SEJARAH MAJAPAHIT / WILWATIKTA (PANDANGAN & VERSI)
Wilwatikta adalah Majapahit Kebesaran Majapahit adalah Nusantara.
Wilwatikta sering kali disebut sebagai sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yaitu Kerajaan Majapahit. Wilwatikta merupakan bahasa Sansekerta yang berarti Pohon Maja. Menurut Kitab Pararaton Kerajaan Majapahit semula adalah suatu perdikan atau sima yang terletak di hutan orang Terik, dianugerahkan dari Jayakatong (Jayakatwang) kepada Raden Wijaya. Pada saat orang-orang pekerja dari Madura membabad Hutan Terik karena kehabisan bekal dan lapar, maka dipetik lah buah Maja di hutan tersebut dan dimakan namun apa yang terjadi malah membuat orang yang makan tersebut kepahitan akhirnya dibuang. Untuk mengingat jasa para pembabad hutan tersebut maka desa baru tersebut dinamakan Majapahit (Padmapuspita, 1966: 76). Banyak kalangan yang menyatakan bahwa Hutan Terik letaknya sekarang menjadi Desa Tarik Kecamatan Tarik, di Kabupaten Sidoarjo. Namun belum adanya sumber prasasti akan kepindahan Kerajaan Majapahit dari Desa Tarik ke Trowulan maka, boleh lah saya berpendapat bahwa Hutan Tarik terletak di Trowulan saja, tidak ditempat lain.
Wah lagi Menunggu Prasasti yang menyatakan adanya pemindahan kerajaan Majapahit ke Trowulan.
Menurut Moh. Yamin (1962: 148-149), Pohon Maja memiliki manfaat yang begitu banyak diantaranya adalah getahnya sebagai penyamak kulit. Buah Maja juga digunakan sebagai obat disentri, kayunya digunakan sebagai hulu keris dan bijinya digunakan untuk perekat salah satunya berguna untuk perekat hewan (burung) pada saat berburu. Selain itu Pohon Maja digunakan sebagai batas suatu daerah. Oleh karena itu maka Pohon Maja banyak ditanam di Pulau Jawa. Apabila nama Majapahit atau Wilwatikta keberadaannya sekarang di Trowulan maka untuk membuktikan kebenaran tersebut alangkah baiknya pertama-tama kita haruslah menemukan atau mencari nama sebuah desa yang memiliki kemiripan atau persamaaan dengan nama Buah Maja di dekat daerah Trowulan.
Di Kabupaten Mojokerto yang letaknya di dekat Kecamatan Trowulan banyak sekali desa yang mengandung nama Pohon Maja, diantaranya adalah sebagai berikut: di Kecamatan Sooko yang letaknya berbatasan langsung dengan Kecamatan Trowulan terdapat nama Desa Mojoranu dan Desa Modjongan. Di Kecamat Puri juga terdapat nama Desa Balongmojo, di utara Kecamatan Puri juga terdapat nama Kecamatan dan Desa Mojoanyar. Sedangkan di Kecamatan Bangsal terdapat nama Desa Mojotamping yang berbatasan dengan Kecamatan Mojosari dan juga memiliki desa yang bernama Modjopuro, dan Desa Mojosulur. Sedangkan di Kecamatan Jatirejo yang merupakan batas selatan dari Kecamatan Trowulan terdapat nama Desa Mojokuning. Selain itu di Kecamatan Dlangu terdapat nama Desa Mojokarang.
Sedangkan perbatasan sebelah barat Kecamatan Trowulan adalah Kabupaten Jombang. Di barat Kecamatan Trowulan terdapat nama Kecamatan Mojoagung yang terdapat nama Desa Mojoagung, Mojotrisno dan Desa Dukuhmojo. Kabupaten Jombang dan Mojokerto dahulu merupakan satu wilayah dengan nama Japan (Mojokerto) dan Wirosobo (Jombang) namun wilayah ini di pecah menjadi dua pada tahun 1933 (Zaen, 1998: 25), seperti yang kita ketahui sekarang. Di sebelah barat Kecamatan Mojoagung terdapat Kecamatan Mojowarno yang dimana juga memiliki Desa Mojowarno, Mojoduwur, Mojowangi, dan Desa Mojojejer. Di Kecamatan Bareng juga terdapat nama Desa Mojotengah. Di jelaskan dimuka bahwa orang Madura yamg membabad hutan orang Terik, oleh karena itu hutan tidak lah harus Pohon Maja saja yang hidup tetapi ada pohon lain yang berada di hutan tersebut. Melihat toponimi akan keletakan Majapahit di Trowulan maka di daerah sekitarnya terdapat nama desa yang diambil dari nama tumbuhan-tumbuhan yang sebagian besar dapat dijumpai di sebuah hutan. Seperti Jatirejo, Jambuwok, Sumberjati, Jatipasar, Pakis, Sumbertebu, Talunkidul, Wringinpitu dll.
Menurut Prasasti Kudadu, pada tahun 1292 Masehi terjadi pemberontakan Jayakatwang Bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya dan Ardharaja ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Raden Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara. Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Dalam perlarian ke Kudadu, Ardharaja membelot kearah musuh dan bergabung dengan musuh setelah dikibarkan bendera bang putih (Merah Putih). Akhirmya Raden Wijaya berjuang bersama sisa pasukannya. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia sampai ke wilayah Kudadu, meminta bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Aryawiraraja walaupun berumur empat puluh tahun merupakan seorang yang memiliki taktik atau strategi ulung. Dalam Kitab Pararaton dikisahkan bahwa Jayakatong bersekutu dengan Aryawiraraja.Menurut pendapat saya hal ini merupakan taktik untuk melenyapkan Jayakatwang dan Kertanegara sendiri karena kita ketahuai Aryawiraraja menjadi besar karena berkat ayahnya hal ini adalah kakeknya (Mahisa Campaka) karena dalam Nagakrtagama menyebutkan bahwa ayah Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal). Mahisa Campaka adalah seorang pemegang kekuasaan kedua setelah Sminingrat. Dalam Prasasti Mula-Malurung disebutkan bahwa Jayakatwang sendiri merupakan adik ipar Krtanegara karena telah menikah dengan Turuk Bali dan anaknya Ardharaja dalam Pararaton dijelaskan secara gamblang bahwa dia mendapat istri dari anak Krtanegara. Sedangkan Jayakatwang masih memiliki darah dengan Raja Kadiri yaitu Kertajaya yang dihancurkan oleh Ken Arok.
Dalam uraian Pararaton juga dijelaskan bahwa Raden Wijaya akan dinikahkan dengan kedua putri Krtanegara sedangkan menikah dengan 4 putri krtnagara setelah berhasil menyerang Jayakatwang. Sedangkan yang menjadi menantunya adalah Ardharaja anak Jayakatwang dengan Turuk Bali. Oleh karena itu Raden Wijaya tidak berhak mewarisi tahta kerajaan. Apabila kita merunut dari uraian Pararaton Prasasti Mula-Malurung dan Prasasti Kudadu jelas sekali bahwa trah Kadiri akan muncul lagi. Hal ini belum terpikirkan oleh semua orang, trah murni dari Ken Arok dan Ken Dedes adalah Raden Wijya sendiri. Sedangkan Krtanegara bukan trah asli dari Ken Arok karena dia merupakan keturunan dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes yang merupakan wakil dari Kadiri.
Tunggul Ametung-Anusapati-Sminingrat (Wisnuwardhana) Kertanegara. Untuk melenyapkan trah Kadiri dan membalas budi mendiang kakek Raden Wijaya yaitu Mahisa Campaka selain itu juga untuk menjaga trah Rajasa maka Aryawiraraja menggunakan taktiknya agar Jayakatwang menyerbu Kerajaan Singhasari yang dipegang Krtanegara.
Kita ketahui bahwa Kertanegara kalah oleh Jayakatwang dikarenakan Kertanegara hanya memusatkan akan serangan dari Kerajan mongol yaitu Khubilaikan. Oleh karena itu di adakan ekspedisi Pamalayu untuk membendung kekuasaan Mongol hingga ke Jawa. Ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan Kertanagara tidak lah bualan belaka karena di Sumatera terdapat Prasasti yang menyebutkan nama Krtanegara dan pengiriman sebuah arca Amogapasa Lokeswara kepada Raja muda Sri Wisjwarupa yaitu penguasa Kerajaan Malayu. Prasasti ini disebut dengan Prasasti Padang Arca yang bertarikh Saka 1208 atau 1286 Masehi. Inilah yang melatar belakangi Aryawiraraja memerangi kedua belah pihak yang merupakan trah dari Kadiri namun Jayakatwang tidak meyadari bila Krtanegara merupakan keturunan Tunggul Ametung Wakil dari Kadiri di timur Gunung Kawi.
Bersama Aryawiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Raden Wijaya di pelabuhan Jungbiru. Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut.
Maka tidak mengherankan apabila Hutan orang Terik letaknya berada di Trowulan sekarang. Maka Wilwatikta atau Majapahit dahulu pertama kalinya adalah sebuah desa yang lama-kelamaan berkembang dan menjadi sebuah Kerajaan.
