Asal-Usul Gajah Mada (Beberapa Versi)
Tertulis di Lontar Babad Gajah Maddha, menguraikan perihal asal usul Mahapatih Gajah Mada, seorang Patih Amangkubhumi dari kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa nya dalam usahanya mempersatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah payung kerajaan Majapahit.
Ringkasan isi lontar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada Lontar Babad Gajah Maddha dikatakan bahwa orang tua Gajah Mada berasal dari Wilwatikta yang disebut juga Majalangu.
Disebelah selatan “Lemah Surat” terletak “Giri Madri” yang dikatakan berada dekat dengan Wilwatikta dikatakan hampir setiap hari Patni Nariratih pulang pergi dari Wilwatikta, mengantar makanan suaminya di asramanya di Giri Madri yang terletak disebelah selatan Wilwatikta. Hal ini berarti Giri Madri terletak disebelah selatan Lemah Surat dan juga disebelah Selatan Wilwatikta. Jarak antara Giri Madri dengan Wilwatikta dikatakan dekat. Tetapi jarak antara Lemah Surat dengan Wilwatikta begitu pula arah dimana letak Lemah Surat dari Wilwatikta tidak disebutkan dalam Babad Gajah Mada tersebut.
2. Babad Gajah Maddha menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah candrasangkala yang bermaksud kemungkinan sebagai berikut :
On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka
Jiwa = 1 (satu)
mrtta = 2 (Dua)
Yogi = 2 (Dua)
Swaha = 1 (satu)
Jadi artinya : Selamat Tahun Saka 1221 atau tahun (1299 Masehi).
Seandainya hal tersebut benar, maka Mahapatih Gajah Mada dilahirkan pada tahun 1299 Masehi.
3. Mengenai nama Maddha disebutkan sebagai berikut:
Karena malu terhadap gurunya yakni : Mpu Ragarunting, begitu juga terhadap orang banyak, maka setelah kandungan Patni Nariratih membesar, lalu diajak ia oleh suaminya meninggalkan asrama pergi mengembara kedalam hutan dan gunung yang sunyi. Akhirnya pada suatu malam hari, waktu bayi hendak lahir,mereka berdua menuju kesebuah desa yang bernama Maddha terletak di dekat kaki gunung Semeru. Di desa itulah sang Bayi dilahirkan disebuah “Bale-Agung” yang ada di Kahyangan (pura/temple) desa tersebut. Bayi tersebut kemudian dipungut oleh seorang penguasa desa Maddha, kemudian dibawa ke Wilwatikta oleh seorang patih dan kemudian diberi nama Maddha. Jadi jika demikian halnya nama Maddha berasal dari nama desa Maddha yang terletak di kaki gunung Semeru. Hingga saat ini terdapat beberapa desa di kaki Gunung Semeru yang mengindikasikan desa Maddha tersebut, yaitu Tamansatriyan, Wirotaman dan Kepatihan.
Nama Gajah oleh Babad Gajah Maddha sama sekali tidak disebutkan.kemungkinan besar nama gajah adalah nama julukan atau bisa juga nama jabatan (Abhiseka) bagi sebutan untuk orang kuat. Dengan demikian Gajah Mada berarti orang kuat yang berasal dari desa Maddha.
4. Mengenai nama orang tua Gajah Mada, ayahnya bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Nariratih. Setelah mereka berdua disucikan ( menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat, nama mereka berubah menjadi Curadharmayogi dan Patni Nariratih, mereka berdua kemudian menjadi brahmana.
Gajah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M) sebagaimana yang dituliskan dalam kakawin Negarakertagama pupuh LXXI/1 yang berbunyi : " .... tahun rasa (1286) beliau mangkat, baginda gundah terharu, bahkan putus asa, Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu, insaf bahwa hidup ini tidak baka, karenanya beramal tiap hari".
Selanjutnya, apabila lontar Babad Gajah Maddha tersebut di atas benar, maka Gajah Mada meninggal dalam usia 65 tahun.
Adapun didalam Babad Gajah Maddha kemudian menyebutkan bahwa Patni Nariratih bersenggama dengan Dewa Brahma yang berganti rupa seperti suaminya sehingga Gajah Mada seolah-olah dilahirkan atas hasil senggama antara Patni Nariratih dengan Dewa Brahma.
Air Terjun Madakaripura, Diperkirakan tempat Muksanya Patih Gajah Mada
sumber Wisata Jawa Timur
Air Terjun Madakaripura sering dikait-kaitkan dengan legenda muksanya Maha Patih Gajah Mada. Air terjun ini berada di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Untuk menuju ke lokasi ini, kita harus berjalan kaki sejauh dua kilometer dari tempat parkir kendaraan.
