Amangkurat I :
ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧑꧇
Amangkurat I (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧑꧇, translit. amangkurat kapisan, har. 'amangkurat satu'; 1618/1619 – 13 Juli 1677) adalah penguasa Mataram keempat dengan gelar susuhunan yang memerintah dari 1646 hingga meninggal di tahun 1677. Pada masa pemerintahannya, ia harus menghadapi beberapa kali percobaan penggulingan kekuasaan dan Pemberontakan Trunajaya akibat kebijakannya yang banyak menyebabkan ketidakpuasan di internal kerajaan. Pemberontakan Trunajaya yang sukses menduduki Keraton Plered memaksa Amangkurat I melarikan diri untuk meminta perlindungan VOC, namun ia meninggal dunia ketika sedang dalam perjalanan. Raden Mas Rahmat, putranya, kemudian naik takhta menggantikannya.
Biografi Amangkurat I, Raja Jawa Mataram Islam yang Kontroversial
Amangkurat I dikenal sebagai salah satu raja Jawa selama masa pemerintahan Mataram Islam yang menyimpan kisah menarik untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Lantas seperti apa sosok Amangkurat I sebagai raja Jawa pada saat itu ?
Seperti diketahui, Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan yang pernah memiliki kejayaan dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari peran Amangkurat I sebagai sosok di balik pemerintahan Kerajaan Mataram. Namun demikian, Amangkurat I juga tidak terlepas dari berbagai kontroversi yang pernah dilakukannya selama memimpin kerajaan tersebut.
Siapa Amangkurat I ?
Meskipun lebih sering disebut sebagai Amangkurat I, ternyata nama asli sosok ini adalah Raden Mas Sayidin. Mengutip dari buku 'Kitab Terlengkap Sejarah Mataram' oleh Soedjipto Abimanyu, Amangkurat I merupakan gelar populer yang diberikan kepada Raden Mas Sayidin.
Selain dikenal bergelar Amangkurat I, sosoknya juga memiliki gelar Amangkurat Senapati Ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama. Dirinya bukanlah orang sembarangan karena merupakan putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Ratu Wetan Kerajaan Mataram Islam. Dikisahkan bahwa setelah sang ayah meninggal, Amangkurat I naik takhta sebagai sultan atau raja bagi Kerajaan Mataram Islam.
Sementara itu, menurut buku 'Cerita Kerajaan Nusantara' oleh Amir Hendarsah sebagai seorang raja, Amangkurat I berhasil memindahkan lokasi keraton di era sekitar 1647 M menuju ke Pleret yang berada tidak jauh dari Kerta. Selama masa pemerintahannya, Amangkurat I terdapat berbagai pemberontakan besar yang terjadi di wilayah kepemimpinannya. Peristiwa tersebut melibatkan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Kemudian di masa pemerintahan Amangkurat I Kerajaan Mataram juga tengah mengalami perebutan takhta. Hal ini melibatkan putra ayahnya yang lain yang dianggap merupakan ahli waris yang sebenarnya. Meskipun begitu, pada akhirnya takhta Kerajaan Mataram berhasil dimiliki oleh Amangkurat I, salah satunya berkat dukungan yang diberikan oleh ibunya yaitu Ratu Wetan.
Kisah Amangkurat I yang Penuh Kontroversi
Meskipun telah naik takhta menjadi raja bagi Kerajaan Mataram, ternyata Amangkurat I dikenal bukanlah sebagai pemimpin yang baik. Mengacu dari buku 'Membangun Indonesia Emas' yang ditulis oleh Gunawan Sumodiningrat dan Randy R Wrihatnolo, Amangkurat I digambarkan sebagai pemimpin yang kejam dan cenderung otoriter. Dirinya bahkan memiliki strategi pemerintahan yang jauh berbeda dengan sang ayah.
Tercatat bahwa Sultan Agung melakukan pengelolaan kekuasaan Mataram dengan memberikan kekuasaan di masing-masing penguasa daerah. Hal tersebut jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Amangkurat 1 yang mana dirinya lebih memilih pemerintah yang sentralistik atau dikelola dalam satu komando yang sama.
Tak sampai di situ, Amangkurat I juga dianggap sebagai pemimpin yang kejam dan tidak terlepas dari perilaku korup. Melalui buku yang sama, disebutkan bahwa Amangkurat I tidak ragu menghalangi siapa saja yang akan naik takhta menggantikannya. Ia tidak segan untuk menghilangkan nyawa orang-orang terdekatnya demi mewujudkan keinginannya untuk tetap memegang takhta yang satu itu dimilikinya.
Kisah kontroversi yang berkaitan dengan Amangkurat I juga diungkap dalam buku 'Ensiklopedi Raja-raja Tanah Jawa' karya Ki Sabdacarakatama, bahwa Amangkurat I sering mementingkan kenikmatan dunia. Salah satunya dengan memiliki selir yang jumlahnya lebih dari satu. Bahkan Amangkurat I memilih calon selir yang usianya masih muda untuk dibesarkan. Saat nantinya sudah dewasa, barulah calon selir tersebut secara resmi dijadikan selir olehnya.
Padahal dikatakan dalam buku sebelumnya, Amangkurat I sudah memiliki dua orang permaisuri. Keduanya merupakan putri dari Pangeran Pekik dan putri dari keluarga Kajoran. Melalui masing-masing permaisurinya, Amangkurat memiliki putra yang diberi nama Raden Mas Rahmat dan Raden Mas Drajat.
Akhir Hidup Amangkurat I
Selain digambarkan sebagai sosok yang kejam dan berfokus pada kepentingan pribadi, Amangkurat I justru mengalami akhir hidup yang cukup tragis. Melalui buku 'Sejarah' karya Tugiyono KS, dikatakan bahwa Amangkurat I tidak menaruh kepedulian terhadap rakyatnya. Sebaliknya, dirinya justru menjalin kerja sama dengan VOC yang dimiliki oleh Belanda. Situasi tersebut memicu pro dan kontra di kalangan para pengganti takhta Mataram maupun bangsawan yang ada di sekitarnya.
Tidak hanya itu saja, Amangkurat I juga membuat sebuah kebijakan monopoli dan larangan yang merugikan rakyat. Mengacu dari buku sebelumnya, Amangkurat I membuat aturan untuk menutup pelabuhan yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah. Situasi tersebut membuat rakyat tidak memiliki akses untuk mengembangkan ekonomi mereka.
Pemberontakan demi pemberontakan akhirnya semakin sulit dikendalikan. Tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga internal yang melibatkan putranya. Lebih lanjut mengutip dari buku 'Indonesia Inc.' oleh Ian Montratama, di tengah situasi pemberontakan yang semakin tidak terkendali, Amangkurat I terbunuh dan kehilangan nyawanya saat tengah melakukan perjalanan menuju Batavia. Sepeninggal Amangkurat 1, pemberontakan tidak berakhir dan terjadi perebutan takhta terhadap Mataram.
