RAJAH KOLOCOKRO
YAMARAJA..........JARAMAYA
(siapa yang menyerang,berbalik menjadi berbelas kasihan=
YAMARANI...........NIRAMAYA
(siapa datang bermaksud buruk, akan menjauh)
YASILAPA............PALASIYA
(siapa membuat lapar akan malah memberi makan)
YAMIRODA..........DAROMIYA
(siapa memaksa malah menjadi memberi keleluasaan/kebebasan)
YAMIDOSA..........SADOMIYA
(siapa membuat salah, berbalik membuat jasa)
YADAYUDA...........DAYUDAYA
(siapa memerangi berbalik mengajak damai)
YASIYACA..........CAYASIYA
(siapa membuat celaka berbalik menjadi membuat sejahtera)
YASIHAMA..........MAHASIYA
(siapa membuat rusak berbalik menjadi membangun,)
KEASLIAN MANTRA KALACAKRA (KOLOCOKRO)
Mantra Kalacakra yang asli itu berbunyi : Ham, Kha, Ma, La, Va, Ra, Ya
Atau ada juga yang membunyikannya: Ha, Ka, Ma, La, Wa, La, Ya
Dan dalam tradisi doa Hindu diawali dengan mengucap: “Om” dan diakhiri “Svaha” atau “Soha“
Sedangkan Aji Kalacakra yang berbunyi “Yamaraja – Jaramaya. Yamarani – Niramaya.. dan seterusnya itu, menurut para pakar adalah bahasa TIBET. Tapi meski demikian lafadz Mantra ini masih saja sukar untuk diartikan atau diterjemahkan. Sebab ada aksara yang janggal atau tidak sesuai dengan bahasa TIBET. Lalu ada yang mengatakan bahwa orang Jawa hanya menggunakan otak-atik gathuk (ilmu cocok-cocokan). Atau mendistrosi mantra aslinya. Ini masih perlu diteliti lagi.
Di Primbon Jawa sendiri memang mantra ini disebut Sastra Pinedati. Yang konon tertulis di telak dan di dada Bethara Kala. Maksud diadakannya Ritual Ruwatan dalam tradisi Jawa jaman dulu adalah untuk menyelamatkan orang yang terkena sengkolo atau disebut sebagai Sukerta dari ancaman Betara Kala. Kemudian dibacalah Mantra ini. Kemungkinan, masyarakat kemudian menyebut mantra ini menjadi Mantra Kalacakra sebab ada persamaan kata “Kala” (Betara Kala dan Kalacakra). Penyebutan Sastra Pinedati menjadi Mantra Kalacakra inilah yang menjadi persoalan (kontroversial).
Jika kita searching di Google, maka akan kita temui semakin banyak lagi aneka cerita yang berhubungan dengan Mantra Kalacakra ini. Misalnya dikaitkan dengan Syech Subakir, Sunan Kalijaga atau tokoh lainnya. Yang tidak ada kaitannya. Sehingga membuat Mantra Kalacakra makin “buram”.
AJI RAJAH KOLOCOKRO VERSI SUNAN KUDUS
Aji Rajah Kolocokro merupakan mantra tiada tanding, ilmu Rajah Sunan Kudus ini memiliki kegunaan melindungi dan memusnahkan ilmu magis lainnya.
Seseorang yang memiliki Aji Rajah Kolocokro atau ilmu rajah Sunan Kudus ini hanya merupakan titisan para wali, mereka merupakan orang-orang pilihan yang sudah melewati bermacam laku spiritual berat sampai bisa mengamalkan Aji Rajah Kolocokro.
Mantra merupakan suatu ungkapan yang dasarnya memiliki unsur kata ekspresif, berirama, dan isinya diyakini dapat mendatangkan kekuatan gaib.
Mantra dibacakan oleh seorang pawang yang memiliki spiritualis tinggi, mantra juga merupakan kata-kata atau puisi masyarakat Jawa yang digunakan untuk berdoa kepada Tuhan atau berkomunikasi dengan makhluk gaib.
Masyarakat Jawa juga mengenal rajah kolocokro melalui cerita pewayangan Walisongo, Sunan Kudus, toko pertama yang memiliki keris bernama kolocokro yang dirajahkan ke kursi tempat pertemuan Sultan hadiwijaya dan Pangeran Aryo Penangsang.
Kekuatan rajah kolocokro yaitu meruntuhkan kekuatan dan menghancurkan segala bentuk pertahanan gaib dan dalam cerita Aryo Penangsang, disebutkan bahwa dia tersulut amarah dan gelap pikiran.
Sehingga ia menduduki kursi rajah kolocokro dan seketika kekuatannya luntur hingga tewas di tangan Sultan Hadiwijaya.
