SANDYAKALA NING MAJAPAHIT (BERBAGAI VERSI)
Gusti Yang Maha Kuasa berganti bagaikan roda yang berputar. Setelah kerjaan Majapahit mencapai jaman keemasan akhirnya mengalami masa keruntuhan.
Karena Raja Hayam Wuruk tidak berhasil memperoleh permaisuri, maka putra-putra dari istri selir saling melirik untuk mendapatkan tahta kerajaan yang sedang kosong. Putra-putra dari istri selir antara lain: Bhre Wirabhumi yang duduk sebagai Adipati Blambangan dan Kusumawardhani yang diperistri oleh Wikramawhardhana yang bertahta di kerajaan Majapahit.
Kusumawardhani memilih suaminya untuk berkuasa di kerajaan Majapahit. Kenyataan ini tidak dikehendaki oleh Adipati Wirabhumi yang menyebutkan bahwa Wikramawardhana tidak berhak menduduki tahta kerajaan karena hanya sebagai putra menantu.
Akhirnya tanpa bisa dihindari, terjadilah perang antara Majapahit dan Blambangan yang diberi nama perang Paragreg. Bhre Wirabhumi mati dimedan pertempuran terbunuh dengan dipotong lehernnya oleh Raden Gajah.
Sepeninggal Bhre Wirabhumi suasana semakin kacau, putranya yang bernama Bhre Daha berhasil membunuh Raden Gajah.
Belum lama Bhre Daha menduduki tahta kerajaan Majalengka sudah terusir dari kerajaan dan digantikan oleh keturunan Wikramawardharia yaitu Dyah Suhita.
Dengan perubahan jaman, kerajaan Majapahit diperintah oleh Bhre Kertabhumi. Kerajaan Majapahit tidak semakin tentram dan makmur justru malah bayak pemberontakan yang mengganggu jalannya pemerintahan.
Diceritakan Shri Kertabhumi juga tidak mempunyai permaisuri, tetapi mempunyai putera dari seorang istri putri Cina yang bernama Jim Boen yang dikenal dengan nama Raden Patah.
Raden Patah tidak enak hatinya melihat rusaknya kerajaan yang dipimpin ayahnya, karena itu Raden Patah lalu meninggalkan kerajaan dibantu pamannya Arya Damar.
Karena merasa bertanggung jawab atas kejayaan Majapahit Raden Patah yang pada waktu itu sudah menjadi adipati Demak, terpaksa membuat rencana untuk memulihkan kejayaan Majapahit. Majapahit diserang namun dengan tujuan utama hanya akan memusnakan para pemberontak yang berebut kekuasaan.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1478 yang disandikan didalam sangkakala sirna ilang kertaning bumi. Bhre Kertabhumi diboyong ke Demak dengan mendapatkan penghormatan. Begitu juga pusaka wahyu kedhaton Songsong Kyai Tunggul Naga, Kyai Naga Sasra, Kyai Sabuk Inten dan Kyai Sengkelat diboyong ke Demak Bintara.
Selanjutnya Raden Patah meminta agar saudara iparnya yang bernama Girindrawardhana menjadi penguasa di kerajaan Majapahit. Kota raja Majapahit yang sudah rusak tidak diperbaiki oleh Giridrawardhana justru kota rajanya dipindah ke Kediri. Peristiwa ini apabila ditulis didalam tembang (lagu) Mijil, Asmaradhana dan Sinom.
SANDYAKALANING MAJAPAHIT MENURUT BABAD JAWA DAN HISTORIOGRAFI KOLONIAL
Tidak ada kerajaan di Nusantara yang dianggap begitu berpengaruh dalam dunia maritim Asia Tenggara kecuali Majapahit. Kerajaan ini dinilai berhasil menggabungkan dua sistem ekonomi, yaitu agraris dan maritim. Banyak penulis yang menjadikan Majapahit sebagai epitome atau model peradaban Maritim Nusantara sekaligus sebagai embrio unitary state (negara kesatuan) dengan sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya yang khas. Eksistensi kerajaan ini berlangsung kurang lebih tiga abad (abad XIII – XVI) dan di masa puncak kejayaannya digambarkan telah menguasa wilayah yang sangat luas dari Papua di perbatasan Samudera Pasific hingga Madagaskar di Samudera Hindia. Majapahit juga telah menginspirasi beberapa pemikiran tentang identitas budaya dan kebangsaan dari bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu hingga Kamboja memiliki asosiasi yang kuat dengan kerajaan Majapahit. Cerita tentang kebesaran kerajaan Majapahit barangkali telah menjadi tradisi historiografi terpanjang di Indonesia. Sejak Prapanca menuliskan Negarakertagama di sekitar pertengahan abad ke-14, para penulis sejarah Jawa dari abad ke-18 dari istana Mataram juga mereproduksi kembali kebesarannya. Bahkan, Majapahit dijadikan sebagai legitimasi dengan cara menghubungkan secara genealogis anatara raja-raja Majapahit dengan raja-raja Islam Mataram. Tentu saja menarik kemudian untuk mengetahui bagaimana Mataram sebagai kerajaan Islam melalui para para pujangganya, menggambarkan tranformasi politik dari kerajaan Majapahit (Hindu) ke Demak (Islam).
Glorifikasi tentang Majapahit tidak berhenti sampai di situ, karena historiografi kolonial yang dirintis oleh para sejarawan Belanda juga melakukan hal yang sama. Muncul kemudian mengapa sejarawan kolonial memiliki minat yang besar terhadap sejarah Majapahit ?
Adakah idiologi atau kepentingan tertentu di balik glorifikasi ini ? Pertanyaan yang sama seperti yang ditujukan pada sejarawan Jawa itu juga dapat diajukan pada para sejarawan kolonial ini, yaitu bagaimana mereka memaknai runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit dan berdirinya keraja-kerajaan Islam di Jawa?
Untuk memahami juga sejauhmana kajian-kajian dan kesimpulan-kesimpulan mereka berpengaruh terhadap historiografi Indonesia maka perlu pula diajukan pertanyaan apakah legacy (warisan) yang telah ditinggalkan dari dua tradisi historiografi tradisional dan kolonial itu bagi historiografi nasional Indonesia. Artikel singkat ini membahas tiga persoalan utama di atas yang akan didasarkan pada beberapa versi karya-karya historiografi tradisional khususnya babad dan juga historiografi kolonial, khususnya tulisan para sejarawan dan orientalis Belanda, seperti N.J. Krom, C.C. Berg, G.P. Rouffaer, W.F. Stutteherim, dan J.S.G. Gramberg.
FAKTOR KEJATUHAN MAJAPAHIT
Sirna ilang kertaning bumi dan Sirna ilang rasaning rat, adalah dua sengkalan yang begitu popular dalam historiografi Jawa khususnya, dan Historiografi Indonesia pada umumnya. Keduanya menunjuk pada angka tahun yang sama yaitu, 1400 Saka. Sengkalan ini berasal dari Babad Tanah Jawi (Surakarta) dan Babad Kraton (Yogyakarta), yang disebut sebagai tahun keruntuhan kerajaan Majapahit setelah serangan Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Sejarawan yang mendukung pendapat ini adalah Thomas Stamford Raffles, yang memang dalam bukunya History of Java banyak menggunakan sumber-sumber babad dannaskah jawa, khususnya naskah-naskah yang dijarah dari Kraton Yogyakarta pada tahun 1813. Sejarawan lain yang sependapat dengan Raffles adalah Slamet Muljana yang juga menggunakan sumber-sumber kronik dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang, yang dibawa ke Belanda oleh Resident Poortman yang kemudian versi terjemahannya dilampirkan dalam buku M.O. Parlindungan. Naskah yang sama juga dimuat dalam buku H.J. de Graaf dan Th. H. Th. Pigeaud tentang orang-orang Cina Muslim di Jawa pada abad ke-15 dan 16.
Sejarawan lain yang mendukung tentang runtuhnya Majapahit tahun 1400 Saka adalah Atmodarminto, yang dikenal dengan kajian dan tafsirnya terhadap Babad Demak. Atmodarminto mengatakan bahwa Majapahit hancur karena serangan musuh tahun 1400 Saka namun bukan oleh pasukan Islam dari Demak, tetapi oleh Adipati Siung laut dari Blambangan yang berkoaliasi denganPatih Gadjah Permada yang membelot. Atmodarminto mengatakan:
“Temenan, bareng golongan feodal kolot golongane Patih Gadjah Permada sing ditjritakake mau, saking panasing atine bandjur gelem mbantu Blambangan. Mesti wae bareng entuk pambijantune kaum feodal Madjapait golongan kolot, Adipati Sing Laut tumuli ngangkatake prajurite nggepuk Majapait. Wusana ana ing taun Saka 1400 sinengkalan “sirna ilang kertaning bumi” utawa taun Masehi 1478, kradjan Siwa/Budha Madjapait kelakon bedhah.
Sejarawan Belanda, N.J. Krom memiliki pendapat yang serupa dengan Atmodarminto, bahwa pada tahun 1400 Saka itu memang terdapat data sejarah yang menyebutkan bahwa Majapahit mendapatkan serangan militer, namun ia membantah bahwa serangan itu datang dari Demak. Ia mengatakan bahwa serangan itu berasal dari raja Kediri yaitu Girindrawardhana yang kemudian meneruskan pemerintahan Majapahit hingga beberapa saat lamanya. Ia percaya bahwa Majapahit masih berdiri hingga tahun 1521 Masehi dan jika prasasti Pabanolan di Malang dipertimbangkan pula, maka Majapahit masih berdiri hingga tahun 1541 (Saka 1463).