Pergolakan Mataram di Masa Amangkurat I
Putra dan pengganti Sultan Agung (Hanyakrakusuma) sebagai penguasa atas kerajaan Mataram adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M). Program pokok pemerintahannya adalah usaha mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan administrasi dan keuangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang telah didasarkan Sultan Agung pada kekuatan militer dan kemampuan untuk memenangkan atau memaksakan suatu mufakat menjadi suatu kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dimonopoli untuk kepentingan raja. Apabila berhasil maka dia akan merombak politik Jawa, tetapi usaha-usahanya itu sudah ditakdirkan mengalami kegagalan; fakta-fakta geografi, komunikasi, dan populasi yang menentukan bahwa kekuasaan administratif di Jawa harus didesentralisasikan tidak dapat diubah dengan perintah raja. Sebagai akibat dari kebijakan-kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama abad XVII; hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campurtangan VOC.
Amangkurat I memperlihatkan perangainya sudah semenjak awal masa pemerintahannya. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Pada tahun 1647 raja baru tersebut mengutus Wiraguna ke Ujung Timur, seolah-olah untuk mengusir pasukan-pasukan Bali, dan di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu dia dibunuh. Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang terlibat dalam skandal tahun 1637 tersebut dibunuh. Saudara laki-laki raja, Pangeran Alit, memihak Wiraguna pada tahun 1637, dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari dukungan di kalangan para pemimpin Islam. Rupa-rupanya mereka menyerang istana tetapi dapat dipukul mundur, dan Pangeran Alit gugur dalam pertempuran. Kini Amangkurat I berganti melawan para pemimpin Islam. Sebuah daftar para pemimpin agama yang terkemuka disusun dan mereka semuanya dikumpulkan di halaman istana. Kemudian, menurut duta VOC, Rijklof van Goens, antara 5.000 dan 6.000 orang pria, wanita, dan anak-anak dibantai.
Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat di sebelah timur laut Karta. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu merah daripada dari kayu seperti istana yang lama, mungkin semacam contoh kepermanenan dan kekokohan yang ingin dilihat Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaannya. Pekerjaan di Plered tersebut berjalan terus setidak-tidaknya sampai tahun 1666. Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, susuhunan baru itu semakin kejam. Teman-teman lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa di antaranya mungkin karena usia lanjut, tetapi kebanyakan karena mereka dibunuh atas perintah raja. Pada tahun 1648 van Goens menyebutkan tentang ‘cara pemerintahan mereka yang aneh … orang-orang tua dibunuh dalam rangka memberi tempat kepada yang masih muda! (Gezantschapsreizen, 67). Di antara orang-orang paling terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah ayah mertuanya sendiri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Jiwa paman raja pun, yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki Sultan Agung yang masih hidup, Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan ibu suri.
Kegiatan Amangkurat I meniadakan kesepakatan orang-orang terkemuka yang sangat penting artinya bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai menentangnya, baik di istana maupun di seluruh pelosok kerajaannya, dan tentu saja menimbulkan kegelisahan dan ketakutan di antara orang-orang yang masih hidup. Tampak jelas perpecahan di daerah-daerah di luar perbatasan kerajaan. Karena menuntut kepatuhan yg sebenarnya tidak dapat dipaksakannya, maka tindakan Amangkurat I tesebut telah mendorong sekutu-sekutu dan vazal-vazalnya untuk meninggalkannya. Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentara Cirebon menyerang Banten, dan pada akhir 1657 tentara Mataram sendiri bergerak menyerang Banten. Kedua serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak hanya memperkuat perasaan benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar juga menyebabkan Cirebon meragukan manfaat dari sikap tunduknya kepada Amangkurat I. satu-satunya upayanya untuk menguasai Ujung Timur pada tahun 1647 mengalami kgagalan, sehingga sesudah itu wilayah ini tetap bebas dari pengaruh Mataram. Pihak Bali menyerang pesisir timur, dan Mataram tidak dapat berbuat apa-apa. Di luar Jawa hanya Palembanglah yang masih tetap menyatakan setia dengan harapan yang sangat tipis bahwa Mataram akan bersedia membantunya; pertama-tama melawan musuh mereka bersama, Banten, dan kemudian dalam perang melawan VOC (1658-1659). Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah tahun 1663 dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Selama peperangan-peperangannya dengan VOC, Sultan Hasanuddin dari Gowa mengirim utusan-utusan ke Mataram pada tahun 1657 dan 1658. Akan tetapi, Amangkurat I meminta supaya Hasanuddin datang sendiri ke istananya sebagai tanda takluk, yang jelas tidak akan dilakukan oleh Hasanuddin. Sebagai akibatnya maka sudah jelas bahwa hubungan Gowa-Mataram menjadi dingin.
Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini pada dasarnya bersifat kemiliteran. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oleh Sultan Agung. Hal ini adalah akibat langsung dari pemerintahannya yang lalim. Dia tidak berani meninggalkan istananya yang dikawal ketat dan menempatkan dirinya di tengah-tengah para komandan yang tidak dapat diandalkan bagi keselamatan jiwanya. Demikian pula halnya, dia tidak berani mempercayakan pimpinan atas pasukan utama kepada orang lain. Dengan demikian, kelalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka yang telah mengucilkan kerajaan ini dan tidak memungkinkannya membentuk suatu pasukan yang besar, memimpinnya, atau mempercayakan pipmpinannya kepada orang lain. Oleh karena itulah, maka para sekutu dan para taklukannya di daerah-daerah yang terpencil mendapat kesempatan yang baik untuk melepaskan kesetiaan mereka. Sementara itu, Amangkurat I memperlihatkan secara jelas sekali bagi orang-orang yang kuat bahwa kepentingan pribadi mereka dapat terlayani dengan sebaik-baiknya dengan kemerdekaan.
Hubungan raja dengan VOC mula-mula tampak bersahabat. Pada tahun 1646 dia menyetujui suatu perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC mengembalikan uang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang dalam perjalanan ke Mekah pada tahun 1642. Amangkurat I tampaknya menganggap perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya, dan VOC tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Serangkaian perutusan VOC mengunjungi istana antara tahun 1646 dan 1654, dan pos perdagangan VOC di Jepara dibuka kembali pada tahun 1651. Hubungan dagang VOC dengan daerah pesisir berkembang lagi.
Dimulainya lagi perdagangan Jawa-VOC di daerah pesisir telah mengakibatkan timbulnya suatu krisis internal baru di Jawa. Barang-barang yang dibutuhkan VOC -terutama beras dan kayu- adalah hasil-hasil daerah pesisir. Barangkali para pengusaha, pedagang, dan pejabat-pejabat di daerah pesisir utaralah yang memperoleh sebagian besar keuntungan dengan berlangsungnya lagi perdagangan ini, sedangkan yang diperoleh raja rupanya kurang daripada yang diinginkannya. Oleh karena itulah, maka Amangkurat I mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali antagonisme yang mendalam antara daerah pesisir dan daerah pedalaman.