Untuk mempertegas Majapahit atau Wilwatikta ada di Trowulan, Pada masa Hayam Wuruk, Pada Prasasti Trowulan I disebutkan bahwa beliau memiliki Gelar “Cri tiktawilwanagaraecwara” yang berarti “yang menguasai atau menjadi kepala Negara Wilwatikta. Sedangkan nama “tikta wilwa-nagara atau Negara Majapahit sudah ada sejak di keluarkan Prasasti Berumbung yang bertarikh Masehi 1329. Selanjutnya kita akan mencari dimanakah ibukota Majapahit atau Wilwatikta? Dalam uraian Nagarakrtagama sudah dijelaskan dengan terang pada saat Hayam Wuruk melakukan kunjungannya ke Lumajang, pertama-tama rombongan Hayam Wuruk setelah dari karatonnya menuju Japan. Japan menurut Prapanca, pada saat rombongan Hayam wuruk pulang dari kunjungannya ke Lumajang, Japan berada di barat Tebu, kini wilayah Tebu berubah menjadi Desa Sumber Tebu (Sidomulyo, 2007: 29-31), “tambening kahawan winarnna ri Japan khuti-khuti hana candhi sak rebah, wetan tang tebu…” yang artinya mula-mula yang dikunjungi adalah Japan dengan asrama-asrama dan candi yang rusak dan rebah, sebelah timurnya tebu (Riana, 2009: 121).
Sedangkan pada saat setelah Hayam Wuruk mengunjungi Simping beliau melakukan perjalanan pulang melewati Surawana dan Bekel.
" Rayuntuk sri narapatya margga ri jukung joyana bajran pamurwwa, prapta raryyani bajra laksmi namegil ring surabhane sudharmma, enjing ryangkatiran pararyyani bekel sonten dhateng ring swarajya, sakweh sang mangiring muwah te-/- lasumantuk ring swawesmanya sowing…..”
Artinya:
Baginda pulang melalui Jukung, Joyana, Bajran terus ke timur, berhenti di Brajalaksmi bermalam di Candi Surabawana, paginya berangkat pula berhenti di Bekel sore hari tiba di istana, semua pengiring telah pulang ke rumahnya masing masing….” (Riana, 2009: 302-306).
Nama Candi Surabawana oleh para ahli sejarah dan arkeologi ditujukan untuk tinggalan candi yang terletak di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Jadi rombongan Hayam Wuruk apabila Brajalaksmi terletak di Kampung Cina atau di Desa Panjer ini dibenarkan maka arah rute perjalanannya ke timur laut. Jadi urain dari Prapanca bahwa arah yang dilalui Hayam Wuruk untuk menuju ke Candi Surabawana bukanlah ke timur melainkan ke arah timur laut. Setelah menginap di Candi Surabawana Hayam Wuruk beserta rombongannya menuju ke Bekel dan berhenti, selanjutnya pada saat sore hari tiba di Istana Majapahit.
Nama Bekel merupakan nama jabatan untuk lurah suatu daerah. identifikasi Bekel dapat dijumpai dalam tamra prasasti yang bertarikh Saka 893 (971 Masehi) ditemukan di Pelem, Kabupaten Mojokerto dengan nama juru ri bkel sebagai salah satu peserta dalam upacara penetapan sima (Brandes, 1919: 116-119). Dalam prasasti tersebut juga di sebut juru ri kanta, juru ri kijangan, juru ri kuwu, juru ri lekan, juru ri telaga, dan juru ri walasah. Nama juru tersebut hingga kini sebagian besar terletak di daerah Kabupaten Kediri seperti juru ri kanta (Sungai Konto) dan juru ri kijangan (Desa Kunjang). Selain itu juga terdapat Dusun Bekel, yang terletak di Desa Kepuhkajang, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang.
Mengingat akan rute perjalanan Hayam Wuruk bila sore tiba di istana maka lokasi Bekel haruslah di cari di dekat Candi Surabhawana. Apabila nama Bekel yang diuraikan dari Kakawin Nagarakrtagama sama dengan juru ri bkel maka di wilayah Kecamatan Bareng terdapat sebuah desa yang mirip namanya dengan Bekel yaitu Desa Pakel. Apabila pendapat ini benar maka kemungkinan rute perjalanan Baginda raja adalah dari Candi Surowono ke arah timur hingga sampai Desa Kandangan dengan menyeberangi Kali Konto dan menjurus langsung ke utara hingga sampai di Desa Pakel, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Selanjutnya rombongan raja kemungkinan besar menjurus langsung utara hingga sampai di Japanan dan Dukuhmojo. Japanan merupakan tugu batas Keraton Majapahit yang berbentuk Yoni segi lima. Sesampai di Desa Dukuhmojo rombongan Hayam Wuruk membelok ke timur dan sampai istana Kerajaan Majaphit.
Menurut Laporan Ma-Huan, seorang Cina yang mengikuti Cheng Ho pada tahun 1413 Masehi menjelaskan bahwa Raja Jawa tinggal di Man-che-po-i (atau Majapahit), sebuah kota tanpa tembok, yang dicapai dengan melalui Sungai Su-lu-ma-i (Surabaya) sampai ke Cangku (Canggu), kemudian berjalan ke arah barat daya selama setengah hari. Hal ini sesuai dengan cerita pada Kitab Pararaton bahwa Pasukan Tartar dari Tuban masuk ke Majaphit berhenti di Cangku (Canggu) dan mengunjungi Majapahit. Sedangkan dari karya sastra Kidung Wargasari mengisahkan tentang calon dharmadyaksa di Majapahit. dikisahkan pada saat wargasari bersama kekasihnya, Narwati pada saat itu berada di sebuah pegunungan di selatan keraton Majapahit sambil duduk di tepi sungai di Sajabung (Lebakjabung) pada siang hari, mereka memandang jauh ke arah utara samapi Bubat. Wargasari mengusulkan akan berkunjung ke seorang guru ke Lmah Tulis. Rute Perjalanannya melalui Banjaran Getas (Dukuh Getas) dan Kumitir (Desa Kumitir) yang semuanya sekarang berada di Kecamatan jatirejo) selanjutnya ke arah utara melewati pinggir kota Majapahit, akhirnya sampai lah ke Lemah Tulis pada sore hari (Sidomulyo, 2007: 13-17).
Nama Lemah Tulis mengingatkan kita akan cerita Calon Arang yang dimana Lemah Tulis merupakan tempat pertapaan Mpu Bharada yang merupakan guru dari Airlangga, yang menarik dari sini adalah pada saat Mpu Bharada melakukan lawatan ke Pulau Bali. Dikisahkan dalam Cerita Calon Arang bahwa pertama-tama setelah dari Lemah Tulis Mpu Bharada ke Timur melewati Watulangi, Sangkan-adoh, Banasara, Japan, Pandhawa, dsb sampai bermalam di Khuti-khuti, keesok harinya berjalan melewati Kapulungan dsb (Santoso, 1975: 53). Hal yang menarik dari sini adalah rute perjalanan Mpu Bharadah mirip sekali dengan apa yang dilakukan oleh Hayam Wuruk ketika mengunjungi daerah Lumajang. Setelah moksa bersama putrinya Mpu Bharadah pertapaan Lemah Tulis dikasihkan kepada muridnya, dan selanjutnya dikenal dengan pertapaan Murare. Menurut Hadi Sidomulyo (2007: 18), pertapaan Murare mengingatkan akan kuburan Wurara, tempat penahbisan arca mahaksobhya (Joko Dolok). arca ini ditemukan untuk pertamakalinya di Dusun Kedungwulan (Bejijong), tepatnya di situs Siti Hinggil, kiranya inilah letak bekas pertapaan Mpu Bharadah.
Berdasarkan analisis perjalanan Wargasari, dapat di simpulkan bahwa Kota inti Majapahit membentang dan berbatasan langsung dari desa Temon (kali kepiting) di sebelah selatan dan Desa Kumitir di sebelah Timur sampai Trowulan di utaranya yang berbatasan langsung dengan Desa Bejijong, sebelah barat yaitu Dusun Subontoro (Sabyantara) yang dapat dihubungkan dengan tempat pendharmaan Bhre Paguhan beserta istrinya Bhre Pajang. Subontoro terletak di Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang. Jadi batas Kota inti Keraton Majapahit adalah jaringan kanal-kanal. Jadi ibukota Majapahit atau Wilwatikta berada di Trowulan.
Namun pada saat Majapahit tenggelam dan menuju keruntuhannya terjadi konflik dikalangan keraton, yaitu perang paragreg, yang membuat Majapahit semakin tenggelam, Menurut pararaton Pada masa Dyah Suraprabawa atau Pandan Salas telah mendapat serangan dari Khertabhumi sehingga Kertabhumi berkuasa di Majapahit dan Pandan salas melarikan diri ke Daha dengan membuat ibukota baru dengan titel Kerajaan majapahit juga pada tahun 1468 Masehi. Maka di Kerajaan Majapahit terdapat dua penguasa dan dua ibukota.
Pada masa Ranawijya telah menyelenggarakan upacara sraddha untuk memperingati dua belas tahun mangkatnya Paduka Bhattara ring Dahanapura pada tahun 1486 Masehi (Sumadio, 1992: 444). jadi Ranawijaya adalah anak dari Pandan Salas. Ranawijaya telah menyerang Khertabhumi di Keratonnya di Majapahit Trowulan. Hal ini di peringati dengan penetapan Sima Trilokyapuri kepada sri Brahmaradja Ganggandra dan mendapatkan anugerah berupa tanah di talasan, pung dan batu pada tahun 1486 Masehi.
