Riwayat Pakubuwono III Sang Pengabdi VOC
Riwayat Pakubuwono III (1): Perjanjian Giyanti Diteken, Mataram Punya 2 Istana
Foto : Sri Susuhunan Pakubuwono III
Raden Mas Suryadi atau Raden Mas Gusti Surya Kusuma lahir di Kraton Kartasura Hadiningrat. Bersama ayah dan ibunya, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana II dan permaisuri Kanjeng Ratu Kencana yang akrab juga disapa Ratu Mas, ia datang ke Dusun Sala dalam arak-arakan kirab agung perpindahan kraton, 17 Februari 1745.
Di kraton baru di Dusun Sala bikinan ayahandanya itulah, R.M. Suryadi dinobatkan sebagai raja bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana III, 15 Desember 1749. Kala itu, usianya masih 17 tahun. Ia adalah raja pertama yang dinobatkan di Kraton Solo, sekaligus raja pertama penerus dinasti Mataram yang dilantik oleh pemerintah bentukan kongsi dagang Belanda di Hindia Timur, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Penobatan R.M. Suryadi sebagai raja itu dilakukan Joan Andries Baron van Hohendorff, gubernur VOC untuk pesisir Jawa bagian timur laut. Hohendorff yang juga rekan seperjuangan Pakubuwono II dalam mempertahankan Kraton Kartasura itu datang ke Solo setelah mendengar kabar sakitnya Pakubuwono II. Hohendorff bermaksud menjadi saksi VOC atas suksesi raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Karena situasi kerajaan tengah bergolak akibat kudeta Mas Said dan intrik politik adiknya, Pangeran Mangkunagara, maka Pakubuwana II tak menyianyiakan kehadiran Hohendorff. Ia mempercayakan keselamatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat kepada Van Hohendorff.
Permintaan Pakubuwono II kepada Hohendorff itu dicatat M.C. Ricklefs, profesor Sejarah di Universitas Nasional Singapura, mengejutkan Hohendorff. Meski demikian ia tak tanggung-tanggung menanggapi. Hohendorff mengunci kepercayaan Pakubuwono II itu sesuai kepentingan VOC. Dibuatnya surat perjanjian yang memberikan hak penuh kepada VOC atas seluruh wilayah kerajaan, termasuk melantik raja-raja penerus dinasti Mataram.
Surat perjanjian yang diteken Pakubuwono II pada tanggal 11 Desember 1749 itu bukan hanya menjamin keselamatan regenerasi kepempinan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, namun juga menggadaikan kedaulatan kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram yang muncul kemudian, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Ketentuan ini kelak baru berakhir setelah zaman berganti, yakni di kala wilayah kerajaan-kerajaan itu berdaulat di bawah wilayah negara Indonesia.
Penobatan R.M. Suryadi sebagai Susuhunan Pakubuwana III pada 15 Desember 1749 adalah penerapan pertama isi surat perjanjian tersebut. Tetapi, sebelum Hohendorff sempat mengumumkan penobatan R.M. Suryadi itu, pada 12 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta telah mengukuhkan diri sebagai Susuhunan Pakubuwono pengganti kakaknya.
Sembilan hari setelah surat perjanjian dibuat, atau delapan hari setelah Pangeran Mangkubumi mengukuhkan diri sebagai Susuhunan Pakubuwono, atau lima hari setelah Hohendorff melantik R.M. Suryadi sebagai Susuhunan Pakubuwana III, Pakubuwono II mangkat. Kini, ada dua Susuhunan Pakubuwana di Bumi Mataram.
Belakangan, Mangkubumi mengganti gelarnya dengan Sultan Hamengkubuwono yang digunakan pula oleh seluruh raja keturunannya. Berdasarkan catatan Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, raja yang tidak didukung VOC ini sangat kuat, baik dalam bidang keuangan maupun militer. Bahkan, VOC pun tak mampu menundukkan kaum pemberontak yang berbasis di Yogya ini.
Di Kraton Solo, Pakubuwono III bagaikan dikepung musuh. Dari timur Mas Said merongrong, di barat Hamengkubuwono mengintai. Bahkan pada 1750, Mas Said yang telah menjabat sebagai Patih Mangkubumi menyerang Surakarta sehingga menimbulkan kerugian besar bagi VOC.
