BABAD DIPANEGARA I, II, III, IV
Babad
Dipanegara ini ditulis sendiri oleh Pangeran Dipanegara atau Kanjeng Sultan
Abdul Hamid saat diasingkan di Menado, Sulawesi Utara. Naskah aslinya berbentuk
tembang, puisi berbahasa Jawa. Penulisan naskah ini tidak semata untuk
menghibur diri selama di pengasingan, namun secara cerdik, sesungguhnya
merupakan rangkuman pengetahuan serta kepekaannya akan kondisi lokal kerajaan
di Jawa saat itu yang terlalu banyak mendapat campur tangan Belanda.
Babad
Dipanegara berisi cerita tentang Kerajaan Majapahit dan kejayaanya pada masa
Raja Brawijaya ke-4 (Hayam Wuruk)_, hingga keturunannya, yang menjadikan cikal
bakal tumbuhnya kerajaan islam di Jawa Tengah. Naskah ini mendapat pengakuan
dunia, melalui UNESCO pada tahun 2013 sebagai Memory of the World (MoW).
Babad
Dipanegara adalah naskah kuno yang berisi riwayat hidup dari Pangeran Dipanegara
(putra dari HB III), pangeran Yogyakarta yang memimpin perlawanan terhadap
Belanda dalam Perang Dipanegara yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.
Ditulis ketika Dipanegara berada dalam pengasingan di Sulawesi Utara pada
sekitar 1831-1832, naskah ini merupakan biografi pertama dalam kesusastraan
Jawa modern.
Babad
Dipanegara dimasukkan dalam Warisan Ingatan Dunia UNESCO pada tahun 2013.
Isi
Koleksi
Babad Dipanegara di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jl. Medan Merdeka
Selatan, Jakarta
Isi
Babad Dipanegara berjumlah 1.151 halaman folio tulisan tangan yang dibagi
menjadi beberapa bagian kisah, dimulai dari runtuhnya sisa-sisa Majapahit pada
1527 hingga Perjanjian Giyanti pada 1755. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan
keadaan Kesultanan Ngayogyakarta dan riwayat hidup Dipanegara dari kelahirannya
pada 1785 hingga diasingkan ke Manado pada 1830. Naskah ini aslinya ditulis
dalam abjad Pegon dengan bentuk Macapat (puisi tradisional Jawa).
Dalam
buku ini, Dipanegara menulis bahwa Daendels sebagai Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda ingin banyak mengubah hubungan Jawa-Belanda, namun Daendels
relatif tidak berdaya melawan Kesultanan Ngayogyakarta yang terorganisir dengan
baik. Letnan Gubernur Inggris Raffles terkena sebuah insiden terkait etiket
bahwa "Sultan sebaiknya duduk di tempat yang paling tinggi dan tidak
sejajar dengan orang Inggris." Pada akhirnya, sultanlah yang menang dan
Raffles digambarkan sebagai sosok yang kasar dan tidak sopan. Teks-teks
tersebut ditulis sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa selalu dapat
ditafsirkan demi kepentingan sultan dan keraton Jawa.
Kerusakan
moral yang disebabkan oleh para pejabat Belanda disebut karena mengganggu
keseimbangan kosmis. Babad Dipanegara juga menuliskan tentang tahun-tahun
pertama setelah tahun 1816. Bangsa Inggris kemudian digantikan oleh Belanda.
Salah satu warga Jogjakarta yang gemar makan dan minum, Huibert Gerard Nahuys
van Burgst berusaha mengajarkan adat istiadat Jawa-Belanda. Bahkan kerabat muda
raja pun tidak merasa terganggu dengan aturan kesopanan dan larangan agama di
Jawa.
Menurut
biografinya, Dipanegara adalah satu-satunya orang yang pada akhirnya mampu
memulihkan keseimbangan karena kesaktiannya. Setelah beberapa kali meditasi,
menurut biografinya, Dipanegara bertemu langsung dengan tokoh dunia lain, yang
membuat prediksi tentang jalan takdirnya. Di Gunung Rasamuni (lereng gunung
kidul)[3] ia bertemu dengan Ratu Adil. Dia menerima gelar kerajaan Islamnya
dengan cara yang sama. Sang pangeran mengetahui bahwa tidak ada pilihan lain
selain menaklukkan Jawa dengan kekerasan.
Peter
Carey, sejarawan Indonesia berkebangsaan Britania Raya, meragukan bahwa Dipanegara
sendiri adalah penulisnya. Hal ini didasarkan pada laporan dari seorang ajudan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditugaskan mendampingi Dipanegara yang
mendengar dari Dipanegara sendiri bahwa kemampuan menulisnya dalam bahasa Jawa
sangat kurang. Ia menduga bahwa Dipanegara menceritakannya untuk dituliskan
pada iparnya yang bernama Tumenggung Dipowiyono yang ikut dibuang.
Warisan Ingatan Dunia
Pada
2010, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) mengajukan Babad Dipanegara,
yang bernomor KBG 282, sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World)
melalui Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU). Kemudian, Babad Dipanegara
diajukan bersama oleh Perpusnas dan KITLV pada 2012. Hal ini dikarenakan naskah
ini mempunyai salinan aslinya yang tersimpan di Indonesia, sedangkan yang
ditulis dalam aksara Jawa tersimpan di Belanda. Namun, naskah aslinya sudah
hilang. Peter Carey menyebut naskah aslinya hilang karena sering dipinjam dan
berpindah tangan.
Babad
Dipanegara, bersama Kakawin Nagarakretagama, diterima sebagai Warisan Ingatan
Dunia dalam Pertemuan ke-11 Komite Penasihat Internasional untuk Program
Warisan Ingatan Dunia yang diadakan di Gwangju, Korea Selatan, pada tanggal
18-21 Juni 2013.
Sumber Referensi :
·
"Babad Diponegoro - autobiografische kroniek van
prins Diponegoro". UNESCO Nederlandse Commissie (dalam bahasa Belanda).
Diakses tanggal 17 Jun 2021.
·
Akbar, Allan (18 Juni 2013). "Babad Diponegoro
Jadi Warisan Ingatan Dunia". Historia.id. Diarsipkan dari versi asli
tanggal 2020-11-14. Diakses tanggal 17 Juni 2021.
·
Khaerudin (2019-01-31). "Meneladani Diponegoro,
Menunggu Ratu Adil untuk Indonesia". kompas.id. Diakses tanggal
2023-10-17.
·
Hartono, Seno (26 Mei 2015). "Mendikbud Serahkan
Piagam MoW Kitab Nagarakertagama dan Babad Diponegoro ke Perpustakaan
Nasional". Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses tanggal 17 Juni
2021.
·
"Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui
UNESCO Hilang, Ke Mana?". detiknews. Diakses tanggal 2023-10-17.
·
Susilo, Tunggul, ed. (15 Desember 2013). "Babad
heritage, Diponegoro heritage Nagarakretagama Admitted as Unesco's World
Memory". ANTARA News Jawa Timur. Diakses tanggal 17 Juni 2021.