Pada tahun 1651 Amangkurat I memerintahkan diadakannya suatu sensus, mungkin untuk mempermudah penarikan pajak. Dia juga mengeluarkan keputusan bahwa tak seorang pun warganya dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa, sehingga secara langsung memukul kepentingan para saudagar dari daerah pesisir. Susuhunan juga mengangkat dua orang gubernur daerah pesisir, yang satu untuk mengawasi bagian barat dan yang lain untuk bagian timur. Pada tahun 1652 dia melarang sama sekali ekspor beras dan kayu. Dia memberitahu pihak Belanda bahwa tindakan ini bukan suatu langkah yang ditujukan terhadap mereka tetapi terhadap Banten, dan bahwa mereka dapat memperoleh beras dengan jalan mengutus seorang duta kepadanya untuk merundingkan jumlah dan harganya. Dengan kata lain, dia berusaha menjamin keuntungan dari perdagangan VOC langsung tersalur ke dalam perbendaharaan raja. Pihak Belanda mengeluh mengenai pembatasan-pembatasan tersebut, tetapi Amangkurat I tetap pada pendiriannya. Sementara itu, warganya di daerah pesisir menderita karena adanya tuntutan raja yang berupa uang tunai dari mereka dan gangguan raja terhadap perdagangan mereka.
Pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali. Dalam teori, bahkan para nelayan pun tidak diperbolehkan berlayar. Para pejabat dikirim untuk mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal yang kecil. Tampaknya tindakan-tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan pajak, tetapi di balik itu semua terlihat jelas adanya keinginan raja untuk menghancurkan daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya. Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang; dan kali ini pos perdagangan VOC di Jepara juga ditutup. Penutupan pelabuhan yang kedua ini konon, setidak-tidaknya sebagian, merupakan pembalasan atas tindakan VOC menghancurkan Palembang pada tahun 1659. VOC merasa tertarik kepada Palembang yang merupakan sumber lada untuk beberapa waktu lamanya, dan pada tahun 1642 VOC telah berhasil mencapai suatu perjanjian yang memberinya hak monopoli. Akan tetapi pertentangan-pertentangan terus berlanjut, dan pada tahun 1657 kapal-kapal VOC yang berada di sana diserang. Sebagai akibatnya, VOC menyerang dan membakar Palembang pada tahun 1659; berdirilah kembali pos VOC di sana. Amangkurat I tergoncang karena dihancurkannya satu-satunya sekutunya yang tersisa di luar Jawa ini. Akan tetapi, tampak jelas bahwa alasan untuk ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut lebih luas daripada itu karena semua saudagar, bukan hanya VOC saja, dilarang berdagang di pelabuhan-pelabuhan. Akan tetapi, pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali pada tahun 1661.
Usaha-usaha Amangkurat I untuk menguasai daerah pesisir dan keinginannya untuk memonopoli perdagangan dengan VOC tentu saja memiliki kaitan yang sangat erat. Dia tampaknya memiliki empat sasaran pokok :
(1) menjamin supaya pajak dari perdagangan daerah pesisir langsung tersalur ke istana;
(2) menegakkan kembali hubungan ‘vazal’ VOC yang menurut keyakinannya telah ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1646;
(3) menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan kemegahan dan keagungan istananya, misalnya kuda Persia, dsb.; dan
(4) menerima uang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang kronis di kerajaannya. Tujuan-tujuan ini dapat tercapai dengan jalan meruntuhkan ekonomi daerah pesisir dan memaksa agar VOC mengadakan semua pembeliannya secara langsung dengan istana.
Amangkurat I terus mendesak agar VOC mengirimkan duta-dutanya kepadanya dengan ancaman kalau tidak pelabuhan-pelabuhan akan ditutup kembali. Perutusan-perutusan VOC dikirim ke Plered pada tahun 1667, 1668, dan 1669, tetapi hanya sedikit kemajuan dicapai ke arah penyusunan rencana-rencana dagang yang stabil dan bersahabat, dan perutusan yang terakhir malah tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya ke Plered. Seperti yang akan dibahas di bawah ini, pada masa itu keraton sudah mendekati saat kehancurannya.
Sementara itu, VOC mendapat kemajuan di Indonesia Timur. Seperti halnya tindakan menghancurkan Palembang pada tahun 1659 telah menggoncangkan Amangkurat I, maka begitu pula ditaklukkanya Gowa pun telah menggoncangkan dirinya sepuluh tahun kemudian. Dia sekarang mulai menyadari bahwa VOC bukan hanya merupakan sumber keuangan tetapi juga sumber bahaya. Itulah yang semakin membulatkan tekadnya untuk menguasai daerah pesisir. Kedua orang gubernur daerah pesisir yang diangkat pada tahun 1651 telah digantikan oleh empat orang gubernur pada tahun 1657. Pada tahun 1669 wewenang tersebut dikurangi dan wakil-wakil langsung dari istana yang disebut umbul dikirim untuk mengawasi administrasinya. Kehidupan ekonomi dan administrasi daerah pesisir selanjutnya menjadi kacau, dan mendung mulai menggumpal.
Sulit untuk mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an. Pasti tersebar luas perlawanan yang laten, mungkin hampir bersifat universal, tetapi hanya beberapa orang yang mempunyai pengaruh cukup besar untuk memimpin suatu kudeta atau pemberontakan yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuh-pembunuh yang tak ada henti-hentinya itu. Akan tetapi, pada tahun 1660-an muncul seseorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berhasil. Orang itu adalah putra raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).
Putra mahkota adalah putra Amangkurat I dengan seorang putri Surabaya, putri Pangeran Pekik. Dia sebenarnya dibesarkan oleh keluarga ibunya, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia mempunyai beban mental yang berat sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan ayahnya terhadap keluarga itu dan Pangeran Pekik pada tahun 1659. Wataknya sewaktu remaja hanya sedikit yang diketahui, kecuali bahwa dia mempunyai kelemahan terhadap wanita-wanita cantik yang menimbulkan konflik dengan ayahnya yang mempunyai selera yang sama. Pada tahun 1660 pihak Belanda mendengar desas-desus bahwa Amangkurat I bermaksud membunuh putranya, dan bahwa pada tahun 1661 dia telah melakukannya. Segera terbukti bahwa hal itu tidak benar, tetapi pada tahun 1663 terdengar desas-desus lain mengenai usaha raja yang gagal untuk meracun putranya. Ada kemungkinan bahwa kelompok putra mahkota gagal dalam usaha percobaan kudeta pada tahun 1661, yang mengakibatkan dibunuhnya banyak di antara pendukungnya. Apabila hal itu benar, maka jelas bahwa putra mahkota sendiri telah berhasil menyelamatkan diri dari tindakan balas dendam ayahnya, mungkin karena pengawal pribadinya yang sangat kuat.
Pada tahun 1668-1670 terjadi lagi konflik antara putra mahkota dengan ayahnya mengenai seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak sekarang telah menjadi sempurna, kalau hal itu bukan telah terjadi selama satu dasawarsa. Mulai tahun 1660 putra mahkota sudah berusaha menjalin hubungan tersendiri dengan VOC. Antara tahun 1667 dan 1675 dia mengirim sembilan perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Persia dan gadis-gadis Makasar. Mungkin tujuannya yang sebenarnya adalah untuk menjajagi apakah dia dapat mengharapkan dukungan VOC ataukah tidak. Enam orang pangeran lain di istana masing-masing juga mempunyai pengawal bersenjata dan tempat tinggal yang dijaga, di antaranya adalah Pangeran Puger yang kelak akan menjadi Susuhunan Pakubuwana I (1704-1719). Kini Plered telah menjadi suatu kumpulan kamp-kamp bersenjata. Para pangeran terpecah-belah oleh perasaan iri dan ambisi mereka dalam suatu lingkungan politik di mana pembunuhan merupakan harga yang harus dibayar bagi suatu langkah yang keliru.