Masyarakat Jawa memiliki beberapa versi penamaan mantra ini, literasi masyarakat Jawa menyebutnya rajah Kalacakra, sedangkan buddhisme yaitu kalachakra vajra.
Pada masa kejayaan Aryo Sakimuni Budha digunakan untuk membeberkan Dharma kebenaran, rajah kalachakra Vajra pertama kali ditulis di kulit hewan bergambar Bhatara kala oleh Kanda Buana.
Tujuannya adalah supaya siapapun yang merapalkannya tidak akan diganggu oleh Bhatara kala.
Menurut Koentjaraningrat dalam Budiarso mengatakan bahwa agama Jawa merupakan perpaduan yang kompleks antara budaya, budaya tradisional, mistisisme, Hinduisme, Buddhisme serta Islamisme.
Agama Islam memiliki perpaduan dengan suatu budaya tradisional yang bersifat mistisme yang disebut dengan istilah mantra.
Aji rajah kolocokro oleh masyarakat Jawa sering digunakan sebagai bentuk perlindungan dari malapetaka hingga gangguan makhluk gaib.
Bentuk perlindungan ini diwujudkan dengan adanya penulisan mantra di kain mori yang dipendam di tengah-tengah rumah.
Ritual ini biasa dilakukan sesudah bentuk dasar rumah selesai dibuat, peletakan rajah juga dibarengi dengan acara selamatan pada awal pembangunan rumah.
Kegunaannya yaitu supaya rumah, orang yang tinggal di dalamnya, serta di lingkungan sekitarnya terlindungi dari malapetaka.
Selain itu juga dalam kebiasaan masyarakat Jawa, mantra ini dituliskan di atas kertas beberapa kali dan dimasukkan ke dalam botol berisi air.
Menuliskan rajah Kolocokro dipercayai harus menghadap kiblat dan dalam kondisi suci, baik tempat maupun barang rajahannya.
Kemudian diteruskan dengan mengguyurkan air tersebut ke sekeliling rumah sambil merapalkan aji kolocokro serta dibarengi dengan membaca ayat kursi.
Rajah kolocokro dikenal ampuh sebagai tameng untuk melindungi diri, masyarakat Jawa yang menguasai aji kolocokro bisa menggunakannya untuk memberikan perlindungan berupa pagar gaib kepada harta benda, rumah, orang lain, dan dapat menolak bala dari makhluk gaib.
Biasanya rajah ini berupa sinar yang memancar dari dalam dada pemiliknya, sinar yang keluar berwarna kuning keemasan dengan sinar putih di dalamnya, hal itu mempunyai makna tentang kesucian jiwa.
Sinar itu berguna sebagai perisai yang melindungi bagian depan dan untuk melindungi sisi lain harus membuat rajah baru dan diniatkan untuk melindungi saja.
Sedangkan untuk menguasainya tentu ada beberapa laku yang perlu ditempuh. Pertama, bisa memulainya dengan berpuasa, dimulai pada hari selasa kliwon selama 40 hari.
Tujuannya adalah untuk dapat meredam hawa nafsu keduniawian, kemudian berlanjut dengan berpuasa mutih selama tujuh hari, dan puasa ini bermaksud agar nafsu panas seperti egois, birahi, dan amarah bisa benar-benar diredam.
Selama menjalankan puasa, diharuskan tetap merapal aji kolocokro sambil menenangkan diri, merendahkan diri pada Sang Maha Agung, serta menyatu dengan alam.
Aji kolocokro memerlukan guru spiritual agar selama proses pembelajaran, guru spiritual ini dapat terus mentransfer energi ke muridnya dengan pengijazahan menggunakan lisan dan tulisan.
Mantra aji kolocokro bisa dahsyat kekuatannya dengan seringnya diwiridkan setiap hari.
Perlu diingat! bahwa dalam merapalkan mantra kolocokro harus dengan jiwa yang bersih dari sifat keduniawian.
Itulah sekilas tentang mantra aji kolocokro peninggalan Sunan Kudus yang merupakan ulama dan anggota dari Walisongo.
Melacak Mantra dan Kidung Dari Masa Jawa Klasik (versi Arkeologi)
Mantra adalah semacam doa yang banyak dipakai pada masa Jawa Klasik. Pengaruhnya masih ada dalam tradisi spiritualitas orang Jawa hingga masa modern ini.
Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc., guru besar di Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM menyampaikan hal tersebut dalam sesi pemaparan diskusi berjudul Mantra dan Kidung pada Masa Jawa Klasik : Bentuk dan Fungsinya. Pemaparan tersebut merupakan bagian dari Diskusi Bulanan Medang Heritage yang digelar secara daring lewat platform Zoom, Rabu (30/9/2020) pagi.