Pada masa Ranawijaya memiliki patih yang bernama Pate Udara, Pate Udara memiliki kewenangan selakyaknya Raja ranawijaya. Pada tahun 1518-1521 Kerajaan Demak yang di Pimpin Oleh Pati Unus menyerang Daha dengan dua bala tentara yang satunya dipimpin oleh seorang Imam Demak yaitu Rahmattullahi namun gagal. Serangan selanjutnya dilakukan oleh Djafar al-Sidiq (Sunan Kudus), putra imam yang telah gugur sebelumnya. Akhirnya Kerajaan Majapahit di Daha runtuh, untuk mengenang ayahnya Sunan kudus membuat suatu inskripsi. Inskripsi ini terletak di Pemakaman Sentono Gedong, Kota Kediri. Inskripsi ini bertarikh 92... H (1514- 1523 Masehi) karena dibelakang angka 2 tidak terbaca satuannya. Inskripsi ini memiliki kesamaan dengan inskripsi yang sekarang berada di Masjid Kudus yang tahun tariknya berbeda yaitu 956 H atau 1549 Masehi (Guilot & Ludvik Kalus, 2008: 140-143). di Makam sentono Gedong ini juga terdapat tinggalan masa Islam lainnya berupa Nisan yang memiliki gambar surya matahari dan tinggalan masa Hindhu yaitu berupa asana yang bergambarkan empat ekor burung yang mengelilinginya dan tugu memanjang, dll.
Kesimpulan :
Jadi kerajaan Wilwatikta (Majapahit) ibukotanya berada di Trowulan pada masa Raden Wijaya hingga Kertabumi, namun pada saat kepemimpinan Kertabumi terdapat juga kerajaan Majapahit dengan ibu kota di Daha.
Majapahit runtuh diserang kerajaan Demak pada masa kekuasaan Pati Unus (1518-1521 M).
MATA UANG MAJAPAHIT (WILWATIKTA)
Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) adalah kerajaan yg bersifat Agraris sekaligus Maritim. Dikenal luas sebagai penghasil : Hasil Bumi (Pertanian) dan Pertambangan di kawasan Asia, karenanya merupakan mitra dagang bagi seluruh kawasan Asia bahkan Persia dan Timur Tengah.
Dalam melaksanakan perdagangan dilakukan beberapa methode, dengan barter ataupun jual beli. Khusus untuk jual beli, Majapahit menggunakan beberapa mata uang sekaligus guna memperlancar perdagangannya.
Bila berdagang dengan pedagang CHINA, digunakan mata uang GOBOG CHINA (Kepeng China). Pada awalnya mata uang ini didatangkan dari daratan China, yang kemudian diproduksi oleh Kerajaan Majapahit sebagai mata uang resmi perdagangan pesisiran (tepi pantai Laut Jawa). Itulah sebabnya banyak ditemukan peninggalan ini di daerah pesisir. Uniknya menurut catatan Kekaisaran China, mata uang seluruh dinasti kekaisaran China berlaku di Majapahit.
Bila berdagang dengan pedagang PERSIA dan TIMUR TENGAH, digunakan uang GOBOG MUSLIM (Kepeng Arab). Yang diciptakan sebagai mata uang resmi perdagangan antara pedagang PERSIA / TIMUR TENGAH dengan Majapahit.
Sedangkan untuk pedagang NUSANTARA, digunakan uang GOBOG WAYANG (Kepeng Jowo).
Khusus untuk mengatasi masalah perdagangan dan peredaran mata uangnya, diberlakukan semacam wilayah otorita dan diangkat pejabat yang mengawasinya. Yang tercatat dalam dokumen prasasti adalah pengangkatan ARYA TEJA sebagai jaksa dan pengawas perdagangan di daeran Tuban mewakili Majapahit untuk para pedagang Muslim dari Persia dan Timur Tengah. BHRE PAMOTAN kerabat raja dengan posisi yang sama untuk wilayah Pamotan (Delta sungai Porong, jalur masuk menuju ibukota) untuk pedagang dari China.
Bagi pedagang yang tidak menerima pembayaran dalam bentuk mata uang GOBOG, Kerajaan Majapahit mempunyai nilai konversi logam mulia yang disebut NISKALA. Mata uang logam mulia ini terdiri dari PERAK dan EMAS.
SEJARAH KERAJAAN TERBESAR DI NUSANTARA MAJAPAHIT/ WILWATIKTA
Majapahit adalah sebuah kemaharajaan terbesar yang pernah berdiri di nusantara dari tahun 1293 Masehi hingga tahun 1500-an. Pada puncak kejayaannya, wilayahnya terbentang sangat luas, mulai dari Champa di Vietnam, Melaka, ujung utara Sumatera, Pahang, kalimantan, Bali hingga ke timur sampai Papua.
Majapahit beribukota di wilayah yang kini menjadi Trowulan Mojokerto, Jawa Timur.
Nama Majapahit berasal dari kata ‘maja’ dan ‘pahit’. Konon saat orang-orang Madura yang membatu raden Wijaya membuka hutan Tarik tengah beristirahat, mereka menemukan buah maja dan memakannya, namun buah itu rasanya pahit. Nama lain Majapahit adalah Wilwatikta yang dalam bahasa Sansekerta bermakna sama, yaitu pohon maja (vilva) dan tikta (pahit).
SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN MAJAPAHIT, PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI
Kelahiran kerajaan Majapahit tidak bisa dilepaskan dari runtuhnya Tumapel atau Singhasari. Pendiri Majapahit adalah Raden Wijaya (dalam Prasasti Kudadu namanya disebut sebagai Nararya Sanggramawijaya) yang merupakan menantu raja terakhir Singhasari. Maka tepat kiranya bila Majapahit disebut sebagai penerus kejayaan Singhasari.
Pada tahun 1292, Raja bawahan Singhasari dari Glang-glang (sekarang dusun Gelang dan Ngurawan Dolopo Madiun) yang bernama Jayakatwang, menyerbu ibukota dan membunuh penguasa terakhir Singhasari, yakni Raja Kertanegara.
Kisah seputar kejatuhan Singhasari dapat juga dibaca di artikel Napak Tilas Rute Pelarian Raden Wijaya ke Madura
Pasukan Glang-glang menyerang dari arah utara dan selatan. Pasukan yang datang dari utara adalah Pasukan pancingan untuk mengalihkan perhatian, sedangkan pasukan induk datang dari selatan. Raja Kertanegara yang tidak menyadari tipu daya ini mengirimkan Raden Wijaya untuk menghadang musuh dari utara. Ibukota dapat direbut oleh pasukan penyerbu lewat selatan dan Kertanegara beserta para pembesar kerajaan terbunuh.
Pasukan Raden Wijaya tidak mampu mengalahkan musuh bahkan pada akhirnya mereka dikejar-kejar hingga hanya tersisa Raden Wijaya beserta 12 orang pengikutnya. Diantara pengikutnya yang tersisa adalah Nambi, Lembusura, Ranggalawe, dan Gajah Pagon. Raden Wijaya yang terdesak melarikan diri ke Madura dan meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja, Bupati Songeneb (Sumenep).
Arya Wiraraja menyarankan Raden Wijaya agar meminta pengampunan dan mengabdi pada Jayakatwang.
Atas upaya diplomasi Arya Wiraraja, Jayakatwang menerima Raden Wijaya. Raden Wijaya diperkenankan membuka Hutan Trik (sekarang Desa Tarik Mojokerto) untuk dijadikan pemukiman.
Nama Majapahit dipergunakan saat rakyat yang lelah bekerja membuka hutan menemukan buah maja namun rasanya pahit. Dalam Prasasti nama lain Kerajaan Majapahit adalah Wilwatikta.
Pasukan Tartar yang dikirim Maharaja Cina Kubilai Khan mendarat di Tuban untuk menghukum Raja Jawa yakni Kertanegara yang sebelumnya menolak mengakui Cina dan bahkan membuat cacat utusan yang dikirim.
Raden Wijaya memanfaatkan Pasukan Tartar untuk menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan, Raden Wijaya berbalik mengusir Pasukan Tartar dari tanah Jawa.
Ia kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana pada tanggal 15 bulan Kartika 1215 Saka (12 November 1293).
SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN MAJAPAHIT, DESENTRALISASI
Sistem pemerintahan Majapahit adalah kerajaan dimana kekuasaan tertinggi dipegang oleh maharaja yang diangkat secara turun temurun.
Kerajaan terbagi dalam wilayah sebagai berikut :
1. Bhumi: pusat kerajaan, tempat kedudukan penguasa tertinggi dan kerabat istana
2. Nagara: untuk padanan jaman sekarang barangkali adalah propinsi, diperintah oleh rajya atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan keluarga dekat raja), bhatara, wadhana atau adipati
3. Watak: setingkat kabupaten, dipimpin oleh seorang tumenggung atau wiyasa
4. Kuwu: semacam kademangan dipimpin oleh lurah atau demang
5. Wanua: setingkat desa, dipimpin oleh rama
6. Kabuyutan: lingkungan, padukuhan, dusun kecil, dipimpin oleh seorang buyut atau rama atau kepala dukuh. Kabuyutan bisa juga diartikan sebagai kumpulan penganut keagamaan di suatu tempat.
Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh berbagai badan atau pejabat berikut :
1. Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu.
2 Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini dikenal sebagai Sang Panca ring Wilwatika. Di antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi merupakan pejabat yang paling penting. Ia menduduki tempat sebagai perdana menteri. Bersama sama raja, ia menjalankan kebijaksanaan pemerintahan.
3. Selain itu terdapat pula dewan pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu yang beranggotakan penasehat senior yang dijabat orang tua, kerabat sepuh, atau paman raja.