Putra mahkota sudah beberapa lama berhubungan dengan seseorang yang kelak akan memainkan peranan penting dalam kekacauan mendatang. Orang itu adalah Raden Kajoran yang juga dipanggil dengan nama Panembahan Rama, seorang suci yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Kajoran adalah suatu tempat yang terletak kira-kira dua puluh enam kilometer di sebelah timur laut istana, di kawasan tempat suci Tembayat. Pada tahun 1630-an daerah ini agaknya telah menjadi suatu pusat perlawanan terhadap Sultan Agung, dan pada tahun 1633 Sultan Agung telah mengadakan semacam ziarah ke makam Sunan Bayat di sana. Raden Kajoran adalah keturunan keluarga Sunan Bayat dan mempunyai ikatan perkawinan dengan keturunan kerajaan Mataram. Bahkan yang lebih penting, putrinya yang sulung menikah dengan seorang pangeran dari Madura yang bernama Raden Trunajaya (1649(?)-1680) yang tidak senang dengan pemerintahan Amangkurat I. Apabila nanti tidak ada campur-tangan VOC, maka hampir dapat dipastikan bahwa Trunajaya akan menjadi pendiri suatu wangsa baru di Jawa. Dia mempunyai cukup banyak alasan untuk membenci Amangkurat I, karena ayahnya telah dibunuh di istana pada tahun 1656 dan jiwanya sendiri terancam oleh suatu persekongkolan istana beberapa waktu kemudian. Jadi dia melarikan diri ke Kajoran dan menjadi menantu Raden Kajoran.
Raden Kajoran memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota sekitar tahun 1670, dan hasilnya adalah suatu persekongkolan yang paling menentukan dalam menentang Amangkurat I. Trunajaya akan melancarkan suatu pemberontakan, dan apabila raja dapat dikalahkan maka putra mahkotalah yang akan menjadi susuhunan yang baru. Trunajaya akan mendapatkan kekuasaan atas Madura dan, agaknya, sebagian Jawa Timur, dan mungkin pula akan menjadi kepala pejabat administrasi (patih) untuk seluruh kerajaan. Raden Kajoran meramalkan bahwa Trunajaya akan menjadi seorang pahlawan besar dan Mataram akan runtuh. Putra mahkota kembali ke istana untuk menunggu terjadinya peristiwa itu, sedangkan Trunajaya berangkat ke Madura untuk membangun pangkalan bagi pemberontakan tersebut. Di sana dia menghimpun kekuatan dan merebut kekuasaan atas Pamekasan di Madura Tengah bagian Selatan. Dari pangkalan ini dia berhasil merebut kekuasaan atas seluruh Madura selama tahun 1671.
Ujung tombak pemberontakan adalah orang-orang non-Jawa. Pertama-tama berhimpun prajurit-prajurit Madura, kemudian satuan-satuan prajurit yang ganas dari Indonesia Timur, yaitu orang-orang Makasar. Setelah meninggalkan kampung halaman mereka setelah kekalahan Gowa pada tahun 1669 dan karena pemerintahan Arung Palakka bersifat menindas maka gerombolan-gerombolan orang Makasar berlayar ke Jawa, yang sebagian besar mencari nafkah dengan merompak dan merampok. Suatu kelompok berangkat ke Banten, tetapi sewaktu situasi di sana menjadi genting mereka pergi dan pada tahun 1674 sampai di Jepara dengan tujuan meminta tanah kepada Amangkurat I untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Mereka tidak diijinkan menghadap ke istana, tetapi tampaknya putra mahkota mengijinkan mereka menetap di daerah pesisir Jawa Timur di suatu tempat yang bernama Demung (sekarang Besuki). Semakin banyak orang Makasar bergabung dengan mereka dan pada tahun 1675 mereka bersekutu dengan Trunajaya dan mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan Jawa. Harapan akan dibaginya barang-barang ranmpasan dari suatu peperangan yang besar di Jawa tentu benar-benar membangkitkan semangat orang-orang buangan tersebut.
Kini kerajaan Mataram mulai mengalami disintegrasi. Raja sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan, tetapi kelaliman dan pembunuhan masih terus berlanjut. Pada tahun 1674-1676 bahaya kelaparan merajalela dan berjangkit wabah penyakit. Terlihat adanya berbagai pertanda yang tidak baik: Gunung Merapi meletus pada tahun 1672, terjadi beberapa gempa bumi dan gerhana bulan, dan hujan turun tidak pada musimnya. Lagipula, akhir abad Jawa telah dekat. Tradisi istana Jawa mempercayai suatu siklus abad-abad yang menunjukkan runtuhnya kerajaan-kerajaan pada akhir setiap abad. Ketika tahun Jawa 1600 (yang dimulai pada bulan Maret 1677) hampir tiba, tersebar ramalan-ramalan bahwa hari-hari terakhir Mataram sudah dekat. Dalam sebuah negara serapuh kerajaan Amangkurat I, maka pemikiran-pemikiran semacam itu hanya akan memperbesar kemungkinan bahwa pertahanan dianggap sia-sia apabila tantangan terhadap raja akan muncul pada akhirnya.
Pada tahun 1675 benar-benar berkobar pemberontakan. Orang-orang Makasar menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur sampai Tuban. Kubu-kubu pertahanan yang dimiliki pelabuhan-pelabuhan tersebut telah dihancurkan oleh Sultan Agung setelah dia berhasil merebutnya, dan oleh karena itu kota-kota ini hampir tidak dapat mempertahankan diri. Angkatan Laut VOC juga berhadapan dengan orang-orang Makasar, dan hanya memperoleh kemenangan yang kecil. Pasukan Madura di bawah pimpinan Trunajaya kini memasuki Jawa dan merebut Surabaya. Kesetiaan daerah pesisir terpecah-belah. Pelabuhan-pelabuhan dari Juwana ke timur tampaknya mendukung pemberontakan tersebut, sedangkan pelabuhan-pelabuhan yang letaknya ke barat (terutama Cirebon) tampaknya masih tetap setia kepada Amangkurat I. Namun demikian timbul kecurigaan tentang sikap semua penguasa daerah pesisir itu. Istana juga terpecah-belah. Satu pihak mendukung permintaan bantuan kepada VOC. Pihak lainnya, yang tampaknya dipengaruhi oleh Panembahan Giri, mengajukan usul atas dasar agama tidak dijalin kerja-sama dengan orang-orang Kristen. Kedudukan putra mahkota memang sangat sulit. Dia tetap berada di istana, menguntungkan dirinya, tanpa memperlihatkan keterlibatannya. Pemberontakan meluas ketika kekuatan-kekuatan Trunajaya dan orang-orang Makasar memperoleh kemenangan-kemenangan lebih lanjut di daerah pesisir. Pihak pemberontak menghimbau agar orang-orang Jawa mendukung mereka demi agama Islam dan telah mendapatkan tanggapan yang positif. Panembahan Giri sekarang merestui mereka dengan mengatakan bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih tetap berada di Jawa. Hal ini menunjukkan semakin besarnya unsur anti-VOC selain sikap anti-Amangkurat I dalam pemberontakan tersebut, yang menjadi masalah bagi putra mahkota yang agaknya sudah cenderung kepada VOC.