Beberapa peneliti memiliki pendapat yang berbeda tentang tahun kejatuhan Majapahit. Misalnya G. P. Rouffaer berpendapat bahwa jatuhnya Majapahit terjadi tahun 1518 Masehi. Sementara itu W.F. Stutterheim memperkirakan runtuhnya Majapahit antara tahun 1514-1528 Masehi.[8] P.J. Veth yang mengaji prasasti Girindrawardhana (berangka tahun 1408 Saka), memperkirakan keruntuhan Majapahit setelah tahun 1488 Masehi. Pandangan lain dikemukakan oleh B.J.O Schrieke, yang mengatakan bahwa Majapahit runtuh pada tahun 1468 Masehi karena serangan dari Bhattara ring Dahanapura (nama lain dari Girindrawardhana) dengan bantuan dari raja-raja di pesisir utara Jawa.
Dari beberapa teori yang disampaikan itu menunjukkan bahwa pada umumnya serangan Girindrawardhana dianggap menjadi penyebab keruntuhan Majapahit. Seperti juga yang dikemukakan peneliti Indonesia Hasan Djafar yang menyatakan bahwa keruntuhan Majapahit terjadi karena sebab yang sama, namun ia lebih menunjuk angka 1519 Masehi sebagai tahun keruntuhannya. Angka ini ia ambil dari catatan Pigaffeta tahun 1511 yang menyatakan bahwa Pati Unus telah menguasai Majapahit. Pendapat paling mutakhir tentang kejatuhan Majapahit dikemukakan oleh Paul Michel Munoz, yang mengatakan bahwa ujung akhir eksistensi Majapahir berakhir tahun 1527 Masehi ketika Sultan Trenggana dari Demak Bintara berhasil menghabisi Girindrawardhana.
KEJATUHAN MAJAPAHIT VERSI BABAD JAWA
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ada dua babad yang menjadi sumber rujukan pokok para peneliti awal tentang kejatuhan Majapahit, yaitu yaitu Babad Tanah Jawi versi istana Surakarta dan sadurannya dalam bentuk prosa oleh Meinsma. Ada satu sumber babad Jawa lain yang menurut Ricklefs yang lebih tua dari versi Surakarta, yaitu Babad Kraton yang tersimpan di British Museum (sekarang ada di British Library) London. Naskah ini ditulis pada paruh ke dua abad ke-18, yang pada tahun 1813 jatuh ke tangan Johan Crafwurd, Residen Yogyakarta dan pada tahun 1841 dihibahkan di Bristih Museum London. Naskah ini diambil oleh tentara Sepoy ketika penyerangan terhadap Kraton Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1812. Menurut Ricklefs naskah ini lebih reliable sebagai sumber sejarah dari dua naskah sebelumnya mengingat usianya yang lebih tua. Bahkan ia menduka versi Surakarta kemungkinan berasal dari versi Yogyakarta ini.
Sejauh yang berkaitan dengan jatuhnya kekuasaan Majapahit dari ketiga sumber utama babad yang telah ada ini memiliki narassi yang sama dalam hal latar belakang peristiwa, yaitu tentang munculnya dua tokoh penting Raden Patah dan Raden Husen/Kusen yang menjadi penutur utama tentang alasan-alasan penyerangan orang-orang Islam terhadap kerajaan Majapahit. Dalam babad diceritakan bahwa Raja Brawijaya memiliki banyak istri dan salah satunya adalah Putri Cina (Campa), Dwarawati. Namun karena kecemburuan para istri yang lain terhadapnya Dwarawati diberikan kepada Arya Damar dalam keadaan sudah mengandung. Dwarawati dibawa ke Palembang oleh Arya Damar dan melahirkan seorang putra diberi nama Patah. Dengan Arya Damar, Dwarawati juga melahirkan seorang putra yang dibesi nama Husen. Setelah dewasa keduanya menuju Jawa dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya dan memeluk Islam. Setelah dinyatakan selesai mempelajari Islam mereka ingin melanjutkan karir. Husen memutuskan untuk mengabdi kepada raja Majapahit dan akhirnya ditunjuk sebagai Adipati Terung, namun Patah menolak mengabdi kepada Brawijaya yang dianggap sebagai raja kafir. Ia memutuskan untuk pergi ke Bintara dan merintis kekuasaannya sendiri di sana. Setelah mengetahui bahwa Patah sebenarnya adalah putranya, Brawijaya tidak keberatan jika anaknya itu meneruskan karirnya di Bintara namun harus tetap menghadap secara rutin kepada raja setiap tahunnya. Namun setelah tiga tahun tidak menghadap Brawijaya mengutus saudara tiri Patah, Adipati Terung untuk mempertanyakan alasan Patah tidak menghadap ke Majapahit. Mulai dari sinilah terjadi variasi narasi dalam ketika babad itu yang tentu saja menimbulkan pemaknaan yang berbeda tentang jatuhnya Majapahit.
Menurut Babad Tanah DJawi (Babad Kraton) versi Yogyakarta, Suatu ketika Adipati Terung diutus raja Majapahit untuk mencari tahu mengapa Raden Patah, Adipati Demak Bintara sudah tiga tahun tidak menghadap kepada raja Majapahit. Dijawab oleh Raden Patah bahwa ia hanya akan menghadap jika Raja Majapahit itu sudah memeluk Islam. Akhirnya Adipati Bintara mengerahkan pasukan menyerang istana Majapahit. Brawijaya dikatakan sebagai Raja yang Agung Binathara dan dapat mengetahui sesuatu sebelum terjadi, sehingga ia membiarkan Adipati Demak dan pasukannya masuk istana, setelah puas melihat anaknya itu, Brawijaya tiba-tiba lenyap melanjutkan takdirnya bersama dengan permaisuri. Demikian juga dengan Patih Gajah Mada dan kudanyapun ikut lenyap. Dalam Pupuh 13 Pangkur tertulis sbb;
“Adipati Bintara alon amuwus Rama djenenga ning Buda, patine makripat djati, sirna ilang rasaning rat sengkalane duk bedah (ing) Madjapahit”. Ayah adalah seorang Buda, meninggal dalam makrifat sejati, sirna hilang rasa raja (1400) angka tahun jatuhnya Majapahit”.
Setelah itu harta benda kerajaan majapahit dijarah dibawa ke Bintara, antara lain Gong Sekar Dalima, Si Gatayu, dan Ki Macan Guguh. Adipati Bintara kemudian ditetapkan sebagai Raja Islam pertama di Majapahit bertahta di Demak.
BABAD TANAH DJAWI VERSI SURAKARTA
Babad Tanah Djawi versi Surakarta (yang oleh Ricklefs di sebut “major” babad atau babad utama/babon) menceritakan bahwa Adipati Terung diutus Brawijaya untuk mendatangi kakaknya, Adipati Bintara, yang sudah lama tidak menghadap kepada raja. Ia mengatakan bahwa raja sangat menyayanginya dan sangat merindukannya, mengapa tidak mau lagi menghadap. Adipati Bintara mengatakan bahwa semua terserah pada Raja, ia percaya bahwa Raja memiliki kelebihan mengetahui segala sesuatunya. Ia mengakui bahwa ia membangun Bintara dari pedukuhan kecil menjadi kadipaten yang besar semua karena atas restu dari ayahandanya raja Majapahit. Adipati Bintara juga mengatakan bahwa ia hanya menjalani takdir bahwa di Bintara akan ada Ratu Islam pertama di tanah Jawa. Raja Majapahit sangat adil, pemaaf, asih terhadap umat Islam, namua ia adalah raja kafir dan ia tidak ingin melanggar ajaran agama (syara’), menyembah raja kafir, lebih baik mati sabil dan masuk surga. Adipati Terung menjawab, kalau begitu sebaiknya jangan tanggung-tanggung jika ingin melawan Majapahit sekalian saja, ia bersedia membantu. Kemudian kaingin untuk menakhlukkan Majapahit menjadi bulat dengan dukungan para wali di Jawa seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan juga raja-raja Islam lain seperti Arya Teja dari Tuban, Arya Baripin dari Madura, raja Surabaya dan juga Raja Pandita di Gresik. Mereka semua bersatu membantu Adipati Bintara menyerang Majapahit. Para prajurit Majapahit banyak yang melarikan diri, sehingga pasukan Bintara dapat masuk istana. Mendengar Adipati Bintara sudah masuk istana, Brawijaya mengajak patihnya segera naik di atas panggung sekedar untuk melihat putranya yang sudah lama tidak menghadap. Tiba-tiba dari puri istana yang sudah ditinggalkan itu muncul cahaya kilat yang sangat terang, kemudian cahaya berpindah dan jatuh jatuh di Bintara diiringi suara yang menggelegar dan setelah itu gelap, seperti kiamat. Adipati Bintara kemudian masuk di puri kraton dan tidak menemui seorangpun di sana. Ia merasa menangis dalam hati. Dan kemudian bersama pasukannya kembali ke Bintara.
Versi ketiga adalah dari Babad Meinsma memiliki kesamaan dengan versi Surakarta, dan tampak jelas bahwa ia merupakan ringkasan dalam bentuk prosa dari isi babad versi Surakarta, sehingga tidak perlu dibahas secara khusus. Namun masih ada satu babad lagi yang penting untuk dipertimbangkan yaitu Babad Demak. Naskah ini telah disunting oleh Atmodarminto dan telah dimaknai lebih lanjut dengan masalah-masalah kemasyrakatan dan idiologi negara. Babad Demak memiliki versi sendiri tentang runtuhnya Majapahit.