Setelah terjadi perpecahan antara Mangkubumi dan Mas Said pada tahun 1752, Mangkubumi mengusahakan perundingan-perundingan. Gubernur baru untuk wilayah pesisir timur laut, Nicolas Hartingh, diberi wewenang VOC menenangkan Mangkubumi dengan menawarkan sebagian Jawa kepadanya.
Tak mudah bagi Hartingh bertindak sebagai penengah di antara kedua raja. Setelah berkali-kali berunding, barulah Pakubuwono III menerima gagasan VOC untuk memecah dua wilayah kerajaannya. Kesepakatan itu dicapai dalam perundingan di Dusun Giyanti, tenggara Karanganyar, Jawa Tengah, pada 13 Februari 1755.
Bagi Hamengkubuwono I, Perjanjian Giyanti ada pula yang menuliskan dalam ejaan Gianti itu, adalah pengakuan VOC dan Kasunanan Surakarta Hadinigrat atas penguasa separuh wilayah Jawa Tengah di barat Kali Opak. Di sisi lain, bagi Mas Said, Perjanjian Giyanti menjadikannya musuh bersama VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.
Sepulang Hamengkubuwono I ke Yogya, ia mendirikan sebuah istana dan memberikan nama baru kepada kota itu, Yogyakarta. Kini raja-raja penerus dinasti Mataram punya dua istana raja dengan sejumlah pusaka peninggalan leluhur yang sama. Bahkan untuk pusaka tertentu seperti gamelan sekaten pun harus dipecah dua demi legitimasi kedua istana itu.
Di sisi lain, Mas Said tak henti memerangi Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I, dan VOC. Meskipun pasukan Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I, dan VOC tak mampu menawannya, Mas Said tampaknya menyadari betapa berat lawannya kini. Maka, ia pun menggagas perundingan.
Puncaknya, di Salatiga, pada Februari 1757, setelah menyerah kepada Pakubuwono III, ia mengucapkan sumpah setia kepada Surakarta Hadiningrat, Yogyakarta Hadiningrat, dan VOC. Sebagai kompensasi, ia mendapatkan tanah berikut 4.000 cacah dari Pakubuwono III. Sedangkan dari Hamungkubuwono I, ia tak mendapatkan apa-apa.
Sejak itu, Mas Said resmi pula menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara I. Meskipun memiliki wilayah kekuasaan di bawah wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, namun hingga saat itu belum dipastikan apakah keturunan Pangeran Adipati Mangkunegara I kelak bisa mewarisi seluruh aset tersebut.
Tuntas sudah rangkaian konflik yang oleh sebagian sejarawan dijuluki Perang Suksesi Jawa III itu. Selesai sudah rongrongan bagi Kasunanan Surakarta Hadingrat meskipun Pakubuwono III harus membayar mahal dengan separuh wilayah kerajaannya dan membiarkan Mangkunegara I menguasai sebagian lain wilayah yang tersisa.
Riwayat Pakubuwono III (2): Tak Kunjung Berputra, Pakubuwono III Besan Idaman…
Foto : Sri Susuhunan Pakubuwono III
Raden Mas Suryadi atau Raden Mas Gusti Surya Kusuma langsung menghadapi berbagai konflik perebutan kekuasaan begitu dinobatkan sebagai raja pengganti Pakubuwono II dalam usia 17 tahun. Hampir bersamaan dengan penobatannya sebagai raja, pamannya Pangeran Mangkubumi juga mengukuhkan diri sebagai Susuhunan Pakubuwono. Sementara di timur kraton, Mas Said, seteru lain warisan ayahnya, terus merongrong.
Beruntung, sesaat sebelum meninggal dunia, ayahnya telah menitipkan suksesinya kepada Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Alhasil, setiap pemberontakan terhadap kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat selalu ditangani pula oleh VOC. Namun, perundingan dengan VOC sebagai penengah tak selalu menguntungkan Pakubuwono II. Pada akhirnya, ia harus kehilangan lebih dari separuh wilayah kekuasaannya.
Separuh wilayah harus ia relakan untuk Pangeran Mangkubumi yang belakangan menobatkan diri sebagai Sultan Hamengkubuwono I melalui Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755. Sebagian lain dari sisa wilayah yang ia kuasai harus direlakan untuk Mas Said melalui Perjanjian Salatiga, Februari 1757. Dengan bekal itu pula Mas Said bisa menyandang gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I.