Titik balik militer yang sangat menentukan terjadi pada tahun 1676. Peranan putra mahkota dalam pemberontakan itu telah dicurigai oleh pihak susuhunan, tetapi tidak jelas apakah Amangkurat I sendiri mempercayai tuduhan-tuduhan tersebut ataukah mungkin berpendapat bahwa dia tidak berkesempatan melakukan pembalasan dendam terhadap putranya. Apapun masalahnya, dia menunjuk putra mahkota sebagai pimpinan pasukan yang dikirim untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan Trunajaya. Pangeran-pangeran lain juga dikirim bersamanya, termasuk saudara dan sekaligus musuh utamanya, Pangeran Singasari. Kemungkinan besar raja menginginkan kematian putra mahkota selama penyerangan tersebut. Mungkin pula putra mahkota bermaksud melancarkan suatu perang pura-pura terhadap Trunajaya tetapi dicegah untuk melakukan yang demikian karena ada pangeran-pangeran lainnya. Tentara kerajaan bertempur melawan Trunajaya di Godogog di daerah pesisir timur laut pada bulan Oktober 1676, dan mengalami disintegrasi. Di antara korban yang tewas di pihak Mataram adalah pangeran Purbaya yang sudah berusia sangat lanjut, satu-satunya saudara Sultan Agung yang cukup lama hidupnya untuk menyaksikan kehancuran kerajaan Sultan Agung.
Setelah kejadian di Godogog, pemberontakan itu menyebar semakin cepat. Banyak pembesar Jawa yang tidak mau lagi mengakui Amangkurat I sebagai raja mereka dan bergabung dengan kaum pemberontak. Pada awal tahun 1677 pasukan-pasukan pemberontak menguasai semua pelabuhan. Bahkan Cirebon pun jatuh ke tangan kaum pemberontak, tetapi kapal-kapal perang Banten segera muncul di sana untuk memaksakan pengaruh Banten.
Aspirasi Trunajaya sekarang meningkat. Pada tahun 1676 dia telah memakai gelar panembahan (orang yang dihormati) dan raja. Dia mulai menyatakan dirinya adalah keturunan Majapahit dan berhak atas tahta Mataram. Dengan kata lain, putra mahkota Mataram sudah tidak dapat lagi mengendalikan pemberontakan yang dirancangnya. Akan tetapi, Trunajaya pun sudah tidak dapat lagi mengendalikan orang-orang Makasar, sekutunya yang sukar untuk diperintah, yang kepentingannya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah siapa yang memerintah Jawa.
Tentu saja pihak Belanda sangat memperhatikan peristiwa-peristiwa tersebut, dan telah terlibat dalam permusuhan terhadap orang-orang Makasar. Putra mahkota maupun Trunajaya meminta meriam, mesiu, dan perlengkapan lainnya kepada VOC. VOC menghendaki tegaknya stabilitas di daerah pesisir sehingga perdagangan dapat berjalan dengan baik, dan sekarang VOC harus memutuskan apa yang dapat dilakukan demi tercapainya stabilitas seperti itu. Pada akhir tahun 1676 Batavia mengambil keputusan akan melakukan campur-tangan terbatas dengan tujuan untuk mengupayakan semacam penyelesaian. Orang yang diserahi tugas ini adalah Laksamana Speelman, yang telah berhasil menaklukkan Makasar. Dia diperlengkapi dengan + 1500 orang serdadu, tetapi diperintahkan untuk tidak bergerak memasuki wilayah pedalaman. Batavia tidak ingin terlibat dalam perang besar di Jawa, karena serdadu-serdadunya mungkin diperlukan di tempat lain: Malaka sedang diganggu oleh orang-orang Melayu dari Johor dan tampak jelas bahwa Banten dan negara-negara lainnya juga sedang menggalang persekongkolan untuk melawan VOC. Sangat disangsikan pula manfaatnya melancarkan suatu peperangan di Jawa, karena beberapa orang merasa yakin bahwa VOC dapat menaklukkan Jawa hanya dengan menghancurkan pulau tersebut dan melibatkan VOC dalam pengeluaran yang sangat besar. Bagaimanapun juga, logika dari tindakan campur-tangan itu segera akan membawa VOC untuk memasuki daerah pedalaman.
Pada bulan Februari 1677 Amangkurat I dan VOC memperbarui perjanjian tahun 1646 yang sudah lama tidak berarti lagi. Pihak Belanda berjanji akan membantu raja melawan musuh-musuhnya, tetapi raja harus membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk bantuan semacam itu dan memberikan konsesi-konsesi ekonomi kepada VOC, misalnya pembebasan dari cukai. Terbentuknya persekutuan itu hanya mempercepat berkobarnya pemberontakan. Kesadaran terhadap Islam tampaknya telah begitu kuat tertanam di kalangan kaum pemberontak, dan tersebar ramalan-ramalan bahwa Tuhan tidak akan memberkahi Jawa selama orang-orang yang beragama Kristen masih berada di sana. Pada bulan Mei 1677 VOC melakukan campur-tangan di daerah pesisir. Mereka berhasil memukul mundur Trunajaya dari Surabaya sehingga memaksa pasukannya mundur lebih jauh lagi memasuki daerah pedalaman dan hal ini justru telah mendorong lebih banyak lagi orang Jawa untuk bergabung dengannya.
Sekarang pemberontakan sudah mencapai puncaknya. Istana Plered diserang dan jatuh ke tangan pasukan Trunajaya. Hari keruntuhannya tidak jelas, tetapi sudah pasti antara akhir bulan Mei dan akhir bulan Juni 1677. Kronik-kronik Jawa menyebutkan bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit raja berkerumun di depan istana tetapi raja mengatakan supaya mereka tidak menentang kehendak Tuhan; hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah saat runtuhnya Mataram. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad sebelumnya pulung yang jatuh di Sela Gilang telah meramalkan kepada Senapati bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I. Raja telah meninggalkan istana sebelum musuh-musuhnya sempat mencapainya. Dia menyerahkan istana kepada putranya, Pangeran Puger, dan membawa serta putra mahkota bersamanya ke arah barat laut menuju daerah pesisir. Putra mahkota, yang telah begitu lama tetap selamat di antara musuh-musuhnya dalam keluarga kerajaan, hanya mempunyai sedikit harapan dapat selamat di tangan bekas pelindungnya Trunajaya. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak, dan terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana untuk mereka. Trunajaya merampok Plered dan sesudah itu bergerak mundur ke arah timur menuju Kediri dengan membawa serta harta kekayaan Mataram. Kemudian Puger menduduki istana lagi dan memakai gelar kerajaan Susuhunan Ingalaga, sehingga dimulailah suatu masa ketegangan yang panjang antara dirinya dengan saudaranya, putra mahkota.