VERSI BABAD DEMAK
Dalam Babad Demak diceritakan bahwa keruntuhan Majapahit akibat serangan dari Demak, dipimpin oleh Raden Patah dan Sunan Kudus. Setelah Majapahit hancur Brawijaya, murca atau hilang meninggalkan istana kemudian menjadi seorang Ratu Kajiman (raja bangsa Jin) di Gunung Lawu, yang kemudian dikenal dengan Sunan Lawu. Itu sebabnya hingga sekarang Keraton Surakarta dan Yogyakarta masih melakukan ritual sesajen ke tempat tersebut. Sementara itu orang-orang Demak tidak hanya menjarah harta benda dari istana Majapahit tetapi juga baju keprabon, pakaian raja, bangsal pengapit yang kemudian dijadikan bangsal Masjid Gede dan pengrawit yang kemudian dijadikan sebagai bangsal pengrawit di pagelaran untuk paseban agung sekaligus simbol pergantian raja. Sementara itu permaisuri Brawijaya Dyah Ayu Dwarawati, karena sudah beragama Islam tidak ikut murca dan diboyong ke Demak dan dinikahi oleh Sunan Kudus.
Seperti dikutip oleh Atmodarminto :
Djebeng Kudus sira nuli
Lumebuwa djroning pura,
Andjaraha djroning kedaton,
Bojongen garwaning nata,
Dyah Ratu Dwarawatya,
Wanodya Islam pinundjul
Alapen kinarja garwa.
Lan brana sadjroning puri,
Tetilarane sri narendra,
Miwah kapraboning radjeng,
Sun pundut karya betuwah,
Salering panjenengan,
Pada gawanen sedarum
Marang negara Bintara
Lawan kang bangsal pengapit,
Kan wetan sira gawa-a,
Sun karja srambi mesjide,
Bangsal pengrawit prajoga
Ginawa mring Bintara,
Kinarja paseban agung,
Oratanda gumanti nata.
KERUNTUHAN MAJAPAHIT VERSI HISTORIOGRAFI KOLONIAL
Sebelumnya telah dibahas bagaimana para sejarawan kolonial Belanda telah mengajukan beberapa pendapat tentang tahun runtuhnya kerajaan Majapahit. Kemudian bagaimana mereka memaknai tentang keruntuhan kerajaan Hindu itu? Dalam historiografi kolonial jatuhnya kekuasaan Majapahit dianggap sebagai akhir sejarah kebudayaan Hindu di Jawa dan dimulainya kebudayaan Islam. Sejarawan yang secara eksplisit mengatakan hal ini adalah N.J. Krom (1931), Hindoe-Javaansche Geschiedenis. Ia menulis :
“For Java, the flight (of Hindu Javanese dignitaries to Bali) if it took place fairly in a large scale, undoubtedly meant an impoverishment in cultural matters, for after all it was precisely the traditional proponents of Javanese culture who were most likely to flee. At the moment when the leadership of Java is no longer in Hindu-Javanese hands, but rather taken over my Islamic rulers, Hindu-Javanese history ends.”
Sejarawan lain seperti J.G. de Casparis (1963) dan C.C. Berg (1955). juga memberi kesan serupa bahwa para sejarawan kolonial Belanda memiliki kecenderungan untuk menilai bahwa periode pra-Islam dalam sejarah Jawa adalah periode “keemasan” atau kebesaran yang berakhir dengan jatuhnya Majapahit. Dan sebaliknya periode Islam adalah periode kemunduran besar dalam peradaban Jawa. Kesimpulan ini tentu mengundang pertanyaan, mengapa para sejarawan kolonial cenderung melakukan glorifikasi terhadap periode Hindu Jawa? Bagaimana sebenarnya minat mereka muncul terhadap sejarah Jawa dan mengapa minat itu dikembangkan?
Kepopuleran babad Jawa di kalangan para intelektual Belanda harus dirunut dari berakhirnya Perang Jawa (1825-1830). Diponegoro sang pemimpin Perang Jawa menjadi pertanyaan penting bagi mereka yang ingin memahami idiologi yang menggerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda ini. Bagaimana seorang Jawa yang dimata orang-orang Belanda hidupnya lekat dengan mitologi dapat mengaplikasikan idiologi jihat Islam seperti yang dihadapai orang-orang Kristen dalam Perang Salib di Eropa. Keheranan inipun mendapat kritikan dari seorang penginjil Eropa, Gericke, yang aktif di Jawa pasca Perang Jawa dan sempat belajar di Pesantren Tegalsari. “bagaimana kalian (para pemimpin Negara Kolonial Hindia Belanda) dapat mempertahankan wilayah koloni, jika tidak dilandasi pengetahuan yang baik tentang masyarakat jajahannya. Belanda telah eksis di Jawa sejak abad ke-17 dan mulai mengontrol kekuasaan raja-raja Jawa secara efektif sejak paruh ke dua abad ke-18, namun belum menunjukkan adanya minat akademis untuk memahami masyarakat jajahannya.
Sebagai perbandingan, Inggris yang hanya lima tahun menguasai Jawa (1811-1816) telah menghasilkan banyak kajian akademis yang ditulis oleh para pemimpinnya. Thomas Stamford Raffles menulis dua jilid History of Java, dan John Crawfurd (Resident Yogyakarta pada saat itu) telah menerbitkan beberapa jilid History of Indonesian Archipelago. Semuanya kini menjadi buku klasik yang masih dijadikan rujukan penting dalam historiografi modern Indonesia.
Kritik ini direspon oleh pemerintah kolonial dengan mendirikan Instituut voor Javaansche Taal di Surakarta yang dipimpin oleh C.F. Winter. Para pegawai muda kolonial yang akan ditempatkan di birokrasi kolonial di Jawa harus dilatih memahami bahasa Jawa. Lembaga ini pada awalnya berjalan dengan baik namun pada dalam perjalananya mendapatkan resistensi dari para muridnya yang merasa tidak layak menjadi murid seorang guru yang half-blood, (C.F. Winter yang merupakan keturunan Belanda-Jawa). Sehingga akhirnya lembaga ini dibubarkan, sebagai gantinya lembaga serupa dan lebih luas cakupannya didirikan di Delft Belanda.
Dalam menjalankan kerjanya Winter sebagai pemimpin institut banyak bekerjasama dengan para pujangga lokal, seperta R. Ngabehi Ronggowarsito dan Kertapraja. Keduanya sangat mempuni dalam bahasa kesusastraan, penulisan sejarah Jawa. Winter sendisi tidak diragukan kemampuannya setelah sekian lama bergaul dan berguru dengan mereka. Mereka diibaratkan sebagai bronen van nutritie (sumber nutrisi) bagi Winter. Lembaga ini juga yang banyak berperan melakukan pengumpulan sumber-sumber manuskrip Jawa dan juga penerjemahannya dalam Bahasa Belanda. Dari lembaga ini pula lahir Babad Tanah Jawi dalam versi prosa yang kemudian diedit oleh Meinsma, sehingga dalam dunia akademis Belanda dikenal dengan Babad Meinsma.
Menurut Ricklefs yang telah mengaji secara kritis tentang Babad Meinsma, yang kemudian diterjemahkan dan dilatinkan oleh Olthoff (terbit tahun 1941) ini bersumber dari Major Babad Tanah Jawi dari istana Surakarta yang ditulis selama pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IV. Sekarang salinan naskah ini berada di Universitas Leiden Belanda. Sementara itu naskah aslinya tidak lagi diketahui apakah masih ada di Surakarta. Babad Meinsma menurut Ricklefs sangat membantu dalam memahami struktur Babad Tanah Jawi secara keseluruhan dengan pembagian sub-sub bab di dalamnya, namun nilainya sebagai sumber sejarah rendah dan harus dibaca dengan seksama, karena telah mengalami penyuntingan berlapis. Bahkan edisi pertama dari naskah yang akan diterbitkan batal terbitkan karena pemerintah kolonial menginginkan adanya penghapusan beberapa episode penting yang dianggap terlalu mitologis.
Namun di kalangan para sarjana Belanda karya Meinsma ini sangat popular dan menjadi rujukan penting banyak para penulis sejarah Jawa. Pada tahun 1939, Major Babad Tanah Jawi yang dikoleksi oleh Universitas Leiden itu dicetak masih dalam huruf Jawa ke dalam 31 buku oleh Balai Poestaka. Terbitan baru ini menjadi pembanding penting bagi karya Meinsma, mengingat karya ini yang menjadi sumber rujukan dari versi prosa. Karena karya ini masih dalam bentuk pusisi Jawa (tembang Macapat) dan dalam huruf Jawa tentunya masih kalah popular dengan karya Meinsma.
GLORIFIKASI MAJAPAHIT VERSI KAUM ORIENTAL BELANDA
Semakin membanjirnya naskah-naskah klasik Jawa sebagai sumber referensi instituut kolonial di Belanda, khususnya selama abad ke-18 yang oleh Pigeaud disebut sebagai “Renasissance Kesusatraan Jawa Klasik” (masa Hindu-budha), maka wacana tentang kejayaan Jawa di masa Hindu-Budha mengemuka. Seiring dengan itu upaya-upaya melakukan rekonstruksi situs-situs peninggalan sejarah periode itu semakin gencar dilakukan. Berbagai artefak, prasasti dan segala sesuatu yang berkaitan dengan periode ini diburu dan dikaji. Dari kajian-kajian inilah kemudian mengemuka tentang Majapahit sebagai Kerajaan Hindu terbesar di Jawa yang kekuasaanya mencapai wilayah seberang lautan. Artikel dan buku tentang periode ini banyak ditulis dan diterbitkan. Bahkan karya-karya roman semi-sejarah mulai muncul. Di antaranya yang paling menarik adalah dua jilid roman Majapahit karya J.S.G Gramberg. Dari kata pengantar bukunya di jilid pertama ini kita dapat memahami apa arah dan tujuan glorifikasi terhadap Majapahit ini. Dalam kata pengantar itu Gramberg mengritik kebijakan pemerintah kolonial yang ia katakana “telah membiarkan Islam berkembang di Jawa” yang telah menghancurkan kejayaan dan keunggulan budaya masyarakat Jawa. Islam dianggap menjadi biang keladi atas segala kehancuran masyarakat dan kebudayaan Jawa. Oleh karenanya menyarankan agar pengetahuan tentang sejarah Jawa dan masa keemasan mereka dapat menjadi pemahaman generasi baru masyarakat Jawa.
