Mataram Islam Terpecah Menjadi Dua
Kerajaan Mataram Islam, yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Agung, mengalami perpecahan signifikan pada pertengahan abad ke-18. Perpecahan ini menghasilkan dua entitas politik yang terpisah: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Proses ini dipengaruhi oleh serangkaian faktor internal dan eksternal yang kompleks.
Latar Belakang Sejarah Mataram Islam.
Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati pada akhir abad ke-16, dengan pusat kekuasaan di Kotagede, Yogyakarta. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613–1645), kerajaan ini berhasil menyatukan sebagian besar Pulau Jawa, kecuali wilayah Banten dan Cirebon. Sultan Agung juga dikenal karena upayanya melawan dominasi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Nusantara.
Faktor Internal: Konflik Keluarga dan Perebutan Kekuasaan.
Setelah wafatnya Sultan Agung, Mataram Islam mengalami ketidakstabilan internal. Perebutan takhta antara anggota keluarga kerajaan menjadi pemicu utama perpecahan. Amangkurat I (1646–1677), penerus Sultan Agung, dikenal dengan kebijakan otoriternya yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan ulama. Pada tahun 1648, Amangkurat I memerintahkan pembantaian sekitar 5.000–6.000 ulama dan keluarga mereka dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, sebagai upaya untuk menghilangkan oposisi terhadap kekuasaannya.
Ketegangan internal ini berlanjut pada masa pemerintahan Amangkurat II (1677–1703) dan Amangkurat III (1703–1705), yang menghadapi pemberontakan dari Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perebutan kekuasaan ini melemahkan struktur politik Mataram dan membuka peluang bagi intervensi eksternal.
Faktor Eksternal: Campur Tangan VOC.
VOC memanfaatkan ketidakstabilan internal Mataram untuk memperluas pengaruhnya. Melalui serangkaian perjanjian dan intervensi militer, VOC berhasil menempatkan raja-raja yang pro-Belanda di takhta Mataram. Pakubuwono II (1726–1749) dan Pakubuwono III (1749–1788) adalah contoh raja yang diangkat dengan dukungan VOC. Namun, kebijakan ini menimbulkan perlawanan dari faksi-faksi lain dalam kerajaan, termasuk Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Perjanjian Giyanti: Pembagian Mataram Menjadi Dua.
Konflik internal dan tekanan eksternal mencapai puncaknya dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi Mataram menjadi dua:
Kasunanan Surakarta: Dipimpin oleh Pakubuwono III, dengan wilayah kekuasaan di sebelah timur Sungai Opak.
Kasultanan Yogyakarta: Dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, dengan wilayah kekuasaan di sebelah barat Sungai Opak.
Pembagian ini dimaksudkan untuk meredakan konflik internal dan memudahkan VOC dalam mengontrol wilayah Jawa. Namun, perpecahan ini justru memperlemah kekuatan politik Jawa dan meningkatkan dominasi VOC di Nusantara.
Dampak Perpecahan Mataram Islam.
Perpecahan Mataram Islam memiliki dampak jangka panjang terhadap sejarah Jawa dan Indonesia:
1. Kelemahan Politik: Pembagian kekuasaan melemahkan posisi politik Jawa, memudahkan VOC dan kemudian pemerintah kolonial Belanda untuk menguasai wilayah tersebut.
2. Peningkatan Pengaruh Asing: VOC semakin leluasa dalam mengintervensi urusan internal kerajaan-kerajaan Jawa, mengendalikan perdagangan, dan mengeksploitasi sumber daya alam.
3. Warisan Budaya: Meskipun terpecah, baik Surakarta maupun Yogyakarta tetap menjadi pusat kebudayaan Jawa yang kaya hingga saat ini.
Kesimpulan :
- Perpecahan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta disebabkan oleh kombinasi konflik internal dalam keluarga kerajaan dan intervensi eksternal oleh VOC. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menandai titik balik dalam sejarah Jawa, dengan dampak yang dirasakan hingga masa kini. Memahami peristiwa ini penting untuk memahami dinamika politik dan budaya Jawa serta pengaruh kolonialisme di Indonesia.