Amangkurat I tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada bulan Juli 1677; pada tanggal 13 Juli 1677 putranya memakamkannya di TegalWangi (ke selatan dari Tegal), di pesisir utara. Dulu ketika raja melarikan diri, ia harus meninggalkan harta kekayaannya dan sebagian tanda-tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawanya lari sekarang menjadi milik putra mahkota. Dengan demikian, hanya dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang keramat tersebut namun tanpa harta kekayaan, suatu pasukan, sebuah istana, atau kerajaan; Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) memulai masa pemerintahannya. Dia hanya mempunyai satu alat yang memungkinkannya untuk mengangkat dirinya sebagai penguasa di Jawa; dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di pihaknya. Sumber referensi : (dikutip dari: Buku M.C. Ricklefs (Monash University) copyright 1981, Sejarah Indonesia Modern, cetakan ke-9 = November 2007 terbitan Gadjah Mada University Press; Bab II. Perjuangan Memperebutkan Hegemony, + th. 1630-1800 M, sub bab 7. Jawa, + 1640-1682 M; hal. 104-115)
Amangkurat I membantai 6.000 Ulama dan keluarga mereka dalam waktu kurang dari setengah Jam
Saat 6.000 Ulama dan Keluarga Dibantai Sultan Mataram Islam
Pembantaian ulama oleh Amangkurat I adalah peristiwa pembantaian yang terjadi di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram pada suatu siang pada tahun 1647/1648. Sekitar 5.000-6.000 ulama dan anggota keluarga mereka dibunuh hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Pembantaian ini diperintahkan oleh Amangkurat I dengan motif untuk membalas dendam, karena dua hari sebelumnya adiknya yang bernama Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo dengan bantuan Tumenggung Wiraguna mencoba menjatuhkannya dari takhta. Walaupun upaya kudeta ini gagal dan Raden Mas Alit terbunuh dalam peristiwa tersebut, Amangkurat ingin menumpas kelompok yang diduga bersekongkol dengan adiknya.
Dendam Berkarat yang Menjadikannya Biadab
Amangkurat I menghabiskan malam di pendapa keraton Plered sembari berpikir keras: bagaimana cara terbaik membalas dendam kepada mereka yang mbalelo.
Dua hari sebelumnya, terjadi insiden yang membuat dia murka. Pangeran Alit, adiknya sendiri, berusaha menyerang istana dan mendongkelnya dari tahta. Sang adik tewas terbunuh. Ia jelas senang. Tapi yang terus menggelayuti pikirannya adalah: apa langkah berikut untuk membasmi kelompok yang selama ini dicurigai berkomplot dengan adiknya ?
Saat itu ia baru dua tahun menduduki singgasana yang diwarisi dari ayahnya, Sultan Agung, yang wafat pada 1645.
Amangkurat I digambarkan sejarawan Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas. “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai” (hlm. 31).
Dengan sedikit sekali perhatian kepada keseimbangan politik sesuatu yang amat dibutuhkan dalam pemerintahan Jawa abad ke-17 Amangkurat I mencoba membangun kekuasaan terpusat dengan tujuan menyenangkan kepentingannya sendiri. Akibat perilakunya itu, dia terasing dari semua aparatus pemerintahan dan elemen-elemen yang biasanya menjadi bagian konsensus: para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama.
Amangkurat I juga dianggap tidak memiliki kualitas kebajikan yang harus dimiliki seorang raja. Dalam Serat Jaya Baya, kitab rahasia yang dianggap sakti karena bisa meramal masa depan, Amangkurat I dilukiskan dengan metafora negatif: Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang diibaratkan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" maksudnya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh tanpa guna.
Malam itu, setelah menemukan cara membalas dendam, Amangkurat I memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap. Ia merencanakan balas dendam tanpa menimbulkan kesan dialah otak di balik rencana itu. Keempat orang tersebut (Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra) adalah orang-orang kepercayaan sang raja.
Bersama anak buah masing-masing, mereka menerima perintah untuk menyebar ke empat penjuru mata angin. Seperti diungkap sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), sang raja berpesan agar: “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan” (hlm. 38).
Dan agar rencana berjalan lebih baik, mereka diminta menyelidiki lebih dahulu nama, keluarga, dan alamat para pemuka agama tersebut. Bagi Amangkurat I, ini siasat bagus agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.
Ketika permufakatan keji mulai dilakukan, Amangkurat sengaja tidak menampakkan diri di luar keraton. Semua sidang peradilan dan pisowanan yang melibatkan dirinya berpindah di dalam istana. Ia memilih berkonsentrasi penuh agar rencananya berlangsung dengan lancar.
Setelah semua informasi yang dibutuhkan sudah terkumpul, ia memberi perintah-perintah terakhir kepada empat orang itu. Ia meminta mereka agar bertindak sebaik-baiknya dan “membunuh semua laki-laki, wanita, dan anak-anak”. Aba-aba dimulainya pembantaian berupa bunyi letusan meriam Ki Sapujagat yang terpasang di halaman keraton.
Alun-Alun yang Berdarah
Saat semua persiapan sudah dilakukan, pasukan pembantai pun mulai berangkat ke kediaman para calon korban. Amangkurat I, penguasa yang digambarkan Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) sebagai “raja yang istimewa lalimnya”, mengamankan diri di dalam keraton dengan penuh ketakutan. Bahkan di bawah penjagaan ketat para pengawal pribadinya yang paling kuat dan bisa dipercaya, ia masih merasa was-was dengan keputusannya sendiri.
Tidak ada sumber sejarah lokal yang menyebut bagaimana pembantaian tersebut berlangsung. Babad-babad Jawa semuanya membisu ketika memasuki fase paling mengerikan dalam sejarah Mataram ini. Satu-satunya sumber yang bisa diandalkan hanyalah catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).
Tapi yang pasti, pembantaian berlangsung amat cepat, hanya dalam waktu kurang dari 30 menit. Hari itu, di suatu siang yang terik tahun 1648, sekitar 6000 ulama dan keluarga mereka yang menetap di wilayah kekuasaan kerajaan Mataram harus mati karena kekejian sang raja.
Mengutip keterangan van Goens dalam catatannya, H.J. de Graaf menggambarkan: “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.”
Seperti biasa, Amangkurat I selalu ingin tangannya bersih. Ia mengelakkan tanggung jawab atas tindakan kejinya itu. Esok hari setelah pembantaian berlangsung, ia tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut. Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam.
“Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan,” catat van Goens.
Dan di sinilah kedegilan Amangkurat I makin terlihat. Setelah mengucap beberapa kalimat yang menuduh para ulama yang bersalah atas kematian Pangeran Alit sehingga pantas mendapat balasan setimpal, ia memerintahkan delapan pembesar yang dicurigai untuk diseret ke hadapannya. Mereka dipaksa mengaku telah merencanakan makar kepada Sunan dengan mengangkat Alit menjadi raja. Dalam situasi macam itu, tak ada yang bisa mereka lakukan selain mengaku. Delapan pembesar itu akhirnya bernasib sama dengan para ulama: mereka beserta seluruh keluarganya dibunuh.
Sang raja kemudian masuk kembali ke dalam keratonnya dengan penuh amarah. Seperti dicatat van Goens, “Ia meninggalkan semua pembesar yang sudah tua dan diangkat semasa pemerintahan ayahnya itu dalam suasana tercekam dan penuh kekhawatiran.”
Despot yang Mati dalam Pengasingan
Masa pemerintahan Amangkurat I memang dikenal sebagai zaman paling kelam dalam sejarah Jawa modern. Bukan hanya lantaran kelaliman rajanya, tapi juga mulai menampakkan tanda-tanda jika Kerajaan Mataram sudah melemah. VOC makin kuat di pantai timur laut Jawa. Sementara basis-basis ekonomi kerajaan kian tergerus oleh agresivitas maskapai dagang Belanda itu.