Dari pernyataan Gramberg ini jelas bahwa glorifikasi Majapahit menjadi landasan akademis untuk dapat menyadarkan masyarakat Jawa dari “kesesatannya” memilih Islam sebagai masa depan” yang tentu saja dianggap menjadi ancaman penting bagi tatanan kolonial yang sedang diperkuat di Jawa. Kuatnya literasi tentang narasi Majapahit dalam historiografi dan sastra kolonial ini menjadi pengetahuan dan ispirasi penting bagi para penulis Jawa di masa peralihan dari abad ke-19 hingga abad ke-20, ketika muncul karya-karya seperti Serat Sabdo Palon yang berisi ramalan-ramalan tetang kebangkitan lagi kejayaan Hindu-Budha 600 tahun sesudah kejatuhannya. Munculnya literasi jenis ini dianggap sebagai penyokong tradisi glorifikasi Majapahit ala orientalis Belanda dan sebagai narrative counter (narasi tandingan) atas menjamurnya teks-teks Islam. Karya-karya sastra sejenis yang dianggap sebagai oposisi Islam misalnya Serat Darmagandul dan Suluk Gatholoco. Naskah-naskah yang mendiskreditkan Islam dan mengagungkan kembali agama lama Jawa itu disinyalir sebagai wujud oposisi kelompo Kristen.
Glorisfikasi Majapahit berlanjut di dalam kurikulam nasional sekolah-sekolah kolonial. Dari buku-buku pelajaran sejarah sekolah Eropa, seperti karya Krom dan Stutterheim. Dan di masa kemerdekaan orang-orang seperti Muhammad Yamin menjadi penerusnya. Sejarawan yang kritis seperti Slamet Muljana juga tidak dapat melepaskan diri dari tradisi ini sekalipun ia tidak melihat jatuhnya Majapahit sebagai diskontinuitas sejarah karena kemudian menyusul munculnya Islam dan kebudayaan Islam yang dianggapnya lebih sebagai penerus Majapahit dengan pakaian yang berbeda. Cara pandang Slamet Mulyana ini juga sejalan dengan penulis-penulis sejamannya seperti H.J De Graaf dan Pigeaud yang membuat seri kajian tentang kerajaan-kerajaan Islam di Jawa penerus Majapahit.
Ada yang Ironis di sini bahwa glorifikasi Majapahit yang diinisiasi oleh para orientalis Belanda untuk mengendorkan perkembangan Islam atau sebagai oposisi terhadap Islam justru menjadi senjata makan tuan. Karena semangat penyatuan Nusantara di masa kejayaan Majapahit digunakan oleh para tokoh nasional dan pergerakan sebagai epitome negara baru yang merdeka dari kekuasaan kolonial.
MAJAPAHIT VERSI HISTORIOGRAFI NASIONAL INDONESIA
Sejarawan sekaligus ahli hukum seperti Muhammad Yamin adalah proponen utama yang ikut mengglorifikasi Majapahit. Ia menulis buku yang panjang lebar tentang Majapahit dan juga tentang Gadjah Mada. Tak ketinggalan para tokoh nasional seperti Sukarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menggali nilai-nilai Pancasila dari nilai-nilai moral dan politik yang pernah diterapkan di Nusantara pada masa Majapahit. Ia memandang unitary state yang ingin dijadikan bentuk negara Indonesia yang akan segera diproklamerkan pada tanggal 17 Agustus itu adalah mendapat legitimasi historisnya dari pengalaman Sriwijaya dan majapahit. Pandangan-pandangan ini kemudian mempengaruhi banyak buku pelajaran sejarah sesudah kemerdekaan dan dalam historiografi Indonesia mempengaruhi penyusunan kronologi Sejarah Nasional Indonesia.
Pengajian tentang sejarah Majapahit semakin berkembang saat ini demikian juga publikasi tentang hasil-hasil kajian mutakhir itu. Perdebatan juga semakin meluas ke berbagai isu, dari kronologi, sebab-bab kejatuhan, sikapnya terhadap Islam dan juga reputasi politik dan ekspansi wilayah dan kekuasaanya. Beberapa tokoh pentingpun juga mulai diperbincangkan, dari para raja yang memerintah, para punggawa kerajaan, hingga perempuan-perempuan di sekitar raja dan bangsawan istana lainnya. Maraknya literatur tentang sejarah Majapahit ini juga berpengaruh besar terhadap perkembangan karya fiksi maupun semi-fiksi tentang Majapahit.
Dari sekian banyak kajian tentang Majapahit itu, pada umumnya tidak terlalu banyak perkembangan yang berarti dari sisi sumber penulisan khususnya sumber-sumber tertulis. Majapahit meninggalkan banyak artefak penting berupa material cultures, yang ditemukan di kompleks utama ibukota Majapahit dimana istana berdiri, tetapi sumber-sumber itu umumnya sumbe-sumber bisu yang masih perlu dikaji agar dapat menjelaskan banyak unsur tentang sejarah Majapahit. Sementara itu sumber-sumber yang berupa prasasti rupanya sedikit dapat membantu menjelaskan kejatuhan Majapahit. Sekalipun parasasti-prasati itu sendiri tidak menyebutkan kejatuhannya namun usia-usia prasasti dapat dipakai petunjukkan tentang bentang waktu eksistensi kerajaan Majapahit. Contoh penting dari studi-studi terhadap prasasti-prasasti ini seperti yang dilakukan oleh J.G. de Casparis.
Kesimpulan :
Hingga saat ini kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari berbagai kajian-kajian tentang sejarah Majapahit yang dilakukan oleh sejarawan Indonesia maupun asing belum didasarkan pada bukti yang definitif tentang tahun keruntuhan Majapahit. Yang ada hanyalah patokan-patokan khusus yang digali dari berbagai sumber untuk mendapatkan bentangan waktu eksistensi kerajaan Majapahit. Terlepas dari berbagai perbedaan angka tahun yang dihasilkan itu namun ada suatu benang merah yang dapat ditarik bahwa keruntuhan Majapahit adalah proses yang gradual yang memakan waktu hingga beberapa dekade sampai akhirnya eksistensi Majapahit benar-benar lenyap dari Jawa Timur. Proses yang gradual itu merupakan kombinasi antara konflik politik yang melibatkan berbagai pihak, baik internal dinasti maupun para vasal Majapahit sendiri. Unsur-unsur lain adalah munculnya kekuatan baru Islam yang mengambil alih pusat-pusat ekonomi dan perdagangan di pesisir laut Jawa oleh kaum pedagang muslim. Demikian pula pertentangan aliran di dalam agama Hindu sendiri juga menjadi penyebab yang lain runtuhnya Majapahit.
Cara pujangga Mataram menggambarkan keruntuhan Majapahit, seperti yang digambarkan dari berbagai babad utama, jelas melibatkan unsur kekerasan, yang ironisnya ditempatkan dalam konteks pertalian genealogis. Namun gambaran seperti ini tidak hanya khas sejarah transformasi dari Hindu ke Islam pada abad ke-15 saja, namun juga menjadi pola pokok dalam sejarah politik Jawa di kemudian hari. Para pujangga Jawa dari periode Mataram Islam mengedepankan nilai-nilai keagamaan sebagai caesura untuk memisahkan secara tegas jaman lama (Hindu) dan Jaman Baru (Islam). Sebaliknya dalam tradisi historiografi kolonial, runtuhnya Majapahit (Hindu) dan munculnya Demak (Islam) adalah sebuah kemunduran dalam pencapaian budaya dan peradaban. Sebuah cara pandang yang sangat dipengaruhi oleh idiologi kolonial, untuk menepiskan Islam yang telah membawa efek buruk bagi eksistensi negara kolonial. Namun glorifikasi periode Hindu Jawa dengan menempatkan periode kekuasaan Majapahit sebagai masa keemasan Jawa, telah dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan yang justru dimanfaatkan untuk mengembangkan rasa senasib dan solidaritas kebangsaan. Dengan kata lain senjata yang diciptakan oleh historiografi kolonial itu telah melukai dan bahkan membunuh si penciptanya sendiri ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dengan membangun landasan idiologi yang digali dari nilai-nilai dan capaian politik Majapahit. Glorifikasi terhadap Majapahit terus berlanjut hingga kini, dan seperti sulit untuk tidak mengakui bahwa semua itu bermula dari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh sejarawan kolonial. Sebuah warisan historiografis yang berharga bagi historiografi nasional Indonesia sebagai landasan historis memumpuk persatuan dan kesatuan, dalam kerangka sebuah negara yang besar dan hegemonik.
CANDRA SENGKALA
ILANG SIRNA KERTANING BHUMI (1478) HINGGA ARMADA DEMAK (1521)
1466-1474
Bhre Pandan Salas/ Singha Wikrama Wardhana memerintah Majapahit Barat di Bhreng Daha selama 8 tahun
Bhre Pandan Salas bergelar Prabu Singha Wikrama Wardhana. Putranya bernama Rana Wijaya dipersiapkan menggantikan tahtanya. Beliau memerintah Majapahit Barat berpusat di Bhreng Daha (Kediri).
