WIRID HIDAJAT DJATI
Kitab Wirid Hidayat Jati merupakan salah satu karya dalam khazanah kepustakaan Islam kejawen. Kitab ini adakalanya disebut secara singkat dengan nama Serat Wirid atau juga Hidayat Jati. Keistimewaan dari wirid hidayat jati adalah merupakah hasil karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802 - 1873).
Dia seorang sastrawan istana Mataram Surakarta yang sangat masyhur. Bahkan kemudian oleh para pecinta kepustakaan Jawa, serta para pengagumnya, digelari sebagai pujangga penutup. Dengan gelar kehormatan sebagai pujangga penutup, berarti Ranggawarsita memiliki kedudukan yang amat tinggi.
Kalau Nabi Muhammad mendapat gelar kehormatan sebagai khatam al-anbiya’, atau sebagai Nabi penutup, maka Ranggawarsita-lah yang digelari sebagai pujangga penutup.
Keistimewaan lainnya, karena wirid hidayat jati ini disusun dalam bentuk jarwa atau prosa. Isi kandungannya diproyeksikan untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap dan padat.
Serat wirid yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha, isinya meliputi :
Upacara dan perlengkapan sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang akan mengajarkan ilmu sufi, uraian bab guru dan murid, ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat, sifat, asma dan af’al Tuhan, uraian tentang cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan, jalan untuk mencapai penghayataan mistik dan kesatuan dengan Tuhan, tingkat-tingkat penghayatan mistik beserta godaan-godaan yang terdapat dalam tingkat-tingkat tersebut, uraian tentang pencitaan manusia dan hakikat manusia, dan yang terakhir berupa aspek budi luhur (akhlak) beserta ajaran yang berkaitan dengan kesufian.
Bila melihat struktur isi yang terdapat dalam serat wirid hidayat jati sebagaimana tertulis di atas, maka menjadi jelas bahwa karya ini mencoba mengkaji persoalan sufisme Jawa secara lengkap dan memadai. Ranggawarsita boleh dibilang telah berhasil dalam melakukan sinkretisme antara ajaran kebatinan Jawa dengan sufisme Islam, sehingga melahirkan corak sufisme Jawa yang otentik, di mana ajaran manunggaling kawula Gusti sangat khas dalam konsep sufisme Jawa yang dihadirkan dalam karya tersebut. Ajaran kesatuan wujud (manunggaling kaliwa Gusti) sangat khas, namun kitab wirid hidayat jati bukan merupakan ajaran murni yang berbasis pada konsep kesatuan manusia dan Tuhan. Konsep sufisme yang tercermin dalam kitab wirid hidayat jati memiliki dua inti sekaligus, yakni ajaran sufi yang menekankan pada aspek teosentris (ketuhanan) juga aspek antroposentris (kemanusiaan).
Sebabnya, dalam kitab wirid ini kolaborasi antara pembahasan Tuhan dan manusia tampak seimbang dan komprehensif. Sehingga tidak benar bila kitab wirid ini hanya berkaitan dengan cara mengenal Tuhan, tetapi juga sekaligus tentang cara mengenali hakikat manusia.
Gambaran tentang Tuhan dalam wirid hidayat jati sangatlah bersifat antropomorfis. Artinya, Tuhan digambarkan berada pada hidup manusia, bahwa antara Tuhan dan manusia tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hidup manusia menurut wirid hidayat jati merupakan sifat Tuhan. Sifat pastinya tidak terpisahkan dengan Zat. Uraian tentang Tuhan selalu dikaitkan dengan uraian tentang manusia sekaligus merupakan keterangan tentang Tuhan.
Sufisme dalam wirid hidayat jati sebenarnya sama dengan ajaran sufisme ataupun mistik pada umumnya. Esensi sufisme pada umumnya adalah teosentrisme. Artinya, pusat kegiatan bukan mengabdi kepada Tuhan, akan tetapi justru mencari dan merindukan untuk bertemu muka dan pendapat petunjuk langsung dengan perantara bertatap muka dengan Dia (Tuhan). Atau dalam wirid hidayat jati bahkan bersatu dan menjadi berkuasa, seperti Tuhan sendiri. Dalam tasawuf, hubungan langsung ini memunculkan konsep makrifat, sementara dalam sufisme Jawa memunculkan konsep wangsit, petunjuk, dan manunggaling kawula Gusti. Perbedaan mendasar antara konsep sufisme dalam wirid hidayat jati dengan sufisme Islam. Sufisme Islam menuntut bentuk pemimpin rasional (ulama) sedangkan sufisme dalam wirid hidayat jati umumnya melahirkan bentuk kepemimpinan yang irasional. Misalnya pemitosan wali-wali keramat, orang-orang suci, raja-raja, beserta kuburan-kuburannya. Logika Islam adalah logika penalaran yang cerah, sedangkan logika sufisme Jawa adalah logika paradoksal dengan rumusan simbol-simbol. Konsep sufisme dalam wirid hidayat jati adalah ilmu serba gaib dan banyak mitosnya.
Didalam faham trinitas wirid hidayat jati dinyatakan bahwa
- Allah itu badan Ku.
- Rasul itu Rahsa Ku.
- Muhammad itu Cahya Ku.
Diri manusia dibagi menjadi tujuh lapis, dari halus sampai kasar yang menjadi wahananya Dzat yaitu :
1. Khayu, artinya Hidup disebut Atma
2. Nur artinya Cahaya, disebut pranawa
3. Sir artinya Rahsa disebut pramana
4. Roh artinya nyawa, disebut suksma
5. Nafsu artinya Angkara
6. Akal artinya budi
7. Jasad artinya badan
Alam juga dibagi menjadi 7 tingkatan yaitu :
1. Alam Rohiyah artinya alam nyawa
2. Alam siriyah artinya alamnya Rahsa
3. Alam Nuriyah artinya alamnya cahya
4. Alam nuriyah luhur
5. Alam Uluhiyah artinya lamanya Tuhan
6. Alam Uluhiyah luhur
7. Alam Uluhiyah yang paling luhur
Disamping itu terdapat Tahta Mahgligai yang menjadi wahanyanya kanugrahan (karunia Tuhan) sebab nugroho itu Dzat Nya Tuhan dan kanugrahan itu sifatnya kawula yang tinggal didalam tubuh manusia, yaitu :
1. Bait-Al- Makmur, terletak didalam kepala Adam
2. Bait-Al Muharam terletak didalam dadanya Adam
3. Bait-Al-Muqoddas terletak didalam kemaluanya Adam
Disamping itu ia mengemukakan cara Manekung (Meditasi ) Warisan Panembahan Senopati dan cara meluluhkan badan (mensyucikan diri lahir dan bathin. Warisan dari Sunan Pakubuwono 1.
Secara suprematif dalam (surat Thaha, 20:14), sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku dan dirikan sholat untuk mengingatku.
Kemudian Al-ghazali dalam statement nya “Ektasis bukanlah terleburnya makhluq dalam Allah sebagai kesatuan dlam identitas ittihad.
Juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak yang berbeda pada tingkat ADA.
Yang sama seolah-olah dalam ucapan-ucapan para mistisi yang mengalami kedasyatan Allah sehingga menimbulkan kesan hiperaktif, akibat mabuk cinta kasih.