Dalam babad-babad tradisional, tindakan semena-mena seorang penguasa adalah pertanda datangnya periode dekadensi sebuah negara. Tafsir B.J.O. Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies (1955) mengungkapkan bahwa dalam kesusastraan Jawa kuna raja yang mabuk dan sikapnya yang tidak pantas kepada kaum beragama dianggap sebagai tanda-tanda pralaya (masa kehancuran).
Sementara pujangga Yasadipura dalam Serat Rama (1770) menjelaskan bahwa seorang raja yang menuruti nafsu amarah yang tak terkendali, hanya karena ingin dipatuhi dan ditakuti, akan dikutuk. Raja macam itu disamakan dengan “kambing yang menyerang tiap potong kayu yang dipasang di hadapannya”. Bagi masyarakat Jawa, perilaku demikian dianggap sangat tidak pantas; apalagi dilakukan seorang raja.
Hampir semua perilaku miring seorang raja yang termaktub dalam babad-babad bisa dilihat dalam sosok Amangkurat I. Raja ini memang memerintah dalam rentang waktu yang cukup lama, 31 tahun (1646-1677), hampir sepanjang masa kekuasaan tiran modern Soeharto. Tapi selama masa kekuasaannya, kekuatan politik dan pengaruh Mataram pelan-pelan pudar. Kerajaan besar ini, yang disatukan lewat berbagai penaklukan oleh Sultan Agung, kemudian mengalami disintegrasi di pengujung kekuasaan suksesornya.
Babad Tanah Jawi melukiskan kejatuhan Amangkurat I dalam deskripsi yang muram :
“Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman… Semua rakyat Mataram merasa cemas dalam hati; gerhana matahari dan bulan kerap terjadi, hujan turun tak sesuai musim, bintang berekor terlihat tiap malam… Ini adalah tanda-tanda kerajaan menghadapi keruntuhan.”
Mataram akhirnya memang runtuh, meski hanya sementara. Seorang pangeran dari Madura yang sudah muak dengan kekejaman Amangkurat I, Trunajaya, melancarkan serbuan ke keraton Mataram pada awal 1677. Keraton berhasil diduduki pemberontak. Amangkurat I dan keluarganya berhasil melarikan diri. Mereka menuju Batavia untuk meminta perlindungan VOC.
Belum sampai Batavia, ketika masih dalam perjalanan, Amangkurat I mati di daerah Banyumas. Itu terjadi pada pertengahan 1677. Jenazah despot Mataram ini kemudian dikubur di Tegal.
Kutukan Sunan Amangkurat
Pasukan Raden Trunajaya dari Madura berhasil merangsek masuk ke ibu kota kesultanan. Istana Plered, tempat kediaman Sunan Amangkurat I yang terkenal kesukarannya untuk ditembus, berhasil diduduki dengan mudah.
Sang Raja yang terkenal akan kekejamannya itu terombang-ambing dalam pelarian, menghindari kejaran pasukan Raden Trunajaya. Putra Sultan Agung ini tentu tidak menyangka akan gagal mempertahankan kerajaan yang telah diperjuangkan oleh mendiang ayahnya dengan darah dan air mata.
Tubuhnya yang sudah ringkih digerogoti umur dan sakit-sakitan, membuat pelariannya ini terasa begitu berat. Ditemani beberapa orang pengawal dan abdi dalem, serta Putra Mahkota, Raden Mas Rahmat menuju arah Barat, tepatnya Batavia meminta bantuan kepada VOC. Baginya itu adalah hal yang realistis, sebab hanya VOC lah yang mampu menandingi ketangguhan pasukan Raden Trunajaya.
Di daerah Wanayasa, Sunan Amangkurat I semakin parah sakitnya. Pimpinan rombongan Raden Mas Rahmat pun meminta rombongan untuk berhenti sementara waktu sampai kesehatan Sultan Mataram Islam itu benar-benar pulih.
"Mungkin Sinuhun Sultan Agung sekarang di alam kubur sedang menyesali keputusannya menjadikan Sunan Amangkurat I sebagai pewaris tahta," ujar seorang prajurit tamtama yang ikut serta dalam rombongan kepada kawannya.
"Huss, jangan keras-keras, pelankan suaramu, bisa-bisa nanti kita dipancung sama Raden Mas Rahmat," ujar kawannya.
"Aku ini enggak terima, Kang, dipimpin raja zalim. Kata bapakku, Sinuhun Sultan Agung itu mati-matian menolak kerja sama dengan VOC. Lah sementara anaknya, malah kerja sama dengan bangsa kulit putih jangkung. Mbahku itu salah satu prajurit yang gugur dalam penyerbuan ke Batavia."
"Sabar, sabar. Sunan Amangkurat kan sudah sepuh dan sakit-sakitan. Kita doakan saja semoga penggantinya bisa seperti Sinuhun Sultan Agung."
"Mustahil, Kang. Raden Mas Rahmat sama saja kelakuannya."
Dalam tendanya Raden Mas Rahmat tampak merasa cemas. Ia berulang kali mondar-mandir. Statusnya sebagai Putra Mahkota bisa saja tergeser. Sebab jika kedua saudaranya, Pangeran Puger atau Pangeran Singasari yang berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya, maka merekalah suksesi tahta Mataram Islam. Akan tetapi, jika ayahanda wafat sebelum kedua saudaranya berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya, tahta akan jatuh ke tangannya.
Dalam perjalanan ini memang berulang kali Sang Ayahanda berpesan jika wafat agar dimakamkan di Tegalwangi, di samping makam gurunya Tumenggung Danupaya. Tetapi hingga sampai di Wanayasa, meskipun sakitnya semakin parah, tak ada tanda-tanda bakal menghembuskan napas terakhir. Itulah yang membuat Raden Mas Rahmat terbesit pikiran untuk meracun ayah kandungnya sendiri.
"Perwira, masuk."
"Inggih Gusti," ujar seorang perwira sambil membungkuk hormat.
"Tolong carikan ahli racun di daerah Wanayasa ini!"
"Siap, Gusti."
Sementara itu dalam tendanya Sunan Amangkurat I merasa tidak tenang. Ahir-akhir ini mimpi buruk selalu menghantuinya. Kilatan-kilatan peristiwa kelam masa lalu tiba-tiba muncul dalam benak pikirannya. Padahal ketika melakukannya dulu ia merasa tidak ada beban atau penyesalan.
Mula-mula ia bermimpi bertemu ayahnya. Namun, ayahnya tidak berucap satu patah kata apa pun, wajahnya menahan amarah. Lalu sang ayah pun menghilang dalam mimpinya, berganti dengan mimpi gunung yang tersusun dari kepala manusia yang penuh darah. Di puncak gunungan kepala terdapat wajah yang ia kenal, Raden Mas Alit, sang adik satu ayah lain ibu. Kini ia merasa gemetar.
Ia ingin berteriak, ingin meminta maaf, namun suaranya tercekat. Tumpukan gunungan kepala itu menghilang berganti menjadi jerit tangis kesakitan wanita dan anak-anak. Amangkurat I pun terbangun dari mimpi buruknya, keringat dingin sebesar biji jagung membasahi dahinya.
