AJI MUMPUNG
Aji mumpung selalu dikonotasikan negatif. Di antara artinya, memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mendapatkan keuntungan pribadi, kelompok ataupun golongannya. Menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan atau kelompoknya. Tak bisa dipungkiri, sifat demikian ini akan terus melekat, baik disadari maupun tidak kita sadari. Dia hidup di eranya dengan bentuk yang terus bermetaformosa, sesuai dengan berbagai “wacana”. Tidak sampai setahun lagi, pemerintahan kita bakal berganti, termasuk presidennya karena sesuai konstitusi hanya dapat dipilih selama dua periode. Demikian pula para politisi Senayan yang sejak reformasi sampai saat ini begitu berkuasanya. Sampai-sampai ada yang menyebut sistem pemerintahan kita bukan lagi presidensiil, tapi berubah menjadi parlementer ala liberal. Entah lagi, siapapun yang tengah menduduki jabatan, baik itu struktural, fungsional maupun politis, pasti akan habis alias selesai. Istilahnya, roda terus berputar. Nah, disela-sela roda berputar itulah, kenapa kita tidak buat menjadi asas manfaat yang bersifat positif. Artinya, aji mumpung tadi kita ganti menjadi memanfaatkan kesempatan yang ada untuk kesejahteraan rakyat banyak. Inilah saatnya kita berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia. Inilah saatnya kita bermanfaat bagi rakyat banyak, bukan membuat rakyat sengsara.
Aji Mumpung yaitu memanfaatkan kesempatan demi kepentingan pribadi.
Memanfaatkan orang lain demi suatu kepentingan yang jelek atau tidak baik adalah suatu tindakan yang menandakan bahwa memiliki itikad yang baik dan punya masalah dalam kehidupan pribadinya sendiri. Memakai kedok dan cenderung sebagai bertindak sebagai pahlawan untuk mempersonal semua orang, agar pada waktunya bisa memanfaatkan/mengeksploitasi yang terlah terhipnotis.
Dalam Kehidupan berumah tangga, “Aji Mumpung”, istilah ini harus jauh dari kehidupan rumah tangga, jika mau dipakai pun lebih pada memanfaatkan waktu atau benda secara maximal, bukan kepada pasangan.. karena banyak sekarang menikah karena mumpung pasangannya kaya, pejabat, berpangkat, dll.
Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), hubungan antara orang tua/guru punya norma-norma yang harus tetap di jaga, jangan sampai tujuan utama-nya hilang lantaran penghalang yang dibuat sendiri dalam sekat-sekat saling memanfaatkan.
Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat).
Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, dalam Serat Wedatama, mengingatkan orang-orang yang Ngaji-aji mumpung sebagai orang yang lupa daratan dan kehilangan akal sehatnya. Jiwanya lemah, hidupnya juga tidak tenteram. Pada akhirnya ia akan menuai masalah. Tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat masalah baru Mumpung berkuasa, mumpung menang, lalu sewenang-wenang kepada yang dikalahkan. Mumpung pandai lalu memanfaatkan kepandaiannya untuk hal-hal tidak baik.
Mumpung kaya lalu sombong dan merendahkan orang kecil.
Orang yang demikian diibaratkan pagar makan tanaman. Artinya, diberi kepercayaan menjaga, dan mengelola kekayaan negara, malah merusak kekayaan alam yang dipercayakan kepadanya.
Bukannya menyelesaikan masalah (problem solving), tapi sepertinya hanya jalan ditempat.