Perjalanan menyusuri sungai berbatu dan dinding bukit menjadikan pengalaman yang sulit dilupakan. Gemericik air yang mengalir di sela batu-batu besar, suara binatang yang bersahutan di balik semak-semak, burung-burung hutan yang sesekali terbang melintas, menggambarkan asrinya alam sepanjang perjalanan menuju air terjun ini.
Air Terjun Madakaripura
Air terjun ini menurut sebagian orang yang percaya adalah tempat muksanya Patih Gajah Mada, atau kepercayaan tentang Madakaripura yang disebut-sebut sebagai salah satu jembatan spiritual untuk menggapai sisi dunia yang lain.
Patung Gajah Mada
Nama Madakaripura, lebih tepatnya disebut dengan nama Mada Kari Pura, memiliki arti "tempat tinggal terakhir". Penggunaan nama ini diambil dari kepercayaan masyarakat sekitar yang mengatakan, disinilah Gajah Mada melewati masa akhir hidupnya.
Beberapa catatan menyebutkan, setelah perang Bubat yang legendaris itu,Patih Gajah Mada mencoba menyepi disini. Ia merasa gagal mewujudkan sumpahnya menyatukan Nusantara. Sehingga menenggelamkan diri dlam kesunyian dan terus berdoa pada Sang Pencipta. Sampai akhirnya, ia meninggal dalam kesunyian yang tiada tara.
Gajah mada bahasa minangnya gajah bandel/tangguh.
Gajah Mada atau lebih tepat bernama Mpu Mada adalah Patih Amangkubhumi, dengan jabatannya tersebut dapat dipastikan beliau sering melakukan perjalanan kenegaraan, Lamongan adalah termasuk ke dalam wilayah kerajaan Majapahit, jadi besar kemungkinan di daerah tersebut terdapat jejak-jejak peninggalan Mpu Mada, salah satunya (mungkin) daerah Desa Modo tersebut. Hal ini mirip dengan air terjun Madakaripura di daerah Probolinggo.
Di akhir masa jabatannya Mpu Mada tidak lagi tinggal di lingkungan istana Majapahir, beliau menyepi dan mendiami suatu daerah yang bernama Madakaripura, hal ini diungkap dalam Kitab Negarakretagama (sebagai salah satu sumber sejarah Majapahit yang sahih).
Menelaah bacaan artikel diatas, bahwa asal-usul Gajah Mada adalah topik yang penuh dengan berbagai versi dan spekulasi, karena sumber-sumber sejarah mengenai dirinya sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari tradisi lisan atau babad yang ditulis beberapa abad setelah masa hidupnya.
Berikut adalah beberapa versi dan interpretasi tentang asal-usul Gajah Mada yang sering muncul dalam naskah-naskah dan tulisan para sejarawan :
1. Versi Bali.
Dalam Babad Bali dan Kitab Usana Jawa, disebutkan bahwa Gajah Mada berasal dari Bali. Versi ini cukup populer di kalangan masyarakat Bali dan dianggap sebagai salah satu kemungkinan asal usul sang Mahapatih.
2. Versi Sumatra.
Sejarawan terkenal, Muhamad Yamin, dalam karyanya mengemukakan teori bahwa Gajah Mada berasal dari Sumatra. Yamin mengaitkan Gajah Mada dengan Sumatra berdasarkan kebesarannya yang seolah-olah mencerminkan pengaruh luar Jawa, meskipun bukti-bukti konkret mengenai hal ini sangat minim.
3. Versi Jawa.
Penemuan Prasasti Singasari atau Prasasti Gajah Mada, yang dibuat oleh Gajah Mada sendiri pada tahun 1214 Saka (1351 M), memberikan petunjuk bahwa Gajah Mada mungkin memiliki hubungan darah dengan keturunan raja Singasari, Kertanegara. Prasasti ini menyebutkan penghormatan Gajah Mada kepada leluhur Majapahit, yang diyakini para ahli sebagai bukti bahwa Gajah Mada adalah keturunan bangsawan. Beberapa tafsir menyebutkan bahwa Gajah Mada adalah anak dari Gajah Pagon, yang merupakan cucu Prabu Kertanegara dari Singasari, membuat Gajah Mada dan Tribhuawana Tunggadewi (Ratu Majapahit) memiliki hubungan darah.
Dengan hubungan darah kerajaan ini, bisa dikatakan bahwa perjuangan Gajah Mada untuk mencapai posisinya bukan sepenuhnya dimulai dari nol, karena ia memiliki latar belakang sebagai anggota keluarga kerajaan (darah biru). Kariernya sebagai prajurit Bhayangkara mungkin dimulai karena koneksi ini, walaupun kemudian ia membuktikan dirinya dengan kemampuan dan kepemimpinan yang luar biasa.