Amangkurat I merasa betapa besar dosanya, dari mulai menodai para wanita sewaktu masih remaja, membunuh adiknya sendiri, hingga membantai para ulama. Ia pun bertanya-tanya apakah Allah mau memaafkan dirinya. Ia pun teringat nasihat dari mendiang gurunya Tumenggung Danupaya bahwa ampunan Allah tidak terbatas, asalkan hamba-Nya mau bertaubat.
Dalam waktu singkat Raden Mas Rahmat telah mendapatkan racun yang ia butuhkan. Kini tinggal satu langkah lagi ia akan mencapai ambisinya untuk menjadi Raja Mataram Islam.
Setelah berhasil membunuh ayahnya, ia akan pergi ke Batavia meminta bantuan VOC untuk menumpas Raden Trunajaya. Jika VOC berada di belakang dirinya, kedua saudaranya Pangeran Puger dan Pangeran Singasari tidak bisa menuntut tahta Mataram Islam.
Pagi-pagi ia sudah berada di depan tenda dapur. Ketika seorang dayang keluar dari tenda dapur membawa makanan, Raden Mas Rahmat memerintahkan agar dayang itu tak usah mengantarkan makanan itu, biarkan dirinya saja yang mengantarkan.
Dayang itu menunduk patuh, lalu menyerahkan nampan makanan tersebut kepada Raden Mas Rahmat tanpa curiga sedikit pun. Dengan penuh kewaspadaan ia menengok kanan kiri, mengeluarkan botol berisi serbuk racun, lalu menuangkannya ke makanan dan minuman di nampan tersebut.
Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju tenda utama tempat ayahnya, Sunan Amangkurat I, beristirahat. Di dalam benaknya, rencana yang telah ia susun begitu matang mulai mendekati akhir. Hanya dalam beberapa detik setelah makanan tersebut masuk ke dalam mulut sanga ayah, akan memuluskan jalannya menuju tahta Mataram Islam.
Sesampainya di depan tenda ayahnya, Raden Mas Rahmat berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya, memastikan tidak ada sedikit pun rasa gugup yang terlihat di wajahnya. Dengan senyuman kecil yang dipaksakan, ia masuk ke dalam tenda.
Sunan Amangkurat I sedang duduk di dipan, tampak letih dan murung. Wajahnya pucat, tampak jelas bahwa mimpi buruk yang terus menghantui pikirannya telah menggerogoti kesehatannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Raden Mas Rahmat meletakkan nampan makanan di hadapan ayahnya.
"Ini makanan untuk Paduka, Ayahanda," ucapnya dengan suara tenang.
Sunan Amangkurat menatap putranya sejenak. Ada kelelahan di matanya, namun juga sedikit harapan. Mungkin, pikir Sunan, anaknya yang satu ini masih bisa diandalkan, masih bisa menunjukkan kasih sayang seorang putra di tengah situasi yang penuh dengan intrik dan pengkhianatan.
"Terima kasih, Nak," gumam Sunan Amangkurat pelan. Ia mengambil air kelapa di atas nampan dan mulai meminumnya perlahan.
Raden Mas Rahmat berdiri di sampingnya, memerhatikan setiap gerakan ayahnya dengan diam-diam. Ia merasa waktu berlalu seakan begitu lambat, detik demi detik rasanya bagai jam demi jam.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu Raden Mas Rahmat tiba, racun itu bereaksi. Sunan Amangkurat I tiba-tiba terhuyung, tangannya gemetar, dan air kelapa terjatuh dari genggamannya. Wajahnya yang tadi penuh ketenangan kini berubah pucat, dan napasnya mulai tersengal-sengal. Ia mencoba mengangkat tangannya, seolah ingin meraih sesuatu, namun tubuhnya terlihat semakin lemah.
Di saat-saat terakhirnya, Sunan Amangkurat I menyadari kenyataan pahit bahwa putra yang ia harapkan bisa diandalkan, Raden Mas Rahmat, kembali mengkhianatinya. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengerang dalam murka, menahan sakit yang meremukkan tubuhnya.
Di tengah sakaratul mautnya, ia mengutuk Raden Mas Rahmat dan turunannya bahwa kelak anak dan cucu Raden Mas Rahmat tidak akan bisa menjadi raja.
"Setelah aku dimakamkan, aku melarangmu dan keturunanmu untuk menziarahiku. Setelah kepergianku, tak satu pun dari anak cucumu akan menjadi Raja."
Makam Sunan Amangkurat I
Situs kepurbakalaan ini berlokasi sekitar delapan kilometer dari ibukota Kabupaten Tegal, Kota Slawi. Berada di atas lahanseluas 13.000 meter persegi yang dikelilingi tembok tebal batu bata merah, peninggalan sejarah ini mirip bangunan zamankerajaan. Bukan candi maupun benteng/istana kerajaan, tetapi peninggalan kepurbakalaan di Desa Pesarean ini adalah MakamTegal Arum. Sebuah tempat peristirahatan Kanjeng Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I), raja Kesultanan Mataram yang berkuasa sejak tahun 1646-1677. Berdasarkan catatan sejarah, Amangkurat I merupakan putera ke-10 dari pasangan Raja Mataram Islam, Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusumo (berkuasa 1613- 1645) dengan permaisuri kedua Raden Ayu Wetan.Tahun 1646, Amangkurat I membangun Masjid Agung Ngeksi Ganda di pusat pemerintahan di Plered. Namun, pada tahun 1676,keraton Plered diserbu pemberontak Trunojoyo dan Kraeng Galesong dari Makasar. Karena itu, Amangkurat I lari ke arahBatavia. Di tengah perjalanan Ajibarang, kabupaten Tegal, beliau meninggal dunia. Kemudian, disemayamkan di Tegal Arum,tepatnya tanggal 13 Juli 1677.
Kini, Makam Tegal Arum yang terletak di depan Balai Desa Pesarean, Adiwerna masih terus dikenang. Banyak orang ziarah kemakam Amangkurat I yang jasadnya diyakini masih utuh itu. Makam raja ini memiliki bentuk rumah tajuk dengan konstruksi danbahan bangunan terbuat dari kayu jati. Tempat pemakaman itu juga dikelilingi batu bata merah. Kompleks Makam Tegal Arum ini juga menjadi tempat peristirahatan bagi para abdi dalem (pembantu) Amangkurat I beserta pengikut dan keturunannya. Makam itu mengelilingi tempat peristirahatan utama sang raja. Di makam ini pula, disemayamkan RA Kardinah (adik dari RA Kartini) yang merupakan pendiri RSUD Kardinah
Amangkurat I memang memiliki AJI PANCASONYA, beliau membunuh orang-orang muslim karena beliau tidak suka dengan paham Islam yang menentang kekuasaannya, yang berkembang diwilayah Jawa, maka Amangkurat I murka karena beliau tidak senang rakyatnya berpindah aliran dari Kejawen ke Islam (Abangan ke Santri) setelah orang-orang dan keluarganya yang bersebrangan politiknya dihabisi dalam waktu setengah jam beliau lari ke Batavia akan tetapi baru sampai kota Tegal beliau wafat dan dimakamkan di Tegal oleh masyarakat tegal beliau disebut Sunan Amangkurat Tegal Arum.
Imajiner Nuswantoro