HASTA BRATA
(Manajemen Kepemimpinan Jawa)
Hasta Brata, atau juga dikenal sebagai Asta Brata, adalah sebuah filosofi kepemimpinan yang berasal dari ajaran Hindu yang terdapat dalam kitab Manawa Dharma Sastra dan juga dalam epos Ramayana. "Hasta" berarti delapan, dan "brata" berarti laku atau sifat. Jadi, Hasta Brata merujuk pada delapan sifat atau laku yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin, yang terinspirasi dari delapan unsur alam.
Delapan Unsur Alam dalam Hasta Brata :
1. Bumi (Bumi).
Seorang pemimpin harus mampu memberikan kehidupan dan kokoh, seperti bumi yang menyediakan segala kebutuhan dasar dan selalu memberi.
2. Surya (Matahari).
Pemimpin harus memberikan energi, visi, dan tujuan, seperti matahari yang memungkinkan makhluk hidup tumbuh dan berkembang.
3. Agni (Api).
Pemimpin harus memiliki keberanian, ketegasan, dan prinsip yang kuat, seperti api yang membakar apa saja yang bersentuhan dengannya.
4. Samudra (Samudera).
Pemimpin harus memiliki pandangan yang luas, menerima berbagai pendapat, dan tidak pilih kasih, seperti samudra yang menampung berbagai macam air.
5. Bayu (Angin).
Keberadaan dan pengaruh pemimpin harus dirasakan oleh lingkungannya, seperti angin yang berhembus di mana-mana.
6. Candra (Bulan).
Pemimpin harus memberikan kedamaian dan kesejukan, seperti bulan yang memberikan ketenangan di malam hari.
7. Antariksa (Langit/Bintang).
Pemimpin harus memiliki pengetahuan luas dan mampu memberikan bimbingan, seperti langit yang membentang luas dan menjadi tempat bintang-bintang berada.
8. Mendung (awan).
Pemimpin harus berwibawa dan memberikan manfaat bagi lingkungannya, seperti mendung yang membawa hujan dan menghidupkan.
Penerapan Hasta Brata :
Ajaran Hasta Brata ini tidak hanya relevan dalam konteks kepemimpinan formal, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dan mengamalkan sifat-sifat luhur ini, seorang pemimpin dapat menjadi teladan bagi lingkungannya, menciptakan suasana yang harmonis, dan membawa kemajuan bagi masyarakat. Konsep ini juga menekankan pentingnya keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, ketegasan dan kebijaksanaan, dalam menjalankan kepemimpinan.
Menjadi pemimpin memang bukan perkara mudah, mengusai ilmu-ilmu kepemimpinan sangat dibutuhkan agar dapat mengelola anak buah ataupun bawahannya secara adil dan bijaksana. Asta Brata merupakan salah satu ajaran kepemimpinan yang banyak dikenal di tanah jawa, ajaran ini sering kali diceritakan lewat pertunjukan wayang kulit, misalnya ceria wayang dalam lakon Wahyu Makutha Rama. Kisah Wahyu Makutha Rama bercerita tentang wejangan Asta Brata dari Begawan Kesawasidhi kepada Harjuna. Setelah menerima ini Harjuna diberi gelar “Begawan Ciptaning”.Selain diceritakan dalam cerita wayang Wahyu Makutha Rama, Asta Brata juga terdapat dalam Kakawin Ramayana gubahan Empu Walmiki. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Asta Brata dibabar oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisana yang saat itu akan menjadi pemimpin (raja) Alengka menggantikan Rahwana yang tumbang karena dikalahkan pasukan Rama. Asta Brata berisi delapan ajaran utama tentang kepemimpinan, dimana delapan ajaran tersebut mengambil dari sifat-sifat alam raya yang terdiri dari air (Tirta), Bintang (Kartika), Matahari (Surya), Rembulan (Candra), Angin (Samirana), Bumi ( Kisma), Laut (Baruna) dan Api (Agni). Jika menilik dari Serat Rama yang ditulis pujangga Yasadipura I di Surakarta, Asta Brata digambarkan dengan delapan sifat Batara/Dewa yang menguasai delapan unsur alam. Dewa-dewa tersebut diantaranya :
- Dewa Indra,
- Dewa Yama,
- Dewa Surya,
- Dewa Candra,
- Dewa Bayu,
- Dewa Kuwera,
- Dewa Baruna dan
- Dewa Brama.