4. Dalam kalender tatanegara, setiap bulan pertama Caitra (sekitar Maret-April) semua utusan dari wilayah taklukan menghadap istana untuk memberikan upeti. Secara umum, tata pemerintahan Majapahit terbagi 3: keraton yang termasuk ibukota dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan, wilayah-wilayah di jawa Timur dan Bali yang dikepalai pejabat yang ditunjuk raja, serta raja-raja vasal negri taklukan yang memiliki otonomi luas.
5. Prasati Waringin Pitu membeberkan apa saja kerajaan bawahan Majapahit dan siapa para pemimpinnya, yakni :
6. Bhre Daha, yang dijabat oleh Sri Bhattara Jayawardhani Dyah Jayeswari
7. Bhre Kahuripan, yang dijabat oleh Rajasawardhana Dyah Wijaya Kumara
8. Bhre Pajang, yang dijabat oleh Dyah Sureswari
9. Bhre Wengker, yang dijabat oleh Girisawardhana Syah Surya Wikrama
10. Bhre Wirabhumi, yang dijabat oleh Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari
11. Bhre Matahun, yang dijabat oleh Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya
12. Bhre Tumapel, yang dijabat oleh Singa Wikrama Wardhana Dyah Sura Prabawa
13 Bhre Jagaraga, yang diabat oleh I Sri Bhattara Wijaya Indudewi Dyah Wijaya Duhita
14. Bhre Tanjungpura, yang dijabat oleh Manggalawardhana Dyah Suragarini
15. Bhre Kembang Jenar, yang dijabat oleh Rajanandeswari Dyah Sudarmini
16. Bhre Kabalan, yang dijabat oleh Mahamahisi Dyah Sawitri
17. Bhre Singhapura, yang dijabat oleh Rajasa Wardhana Dewi Dyah Seripura
18. Bhre Keling, yang dijabat oleh Girindrawardhana Dyah Wijaya Karana
19. Bhre Kelinggapura, yang dijabat oleh Kamalawarnnadewi Dyah Sudayita
20. Menteri kerajaan atau yang disebut dengan Menteri Katrini ada 3 :
21. Rakryan Menteri Hino Dyah Sudewa
22. Rakryan Menteri Sirikan Dyah Sudarcana
23. Rakryan Menteri Halu Dyah Jubung
24. Menteri Sang Panca Wilwatikta :
25. Rakryan Rangga Mpu Capana
26. Rakryan Kanuruhan Mpu Samparka
27. Rakryan Demu Mpu Pambubuh
28. Rakryan Tumenggung Mpu Gading
29. Rakryan Mapatih Majapahit Gajah Geger
30. Terdapat dua pemimpin keagamaan tertinggi, yakni Dharmadyaksa ring Kasaiwan yang mengurusi agama Syiwa (Hindu) dan Dharmadyaksa ring Kasogatan sebagai pendeta tertinggi umat Buddha.
MASA PUNCAK KEEMASAN MAJAPAHIT SUPER POWER ABAD XIV
Puncak kejayaan Majapahit oleh banyak ahli dikatakan terjadi pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350-1389 M). Mahapatih Gajah Mada yang berwawasan luas berhasil mewujudkan sumpah Palapa. Ia menaklukan banyak kerajaan dan wilayah-wilayah baru yang jauh letaknya di bawah kekuasaan imperium Majapahit. Doktrin politik Cakrawala Mandala Dwipantara warisan raja terakhir Singhasari, Kertanegara berhasil dikejawantahkan dengan gilang-gemilang.
Situasi politik dan keamanan demikian stabil sehingga memungkinkan Hayam Wuruk melakukan inspeksi kenegaraan ke berbagai wilayah di Jawa timur beberapa kali dan merenovasi banyak bangunan keagamaan dan candi-candi leluhurnya. Salah satu pujangga keraton bernama Mpu Prapanca yang ikut dalam rombongan inspeksi kerajaan, berhasil menulis Desawarnana atau yang lebih dikenal sebagai Negarakretagama. Kitab ini merupakan sumber primer yang tidak ada duanya yang menjadi rujukan utama sejarawan dalam menggali kebesaran Majapahit. Kelebihannya terletak pada sang penulis yang terlibat langsung dengan kejadian dan masa ditulisnya yang bersamaan dengan terjadinya peristiwa (bandingkan dengan Pararaton yang ditulis dua ratus tahun setelahnya, atau Kidung Harsawijaya yang dibuat pada masa kerajaan Islam).
Majapahit disebutkan sebagai negara besar yang kaya raya dan penduduknya makmur. Dari sisa reruntuhan, ibukota kerajaan diperkirakan dikelilingi pagar tembok tinggi sepanjang 10 kilometer. Terdapat peninggalan berupa kanal air diberbagai tempat. Aretefak berupa perhiasan, arca, perlengkapan keagamaan, maupun alat makan yang banyak beredar di pasar atau pelelangan internasional menunjukkan ketrampilan seni yang tinggi. Kesenian berupa tari (disebutkan Hayam Wuruk muda pinter menari topeng) dan karya sastra berkembang pesat.
KEMUNDURAN MAJAPAHIT HINGGA KERUNTUHANNYA INTRIK POLITIK DAN PERANG SAUDARA
Majapahit mengalami berbagai kemunduran yang signifikan sebelum akhirnya benar benar bubar. Penyebab runtuhnya Majapahit diantaranya adalah faktor-faktor berikut ini :
1. Majapahit tumbuh menjadi sangat besar dan luas, sehingga masalah yang muncul menjadi lebih kompleks dan lebih sulit diselesaikan. Tampaknya tidak ada regenerasi pimpinan yang memadai.
2. Tome Pires melaporkan bahwa bahwa setelah sukses menggapai tujuannya, orang Majapahit terlalu percaya diri dan terlalu hidup bersenang-senang.
3. Munculnya perebutan kekuasaan dan intrik intrik politik ditingkat elit di dalam lingkaran istana
4. Tumbuhnya paham baru, yakni agama Islam yang mulai berkembang dari pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa. Tome Pires mengatakan bahwa Raja Sunda tidak mengijinkan pedagang muslim berniaga di wilayahnya karena tidak ingin terjadi kekacauan seperti di Majapahit. Dapat diartikan bahwa penganut agama baru semakin besar dan pengaruh politiknya semakin kuat pula sehingga membawa ketidakstabilan pada kehidupan kenegaraan Majapahit.
5. Perang saudara mengakibatkan turunnya wibawa Majapahit sehingga banyak wilayah yang memisahkan diri. Tercatat bahwa Raja Majapahit pernah tinggal simbol saja karena pemegang kekuasaan tertinggi ada pada Patih Udara.
6. Munculnya perlawanan dari Kesultanan Demak yang didirikan oleh Raden Patah, yang masih kerabat Raja Majapahit pada tahun 1475.
7. Perang antara Demak dan Majapahit yang berlarut larut semakin memperlemah Majapahit hingga pada masa Demak dipimpin Sultan Trenggana, Majapahit jatuh dan istananya dibumi hanguskan. Sisa-sisa prajurit Majapahit yang lari ke Gunung Penanggungan dikejar dan dihabisi. Para bangsawan melarikan diri ke segala penjuru termasuk ke Bali.
8. Tahun 1518 Masehi seorang pengelana Portugis bernama Duarte Barbosa menulis bahwa masih ada raja Pagan (Penyembah berhala, tentu yang dimaksud belum beragama Islam) di pedalaman Jawa sementara sebagian besar daerah yang lain terutama di utara pesisir Pulau Jawa sudah diperintah oleh raja muslim. Tahun 1522 Masehi ilmuwan dan penjelajah dari Venesia, Italia bernama Antonio Pegafetta menulis bahwa di Jawa sudah tidak ada lagi kekuasaan Kerajaan yang bernama Majapahit.
9. Prasasti Pabanolan yang berangka tahun 1541 Masehi dianggap sebagai prasasti terakhir dari masa Majapahit. Prasasti ini tidak dikeluarkan oleh Raja melainkan oleh sebuah komunitas seni yang bermukim di lereng barat Gunung Bromo tepatnya di Desa Gubuk Lakah, Kabupaten Malang. Prasasti ini berisikan kisah panji yang hingga sekarang masih lestari dijadikan sebagai pertunjukkan tari topeng oleh masyarakat Malang, Jawa Timur. Disebutkan bahwa prasasti ini dibuat di lokasi yang merupakan salah satu tempat peribadatan suci di Wilwatikta atau Majapahit. Jadi meskipun pusat kerajaan sudah tidak ada, di wilayah pedalaman masih tersisa peninggalan peninggalan dan tempat tempat ibadah kerajaan. Tahun 1815 peneliti Belanda bernama Wardenaar mengunjungi bekas reruntuhan kerajaan Majapahit di Trowulan yang sudah berubah menjadi hutan.