1466M/1388 Saka
(Dwi Naga Salira Wani)
Masjid Demak Bintara Mulai Dibangun
1. Panglima Demak Bintara pertama adalah Syah Alam Akbar I, yang ketika masih muda bernama Ruhuddin (Raden) Fatah atau Raden Kasan, memiliki nama Tionghoa Pangeran Jin Bun. Ia adalah putra dari Bhrawijaya V/ Bhre Kertabhumi + Gusti Ayu Andarawati (Putri Cempa), yakni seorang putri dari wilayah kerajaan Islam Majapahit di Cempa.
2. Candra sengkala ini terdapat di pintu utama masjid Demak. Angka tahun ini besar kemungkinan menunjukkan tahun awal pendirian masjid Demak.
3. Kyai Ageng Sela pada awal pembangunan masjid Demak “memegang” petir di halaman Masjid Demak. Beliau melakukan hal itu di hadapan wali-wali lainnya. Peristiwa ini kemudian abadikan sebagai ornamen pintu utama masjid. Peristiwa ini merupakan pertanda mulai dibangunnya Demak Bintara.
4. Kyahi Ageng Sela bernama Sayyid Abdurrahman adalah putra Kyahi Ageng Sayyid Getas Pendawa (Kyahi Ageng Tarub III), cucu dari Kyahi Ageng Tarub II (Kyahi Ageng Sayyid Bondhan Kejawan) + Dewi Nawangsari
Bhre Kertabhumi Maneges
Bhre Kertabhumi manages. Beliau berkelana dan berguru kepada Sunan Ngampel di Ngampel Denta , Surabaya.
Bhre Kertabhumi menjadi Adik Ipar Sunan Ngampel.
Di Ngampel Denta Bhre Kertabhumi dinikahkan dengan Gusti Ayu Andarawati Al Akbar. Gusti Ayu Andarawati Al Akbar adalah adik Sunan Ngampel atau R. Rakhmat Al Akbar. Beliau berdua adalah putra-putri Syekh Ibrahim Al Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja). Jadi silsilah beliau berdua adalah :
R. Rakhmat Al Akbar dan Gusti Ayu Andarawati Al Akbar bin/binti Syekh Ibrahim Al Akbar (Campa) bin Syekh Maulana Al Akbar (Gujarat, India).
Nama-nama Al Akbar-As Shaghir, Al Kubro-As Sughro, adalah nama-nama khas keturunan Imam Besar Ali bin Abithalib. Beliau adalah Amirul Mukminin, Khalifah Umat Islam seluruh dunia bertahta di Kuffah tahun 656-661M.
1468-1478
Bhre Kertabhumi (Bhrawijaya V) menobatkan diri sebagai raja Majapahit Timur di Tumapel selama 10 tahun.
Kertabumi menjadi raja Majapahit Timur dan berpusat di Kota Tumapel, bekas ibukota Majapahit Timur (di masa Wikrama Wardhana). Ia adalah putra Bhre Pamotan/ Rajasa Wardhana, sebelum masa vakum pemerintahan Majapahit. Bhre Wirabhumi bergelar Sultan Bhrawijaya V. Beliau adalah cikal bakal raja-raja di Jawa. Memiliki banyak istri dan 117 anak.
1474-1519
Rana Wijaya/ Girindra Wardhana memerintah Majapahit Barat di Breng Daha selama 45 tahun
Beliau adalah Sunan Giri Sepuh/ Prapen?
1478M/ 1400 Saka:
Prapanca’s Ilang Sirna Kertaning Bhumi
Mpu Prapanca memperkirakan akan datangnya sebuah era keruntuhan Islam di seluruh dunia. Sesanti beliau berbunyi ilang sirna kertaning bhumi yang juga sebagai candra sengkala (penanda tahun oleh para pujangga jaman dahulu) sebagai 1400 tahun saka atau 1478 Masehi.
1478: Sultan Girindrawardhana Menyatukan Kembali Majapahit Barat-Timur.
Tahun 1478, Sultan Girindrawardhana mempersatukan kembali Majapahit. Bhre Kertabhumi menyerahkan tahta Tumapel. Majapahit bersatu kembali dan diperintah Girindra Wardhana selama 41 tahun.
Sultan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) Berkelana.
Setelah mengundurkan diri dari tahta Majapahit Timur di Tumapel, Sultan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) melarikan diri/ berkelana ke Barat. Beliau lalu mempersiapkan berdirinya Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara. Hal ini dilakukan demi menghalau masuknya Portugis ke Selat Malaka. Sebagaimana diramalkan oleh Ulama Besar Majapahit Mpu Prapanca.
Beliau mempersiapkan semua ini bersama-sama para wali tanah Jawa. Di samping itu juga melibatkan putra-putra beliau, antara lain:
1. R. Fatah Al Akbar/ P. Jimbun/ Sayyid R. Bagus Kusen dari Ibunda Gusti Ayu Andarawati Al Akbar. Beliau adalah putra Sultan Bhrawijaya V yang kelak terpilih menjadi Panglima Perang Armada Sabilillah Lautan Majapahit. Gelarnya Syah Alam Akbar I.
2. R. Harya Katong/ Bethara Katong/ P. Lembu Kanigara/ R. Joko Piturun (Dari istri Nyahi Ageng Bagelen, dimakamkan di Bagelen, Purworejo). Beliau menjabat Adipati Majapahit di Ponorogo. Ulamanya Kyahi Ageng Mirah/ Kyahi Ageng Muslim putra bin Kyahi Ageng Gribig , Jatinom (Klaten). Mereka dimakamkan di Ponorogo.
3. R. Harya Gugur / P. Lembu Kenanga/ R. Kudha Penoleh (juga dari istri Nyahi Ageng Bagelen ). Beliau menjabat Adipati Majapahit di Pamekasan, Madura.
4. Kangjeng Ratu Pembayun, istri Kyahi Ageng Wuking I/ Sri Hamengkurung Handayaningrat yang menjabat sebagai Adipati Majapahit di Pengging . Makam beliau berada di Masaran, Butuh, Sragen.
5. Pangeran Bondhan Kejawan/ R. Lembu Peteng/ Kyahi Ageng Tarub III. Makam beliau di Sela, Purwadadi.
6. Pangeran Bondhan Surati, seperti kakaknya juga menjadi Kyahi Ageng Bondhan Surati. Makam beliau berada di wilayah Sada, Paliyan, Gunung Kidul.
1479M/1401 Saka: Candra Sengkala Penyu (Kura-kura) di Masjid Demak, berdirinya Masjid Demak Bintara
1. Candra sengkala penyu di dinding pengimaman Masjid Demak ini menunjukkan tahun berdirinya masjid Demak Bintara. Kepala berarti angka 1, kakinya berjumlah empat berarti angka 4, badan penyu berarti angka 0, dan ekor penyu berarti angka 1. Jadi keseluruhan simbol tersebut berarti angka tahun 1401 Saka atau 1479 masehi.
2. Masjid Demak Bintara didirikan oleh Wali Sanga. Teras masjid Demak ini merupakan pusaka dari Majapahit sebagai tanda restu dan legalitas Majapahit atas berdirinya Kerajaan Demak Bintara. Pusaka Majapahit tersebut berupa saka pendapa Majapahit Timur di Tumapel, yang diantarkan langsung oleh Prabu Brawijaya V dan putra beliau Pangeran Bondan Kejawan dan Pengeran Bondan Surati.
3. Pangeran Bondan Kejawan ini mengundurkan diri sebagai penerus Brawijaya V, ia memilih hidup sebagai ulama-kyai bernama Kyahi Ageng Tarub III .
4. Pangeran Bondan Surati juga menjadi Ulama-Kyahi diwilayah selatan Jawa.
1480(?): Adipati Yunus Lahir.
Adipati Yunus lahir. Beliau adalah putra R. Muhammad Yunus (Wong Agung Jepara, adipati MAjapahit di Jepara) + putri Pembesar Majapahit. Nama beliau sesungguhnya adalah R. Abdul Qadir Al Idrus. Silsilahnya adalah sebagai berikut:
R. Abdul Qadir Al Idrus bin R. Muhammad Yunus Al Idrus bin Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam.
Ayah Pati Unus adalah R. Muhammad Yunus Al Idrus seorang Bupati Majapahit di Jepara. Beliau bergelar Wong Agung Jepara.
Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, leluhur Pati Unus adalah seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
1481: Syah Alam AkbarI Dinobatkan
Senapati Sarjawala di Demak Bintara yang pertama adalah Syah Alam Akbar I, yang ketika masih muda bernama Ruhuddin (Raden) Fatah atau Raden Kasan. Beliau memiliki nama Tionghoa Pangeran Jin Bun. Ia adalah putra dari Bhrawijaya V/ Bhre Kertabhumi + Gusti Ayu Andarawati (Putri Cempa), yakni seorang putri dari wilayah kerajaan Islam Majapahit di Cempa.
A. Ong Tien (Putri Ming Hong Ki) datang ke Cirebon
Putri Kaisar Ming Hong Ki yakni putri Ong Tien datang ke Cirebon. Beliau dikirimkan ayahandanya untuk bergabung dengan Sunan Gunung Jati. Putri Ong Tien akhirnya menjadi istri Sunan Gunung Jati. Pernikahn inisekaligus menjadi lambang dukungan Kaisar Ming terhadap Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala.
Sebagai cenderamata kepada S. Gunung Jati, Kaisar Ming menghadiahkan nama China untuk beliau yakni Tan Beng Hoat. Di samping itu beliau dihadiahi sepasang dipan yang terbuat dari batu Giok.
Sunan Gunung Jati ketika itu berusia 40 tahun. Istri beliau yang keturunan raja Sunda baru saja wafat. Beliau bernama Nyahi Ageng Pakungwati.
Sunan Gunung Jati.