1. Laku Hambeging Indra.
Laku hambeging indra, menjadi pemimpin hendaknya meneladani sifat dan karakter Batara Indra sebagai penguasa hujan/air. Sifat-sifat hujan/air diantaranya dia mampu memberi kesuburan dan kemakmuran, tidak pilih kasih, bisa memberi kesejukan dan mampu membersihkan sesuatu dari yang kotor. Pemimpin yang seperti air ia dibutuhkan oleh siapa saja, orang kaya, miskin, orang sakit, sehat dan lain sebagainya. Ia memilki kemampuan beradaptasi dengan menempatkan diri sesuai dengan wadahnya, ia selalu merendah dan mampu mengisi setiap celah.
2. Laku Hambeging Yama.
Laku Hambeging Yama berarti menjadi pemimpin hendaknya meneladani sifat Dewa Yama. Dewa yama dalam budaya pewayangan jawa sering disebbut juga Batara Yamadipati. Dia dalah Dewa Pencabut Nyawa yang memiliki sifat tegas dalam menegakkan hukum, tidak pandang bulu, siapapun yang salah harus dikalahkan. Batara Yama sangat kuat dalam menegakkan undang-undang yang berlaku, Dia tak segan untuk mencabut nyawa demi keadilan. Pemimpin yang mampu menegakkan hukum secara tegas, ia akan disegani oleh rakyatnya dan ditakuti oleh mereka yang berbuat jahat. Keteguhan Batara Yama sebagaimana bintang, ia tidak bergeser dan mampu dijadikan sebagai petunjuk arah. Menjadi pemimpin yang dapat meneladani Batara Yama secara otomatis ia akan teguh setia pada peraturan yang ada, tak ada sistem tawar-menawar dalam menegakkan keadilan.
3. Laku Hambeging Surya.
Laku Hambeging Surya berarti menjadi pemimpin hendaklah memiliki sifat seperti matahari (surya). Mampu memberi energi kepada alam semesta, menerangi kegelapan dan selalu “memberi tak harap kebali”. Sifat Bathara Surya adalah “lakuning palamarta” (welas asih). Belas kasihannya ditunjukkan dengan memberikan energi surya nya sebagai sumber kehidupan semua makhluk yang ada di bumi ini. Matahari melaksanakan tugasnya dengan sabar tetapi tuntas, mulai terbit di ufuk timur sampai tenggelam di barat dan akan kembali lagi pada keesokan harinya.
4. Laku Hambeging Candra.
Laku Hambeging Candra merupakan cara memimpin dengan penuh keteduhan sebagaimana cahya rembulan. Ia menerangi, tidak panas, tapi penuh kesejukan. Banyak orang melambangkan rembulan sebagai tanda cinta, menjadi pemimpin dengan penuh cinta niscaya akan dicintai pula oleh rakyatnya karena mampu memberi kehidupan yang damai dan penuh ketenangan.
5. Laku Hambeging Maruta.
Maruta adalah angin (udara). Menjadi pemimpin seharusnya bisa meniru sifat-sifat angin. Angin sebagaimana udara, ia mampu menelusup kesetiap ruang yang paling kecil sekalipun, memberi hidup dan dibutuhkan oleh siapapun yang hidup. Angin tidak terlihat namun bisa dirasakan kehadirannya. Begitu pula menjadi seorang pemimpin, meski tidak setiap saat bisa hadir secara fisik dihadapan rakyatnya, seorang pemimpin akan dirasakan hadir dengan berbagai kebijakannya.
6. Laku Hambeging Bumi.
Laku Hambeging Bumi berarti seorang yang menjadi pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti bumi (tanah). Ia bisa menjadi pijakan dan mampu memberi kehidupan untuk rakyatnya. Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Apapun yang ditanam, apapun yang digali dari perut bumi, akan bermanfaat. Bumi tidak pernah minta balasan, bumi juga tidak pernah marah walaupun kita ludahi dan kencingi.
7. Laku Hambeging Baruna.
Baruna berarti samudra, menjadi pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti samudera. Ia memiliki wawasan yg luas, setiap hari menampung apapun dari segala penjuru. Ia mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja tanpa pandang bulu. Samudra mencerminkan jiwa yang plural dalam bermasyarakat, tak membeda-bedakan dalam kehidupan yang majemuk.
8. Laku hambeging Agni.
Menjadi pemimpin hendaknya memiliki sifat api (agni), yang selalu mampu memberi semangat pada rakyatnya. Api bisa menerangi yg gelap. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.
Imajiner Nuswantoro