SILSILAH RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH MAJAPAHIT AWAL HINGGA AKHIR
Banyak perbedaan pendapat diantara ahli sejarah mengenai raja-raja yang pernah memerintah Majapahit khususnya pada masa akhir. Dengan menggunakan sumber data primer berupa serat Negarakretagama dan prasasti, lalu sumber sekunder berupa serat Pararaton, serta masih di crosscheck dengan sumber lain berupa catatan asing dari pengelana Cina maupun Portugis, Kidung Harsawijaya, Babad Tanah Jawi, dan lain-lain maka dapat disusun daftar sebagai berikut :
1. Raden Wijaya (1294 – 1309)
2. Jayanegara (1309 – 1328)
3. Tribuwana Tungga Dewi (1328 – 1350)
4. Hayam Wuruk (1350 – 1389)
5. Wikramawardhana (1389 – 1427)
6. Dewi Suhita (1427 – 1447)
7. Kertawijaya ( 1447 – 1451)
8. Rajasawardhana (1451 – 1453)
9. Girishawardhana (1456 -1466)
10. Suraprabhawa (1466 – 1478)
11. Wijayakarana (1478 – 1486)
12. Ranawijaya (1486 – 1513)
KISAH-KISAH RAJA POPULER WILWATIKTA
Berikut ini penjabaran mengenai kisah hidup, prestasi, peristiwa penting serta catatan kuno yang mengungkap bukti-bukti tentang para pemegang tahta tersebut :
RADEN WIJAYA (1294 – 1309)
Raden Wijaya memiliki 4 istri yang semuanya adalah putri Raja Singhasari terakhir Kertanegara. Mereka adalah Sang Prameswari Tribuwana, Prameswari Mahadewi, Prajnyaparamita Jayendra Dewi, dan Gayatri (yang bergelar Rajapatni). Dalam memerintah Kerajaan Majapahit Raden Wijaya tidak lupa mengangkat para pengikutnya yang setia saat masih dalam perjuangan dikejar-kejar tentara Jayakatwang.
Nambi diangkat sebagai pejabat patih Majapahit.
Lembusura sebagai patih Daha, Wilayah penting Majapahit sekarang Kediri
Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai Pasangguhan
Pada pemerintahannya ini terjadi beberapa peristiwa politik yang mengakibatkan pecahnya perang saudara. Yang pertama adalah pemberontakan Ronggolawe akibat dari pengangkatan Nambi sebagai patih. Setelah Ronggolawe tewas, Arya Wiraraja menagih janji tentang pembagian wilayah kerajaan yang dijanjikan Raden Wijaya saat masih meminta perlindungannya di Madura. Raden Wijaya membalas budi dengan mengabulkan separuh wilayah kerajaannya yang sebelah timur dipimpin oleh Arya Wiraraja dengan ibukotanya di Lamajang (Lumajang).
JAYANEGARA (1309 – 1328)
Raden Wijaya meninggal tahun 1309 Masehi dan digantikan oleh Putranya bernama Jayanegara yang pada saat itu masih berusia 15 tahun. Jayanegara bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Jayanegara dijuluki Raden Kala Gemet dan dianggap lemah dan jahat, tidak secakap ayahnya. Karena kurang berwibawa terjadi banyak pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan ayahnya dahulu. Pararaton menceritakan bahwa penyebab pemberontakan juga karena Jayanegara berdarah campuran Jawa – Melayu. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Nambi tahun 1316 dan berhasil ditumpas. Pemberontakan yang paling berbahaya dilakukan oleh Ra Kuti tahun 1319 hingga menyebabkan ibukota berhasil diduduki sementara dan Jayanegara terpaksa diungsikan ke Desa Badander oleh para prajurit Bhayangkari yang dipimpin Gajah Mada. Gajah Mada berhasil menyusun kekuatan di ibukota dengan bekerjasama dengan para pejabat dan rakyat sehingga Ra Kuti berhasil dikalahkan. Sebuah hasutan politik mengakibatkan terbunuhnya salah seoang Dharmaputra bernama Ra Semi. Perlu diketahui Raden Wijaya membentuk Dharmaputra yang merupakan pejabat pendamping raja yang saat itu terdiri atas : Ra Kuti, Ra Semi, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pengsa dan Ra Tanca. Kelak Jayanegara tewas ditangan Ra Tanca. Jayanegara sakit bengkak dan Gajah Mada menyuruh tabib Ra Tanca masuk kamar untuk mengobatinya. Ra Tanca menusuk Raja Jayanegara hingga tewas dan nyawanya sendiri melayang ditangan Gajah Mada.
TRIBUWAHA TUNGGA DEWI (1328 – 1350)
Tribuwana adalah putri Raden Wijaya dari Gayatri, jadi merupakan adik tiri Jayanegara. Ia bergelar Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani dan memerintah bersama suaminya Kertawardhana. Pada masa pemerintahannya ia berhasil memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta. Gajah Mada diangkat sebagai Rakryan Patih Majapahit tahun 1334 dan mengucapkan Sumpah Palapa yang artinya tidak akan bersenang – senang sebelum berhasil menundukkan wilayah nusantara dibawah Majapahit. Gagasan ini sebenarnya telah dimulai oleh Raja Singhasari terakhir Kertanegara. Tahun 1343 Majapahit berhasil menundukkan Bali. Tahun 1347 menaklukan sisa – sisa Kerajaan Sriwijaya dan Melayu. Tribuwana turun tahta tahun 1351 setelah meninggalnya ibunya Gayatri. Ia kemudian kembali ke posisinya semula menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Sapta Prabu yakni semacam dewan penasihat agung yang beranggotakan keluarga kerajaan senior.
HAYAM WURUK (1350 – 1389)
Dikenang sebagai Pangeran yang cakap karena mahir menari topeng, ia dilahirkan tahun 1334, di tahun yang sama saat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang terkenal. Ia adalah anak kandung Tribuwana Tungga Dewi. Masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan didampingi Maha Patih Gajah Mada inilah yang dianggap sebagai puncak keemasan Kerajaan Majapahit karena Majapahit telah berhasil menaklukan wilayah yang sangat luas. Peristiwa penting yang terjadi adalah Peristiwa Bubat. Raja Hayam Wuruk berniat mempersunting Putri Sunda. Berangkatlah rombongan dari Sunda menuju Majapahit dan berkemah di lapangan Bubat. Terjadi kesalahpahaman karena Patih Gajah Mada menganggap Sunda tunduk pada Majapahit dan menyerahkan sang putri sebagai persembahan. Rombongan dari Sunda tersinggung dan marah sehingga pecah peperangan yang tidak seimbang. Sang Prabu Maharaja Sunda dan putrinya ikut tewas. Peristiwa lain yang tidak kalah pentingnya adalah Dharma Hayam Wuruk dengan merenovasi atau membangun kembali candi-candi peninggalan leluhurnya yang banyak jumlahnya. Majapahit memasuki era yang damai sehingga Hayam Wuruk dapat mengadakan tur inspeksi ke berbagai daerah di pelosok negeri. Hayam Wuruk wafat tahun 1389.
WIKRAMAWARDHANA (1389 – 1427)
Tongkat kepemimpinan Majapahit setelah Hayam Wuruk meninggal dipegang oleh Kusumawardhani dengan suaminya Wikramawardhana. Peristiwa penting yang terjadi pada masa ini adalah pecahnya perang saudara yaitu Perang Paregreg. Penyebab perang adalah perselisihan antara Bhre Wirabumi, Putra Wijayarajasa, mertua Hayam Wuruk yang berkuasa di Istana Timur di Pamotan dengan Wikramawardhana. Perang berlangsung tahun 1326 hingga 1328 dengan kemenangan Wikramawardhana. Perang ini melemahkan Majapahit karena banyak menguras kas negara. Tahun 1348 juga terjadi bencana kelaparan berkepanjangan.
DEWI SUHITA (1427 – 1447)
Setelah Wikramawardhana mengalahkan Bhre Wirabumi di perang Paregreg, yang memboyong putri Bhre Wirabumi untuk dijadikan selir dari selir tersebut lahir 3 orang anak : Bhre Tumapel, Dewi Suhita, dan Kertawijaya. Ketika raja Wirakramawardhana meninggal tahun 1349, Dewi Suhita naik tahta menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Tidak ada peristiwa penting atau prestasi Dewi Suhita selama masa pemerintahannya selain disebutkan bahwa Majapahit pernah mengalami bencana kelaparan. Dewi Suhita meninggal tahun 1369 Saka.
KERTAWIJAYA (1447 – 1451)
Adik Dewi Suhita yang bernama Kertawijaya menggantikan posisi kakaknya yang meninggal tahun 1369 Saka. Juga tidak ditemukan banyak catatan pada masa pemerintahannya kecuali tentang sering terjadinya bencana alam gempa bumi dan gunung meletus. Pada awal pemerintahannya Kertawijaya mengeluarkan Prasasti yang dinamakan Waringin Pitu. Dari prasasti ini kita dapat mengetahui sistem pemerintahan kerajaan, pejabat menteri, pemimpin rohani, dan wilayah-wilayah kerajaan bawahan utama Majapahit beserta penguasanya.
RAJASAWARDHANA (1451 – 1453)
Tahun 1451 Rajasawardhana menjabat sebagai Raja Majapahit menggantikan Kertawijaya. Setlah kematiannya disebutkan bahwa di Kerajaan Majapahit terjadi kekosongan pemerintahan hingga 3 tahun lamanya.
GIRISHAWARDHANA (1456 – 1466)
Raja ini sebelumnya adalah Raja bawahan di Wengker (Bhre Wengker) sesuai dengan yang tertulis didalam Prasati Waringin Pitu, Pejabat Bhre Wengker adalah Girishawardhana Dyah Surya Wikrama.
SURAPRABHAWANA (1466 – 1447)
Pengangkatan Suraprabhawana atau Bhre Pandansalas ini didapat dari prasasti yang ditemukan di selatan Bojonegoro yang bernama Prasati Tamintihan. Berita tentang raja raja Majapahit akhir tidak banyak. Ada peristiwa seorang raja yang meninggalkan istana Majapahit di tahun 1390 Saka dan ini diinterpretasikan bahwa tengah terjadi konflik di Majapahit.