S. Gunung Jati dinobatkan menjadi Imam di Nuswantara. Beliau bergelar: Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala. Hal ini dilakukan Orang muslim Nuswantara untuk mengantisipasi runtuhnya wewenang Islam di Eropa dan Timur Tengah. Upacara ini dilakukan di Masjid Cipta Rasa, Cirebon.
1486: Putri Ong Tien Wafat
Istri Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala, yakni Gusti Ayu Ong Tien, wafat. Beliau baru 5 tahun mendampingi sang Khalifah.
***
31 Maret 1492
Runtuhnya Granada di Spanyol
Secara perlahan-lahan seluruh wilayah daulat Islamiyah di Spanyol -yang sebelumnya dikuasai Dinasti Ummayah- menyerahkan diri kepada Ratu Isabella (Spanyol) dan Raja Ferdinand (Portugis).
1 April 1492
Dekrit Alhambra
“April Mop”, Jum'at Wage, 1 April 1492M, 23 Jumadilawal 1409, tahun Wawu, Windu Kuntara, 23 Jumadilawal 897H adalah hari diberlakukannya Dekrit Alhambra. Dekrit Alhambra yang ditandatangani oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela, diberlakukan. Masjid Alhambra yang terbesar kedua di dunia, kemudian berubah fungsi menjadi gereja Katolik Kerajaan Spanyol.
Dengan berlakunya dekrit ini, seluruh dunia muslim (Islamistand) dianggap telah menjadi hak milik Spanyol dan Portugis. Islamistand dibagi menjadi dua wilayah, yakni Hindia Timur (Oost Indische) atau Nuswantara dan Hindia Barat (West Indische) atau benua Amerika sekarang.
Hal ini merupakan suatu pernyataan dari kaum Kolonial bahwa seluruh Islamistan secara legal-formal telah menjadi milik Spanyol dan Portugis. Raja Ferdinand segera menyiapkan Armada besar untuk menguasai Oost Indische/ Hindia Timur/ Nuswantara. Mereka menyandarkan hak mereka atas wilayah tersebut kepada Dekrit Alhambra ini.
Denikian halnya dengan Spanyol, mereka menyiapkan Armada yang dipimpin Christopher Colombus ke West Indische (Amerika).
Dekrit Alhambra
“The Kings Ferdinand and Isabella, by the grace of God, King and Queen of Castile, Leon, Aragon and other dominions of the crown - to the prince Juan, to dukes, marquees, counts, the holy orders, priors, knight commanders, lords of the castles, cavaliers, and to all Jews, men and women of whatever age, and to anyone else this letter may concern - that health and grace be unto them. It is well known that in our dominion, there are certain bad Christians that became 'Judaized' and committed apostasy against our Holy Catholic faith, much of it the cause of interactions between Jews and Christians. Therefore, in the year 1480, we ordered that the Jews be separated from the cities and towns in our domains and that they be given separate sectors, hoping that with such separation the situation would be remedied, and we ordered that the Inquisition be established in such domains; and at the end of twelve years it has worked and the Inquisition has found many guilty persons. Furthermore we are informed by the Inquisition and others of the great harm that persists to the Christians as they interact with the Jews, and in turn these Jews try by all manners to subvert our Holy Catholic faith and are trying to prevent faithful Christians to grow close to their beliefs.
These Jews have instructed these Christians in the ceremonies and observances of their laws, circumcising their children, and giving them books with which to pray, and declaring unto them the days of fasting, and meeting with them to teach them the histories of their laws, notifying them when to expect the celebration of Passover and how to observe it, giving them the unleavened bread and ceremonially prepared meats, and instructing them in things from which they must abstain, both with regard to food items and other things requiring observance of the laws of Moses, making them fully understand that there is no other law or truth outside of this. And this is made clear based on the confessions from such Jews as well as those perverted by them that it has resulted in great damage and detriment of our Holy Catholic faith.
And since we knew the true remedy of such damages and difficulties lay in the interfering of all communications between the said Jews and the Christians and sending them forth from all our dominions, we sought to content ourselves with ordering the said Jews from all the cities and villages and places of Andalusia where it appeared that they had done the most damage, and believing that this would suffice so that those and other cities and villages and places in our reigns and holdings would be effective and would cease to commit the aforesaid. And because we have been informed that neither this, neither is the case nor the justices done for some of the said Jews found very culpable in the said crimes and transgressions against our Holy Catholic faith have been a complete remedy to obviate and to correct such opprobrium and offense. And to the Christian faith and religion it appears every day that the said Jews increase in continuing their evil and harmful purposes wherever they reside and converse; and because there is no place left whereby to more offend our holy faith, as much as those which God has protected to this day as in those already affected, it is left for this Holy Mother Church to mend and reduce the matter to its previous state, due to the frailty of the human being, it could occur that we could succumb to the diabolical temptation that continually combats us, therefore, if this be the principal cause, the said Jews if not converted must be expelled from the kingdom.
Because when a grave and detestable crime is committed by some members of a given group it is reasonable that the group be dissolved or annihilated, and the minors by the majors will be punished one by the other; and those who permit the good and honest in the cities and the villages, and by their contact may harm others, must be expelled from the group of peoples, and despite minor reasons, will be harmful to the Republic, and all the more so for the majority of these crimes, would be dangerous and contagious. Therefore, the Council of eminent men and cavaliers of our reign and of other persons of knowledge and conscience of our Supreme Council, and after much deliberation, it is agreed and resolved that all Jews and Jewesses be ordered to leave our kingdoms and that they not be allowed to ever return.
We further order in this edict that all Jews and Jewesses of whatever age that reside in our domain and territories leave with their sons and daughters, servants and relatives large or small, of all ages, by the end of July of this year, and that they dare not return to our lands and that they do not take a step across, such that if any Jew who does not accept this edict is found in our kingdom and domains or returns will be sentenced to death and confiscation of all their belongings.
We further order that no person in our kingdom, notwithstanding social status, including nobles, that hide or keep or defend any Jew or Jewess, be it publicly or secretly, from the end of July and following months, in their homes or elsewhere in our reign, risking as punishment loss of all their fiefs and fortresses, privileges and hereditary rights.
So be it that the Jews may dispose of their households and belongings in the given time period, for the present we provide our compromise of protection and security so that by the end of the month of July they may sell and exchange their belongings and furniture and any other item, and dispose of them freely per their assessment, that during said time no one is to do them harm or injury or injustice to their persons or to their goods, which would be unjustified, and those who would transgress this shall incur the punishment that befalls those who violate our royal security. We grant and give permission to the above mentioned Jews and Jewesses to take with them and out of our reigns their goods and belongings, by sea or by land, excepting gold and silver or minted money or any other item prohibited by the laws of the kingdom. Therefore, we order all councils, magistrates, cavaliers, shield-bearers, officials, good men of the city of Burgos and of other cities and villages of our kingdom and dominions, and all our vassals and subjects, that they observe and comply with this letter and all that is contained in it, and that they give all the type of help and favor necessary for its execution, subject to punishment by our sovereign grace and by confiscation of all their goods and offices for our royal house. And so that this may come to the notice of all, and that no one may pretend ignorance, we order that this edict be proclaimed in all the plazas and meeting places of all cities and in the major cities and villages of the diocese, that it be done by the town crier in the presence of the public scribe, and that no one nor anybody do the contrary of what has been defined, subject to the punishment by our sovereign grace and annulation of their offices and confiscation of their goods to whosoever does the contrary. And we order that it be evidenced and proven to the court with signed testimony specifying the manner in which the edict has been carried out.
Given in this city of Granada the thirty first day of March in the year of our Lord Jesus Christ 1492. Signed, I, the King, I the Queen, and Juan de Coloma, Secretary of the King and Queen who has written it by order of our Majesties.”
1493
Perjanjian Caetera
Antara Potugis dan Spanyol
1494
Perjanjian Tor de Silas
Antara Portugis dan Spanyol
1500: R. Abdul Qadir Al Akbar Al Idrus (Adipati Yunus) Menikah dengan Gusti Ayu binti Al Fatah Al Akbar
Pada usia 20 tahun, Adipati Yunus menikah dengan Gusti Ayu putri binti P. Fatah Al Akbar. P. Fatah juga memiliki darah Champa/ China dari ibunya Ratu Ayu Andarawati istri Brawijaya V dan Arya Damar (sebagai garwa triman). Dari pernikahan ini mendapat dua orang putra gagah berani. Yang pertama sebut saja Cucu R. Fatah (belum diperoleh keterangan) dan yang kedua dikenal sebagai Sayyid R. Abdullah Al Idrus.
Setelah pernikahan ini beliau diangkat menjadi Adipati Majapahit di Jepara (meneruskan ayahnya: R. Muhammad Yunus, Wong Agung Jepara).
1506
Pelayaran I Christophorus Colombus
1. Christophorus Colombus mantan terpidana mati di Spanyol ditugaskan Ratu Isabela untuk berlayar melintasi lautan Pasifik menuju ke daratan Amerika, atau disebut juga sebagai Hindia Barat. Amerika kemudian menjadi tempat pembuangan bagi para narapidana dari Spanyol.
2. Perjanjian Tor de Silas
3. Pelayaran Vasco de Gama
4. Pelayaran Alburqurque
5. Pelayaran Magelhans
***
1509
Benteng Mataram Islam Kotagedhe berdiri
1. Benteng Mataram Kotagedhe didirikan ketika Demak Bintara baru 36 tahun berdiri. Pemrakarsanya Kyai Ageng Sela (Sayyid Abdurrahman) dan putranya Kyai Ageng Anis/ Henis/ Ngenis dari Grobogan, Boyolali. Kyai Ageng Henis dimakamkan di Makam Pajang Laweyan, belakang Masjid peninggalan Pajang di Laweyan, Solo. Sedangkan makam Nyai Ageng Henis dimakamkan di tengah langgar/ mushala pusaka Kerajaan Islam Mataram Kotagedhe.