Budayawan Jawa Prof. Rusdibjono mengatakan, seseorang itu menjadi menarik bukan karena pakaian yang indah melainkan terletak pada kesederhanannya, sopan santunnya dan cerahnya wajah. Bila ingin dihormati orang lain, jangan suka gembar-gembor kesana kemari akan kemampuan, kelebihan dan keberhasilamu. Penghormatan dari orang lain sebetulnya tidak perlu dikejar karena akan datang sendiri. Menunjukkan kelebihan harus tahu kapan dan bagaimana caranya. Lebih baik jangan sampai orang bisa meraba kemampuanmu, tetapi kalau diperlukan kita bisa mengatasinya. Manusia dinilai dari perbuatannya, bukan dari pakaian atau yang serba lahiriyah lainnya. Dalam hadist disebutkan supaya memanfaatkan: mumpung sehat sebelum sakit, mumpung muda sebelum tua, mumpung kaya sebelum miskin, mumpung masih hidup sebelum mati. Mumpung berkuasa manfaatkanlah kekuasaanmu untuk kesejahteraan rakyat sebelum lengser atau tak berguna lagi. Ingat petuah pendahulu kita, semua pekerjaan yang sudah kau yakini manfaat dari hasilnya, hendaknya segera dilaksanakan, jangan ditunda. Niat dan tekad kalau ditunda-tunda tidak akan bertambah kuat. Justru menjadi semakin lemah bahkan hilang kekuatannya. Tidak usah gembor-gembor soal kemampuan, kelebihan dan keberhasilan kita kepada orang lain, bila ingin dihormati. Penghormatan tidak perlu dikejar atau diciptakan melalui pencitraan karena akan datang sendiri. Menunjukkan kelebihan harus tahu kapan dan bagaimana caranya. Nasehat petuah bijak, lebih baik jangan sampai orang bisa meraba kemampuanmu, tetapi kalau diperlukan kamu bisa mengatasi. Jadi mumpung besi masih panas (strike while the iron still hot), walau tinggal sedikit waktunya, manfaatkanlah momentum yang tinggal sedikit ini untuk menempa kebaikan kita. Selagi rakyat masih memanggil kita pemerintah, penguasa, ‘wakil rakyat yang terhormat’, layani dan puaskan kecukupan kebutuhan mereka, yakni kebutuhan rakyat banyak. Rakyat Indonesia yang pemaaf, pasti akan tetap mengenang kita yang telah berbuat baik, meski hanya secuil bahkan hanya di akhir masa tugasnya.
Dalam bahasa Jawa, arti Aji Mumpung itu adalah memanfaatkan kesempatan/peluang yang ada atau merefleksikan arti selagi ada kesempatan / kapan lagi / ayo lakukan / ajakan/bisikan halus yang berdampak besar.
Aji mumpung adalah pemanfaatan situasi dan kondisi untuk kepenting diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu bisa berujung positif maupun negatif.
Waspadai dan hindari adalah mental Aji Mumpung (unsplash/freestocks).
Salah satu penyakit mental yang perlu kita waspadai dan hindari adalahmental Aji Mumpung karena akan berujung pada keserakahan dan penyesalan.
Walaupun telah diberikan berbagai kompensasi yang baik, fasilitas dan sebagainya, bila penyakit mental ini tidak dihindari maka akan dapat menjadi habit yang secara perlahan akan menular hingga berakar dan menjelma menjadi budaya dan dilakukan secara massive layaknya sel-sel kanker
Aji Mumpung istilah populer di masyarakat kita yang kurang lebih maknanya selagi ada kesempatan kapan lagi.
Populer, tapi sayang konotasinya cenderung negative. Istilah tersebut telah berubah dari sekedar istilah guyonan dalam pergaulan sehari-hari, kini menjadi menjelma menjadi prinsip dan cara instan orang atau kelompok tertentu yang memanfaatkan peluang/mengambil manfaat dari situasi dan kondisi yang ada, dengan memanfaatkan kelemahan aturan atau kelemahan orang lain, untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Namun faktanya sebagian besar orang atau bukan tidak mungkin kita pun pernah melakukannya.
Contoh di dalam percakapan divawah ini / kutipan percakapan yang sering terjadi dan kita dengar :
Ayo Pa...mumpung papa sedang menjabat, kapan lagi kalo kita tidak memanfaatkan kesempatan ini! ingat lho pa... kesempatan belum tentu datang lagi, tidak datang dua kali lho...jangan sampai nanti menyesal...
Dalam penterjemahan istilah tersebut, konotasi negative atau positif dalam tindakan sangatlah tergantung dari karakter dan pribadi seseorang. Aji Mumpung itu sendiri, ada 2 macam :
1. Aji Mumpung yang positif, seperti : mumpung ada waktu/kesempatan ayo kita gunakan untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak2nya, mumpung badan kita sehat ayo manfaatkan dan kita pelihara kesehatan dengan sebaik2nya karena biaya pengobatan semakin mahal, mumpung punya kemampuan ayo kita bantu orang2 yang membutuhkan.