WIJAYAKARANA (1478 – 1486)
Gelapnya data mengenai Raja Majapahit setelah tahun 1400 Saka mulai terkuak dengan ditemukannya Prasasti Petak. Prasasti ini menceritakan tentang seorang raja yang bertahta tahun 1458. Dari prasasti lain bernama Prasati Jiyu dapat diketahui bahwa wilayah Majapahit atau Wilwatikta mencakup Janggala dan Kediri. Catatan seorang pelaut Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Sumaoriental memberi informasi tentang pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Bhre Mataram kemudian dilanjutkan oleh Bhatara Vojjaya (Bhatara Wijaya atau Brawijaya).
RANAWIJAYA (1486 – 1513)
Setelah perang di Majapahit yang berujung dengan kekalahan Bhre Pandansalas (Suraprabhawana) maka posisi istana Majapahit juga dipindah, tidak lagi berada di Trowulan melainkan di Daha (Kediri). Nama Ranawijaya ini identik dengan Bhre Kertabumi dan bergelar Brawijaya. Didalam masyarakat ada cerita lisan tentang Raja Brawijaya V. Ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan sumber sejarah primer karena penggunaan angka dibelakang nama penguasa baru dimulai pada era Mataram Islam yakni gelar Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, Mangkunegoro V, dan seterusnya. Besar kemungkinan penggunaan angka ini dipengaruhi oleh budaya koloni Belanda yang rajanya bernama Willem I, Willem II, dan seterusnya.
MAHAPATIH GAJAH MADA SANG PEMERSATU NUSANTARA
Majapahit tidak bisa lepas dari peran Maha Patih Gajah Mada yang terkenal dengan sumpah Palapa nya. Isi sumpah kurang lebih adalah janji untuk tidak akan bersenang – senang sebelum seluruh nusantara takluk dibawah kekuasaan Majapahit.
Nama Gajah Mada sering lebih dikenal dibandingkan dengan raja yang memerintah Majapahit tersebab perannya yang sangat menonjol.
Ide penyatuan nusantara sebenarnya telah digagas oleh raja terakhir Singhasari Kertanegara dengan doktrin politiknya yang dikenal sebagai Cakrawala Mandala Dwipantara. Lewat ekspedisi Pamalayu, Kertanegara menjalin hubungan dengan Malayu. Berturut-turut Pahang di Malaysia, Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan, Sunda, Madura dan Gurun yang merupakan sebuah pulau di timur nusantara, juga terhubung dengan Singhasari sebagai rekanan. Persahabatan dengan penguasa Champa tercipta demi bersama-sama membendung serangan Tartar.
Hubungan diplomatik tersebut pudar seiring dengan meninggalnya Kertanegara.
Pendiri kerajaan baru yakni Raden Wijaya dan penerusnya Jayanegara masih sibuk berkutat dengan pemberontakan dalam negri.
Ilustrasi sosok Mahapatih Gajah Mada dengan interpretasi modern yang kekinian dalam sebuah game. Modifikasi yang mampu menambah daya jangkau penyebaran ilmu sejarah untuk kaum muda.
Setelah tercipta kemanan yang stabil barulah Gajah Mada meneruskan doktrin politik Cakrawala Mandala Dwipantara. Terinspirasi dari gagasan tersebut, Gajah Mada yang berwawasan luas justru melakukan hal yang lebih besar dengan sumpah untuk lebih dari sekedar menjalin kontak diplomatik, melainkan menyatukan semuanya di bawah Majapahit.
Ambisi ini dimulai dari serangan pada Bali tahun 1265 Saka (1343 masehi), dan berlanjut dengan penyerangan pada Gurun (Lombok). Tahun 1377 Majapahit menyerbu Suwarnabhumi (Sumatera) karena telah lancang mengirim utusan ke Tiongkok tanpa meminta ijin Jawa. Perlu dicatat bahwa saat itu Sriwijaya adalah kerajaan tua yang telah lemah dan banyak berkiblat pada Tiongkok. DSerbuan ke Tumasik dipicu ulah pembesar Tumasik bernama Rajuna yang berhianat. Berikutnya Aceh dan pasai jatuh. Terdapat kemungkinan bahwa serangan ke Pasai dipimpin langsung oleh Gajah Mada.
Gajah Mada seperti mencari tuah kekuatan sakti kerajaan-kerajaan pendahulu karena wilayah-wilayah yang dibidik dulunya sempat menjadi tempat berkembangnya kerajaan-kerajaan besar lama. Bali dulu adalah kerajaan balidwipamandala yang beribukota di Singhadwala yang dipimpin dinasti Marwadewa di abad 8-10. Sunda dahulu adalah kerajaan Tarumanegara di abad 4-6. Kutai yang dipimpin Mulawarman pada abad 4-5 bertempat di Kalimantan, sedangkan Palembang di Sumatera Selatan merupakan bekas kedudukan Sriwijaya dari abad 8-12.
Tumasik dan Pahang penting karena lokasinya yang strategis sebagai pusat perhubungan laut. Dompo adalah pusatnya kayu cendana yang bermutu tinggi. Kayu cendana pada masa itu termasuk ‘hot item’ barang bernilai tinggi karena dibutuhkan sebagai perlengakapan keagamaan. Seram dan sekitarnya menghasilkan rempah-rempah berkualitas tinggi.
Karena terkenal diberbagai wilayah, maka banyak pula yang mengklaim perihal asal usul Gajah Mada.
Salah satu teori dikemukakan oleh sejarahwan Agus Munandar yang mengatakan bahwa Gajah Mada lahir di Pandakan (Pandaan Utara Malang sekarang). Saat Raden Wijaya bersembunyi dari kejaran pasukan Glang Glang pengikutnya hanya tersisa 12 orang diantaranya adalah Nambi, Sora, Ranggalawe, dan Gajah Pagon. Secara khusus pararaton menulis kisah tentang Gajah Pagon yang terluka tertusuk tombak. Raden Wijaya menitipkan Gajah Pagon yang terluka pada kepala Desa Pandakan sebelum menyebrang ke Madura utnuk meminta perlindungan pada Arya Wiraraja. Gajah Pagon inilah yang kemudiaan menikah dengan putri kepala desa dan melahirkan anak bernama Gajah Mada. Saat Raden Wijaya berkuasa ia mengangkat pengikutnya yang setia untuk menduduki banyak jabatan penting. Barangkali Gajah Pagon tetap tinggal di Pandakan namun mengirimkan anaknya untuk mengabdi di kerajaan. Inilah asal mula Gajah Mada mengabdi sebagai Bhayangkara pengawal raja.
Nama Gajah Mada mulai mencuat saat mengungsikan raja kedua Majapahit yakni Jayanegara ke Desa Bedander akibat pemberontakan Ra Kuti. Ia berhasil menghimpun kekuatan para bangsawan dan rakyat dan berhasil memadamkan pemberontakan.
Gajah Mada tercatat pernah diangkat sebagai patih di Daha, salah satu wilayah utama Kerajaan Majapahit. Puncak karirnya adalah saat diangkat menjadi Maha Patih di era Tribuwana Tungga Dewi.
Disamping prestasinya yang gemilang ada catatan negatif mengenai perannya atas tragedi Bubat. Terjadi kesalahpahaman antara rombongan Kerajaan Sunda yang hendak mengantarkan Putri raja untuk dijadikan permaisuri untuk Hayam Wuruk. Gajah Mada menganggap sang putri sebagai persembahan tanda takluknya sunda pada Majapahit, sedangkan Raja Sunda menuntut persamaan kedudukan. Pecah perang yang tidak seimbang yang menewaskan Sri Baduga Maharaja Kerajaan Sunda beserta putrinya. Ada sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada mengundurkan diri setelah Perang Bubat karena malu namun ada sumber lain yang menyuratkan bahwa Gajah Mada tetap menjabat sebagai Maha Patih sampai meninggalnya tahun 1286 Saka karena sakit.
Kejayaan Majapahit dan sumpah Palapa untuk menyatakan nusantara inilah yang diangkat sebagai inspirasi oleh Soekarno dalam mendirikan NKRI. Melalui menteri pendidikannya Prof.Moh Yamin, Soekarno mengklaim bahwa wilayah Indonesia mencakup daerah bekas wilayah kekuasaan Majapahit ditambah Irian Jaya.
Prof. Moh Yamin menyempatkan diri datang ke Trowulan guna melakukan penggalian arkeologis dan menemukan relief wajah dipecahan tembikar. Wajah inilah yang diklaim sebagai wajah Maha Patih Gajah Mada sebagaimana yang kita kenal secara umum dewasa ini. Namun tentu saja klaim ini kurang didukung oleh data yang empiris. Tidak ada prasasti atau tinggalan apapun yang mengaitkan wajah tersebut sebagai wajah sang mahapatih. Ia lebih merupakan klaim pribadi dengan tujuan untuk memperkuat legitimasi berdirinya NKRI yang didengungkan sejak proklamasi.
Republik Indonesia didirikan dengan narasi kisah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit di masa lampau.
CANDI-CANDI PENINGGALAN MAJAPAHIT
1. Candi Sukuh.
Candi Sukuh ini terletak di Desa Berjo, Karanganyar, Jawa Tengah. Candi yang dibangun pada tahun 1437 Masehi ini termasuk salah satu Candi Hindu berbentuk piramid. Candi Sukuh sendiri memiliki struktur bangunan yang unik yang berbeda dibandingkan dengan candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya. Terdapat corak berupa lingga dan yoni di sekitar reruntuhan candi yang melambangkan seksualitas dan kesuburan serta relief dan patung berbentuk organ intim manusia.