2. Di lingkungan Benteng Mataram Kotagede sudah tinggal keluarga Pangeran Jayaprana (keturunan Majapahit) dan keluarga Kyai Ageng Mangir.
3. Peristiwa dan situs ini menjadi penanda bagi sistem petanda bahwa Kerajaan Islam Mataram telah dipersiapkan 77 tahun sebelumnya oleh para raja, wali, ulama, dan kyai di tanah Jawa.
4. Hal ini terjadi karena para leluhur tanah Jawa telah mempersiapkan sebuah benteng pertahanan Islam di pesisir selatan pulau Jawa.
5. Panembahan Senapati kelak dinobatkan menjadi Panglima Perang di area pertahanan ini tahun 1586M (77 tahun kemudian).
1510-47
Sultan Daeng Matanre
bertahta di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan selama 37 tahun.
Sultan Daeng Matanre menyatukan seluruh kekuatan di Sulawesi Selatan menjadi satu kekuatan Gowa-Tallo . Peristiwa ini menjadi penting terkait dengan dukungan ahli-ahli pembuat kapal kayu dalam mempersiapkan 375 unit kapal untuk Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara.
1511: Malaka Jatuh ke Tangan Portugis.
1. Kerajaan Malaka penjaga selat Malaka, dikuasai Portugis. Selat malaka adalah pintu masuk pintu masuk Armada Kolonial ke Nuswantara.
2. Adipati Yunus Al Idrus dinikahkan dengan Putri Ayu binti Sunan Gunung Jati Al Athas. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putra gagah berani yang gugur syahid di medan perang Malaka.
3. Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah Al Athas juga keturunan China dari Dinasti Ming Islam, sehingga memiliki nama China sebagai Tan Eng Hoat.
Catatan:
Secara probabilistik di Nuswantara Majapahit terbentuk wajah-wajah kombinasi Parsi-China.
Adipati Yunus Diangkat Menjadi Senapati Sarjawala
Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah Al Athas sebagai sesepuh para waliyullah mengangkat Adipati Yunus sebagai Senapati Sarjawala. Beliau menjadi Panglima Tertinggi Armada Sabilillah Majapahit. Armada ini merupakan gabungan dari Demak-Banten-Cirebon. Markas besarnya adalah di Pelabuhan Armada Laut Majapahit Demak Bintara.
1512: P. Pandanaran Hijrah ke Selatan
1. Pangeran Adipati Majapahit di Pandanarang I, hijrah dari pesisir utara (Semarang) ke pesisir selatan (Tembayat, Klaten). Di Tembayat beliau bergelar Sunan Tembayat/ Sunan Pandanarang/ Risang Guru Hyang Wisnumurti.
2. Beliau hijrah bersama istrinya dan dikawal oleh Syeh Dumba.
1512: Kerajaan Samudra Pasai Jatuh ke Tangan Portugis.
Salah satu penjaga selat Malaka yakni Kerajaan Samudra Pasai jatuh ke tangan Portugis. Putra Mahkota kerajaan bernama Tubagus Pasai/ Fatahillah/ Faletehan/ Faltehan melarikan diri ke Demak dan bergabung dengan Armada Laut Sabilillah. Kelak beliau ini menggantikan posisi Adipati Yunus.
Jatuhnya Malaka dan Pasai ke Portugis merupakan ancaman bagi keindahandan ketentraman hidup di Nuswantara yang muslim sejak dahulu kala. Apalagi Portugis membawa Naskah Alhambra (1492), Caetera (1493), dan Tor de Sillas (1494). Ini berarti awal dari sebuah penguasaan atas seluruh tanah Hindia Timur atau Nuswantara oleh Armada Kolonial/ Portugis.
Dengan demikian ramalan Prapanca terbukti. Bahwa Nuswantara yang tata titi tentrem kerta raharja dan gemah ripah loh jinawi akan segera sirna. Akan segera berganti dengan jaman Kalabendu, yakni jaman penguasaan Armada Kolonial di seluruh dunia muslim. Ilang sirna kertaning bhumi.
Maka untuk menghalau mahapralaya ini tidak ada kemungkinan lain kecuali melawannya dengan perang suci, perang sabilillah. Para wali di tanah Jawa dan seluruh Nuswantara kemudian bersatu dan seia sekata untuk maju kemedan laga. Sesepuh untuk peperangan sabilillah Nuswantara ini adalah Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah/ Sayyid R. Tan Eng Hoat. Seorang ulama keturunan Parsi-China dan berdarah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Tomi Pires (mata-mata Portugis) masuk ke Tuban.
Pengelana dan mata-mata Portugis bernama Tomi Pires datang keTuban. Ia datang satu abad setelah Gan Eng Cu menulis tentang kekagumannya di Tuban.
1513: Ekspedisi Pengintaian Dikirim ke Malaka.
Sunan Gunung Jati mengirim sepasukan pengintai yang bertugas menembus Benteng Portugis di Malaka. Pasukan ini kembali ke Demak Bintara dan melaporkan betapa dahsyatnya persiapan dan kesiapan Armada Laut Kolonial Portugis. Tak ada jalan lain bagi Armada Laut Majapahit Nuswantara, selain melakukan persiapan secepatnya secara besar-besaran.
Armada Majapahit Nuswantara segera menghubungi saudaranya yang berada di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka adalah para “sayyid Bugis” jago-jago maritim yang terkenal ke seluruh dunia. Mereka menguasai area maritime yang sangat luas dari Formosa/ Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Maluku hingga ke Australia. Para sayyid Bugis ini dikenal sebagai Penguasa Lautan di Benua Timur.
Dengan bantuan dari sesama “sayyid”/ keturunan Rasulullah SAW di Gowa, maka Armada Sabilillah Laut Majapahit membangun 375 buah kapal dengan ukuran besar.
Di samping itu di daratan, terjadi persiapan dan penataan para wali, ulama, dan kyahi demi menghadapi kemungkinan terburuk dari mahapralaya ini. Bala bencana akan segera datang sebagai air bah dan badai yang dahsyat. Tak mungkin melawannya dan takmungkin membendungnya, seakan sudah menjadi ketetapan Ilahi. Maka yang bisa dilakukan kaum muslimin hanya memohon pertolongan Allah SWT belaka.
Sejak saat itu maka seluruh Nuswantara/ Majapahit hanya memiliki satu tekad yakni melaksanakan perang suci, sabilillah. Tak ada jalan lain. Kolonialisme adalah sebuah takdir yang harus diterima kaum Muslimin dunia, termasuk yang hadup di Nuswantara/ Majapahit. Sudah 1000 tahun sejak Rasulullah SAW masih hidup, kaum muslimin menjadi Tuan bagi ummat manusia, sayyidul ummah. Di atas hamparan geografis yang maha luas, meliputi seluruh dunia. Dan melaksanakan perang suci, sabilillah menjadi satu-satunya kewajiban dan pilihan yang bisa dilakukan kaum muslimin saat itu. Hanya dengan ini saja cara kaum muslimin bertahan.
Maka sejak Kyahi Ageng Prapanca menyatakan sabdanya ilang sirna kertaning bhumi, menandakan akan terjadinya sebuah perubahan. Perubahan besar pada jaman dan dunia tempat manusia menggantungkan hidupnya. Tak mungkin manusia menghindari. Sunan Kalijaga berpesan dalam hal ini, manuta mili playuning banyu, nanging ywa kongsi keli. Ikutilah arus perubahan jaman itu, namun jangan sampai hanyut. Sebuah pilihan yang sulit.
1513: Sultan Daeng Matanre Membangun Kapal-kapal Armada.
Para ahli teknologi maritim dari Gowa-Tallo sejak 1513 mulai membuat kapal-kapal laut untuk Armada Laut Sabilillah Nuswantara/ Majapahit. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara benar-benar sebuah Armada Kesatuan seluruh Nuswantara. Bukan hanya Demak-Banten-Cirebon (di P. Jawa) yang bersatu, namun juga Gowa-Tallo berikut seluruh sekutunya di seluruh Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Australia.
Sementara yang bela adalah Kekuatan Islam di Sumatera Utara. Terutama Kerajaan Malaka dan Pasai sebagai penjaga arus masuknya kapal layar ke Nuswantara dari Selat Malaka.
1521: Perang Sabilillah Melawan Kumpeni Portugis di Selat Malaka.
Demak Bintara: Syah Alam Al Akbar II/ Adipati Unus/ P. Sabrang Lor/ Senapati Sarjawala menghadang Portugis di Selat Malaka. Peristiwa ini disebut sebagai ekspedisi Sabrang Lor, terjadi peperangan selama 3 hari 3 malam. Armada Kolonial Kumpeni Portugis saat itu sudah menguasai Malaka dan Pasai.
Penguasaan Portugis terhadap wilayah raja Malaka dan Pasai merupakan langkah awal bagi mereka dalam melaksanakan 3 Naskah (Dekrit Alhambra, Caetera, dan Tor de Sillas) di perairan Nuswantara.
Meskipun tidak diakhiri dengan perjanjian dengan Pihak Portugis di Selat Malaka, namun Perang Besar Sabilillah di Selat Malaka ini menjelaskan mengapa Kumpeni Portugis kemudian mengarahkan ekspedisinya ke Indonesia Timur seperti Manado, Ambon, dan Maluku. Kumpeni Portugis mengurungkan niatnya memasuki Jawa.