2. Aji Mumpung yang Negatif, contoh nya: mumpung atasan saya sedang cuti atau tidak di tempat, saya boleh terlambat & pulang cepat, main game, ngerumpi, bisa bekerja seenaknya (boleh menunda2 pekerjaan), mumpung tidak ada yang tau saya boleh mengambil apa yang bukan hak/milik saya, mumpung ada kesempatan saya boleh menggunakan peralatan/fasilitas kantor semaunya, mumpung sedang menjabat saya boleh memanfaatkan wewenang dan fasilitas yang saya miliki untuk keperluan pribadi, mumpung ada yang memberi hadiah saya boleh menerimanya..kan tidak ada yang tau dan saya tidak merugikan perusahaan, dll.
Aji Mumpung timbul karena adanya Peluang.
Sekali lagi, salah satu faktor penyebab terjadinya Fraud adalah faktor Peluang. Dalam banyak kasus korupsi yang terjadi, sebagian besar disebabkan oleh terbukanya peluang, atau peluang yang sengaja dicari-cari oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Peluang tadi dimanfaatkan oleh orang2 tersebut untuk melihat dan mencari celah apa yang dapat dimanfaatkan, dan bila ada maka si Aji Mumpung pun siap aksi.... Dari hal ini, maka prinsip, pola pikir dan pola tindak Aji Mumpung merupakan akar & pemicu terjadinya Fraud, yang harus dikikis dan dihindari.
Selain itu perlu kita waspadai pula, bahwa pola pikir Aji Mumpung ini seperti wabah penyakit yang mudah sekali menular kepada orang lain... orang yang tadinya berkarakter baik dapat terpengaruh dan terseret oleh lingkungannya yang didalamnya terdapat sekelompok orang yang menganut prinsip yang sama. karena dikompori / dipengaruhi, diberi angan-angan hasilnya bisa segera dinikmati bersama, tidak akan ketahuan, dan kalaupun ketahuan ya ditanggung bersama..? Dan tragisnya ternyata ketahuan! semua pelakunya harus menanggung konsekuensi / akibatnya.
Untuk itu istilah Aji Mumpung tadi hendaknya harus dilihat secara positif ditempatkan sesuai porsinya dan dilakukan pada timing yang tepat agar berdampak positif pada diri dan lingkungan dimana kita berada.
Introspeksi untuk kita bersama agar tidak menggunakan prinsip Aji Mumpung secara negative, tetapi harus sebaliknya. Ini semua untuk mendukung upaya meminimalisir risiko operasional yang disebabkan oleh Fraud.
Prinsip, pola pikir dan pola tindak Aji Mumpung pada dasarnya akan membentuk karakter dan mentalitas negatif pula pada diri seseorang!
Stop & hindari prinsip Aji Mumpung! ia bisikan yang akan membuat kita miskin papa" (miskin mental, papa = Panjang Angan2 sehingga Pendek Akal).
Aji mumpung membuat urusan kita tidak rampung-rampung, masalah yang ditimbulkanpun akan semakin menggunung dan akibatnya bisnis pun tidak untung.
Mari kita lakukan segala sesuatunya yang terbaik sesuai dengan tatanan, etika, dan aturan/rules yang berlaku, jujur berlandaskan Akhlak Budi Pekerti dan Integritas yang kokoh. Bukan sekedar kata-kata indah, tetapi buktikan dengan tindakan nyata.
OJO DUMEH & AJI MUMPUNG
Ilustrasi, orang tua kita yang bijak selalu bertutur kata manis, menyejukkan, menentramkan dan selalu menyemangati anak-anak dan cucu-cucunya agar menjadi orang yang baik dan pintar, berbudi luhur dan gemar membantu sesamanya. Sebelum mengakhiri tutur katanya, orang tua tersebut menyebut satu kalimat ungkapan Jawa yaitu Ojo Dumeh.
Makna populernya kira-kira adalah mengunggulkan diri, merendahkan orang lain, suka menghina orang lain. Nasehat itu kemudian ditutupnya dengan sebuah kalimat penyemangat yang bersifat sapu jagad, yakni semoga hidupmu berguna bagi nusa dan bangsa, Nasehat orang tua kita tersebut maknanya sangat dalam, dimensinya luas sekali dan memiliki nilai pendidikan yang di sekolahan belum tentu kita peroleh.