Candi Sukuh yang memiliki purwa rancang berbeda dibandingkan candi-candi sejenis pada umumnya
Candi Sukuh ditemukan pada tahun 1815 oleh Johnson (residen Belanda yang berkedudukan di Surakarta) yang pada saat itu ditugaskan Raffless untuk mengumpulkan data untuk penyusunan buku “History of Java”. Candi sukuh kemudian diusulkan menjadi salah satu warisan dunia pada tahun 1995.
2. Candi Cetho.
Candi Cetho terletak di Desa Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah yang letaknya tidak jauh dari Candi Sukuh. Candi ini diperkirakan telah ada pada masa akhir atau masa keruntuhan Kerajaan Majapahit yaitu sekitar abad ke 15 Masehi. Candi ini baru ditemukan kembali pada tahun 1842 dan dikatakan memiliki corak Hindu. Candi ini diduga menjadi tempat pemujaan dan bertapa masyarakat asli Jawa pada masa itu. Candi Cetho ini memiliki 13 teras dengan banyak anak tangga dimana pada setiap terasnya terdapat relief, arca, serta punden. Pada teras atas terdapat sebuah puri yang dinamakan Puri Saraswati.
Candi ini memiliki relief-relief dengan ukiran berbentuk tubuh manusia yang mirip wayang kulit dengan wajah menghadap samping dan badan menghadap kedepan.
3. Candi Pari.
Candi Pari merupakan candi yang terletak di Dusun Candi Pari, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yaitu antara tahun 1350 – 1389 Masehi. Candi Pari ini dibangun dengan batu bata yang berbentuk segiempat sehingga jika dilihat-lihat bentuk candi ini seperti pura yang ada di daerah Bali.
Candi Pari dibangun pada tahun 1371 Masehi yang pembangunannya bertujuan untuk mengenang dan memperingati hilangnya adik angkat dan sahabat Prabu Brawijaya.
4. Candi Jabung.
Candi yang terletak di Desa Jabung, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur ini didirikan pada tahun 1276 Saka atau 1354 Masehi dan terbuat dari bata merah yang berkualitas bagus yang mampu bertahan lama. Candi Jabung ini merupakan salah satu candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu, dimana struktur candi ini di duga mirip dengan Candi Bahal yaitu sebuah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berada di Sumatera Utara.
Candi Jabung memiliki 2 bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang umumnya dinamakan Candi Sudut. Arsitektur Candi Jabung ini terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan juga atap dengan bentuk bulat, bagian atapnya ini berbentuk stupa dengan motif suluran.
5. Candi Wringin Lawang.
Candi ini terletak di Desa Jatipasar, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur yang dibangun sekitar abad ke 14 Masehi. Candi Wringin Lawang juga terbuat dari batu bata merah berkualitas bagus sama seperti Candi Jabung. Candi ini terlihat seperti sebuah pintu gerbang dengan tinggi 15,5 meter dan berukuran 13 x 11 meter yang diyakini para ahli merupakan pintu masuk ke kediaman Patih Gajah Mada dan pintu masuk menuju bangunan-bangunan penting Ibukota Majapahit.
6. Candi Bajang Ratu.
Candi Bajang Ratu berada di Desa Temon, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke 14 Masehi. Dalam Kitab Negarakertagama candi ini disebutkan merupakan pintu masuk menuju bangunan suci tempat memperingati wafatnya Raja Jayanegara.
Candi ini menjadi candi terbesar pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit karena sebelum Raja Jayanegara wafat bangunan ini merupakan pintu belakang untuk Kerajaan Majapahit. Candi ini juga dibuat dengan batu bata merah dan memiliki 3 bagian utama yaitu kaki, tubuh, dan atap, dimana pada bagian atap terdapat sayap dan dikedua sisinya terdapat pagar tembok.
7. Candi Brahu.
Candi Brahu terletak di kawasan arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke 15 M. Nama Brahu diperkirakan berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang merupakan sebutan bangunan suci berdasarkan Prasati Alasantan. Prasasti ini dibuat oleh Mpu Sendok yang bertujuan sebagai tempat pembakaran jenazah dari raja-raja Majapahit.
Berbeda dengan candi-candi yang sudah dibahas, candi ini memiliki corak Budha namun masih dibangun dengan menggunakan batu bata merah.
8. Candi Tikus.
Sama layaknya Candi Brahu, Candi Tikus in juga berada di kawasan arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini dinamakan Candi Tikus karena pada saat candi ini masih berada di bawah tanah sebelum pemugaran, merupakan sarang ribuan tikus yang mengganggu pertanian warga.
Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke 13 atau 14 Masehi, hal ini dapat diketahui karena adanya sebuah menara kecil yang ditemukan disekitar candi yang merupakan ciri khas pada zaman tersebut.
9. Candi Surawana.
Candi yang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit ini terletak di Desa Canggu, Pare, Kediri, Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke 14 Masehi dan masih memakai corak Hindu yang sering disebut sebagai Candi Wisnubhawanaputra.
10. Candi Wringin Bajang.
Candi Wringin Banjang merupakan candi yang berada di Desa Gandungan, Gandasari, Blitar, Jawa Timur. Menurut penelitian, candi ini merupakan candi yang terbuat dari batu – batu andesit yang dibangun secara sederhana dengan tinggi 5 meter, panjang 4 meter, dan lebar 3 meter. Pada masa Kerajaan Majapahit, candi ini difungsikan untuk menyimpan barang-barang atau alat-alat upacara Kerajaan Majapahit.
KARYA SASTRA MASA MAJAPAHIT
Karya Sastra yang Dihasilkan oleh Kerajaan Majapahit diklasifikasikan ke dalam 2 golongan, yakni susatra Majapahit awal dan susastra Majapahit Akhir
Karya Sastra Majapahit Awal :
1. Kitab Negarakertagama
Kitab ini merupakan kitab yang dikarang oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi dimana isinya berisi tentang sejarah raja-raja Singhasari atau Majapahit. Tidak hanya cerita tentang raja-raja, kitab ini juga membahas keadaan Majapahit dan wilayah kekuasaannya. Seperti ketika perjalanan Raja Hayam Wuruk menuju tempat kekuasaannya di pelosok Jawa Timur serta candi-candi dan kehidupan agaman pada saat itu.
2. Kitab Sutasoma (Purusadha).
Kitab Sutasoma ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit yang dikarang oleh Mpu Tantular. Kitab ini berisi syair-syair dan kisah serta riwayat Sutasoma yang awalnya anak seorang raja hingga menjadi seorang pendeta Budha. Kitab ini dibuat pada masa kejayaan Majapahit dalam pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun (1350 – 1389).
Kitab Arjunawijaya
Kitab ini merupakan kitab yang di karang oleh Mpu Tantular yang berkisah tentang seorang raja raksasa (rahwana) yang dikalahkan oleh Raja Arjunasasrabahu dan Patih Sumantri.
3. Kitab Kunjarakarna.
Kitab ini juga termasuk kitab-kitab peninggalan Kerajaan Majapahit, namun sayangnya sampai sekarang kitab ini belum diketahui siapa yang membuatnya. Kitab ini bercerita tentang serorang raksasa dengan julukan Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia. Karena ketaatannya terhadap agama Budha maka keinginannya untuk menjadi manusia pun terwujud.
4. Kitab Parthayajna.
Kitab ini mengisahkan tentang perjalanan para Pandawa mengembarai hutan setelah kalah bermain dadu dari para Kurawa.
Karya Sastra Majapahit Akhir :
1. Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton ditulis pada tahun 1535 Saka atau 1613 Masehi. Kitab ini berisi tentang kejadian – kejadian penting pada masa Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit dan juga pemberontakan Ranggalawe dan Sora dalam peristiwa bubat.
2. Kitab Ranggalawe.
Kitab ini berisi kidung yang mengisahkan tentang pemberontakan yang dilakukan oleh Ranggalawe (salah seorang abdi Raden Wijaya) di Tuban terhadap Raja Jayanegara.
3. Kitab Sundayana.
Kitab ini berisi kidung mengenai peristiwa Perang Bubat yang terjadi ketika Prabu Hayam Wuruk berencana mempersunting seorang putri Sunda namun terjadi kesalahpahaman yang akhirnya berubah menjadi sebuah pertempuran antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gajah Mada.
4. Kitab Sorandaka.
Isi kitab ini mengisahkan tentang pemberontakan Sora (seorang abdi kesayangan Raden Wijaya) terhadap Raja Jayanegara di Lumajang.
5. Kitab Panji Wijayakrama.
Kitab ini ditulis berbentuk kidung yang mengisahkan tentang perjalanan Raden Wijaya dari awal hingga menjadi Raja Majapahit.
WARISAN MAJAPAHIT UNTUK GENERASI
Mohammad Yamin secara terang-terangkan mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kelanjutan dua kerajaan besar sebelumnya, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Beliau bahkan mengklaim sebuah temuan relief wajah manusia dari pecahan gerabah sebagai sosok wajah Gajah Mada. Meskipun meragukan namun klain tersebut penting untuk menumbuhkan kebanggaan dan meneguhkan identitas bangsa.
Di era teknologi informasi yang demikian pesat dimana disinformasi dapat dengan mudah terjadi, penting kiranya sebuah bangsa tetap memegah teguh jati diri yang berlandaskan pada identitas dan budaya aslinya sendiri.
Pelan namun pasti, salah satu contoh nyata fenomena ini yang bisa dilihat sehari-hari adalah pudarnya kebaya yang berganti dengan cara pakaian keyakinan tertentu. Bukan tidak mungkin kita akan semakin asing pada budaya nenek moyang sendiri dan menggantikannya dengan budaya orang lain; menganggap cara hidup warisan leluhur yang sesungguhnya sarat makna dan luhur bernilai peradaban tinggi sebagai keusangan dan ketinggalan jaman yang harus digusur. Sungguh amat disayangkan bila hal demikian ini yang berlaku.