Para syuhada yang gugur syahid pada Sabilillah ini adalah Adipati Yunus sendiri, berikut dua orang putra beliau. Satu cucu dari R. Fatah dan satunya lagi cucu dari Sunan Gunung Jati. Panglima sementara dipegang oleh R. Hidayat sampai seluruh Armada Sabilillah Majapahit kembali ke Jawa.
1. Demak Bintara: Syah Alam III (Raden Trenggana) menghadang Portugis di Selat Malaka, bersama-sama dengan Cirebon dan Banten. Mobilisasi ini sekaligus mengakhiri kepemimpinan Demak Bintara, karena penerus Trenggana (Sunan Prawata) memilih menjadi ulama-kyahi dari pada menjadi putra mahkota Demak.
2. Putra Trenggana (Raden Prawata) mengundurkan diri sebagai calon pengganti Sultan Syah Alam III. Beliau menjadi ulama-kyai bergelar Batara Guru/ Sunan Prawata. Sunan Prawata beristrikan Ratu Kalinyamat.
3. Sunan Prawata tewas dibunuh Arya Penangsang. Istrinya (Ratu Kalinyamat) didampingi 2 orang saudarinya (sebut saja Putri Penderek Kalinyamat 1 dan 2) melakukan munajat/ bertapa, menuntut balas kematian Sunan Prawata.
4. Ratu Kalinyamat bertemu Danang Sutawijaya (kelak menjadi Panembahan Senapati). DS berjanji akan menuntutkan balas kepada Arya Penangsang.
5. Arya Penangsang mengundurkan diri dari menghendaki tahta Demak dan Pajang dan wafat sebagai kyai bergelar Seda Lepen. Makamnya terdapat di Kadilangu dan Kaliwungu.
6. Sebagai rasa terima kasih, Ratu Kalinyamat mengawinkan DS dengan Putri Penderek Kalinyamat 1 dan 2. Dari perkawinannya dengan mereka, DS dikaruniai seorang putera yang kelak sangat sakti mandraguna bernama Raden Rangga.
1. Terjadi eksodus para sunan, wali, dan kyahi dari pesisir utara ke pesisir selatan. Peristiwa ini menunjukkan terjadinya perpindahan pusat pemerintahan dalam menghadapi kolonialisme dari Demak ke Mataram. Kerajaan Pajang sebagai pengantara saja.
2. Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) mempersiapkan berdirinya Mataram dengan menugaskan Tiga Serangkai: Kyai Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Kyai JuruMartani.
3. Sultan Hadiwijaya bertahta di Pajang didampingi penasihat Kyai Ageng Singaprana II.
***
1515
Belanda menjadi Negara Bagian (Jajahan) Spanyol.
Kerajaan Belanda menjadi jajahan Kerajaan Spanyol di bawah duli Ratu Isabela. Kerajaan Spanyol waktu itu baru 19 tahun menguasai Andalusia. Dalam masa ini maskapai dagang orang-orang Belanda ikut meramaikan wilayah jajahan Spanyol termasuk Nuswantara.
1518: R. Fatah Al Akbar/ P. Jin Bun Wafat
Panglima Tertinggi Armada Sabilillah Laut Pertama, yakni Raden Fatah/ Pangeran Jin Bun/ Raden Bagus Kasan, bergelar Syah Alam Al Akbar I, wafat. Sunan Gunung Jati dan Armada Sabilillah harus memilih pemimpin baru. Mereka harus mengangkat kembali seseorang yang telah dipersiapkan Allah SWT untuk memimpin Armada Sabilillah Laut Majapahit ini. Seseorang yang akan memagku amanat dan bergelar Syah Alam Al Akbar II (tsaniy).
Sebelum wafat, R. Bagus Kasan berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Adipati Demak Bintara berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Sayyid R. Abdul Qadir bin Yunus Al Akbar Al Idrus, Adipati Majapahit di Jepara. Beliau menjadi Syah Alam Al Akbar II atau AtsTsaniy.
1519-21: Rana Wijaya/ Prabu Girindra Wardhana Raja Majapahit wafat.
1537: Sunan Pandanarang wafat di Tembayat, Wedi, Klaten
1. Sunan Pandanaran/ Sunan Tembayat (ketika masih di Semarang bernama Pangeran Adipati (Majapahit) di Pandanarang I) wafat di Tembayat, Wedi, Klaten.
2. Beliau wafat setelah mukim 25 tahun di sana. Metode syiar Islamnya disebut sebagai anjala wukir kamulyanta. Artinya, menjaring para kesatriya (arab: mujahid) yang hidup dalam kemulyaan dan keluhuran budi pekerti. Kelak Sultan Agung Hanyakrakusuma memindah makam beliau ke puncak bukit Tembayat tahun 1633, demi memuliakan beliau. Dan membangun candi “bla-bla?” sebagai pintu-pintu gerbang menuju Makam Sunan Tembayat.
3. Juga bergelar Risang Guru Hyang Wisnumurti, artinya Sang juru dakwah/ ulama yang mengajarkan perihal keutamaan Rasulullah SAW.
1542: Candi Sukuh berdiri.
Candi Sukuh berdiri di lereng Lawu, Sukaharja. Candi ini dipersembahkan untuk Sultan Brawijaya V dari putra beliau Syah Alam Al Akbar I (Pangeran Jimbun/ R. Fatah/ Sayyid Raden Bagus Kusen Al Akbar) di Demak Bintara. Hal ini bisa dilihat dari lambang penyu/ kura-kura yang menjadi simbul utama candi. Simbul penyu’ kura-kura ini merupakan simbol Demak Bintara (terdapat di dinding pengimaman Masjid Demak).
Candi ini sebagaimana raja-raja Majapahit sebelumnya (misal, Candi Tigawangi dan Wanacala di Kedhiri), digunakan untuk menyepi dan tahanuts. Hal ini ditandai dengan relief Sudamala (artinya pertobatan, pensucian diri dari kehidupan dunia).
1544: Mata-mata Portugis Antonio de Paiva dari Malaka menyusup ke Gowa-Tallo.
1549: Sunan Prawata wafat
1. Sunan Prawata adalah sultan ke IV Demak Bintara. Ia bergelar Sultan Syah Alam IV. Ia adalah adik Sultan Syah Alam III/ Raden Trenggana.
2. Permaisurinya adalah Ratu Kalinyamat. Selir-selirnya antara lain adalah Putri Semangkin dan Putri Prihatin.
3. Sunan Prawata wafat dibunuh Arya Penangsang, yang menuntut tahta Kesultanan Demak Bintara.
Catatan tambahan artikel :
Ki Bagus Wanabaya
Jejak perjuangan Ki Bagus Wanabaya Putra Mangir Wanabaya
Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah suami Kanjeng Roro Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati ing Mataram, perkawinan tunggalnya menghadirkan putra ki Bagus Wanabaya yang lahir di Pati Jawa Tengah pada tahun 1588, Bagus Wanabaya bersama ibunya sempat berguru pada Pangeran Benawa otra Joko Tingkir diwilayah Kendal Jawa tengah. Pada tahun 1818 bagus Wanabaya bertempur dipihak Mataram dibawah pimpinan Ki Bahurekso melawan Pos VOC di Jepara Jawa Tengah, pertempuran Jepara tersebut dimenangkan oleh pihak Mataram. Selanjutnya Ki bagus Wanabaya bersama keluarga besar Kanjeng Roro Sekar Pembayun hijrah ke Pajajaran untuk bertemu dengan orangtua Nyimas Linggar Jati istri Ki Bagus Wanabaya, adik dari sahabat karibnya yaitu Purwagalih atau disebut Ki Jepra (jenazahnya dimakamkan didalam Kebon Raya Bogor Jabar) selanjutnya karena mereka sudah berkomitment untuk membangun jaringan intelejen mataram di Batavia rombongan veteran Perang Jepara 1618 itu kembali menduduki pos di wilayah Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok tepat di mata air Kali Sunter, mereka mendirikan basis gerilya dengan bimbingan Pangeran Jayakarta yang saat itu berkedudukan di Batavia diwilayah Jatinegara. Ki Bagus Wanabaya memimpin sekitar 80 tentara Mataram yang merupakan pasukan khusus yang bergerak dalam wilayah Benteng Batavia, merekalah pasukan Pandu Mataram yang kelak mempunyai peranan penting saat Sultan Agung menyerang Batavia di tahun 1628 - 1629. Sayangnya Kanjeng Roro Pembayun tak bisa menikmati buah kemenangan Mataram, beliau meninggal di Jatinegara 1625 tertembak pasukan VOC yang sedang menyerbu Pos Pangeran Jayakarta. Jenazahnya dimakamkan di Keramat Kebayunan Tapos Depok. Pada tanggal 20 September 1629 Nyimas Utari Sandijayaningsih, putri Bagus Wanabaya yang menyamar sebagai penyanyi cafe Batavia berhasil menjebak Jaan Pieters Soen Coen kedalam kamar pribadinya dan malam itu Yaan Pieter Soen Coen gubernur jendral VOC terbunuh . Dalam laporan resmi VOC JP Coen wafat akibat penyakit kholera pada tanggal 21 September 1629 kedudukannya digantikan oleh gubernur jendral Jaques Specx. Pasukan sandi khusus Mataram yang berhasil membunuh JP Coen membawa kepala JP Coen untuk diserahkan kepada Panembahan Juminah sebagai Jendral Mataram di Batavia, keberhasilan ini membuat Sultan Agung menerima saran Panembahan Juminah untuk menghentikan serbuanJ Mataram ke Batavia. Walaupun tak ada jasa bagi Ki Bagus Wanabaya dan keluarganya atas semua jerih payah perjuangan di benteng VOC, namun ia masih tetap berjuang hingga wafat dan dimakamkan di dekat ibunya di Kebayunan.