Ojo Dumeh, bolak balik kalimat itu diucapkan orang tua kita kepada anak-anaknya terutama yang berasal dari Jawa. Pengulangan itu dilakukannya pasti mengandung makna yang mendalam. Bisa disebabkan karena khawatir kalau anak-anaknya tidak bisa menjalankan nasehat yang baik dan bijak itu dalam kehidupannya sehari-hari, atau bisa disebabkan karena alasan lain, misal menjadi sombong, acuh tak acuh, egois, tidak peduli terhadap omongan/pendapat orang lain dan cuek terhadap hasil kerja yang dilakukan temannya, meskipun sejatinya karya temannya menurut orang lain adalah baik.
Kesimpulannya, sikap Ojo Dumeh itu tidak baik.Sangat feodalistik dan bernilai tidak positif untuk keperluan pembangunan peradaban. Ojo Dumeh akan menciptakan gap antara si kaya dan si miskin semakin melebar karena Ojo Dumeh adalah menjadi semacam hak eksklusif yang hanya pantas dimiliki orang-orang yang senang dipantaskan dalam kehidupannya.
Sikap ini dapat menjadi kontra produktif bagi gerakan masyarakat madani yang menghendaki agar semua manusia yang hidup dalam suatu negara yang demokratis memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semua berhak maju dan hidup sejahtera tanpa kecuali. Demi masa depan bangsa dan negara dimana kita tinggal dan mencari penghidupan, maka sepantasnya kita dapat bersikap bisa saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Bahkan bisa saling memberikan pengakuan bahwa pada dasarnya apa yang bisa kita kerjakan dalam ukuran skala apapun harus didedikasikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Bayangkan kalau sikap sebagian besar bangsa Indonesia akibat pengaruh globalisasi menjadi berubah secara mendasar ke arah yang salah. Dalam arti sikap itu lebih mendewakan bahwa apa yang dihasilkan oleh bangsa lain lebih baik ketimbang yang dihasilkan bangsa kita sendiri.
Tersirat di dalamnya ada sikap menyepelekan. Yang serba asing dan yang impor itulah yang baik atau paling baik. Inilah sebuah fenomena baru yang lahir ketika masyarakat telah merasa hidup di dalam lingkungan kosmopolitan yang serba modern dan wah. Kalau tidak memakai barang bermerek terkenal buatan luar negeri, dia akan menganggap derajatnya turun. Kalau melihat temannya menggunakan merek lokal diejeknya dengan kalimat zaman gini kok masih senang memakai produk lokal.
Amit-amit nggak levelah. Inilah contoh sikap Ojo Dumeh yang berkaitan dengan sikap meremehkan orang lain. Kita memang tidak bisa menafikkan begitu saja sikap Ojo Dumeh yang masih hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat pada zaman sekarang ini. Yang penting kita lakukan adalah mengubah cara pandang dan gaya hidup yang lebih peduli, ngewongke bukan Ojo Dumeh,atau aji mumpung. Sikap peduli dan ngewongke ini adalah sikap dan modal dasar yang patut terpatri secara kuat dalam setiap insan Indonesia untuk membangun negerinya. Urip ning Indonesia mung sepisan. Apa yang disediakan Tuhan di muka bumi Indonesia adalah miliknya bangsa Indonesia dan kita diperintahkanNya untuk mengolah dan melipatgandakan nilainya untuk kepentingan bangsa Indonesia, bukan untuk keperluan bangsa lain agar uripe podo mulyo lan ora sengsoro.
Mensukseskan progam aku cinta produk Indonesia, bangga terhadap produk dan karya Indonesia mungkin harus dijalankan melalui pendekatan falsafah hidup melalui proses pembelajaran dan pendidikan. Falsafah hidup yang bersifat baik dan positif dan yang hidup di tengah masyarakat di masa lalu maupun di masa kini. Rohnya dimantapkan dulu untuk dimaksimalkan guna mendapatkan hasil yang lebih mengena atas pelaksanaan progam tsb.
Peduli dan ngewongke butuh keteladanan dari para pini sepuh, para tokoh masyarakat dan para pemimpin di negeri ini agar anak-anak dan cucu kita serta generasi muda pada umumnya bisa mencontohnya dan dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Ojo Dumeh dadi wong sugih,jabatane duwur, hidupnya hanya sekedar mung golek wah (gila pujian) dan kemudian lupa membangun negerinya dan lupa memuliakan rakyatnya.