Majapahit adalah salah satu identitas kebanggaan bangsa yang bisa dijadikan pegangan agar kita tidak lupa asal muasal kita, bagaimana kita bermetamorfosa menjadi diri kita yang sekarang ini.
SITUS TROWULAN
Situs Trowulan adalah kawasan kepurbakalaan dari periode klasik sejarah Indonesia yang berada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Berbagai temuan yang pernah diangkat di sini menunjukkan ciri-ciri pemukiman yang cukup maju. Berdasarkan kronik, prasasti, simbol, dan catatan yang ditemukan di sekitar kawasan tersebut, diduga kuat situs ini berhubungan dengan Majapahit. Sebuah kemaharajaan yang pernah berdiri sekitar tahun 1293–1527 M
Nama "Trowulan" diambil dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas struktur besar yang ada. Ada dua pendapat mengenai asal nama ini.[2] Pendapat yang pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont, adalah dari asal "Setra Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul pupuh XX, ada tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja Majapahit, meminta sebagai lokasi makamnya.
Kitab perjalanan dari Tiongkok, Yingyai Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho, Ma Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i (Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim.[3] Apakah yang dimaksud adalah pemukiman Trowulan tidak ada yang menyebutkan, namun berbagai temuan memberikan dugaan kuat keterkaitan ini.
Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun di atas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, biksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola pemukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit pemukiman seperti ini.
Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.
PENDATAAN SITUS TROWULAN
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
1. Candi Tikus.
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.
2. Gapura Bajang Ratu.
Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri Gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pendharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanagara yang wafat pada 1328.
3. Gapura Wringin Lawang.
Gapura Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
4. Candi Brahu.
Di desa Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.
5. Makam Putri Campa.
Makam Putri Campa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.
6. Kolam Segaran.
Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti laut, mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah setebal 1,60 m dengan kedalaman 2,88 m mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut.
Di pintu masuk yang terletak di sebelah barat, terdapat emperan yang menjorok ke tengah kolam. Di sisi dalam emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam. Seluruh dinding dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa bahan perekat. Konon untuk merekatkannya, batu bata yang berdampingan digosokkan satu sama lain.
Di sisi tenggara terdapat saluran yang merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa (empang panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di selatan. Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran dahulunya juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan bahwa kolam ini adalah yang disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakertagama.
Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini Kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan. Kolam Segaran ditemukan pada tahun 1926, dalam keadaan teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami pemugaran sekadarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun.
Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.
7. Candi Menak Jingga.
Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.
8. Situs Watu Umpak.
Di Situs Watu Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.
9. Makam Troloyo.
Di kompleks Makam Troloyo Desa Sentonorejo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. Kebanyakan batu nisan tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tetapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya. Setiap hari Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini.
10. Situs Sentono Rejo.
Situs Sentono Rejo terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Peninggalan kerajaan Majapahit ini berbentuk hamparan ubin (lantai) dan sisa dinding bangunan. Lantai bangunan kuno tersebut berada kurang lebih 1,80 m. Di bawah permukaan tanah sekitarnya dan berorientasi ke barat-timur dengan azimut 80.
11. Candi Gentong.
Candi Gentong terletak di Desa Jambumente, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi ini berada di sebelah timur berjarak kurang lebih 360 m dari arah Candi Brahu.
Dalam penelitian Maclaine Pont menyebutkan bahwa Candi Gentong merupakan salah satu dari tiga candi yang berderet dengan arah bujur barat ke timur yaitu Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong.
12. Situs lainnya.
Situs penting lainnya antara lain:
- Balong Bunder
- Balai Penyelamatan
- Situs pengrajin emas dan perunggu
- Nglinguk
- Candi Kedaton
- Candi Sitinggil
- Candi Jedong
13. Rumah.
Penggalian arkeologi mengungkapkan lantai bata dan dinding permukiman. Dalam beberapa kasus ditemukan dua atau tiga lapisan bangunan yang bertumpuk. Permukiman ini dilengkapi dengan sumur dan saluran air. Ditemukan pula tempat penyimpanan air dan sumur yang dibatasi susunan bata dan tembikar.
14. Industri.
Banyak perhiasan emas yang berasal masa ini telah ditemukan di Jawa Timur. Meskipun tidak terdapat banyak tambang emas di Jawa, impor emas dari Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi memungkinkan pengrajin emas untuk berproduksi dan bekerja di Jawa.
Salah satu desa di Trowulan disebut Kemasan, yang berasal dari kata mas yang berarti emas. Perhiasan emas serta peralatan pengrajin emas ditemukan di dekat daerah ini. Mangkuk tembikar kecil yang mungkin pernah digunakan untuk melumerkan emas, alas tempa perunggu serta batu rata bundar berkaki tiga yang digunakan sebagai alas untuk menempa dan mengukir logam. Sejumlah besar tanah liat yang digunakan untuk melumerkan dan mencetak perunggu juga ditemukan di dusun Pakis. Beberapa perunggu digunakan untuk mencetak uang gobog, koin besar yang sering digunakan sebagai azimat. Beberapa benda logam lain juga ditemukan, diantaranya lampu perunggu berukir, wadah air, genta, dan benda-benda lain yang mungkin digunakan untuk upacara keagamaan dan instrumen musik gendang perunggu. Benda serupa yang terbuat dari kayu dan bambu masih dapat ditemukan di Jawa dan Bali. Banyak juga ditemukan peralatan besi yang mungkin didatangkan ke Jawa karena Jawa memiliki sedikit tambang bijih besi.
15. Uang dan Pasar.
Celengan tanah liat Majapahit dari abad ke-14 sampai ke-15. Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Nasional Jakarta)
Naskah Nawanatya menyebutkan mengenai pejabat kerajaan yang bertugas untuk melindungi pasar. 'Delapan ribu keping uang tunai tiap harinya' diterima pejabat ini. Uang tunai yang dimaksud dalam naskah ini adalah uang kepeng Tiongkok, yang menjadi mata uang resmi Majapahit sejak tahun 1300, menggantikan sebagian fungsi mata uang emas dan perak yang telah digunakan selama berabad-abad. Uang logam atau koin Tiongkok ini disukai karena tersedia dalam nilai kecil atau uang receh, sangat cocok untuk transaksi sehari-hari di pasar. Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di Trowulan yang ditandai dengan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Bukti penting persepsi masyarakat Jawa abad ke-14 terhadap uang tergambarkan dalam wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam. Hubungan antara figur babi dengan wadah uang sangat jelas. Dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata 'celengan' dapat berarti wadah tepat menyimpan uang atau menabung. Sedangkan akar katanya sendiri 'celeng' yang berarti babi hutan. Wadah uang dalam bentuk lain juga ditemukan.
16. Tembikar.
Seni tembikar adalah kegiatan utama masyarakat Majapahit. Kebanyakan perabot tembikar digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti untuk memasak atau wadah penyimpanan, dengan hiasan terbatas pada bentuk garis-garis cat merah. Lampu minyak kelapa dari tembikar juga umum ditemukan. Tembikar terhalus buatannya umumnya berupa wadah seperti gentong, guci, dan kendi dengan dinding yang tipis, bentuk yang indah, serta permukaan halus berkilau warna merah yang didapat dengan cara pengampelasan baik sebelum atau sesudah pembakaran. Karya tembikar ini dipastikan sebagai hasil karya pengrajin tembikar yang mahir dan profesional. Wadah air adalah produk tembikar urban utama Majapahit dan banyak gentong air bulat ditemukan. Ada pula wadah air berbentuk kotak yang dihiasi motif pemandangan bawah air dan pemandangan lainnya.
Patung tembikar dari tanah liat diproduksi dalam jumlah besar dan menggambarkan banyak hal, mulai dari figur dewa, manusia, hewan, miniatur bangunan, dan pemandangan. Fungsi pastinya belum diketahui, mungkin memiliki banyak fungsi. Beberapa figur tanah liat mungkin merupakan bagian dari kuil kecil tempat persembahyangan di masing-masing rumah penduduk seperti yang kini ada di Bali. Contoh dari barang tembikar dalam bentuk miniatur bangunan dan hewan juga ditemukan di dekat bangunan suci di Gunung Penanggungan. Beberapa figur lainnya merupakan penggambaran yang jenaka atas orang-orang asing dan pendatang di Majapahit, mungkin secara sederhana juga digunakan sebagai mainan anak-anak.
17 Taman Majapahit.
Menjelang akhir tahun 2008, pemerintah Indonesia menyeponsori eksplorasi besar-besaran di situs yang dipercaya sebagai bekas lokasi istana Majapahit. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa Taman Majapahit akan dibangun di kawasan ini dan akan rampung pada tahun 2009. Pembangunan kawasan ini bertujuan untuk mencegah kerusakan situs Trowulan akibat industri pembuatan bata rumahan yang tumbuh banyak di kawasan ini. Taman Majapahit ini memperluas area Museum Trowulan yang telah ada dan menjadi sarana wisata edukasi dan rekreasi yang bertema sejarah Majapahit.
Akan tetapi, proyek ini menimbulkan kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarahwan karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di sebelah selatan Museum Trowulan telah merusak situs arkeologi tersebut. Struktur tembok bata dan sumur jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak di lokasi pembangunan. Pemerintah berdalih bahwa metode penggalian yang diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran. Sejak saat itu pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan terhadap situs arkeologi.