Mudahnya Pakubuwono III menerima setiap masukan VOC dalam penyelesaian konflik yang ia hadapi membuat M.C. Ricklefs, profesor Sejarah di Universitas Nasional Singapura, menyebutnya sebagai raja dengan kepribadian yang lemah. “Sesungguhnya, dia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir setiap orang,” tulis Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia since c. 1200.
Ketergantungan Pakubuwono III terhadap VOC memicu ketegangan di istananya. Muncul komplotan-komplotan yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Sementara itu, suasana Pulau Jawa masih panas karena masih adanya pemberontakan meskipun skalanya lebih ringan ketimbang dua mantan seteru Pakububono III yang kini menjadi kompatriotnya, Hamengkubuwono dan Mangkunegara.
Hampir semua pemberontakan bisa dengan mudah ditundukkan VOC bersama ketiga mitra lokalnya, Pakubuwono III, Hamengkubuwono, dan Mangkunegara. Namun tidak demikian halnya dengan pemberontakan Pangeran Singosari, paman Pakubuwono III, mantan kawan seperjuangan Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I, yang masih kuat berkuasa di Jawa Timur. Kekuatan Pangeran Singosari itu didukung keturunan Untung Suropati yang berkuasa di Malang.
Tawaran damai yang diajukan Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I selalu saja ditolak Pangeran Singosari maupun keturunan Suropati. Maka, pasukan VOC yang didukung mitra lokalnya menyerang Jawa Timur tahun 1767. Pangeran Singosari tertangkap tahun 1768. Pengadilan menjatuhinya hukuman buang namun ia lebih dulu meninggal dunia dalam ruang tahanan di Surabaya. Sementara itu, keturunan terakhir Untung Suropati berhasil ditangkap tahun 1771.
Sementara itu, meskipun Pakubuwono III, Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I tak lagi sibuk adu senjata guna menyatukan wilayah eks Kerajaan Mataram dalam satu kerajaan, Ricklefs dalam bukunya yang diterjemahkan pula ke bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, mencatat ketiganya terlibat dalam diplomasi perkawinan yang rumit . Hadiah yang mereka perebutkan adalah suksesi di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dipaparkan Ricklefs, Pakubuwana III sampai dengan medio 1768, tidak mempunyai anak laki-laki. Karena itu, perkawinan dengan salah seorang putrinya dianggap bisa melegitimasi suksesi keturunan Hamengkubuwana I maupun Mangkunegara I di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dalam era ini, sepertinya Pakubuwono II benar-benar menjadi besan idaman bagi dua mantan seterunya itu.
Mangkunegara sudah mengawini putri sulung Hamengkubuwana I ketika mereka dulu menjadi sekutu, dan walaupun Sultan mempunyai beberapa anak laki-laki namun perkawinannya ini mungkin juga bermanfaat di Yogyakarta. Pada tahun 1762, Mangkunegara I berhasil menikahkan putra tertuanya dengan putri sulung Pakubuwana III sehingga memberinya peluang besar untuk menggantikan raja.
Segala permainan diplomasi perkawinan ini hancur berantakan pada 31 Agustus 1768 (sumber lain mencatat 2 September 1768), ketika Pakubuwana III akhirnya mempunyai seorang putra yang kelak bakal menggantikannya sebagai Pakubuwana IV. Ia adalah Raden Mas Gusti Subadaya yang lahir dari istri ketiga yang juga satu dari dua permaisuri Pakubuwono III, Kanjeng Ratu Beruk. Hingga akhir hayat, 26 September 1788, Pakubuwono III tercatat memiliki 46 orang anak dari 14 orang istri-istrinya.
Sumber Referensi :
- Anonimus, 1820. Babad Giyanti. Surakarta: N.V. Boedi Oetama.
- Anonimus. 1939. Babad Tanah Jawi. Betawi Sentrem: Bale Pustaka.
- Hadisiswaya, A.M.. 2011. Pergolakan Raja Mataram. Yogyakarta: Interprebook.
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
- Ricklefs, M. C.. 2008. A History of Modern Indonesia since c. 1200, New York: Palgrave MacMillan.
- Yasadipura I, Raden Ngabei. 1937. Babad Giyanti. Betawi Sentrem: Bale Pustaka.
- Ricklefs, M. C.. 2008. A History of Modern Indonesia since c. 1200, New York: Palgrave MacMillan.
- Ricklefs, M.C.. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Imajiner Nuswantoro