Timbul menjelaskan, mantra bisa merupakan kalimat utuh yang dapat diterjemahkan, yang bisa juga disebut kidung. Namun mantra juga bisa berbentuk (susunan) suku kata yang disebut bija aksara yang tidak dapat diterjemahkan.
Mantra bisa diucapkan dengan suara (kanthika), atau dengan diam (japa). Bila bersuara, berbentuk vachika (ucapan keras), bhramara (berdengung), janantika (bisikan), dan karnika (lirih sekali).
Timbul menjelaskan, mantra biasanya diawali dengan bija aksara Om (Aum) yang dijumpai baik dalam mantra Hindu maupun Buddhis. Dalam perkembangannya, di masyarakat Jawa aksara suci ini berubah menjadi Hong, yang masih banyak dipakai dalang-dalang di saat ini.
“Aum bermakna Yang Maha Tunggal yang mencakup ruang, waktu, dan bentuk,”.
Terkait peninggalan sejarah, menurut Timbul, mantra hampir selalu ditemukan dalam semua prasasti batu peninggalan masa Jawa kuna/klasik. Misalnya dalam prasasti penetapan Sima (daerah perdikan) biasanya selalu diawali dengan mantra.
“Dimulai Om Nama Siwaya,” ungkap Timbul.
Mantra lain yang juga lazim dipakai untuk pembuka menurutnya adalah Om Awignam Astu yang dalam dunia pedalangan sekarang masih dipakai meski bergeser menjadi Om Mawigna Astu.
Timbul juga menjelaskan, mantra banyak juga ditemukan di prasasti singkat berbentuk lempengan emas atau perak. Yang terkenal adalah mantra ye dharmma hetuprabawa tesam tathagato hy awadat tesan ca yo nirodha ewamwamwadi mahasramanah. Mantra ini ditemukan di lempengan emas dari Dewa Kuti Ponorogo, dan beberapa tempat lain di Nusantara.
“Adanya kata tatagatho ini berarti untuk agama Buddha,”
Yang menarik lagi, menurut Timbul adalah peninggalan lempengan emas berlukiskan Wiswawajra, bunga padma tiga kelopak. Lempengan ini bagian atasnya menyebutkan mantra hum amoghasiddhi/ om om om om om phat/om phat. Bagian tengahnya terdapat mantra hum aksobhya om om om phat. Sementara di bagian bawah terukir mantra hum ratnasambhawa/om.
“Ini tentu pujaan kepada dewa-dewa dalam agama Buddha, karena menyebut Amogasiddhi, menyebut Aksobya, menyebut Ratnasambhawa, ini adalah Panca Tatagatha,”
Mantra lain yang menurutnya unik adalah susunan silabel dalam bahasa Sansekerta maupun Kawi yang berupa 33 suku kata. Ini meliputi ka kha ga gha nga, ca cha ja jha nya dan seterusnya.
“Ini kalau sekarang seperti Hanacaraka itu,”
Di masa berikutnya, menurut Timbul muncul mantra penolak bala atau pemusnah malapetaka di Jawa yang kerap dipakai untuk keselamatan manusia. Sering disebut rajah Kalacakra. Ini adalah susunan mantra empat suku kata yang pada pembacaan berikutnya dibaca dibalik.
YA MA RA JA -JA RA MA YA
YA MA RA NI – NI RA MA YA
YA MI DO SA – SA DO MI YA
YA MI DO RA – RA DO MI YA
YA SI LA PA – PA LA SI YA
YA SI YA SA – SA YA SI YA
YA DA YU DA – DA YU DA YA
YA SI HA MA – MA HA SI YA
Mantra yang dibalik seperti ini menurut Timbul kini dijumpai dalam aksara Ha Na Ca Ra Ka yang lalu dibaca terbalik menjadi KA RA CA NA HA (dan seterusnya).
“Percaya atau tidak, [mantra hanacaraka dan kebalikannya] ini masih bermanfaat. Buktikan nanti kalau ada hewan yang menyerang [diucapkan], tetapi harus tahan nafas,”
Sebagai tambahan informasi,berdasarkan riset yang dilakukan redaksi BuddhaZine, diketahui bahwa yang sering disebut rajah Kalacakra versi Jawa itu sebenarnya bentuk terdistorsi dari mantra Istadewata Yamantaka dalam tradisi Buddhisme Vajrayana, yang dulu juga sempat berkembang di Nusantara. Mulamantra (mantra akar) dari Yamantaka adalah: Yamaraja Sadomeya Yamedoru Nayodaya Yadayoni Rayaksheya Yaksheyaccha Niramaya Hum Hum Phat Phat Svaha
Imajiner Nuswantoro