Mumpung dadi wong berpangkat lali karo derajad dan martabat. Izin diobral untuk kepentingan asing karena asing bisa menjadi juru selamat dalam membangun negeri ini. Asing itu nggone wong pinter menguasai teknologi, lha wonge dewe bisone mik mangan turu lan urip kepenak.
Sikap ini, sekali lagi sangat menyesatkan. Karena itu lebih baik kita konsentrasi penuh membangun kemandirian Indonesia di segala bidang baik di bidang pangan, energi, industri manufaktur, industri kecil dan menengah, pariwisata serta seni dan kebudayaan. Kita semua harus peduli dengan itu. Dan kepada para pemimpin jangan bersikap Ojo Dumeh dan aji mumpung.
Memberikan keteladanan untuk hidup sederhana penting dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan para pemimpin kita. Rumah kita dan kantor kita harus mencerminkan adanya kesederhanaan itu. Apa yang ada di rumah kita dan di kantor kita dan bahkan di mal-mal megah sebaiknya diisi oleh berbagai macam karya Indonesia yang sudah baik kualitas maupun harganya.
Perabotan seluruh ruangan semua produksi lokal. Karpetnya hanya bertikarkan lampit rotan atau purun yang enak dipandang. Mobilnya Kijang Inova tidak ada Lamburgini, Ford Mustang atau merek wah lainnya. Dadi wong gede lan sugih akeh godaane. Bagaimana tidak, semua bisa dibeli dengan kekayaan yang dimilikinya.
Rumah mewah besi dibeli,mobil, perlengkapan rumah yang serba wah semua bisa dibelinya. Tabungannya cukup berjibun tersimpan di berbagai bank. Ibaratnya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Astaga. Karena itu jadilah role model bagi kehidupan yang bersahaja, sederhana dan selalu memberikan contoh bahwa menghargai karya orang lain adalah bentuk kepedulian yang paling nyata kalau para pemimpin kita akan membawa negeri ini berperadaban.
Kita abaikan saja sikap Ojo Dumeh lan aji mumpung. Kita lebih baik melakukan konsolidasi total membangun negeri ini. Membangun dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang kita miliki. Kita bangun dan kita muliakan Indonesia dengan seluruh karya yang sudah dihasilkan. Karya untuk modal membangun dan karya untuk bisa dipakai dan digunakan langsung oleh kita maupun oleh masyarakat dunia. Hari depan dan masa depan Indonesia akan banyak ditentukan oleh faktor yang berasal dari dalam.
AJI MUMPUNG SAAT PANDEMI
Selamat kepada Anda yang berkesempatan alami hidup di momentum bersejarah sepanjang masa yaitu pandemi Covid-19. Selain perang dan tentunya ancaman krisis iklim, pandemi termasuk salah satu peristiwa luar biasa yang ampuh meluluhlantakkan kehidupan semua penghuni bumi tanpa pandang bulu.
Semoga Anda dan saya termasuk manusia yang mampu bertahan di tengah proses seleksi alam ini. Jika terkesan sarkas, saya berharap kita semua selalu berada di dalam pemeliharaan Sang Maha Pencipta yang sejatinya mengizinkan pandemi terjadi demi kebaikan.
Sama seperti evolusi, pandemi juga menciptakan suatu perubahan kompleks yang membutuhkan proses penyesuaian secara kontinu dalam jangka waktu panjang. Manakala Pemerintah akhirnya mengumumkan pada Maret 2020 lalu bahwa ditemukan kasus Covid-19 pertama di Indonesia, tiada lagi sikap pura-pura tidak acuh. Dalam hitungan singkat, kebijakan pembatasan sosial berskala besar membahana di semua jejaring media massa dan media sosial.
Alih-alih bersikap tenang dan terkendali, masyarakat malahan berlomba-lomba menunjukkan perilakunya yang tidak manusiawi. Aksi borong obat-obatan dan alat kesehatan terjadi di pasar tradisional maupun pasar modern. Sudah mengakibatkan kelangkaan di berbagai tempat, barang-barang kebutuhan di masa pandemi tersebut juga dijual kembali dengan harga tinggi.