Menurut beberapa sumber, saat peristiwa pelarian Jayanegara, Gajah Mada baru berusia sekitar 20 tahun, yang berarti ia mulai berkarier sebagai prajurit Bhayangkara sekitar usia 15-16 tahun, dengan jabatan sebagai bekel atau kepala regu. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun nepotisme mungkin memainkan peran awal dalam kariernya, Gajah Mada dengan cepat membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang berbakat dan memiliki visi besar bagi Majapahit.
ANAK GAJAH MADA
Gajah Mada, tokoh yang pernah menjadi Mahapatih Majapahit pada era Ratu Tribwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk menurut kabar turun temurun masyarakat Bali mempunyai seorang anak, namanya Aria Bebed. Anak Gajah Mada yang satu ini lahir dari seorang wanita bernama Ni Luh Ayu.
Kisah mengenai anak Gajah Mada yang bernama Aria Bebed sumbernya dari cerita turun-temurun yang ada pada masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Pagustulan Singaraja Bali. Selain itu mereka juga membuat suatu Prasati untuk meneguhkan jika kisah mengenai Aria Bebed anak Gajah Mada adalah kisah nyata, Prasasti yang dibuat oleh masyarakat Desa Pagustulan Singaraja Bali itu dikenal dengan nama "Prasasti Gajah Mada".
Menurut Prasasti Gajah Mada, disebutkan bahwa ; pada mulanya Gajah Mada tidak mengetahui jika ia punya anak, mengingat Ni Luh Ayu sudah ditinggalkan Gajah Mada, lagipula Gajah Mada waktu itu tinggal di Majapahit. Sementara Ni Luh Ayu Tinggal di Bali.
Saat di tinggalkan Gajah Mada, Ni Luh Ayu dalam kondisi mengandung muda, sehingga Gajah Mada tidak tahu jika Ni Luh Ayu mengandung. Anak yang lahir dari Rahim Ni Luh Ayu kelak dinamai Aria Bebed.
Setelah memasuki usia Remaja, Aria Bebed dikabarkan oleh Ibunya, bahwa ayah Biologisnya adalah Gajah Mada. Mendengar pengakuan dari ibunya, Aria Bebed kemudian menju Majapahit untuk menjumpai ayahnya.
Sesampainya di Majapahit, Aria Bebed duduk di atas batu yang terletak tepat di depan rumah Gajah Mada. Karena disoraki oleh orang-orang dan diusir oleh para pengawal Gajah Mada, Aria Bebed menangis. Mendengar sorak orang banyak dan tangisan seorang ramaja, Patih Gajah Mada keluar.
Sesudah ditanya, siapa nama, asal dan tujuannya datang ke Majapahit, Aria Bebed menjawab dengan jujur " Ia ingin menjumpai Gajah Mada, karena menurut keterangan Ibunya Gajah Mada adalah ayahnya".
Mendengar jawaban Aria Bebed, Gajah Mada membawa anak itu ke dalam rumahnya dan mempertemukanya dengan istrinya Ken Bebed. Kepada Ken Bebed, Gajah Mada mengaku bahwa Aria Bebed adalah putranya. Mendengar pengakuan Gajah Mada, Ken Bebed yang tidak punya anak sangat senang. Oleh Ken Bebed, Aria Bebed dianggap sebagai putra kandungnya sendiri.
Setelah sekian lama tinggal di Majapahit, Aria Bebed meminta diri untuk pulang ke Bali. Gajah Mada dan Ken Bebed meningizinkan. Sebelum Aria Bebed pulang, Gajah Mada memberikan hadiah berupa Pangastulan (Tempat Menyimpan Abu Leluhur Gajah Mada).
Kepada Aria Bebed, Gajah Mada berpesan agar abu yang di Pagastulan di taburkan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tempat yang ditaburi Abu Pagastulan akan menjadi wilayah kekuasaan Aria Bebed. Hendaklah pula Aria Bebed berhenti dan menetap di tempat terakhir yang ditaburi abu Pagastulan. Disitu Aria Bebed akan menjadi penguasa tertinggi.
Aria Bebed kemudian menuju Bali dan menetap di desa Bwahan. Disana Aria Bebed menikah dengan Nyi Ayu Rangga, Putri Pangeran Pasek Wanagiri. Dari perkawinan itu lahir dua orang Putra yakni Aria Twas dan Nyi Gusti Ayu Wanagiri.
Begitulah kisah mengenai Aria Bebad yang tertulis dalam Prasasti Gajah Mada. Prasasti tersebut ditulis pada Tahun Saka 1881 (1959 M). Ditinjau dari tahun pembuatannya jelas Prasasti Aria Bebed umurnya amat muda sehingga dalam menanggapi isi kisah yang terkandung didalamnya perlu telaah kritis.
Imajier Nuswantoro