untuk mendapatkan pemimpin.
Menjadi
sebuah masalah ketika seorang pemimpin yang terpilih ternyata merupakan seorang
yang zalim. Tentu rakyatnya yang akan menanggung segala kesusahan.
Doa
Agar Diberi Kesuksesan
Kerusakan
demi kerusakan timbul akibat perilaku zalim sang pemimpin. Kesejahteraan dan
kemaslahatan tentu jauh kenyataan.
Memohon
perlindungan kepada Allah SWT merupakan jalan satu-satunya agar terhindar dari
pemimpin yang zalim. Lafalkan doa ini agar terhindar dari pemimpin zalim.
Artinya:
"
Ya Allah, karunikanlah untuk kami rasa takut kepadaMu yang dapat menghalangi
kami dari bermaksiat kepada-Mu, dan (karuniakanlah untuk kami) ketaatan
kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu, serta (karuniakanlah
untuk kami) keyakinan hati yang dapat meringankan kami dari berbagai cobaan
dunia. Jadikankan kami bisa menikmati dan memanfaatkan pendengaran,
penglihatan, dan kekuatan kami selama kami hidup. Dan jadikan semua itu sebagai
pewaris bagi kami (tetap ada pada kami sampai kematian). Jadikanlah kemarahan
dan balas dendam kami hanya kepada orang-orang yang menganiaya kami, dan
tolonglah kami terhadap orang-orang yang memusuhi kami. (Ya Allah) Janganlah
Engkau jadikan musibah kami adalah yang terjadi pada dien kami, dan janganlah
Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak dari ilmu kami,
dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi
kami."
Doa untuk Pemimpin agar Amanah dan Adil
Barangkali
kita sering mendengar atau membaca ungkapan, doa adalah senjata bagi orang yang
beriman.
Ungkapan
ini bukanlah isapan jempol belaka, Rasulullah, Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Doa adalah senjata seorang Mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya
langit dan bumi. (HR Abu Ya'la). Begitulah besarnya kedudukan doa dalam agama
Islam, bahkan salat sendiri secara harfiah juga diartikan sebagai doa.
Sebagai
rakyat, kita diwajibkan untuk taat kepada pemimpin, jika pemimpin kita tidak
amanah dan tidak adil, jadikan doa sebagai ‘senjata’ untuk membantu pemimpin
dalam mengemban jabatan agar amanah dan adil. Sebab pemimpin adalah cerminan
dari rakyat, gampangnya orang jahat akan dipimpin oleh seseorang yang jahat,
begitu juga dengan orang baik akan mendapat pemimpin yang baik pula. Jika kita
dipimpin oleh pemimpin yang tidak amanah dan tidak adil, begitulah sebenarnya
keadaan yang terjadi pada diri kita.
Diriwayatkan,
Ali bin Abi Thalib didatangi seorang khawarij seraya berkata, “Wahai khalifah
Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana
pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena pada zaman
Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang
semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!!”
(Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin).
Sebaik-baik
rakyat adalah mereka yang mencintai dan mendoakan pemimpinnya, sebagaimana
pemimpin mencintai dan mendoakan untuk kebaikan rakyatnya.
Jika
mungkin ada tindakan pemimpin yang tidak disukai dan dibenci, bencilah
tindakannya tersebut tetapi jangan sampai mencederai ketaatan terhadap
pemimpin. Sebab sejelek-jeleknya rakyat adalah mereka yang membenci pemimpinnya
dan begitu juga sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang membenci rakyatnya.
Dari
‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai
kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka.
Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun
membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”
Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka
dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak,
selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian
melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya
dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855).
Syaikh
Abdul Malik Ramadhani al-Jazairi, bahkan menulis sebuah risalah yang di beri
judul, Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin
kalian.
Berikut
doa yang bisa kita panjatkan untuk pemimpin kita, semoga bisa menjadi ‘senjata’
untuk membantu pemimpin kita tetap amanah dan adil.
Allahumma
ashlih wulaa ta umuurinaa, Allahumma waffiq hum limaa fiihi shalaa huhum wa
shalaa hul islaami walmuslimiina, Allahumma a'inhum 'alalqiyaami bimahaa mihim
ka maa amartahum yaa rabbal'aalamiin. Allahumma ab'id 'anhum bithoonatassuu i
wal mufsidiina wa qarrib ilayhim ahlalkhayri wannaashihiina yaa
rabbal'aalamiina. Allahumma ashlih wu laata umuuril muslimiina fii kulli
makaanin.
Artinya :
“Ya
Allah, jadikanlah pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada
mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan
kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana
yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka
dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah
orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb
semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pemimpin kaum muslimin sebagai orang yang
baik, di mana pun mereka berada.”
Imajiner Nuswantoro