Betul, kesempatan mendulang profit tidak datang dua atau tiga kali. Selagi ada kesempatan, secara logis dan realistis, selama ada permintaan maka penawaran boleh eksis. Namun, bencana nonalam ini tidak pantas dijadikan wadah tumpah ruah unjuk boleh keserakahan mulai dari kelas kakap sampai kelas teri.
AJI MUMPUNG KORUPSI BANSOS
Tanpa ada pandemi pun, dalam situasi darurat, manusia secara natural akan memilih untuk menyelamatkan diri. Begitu juga dengan Pemerintah. Dalam konotasi positif, Pemerintah berusaha betul agar tidak asal mengambil keputusan lockdown atau aturan karantina kewilayahan. Sektor ekonomi menjadi taruhannya, sementara kesehatan dan keselamatan nyawa menjadi prioritas.
Namun, dalam konotasi negatif, Pemerintah jugalah yang menjadi aktor utama dalam menyengsarakan rakyatnya. Sembari memanfaatkan aji mumpung program bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat terdampak pandemi, para pejabat publik tanpa punya rasa malu mengambil hak rakyat tidak mampu.
Kasus korupsi di Tanah Air memang bukanlah hal baru. Sebelum pandemi, berbagai proyek atau program pengembangan dan pembangunan di tingkat pusat hingga daerah selalu membuka celah praktik korupsi. Entah apa penghalang terbesar dari upaya penegakan hukum di Indonesia sampai-sampai koruptor tidak pernah jera. Selalu saja menghasilkan tren terbaru, seperti korupsi bansos Covid-19.
Tampaknya memang percuma mempertanyakan soal hati nurani atau integritas dalam kejahatan korupsi. Namun, untuk mendukung upaya membangun kesadaran malu, saya pikir ada baiknya mengikuti saran dari Cendikiawan Muslim, Quraish Shihab terkait mengganti sebutan koruptor menjadi pencuri.
Dengan begitu, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara selaku terdakwa kasus suap pengadaan bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek, juga sejajar dengan pencuri, perampok dan bahkan maling. Akibat perbuatannya, Komisi Pemberantasan Korupsi menaksir negara mengalami kerugian sebesar Rp2 triliun. Akibat ulahnya pula, marak oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang punya kesempatan sama untuk mencuri dana bansos di tingkat provinsi, kota, kabupaten sampai desa.
Harapan terbesar tentulah agar Juliari dihukum seberat-beratnya sampai-sampai sempat timbul wacana hukuman mati. Sayangnya, Majelis Hakim hanya memberi vonis hukuman penjara 12 tahun. Masyarakat tidak puas, tetapi itu bukanlah kejutan baru dalam arena keadilan.
Kejutan justru muncul dari kasus bunuh diri yang dilakukan seorang kepala dusun di Batang, Jawa Tengah. Berdasarkan pengakuan korban melalui tulisan surat wasiatnya, Sang Kadus mengaku telah menyalahgunakan dana bansos untuk kepentingan pribadi. Penyesalan yang ditanggungnya, justru dilunasinya sendiri dengan hukuman mengakhiri hidup.
JIKA PANDEMI PERGI
Konon, mimpi itu harus setinggi langit. Begitu juga dengan impian agar pejabat publik selalu mengedepankan prinsip jujur dan adil dalam mengemban tugasnya untuk melayani negara. Tidak ada niatan generalisasi. Paling tidak, ada harapan agar momen-momen pejabat negara aji mumpung di masa pandemi dapat mereda dan akhirnya musnah saat pandemi pergi.
Namun, tampaklah mustahil apalagi jelang tahun politik di 2024. Partai-partai politik sudah memperlihatkan penampilan terbaiknya melalui pemasangan baliho. Untunglah, masyarakat sudah peka dengan memberi teguran dan kecaman agar pejabat publik berhenti mencari panggung di masa pandemi.
Jika tiba waktunya nanti, semoga saja saat tayangan debat calon kepala daerah dan kepala negara, atau bahkan selama masa kampanye, tidak ada koar-koar soal penanganan pandemi. Saya ogah membayangkan ada yang tampil berkacak pinggang sembari menepuk dadanya sendiri seolah mengatakan, Saya lebih mampu mengatasi pandemi sampai tuntas.
Bagaimana pun juga, hanya Tuhan yang tahu apakah pandemi Covid-19 benar-benar bisa berakhir dan apakah peradaban bisa kembali pulih.