ISLAM & BUDAYA JAWA
Indonesia adalah Negara berpenduduk muslim terbesar didunia, ini menjadi suatu prestasi besar bagi sebuah Negara yang secara geografis dan budaya jauh dari pusat peradaban Islam (timur tengah khususnya arab).
Terlebih lagi Indonesia tidak pernah berada di dalam wilayah kekuasaan kekhalifan Islam pada jaman dahulunya. Nusantara Indonesia dahulu adalah wilayah kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.
Dalam kenyataannya para pendakwah di Nusantara Indonesia menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan konsep-konsep yang damai, terutama melalui kebudayaan dan adat istiadat. Contohnya adalah ulama-ulama pada jaman itu yang disebut sebagai Walisongo.
Mereka memanfaatkan budaya secara massif sebagai media dakwah penyebaran Islam pada jaman itu.
ANTARA ISLAM & BUDAYA JAWA
Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Budaya Jawa.
Islam datang ke Indonesia sejak abad ke tujuh Masehi memiliki pengaruh besar terhadap transformasi budaya setempat. Dari kebudayaan yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh agama Hindu terutama didasarkan pada dua karya besar dari India yaitu Ramayana dan Mahabharata menuju kepada kebudayaan baru yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Salah satu bentuk transformasi kebudayaan dalam bidang sastra Jawa adalah lahirnya tembang macapat. Tembang macapat merupakan bentuk transformasi sastra Jawa dari bentuk kakawin dan kidung menjadi sastra puisi yang berupa lagu/gending. Dalam perkembangannya, tembang macapat banyak mengandung nilai-nilai Islam sehingga dimanfaatkan oleh para guru, mubaligh, kyai maupun ulama’ untuk sarana pendidikan dan dakwah nilai-nilai Islam.
Indonesia adalah negara dengan populasi manusia terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 258 juta jiwa atau sekitar 3,5% dari keseluruhan jumlah penduduk di dunia.
Dari 258 juta jiwa tersebut terdiri dari berbagai macam suku, etnis, dan agama. Menurut sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 81,18% dari seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 193 juta jiwa beragama Islam. Dengan jumlah penduduk muslim yang begitu besar inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia.
Agama Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, tidak serta merta membuat kondisi sosial masyarakat di Indonesia menjadi berat sebelah. Tingkat toleransi di masyarakat begitu tinggi dan terjaga. Hal ini tidak lepas dari pengaruh semboyan Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai makna, meskipun berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Ada berbagai macam teori yang membahas tentang masuknya Islam ke Indonesia. Yang pertama ada teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat. Lalu ada juga teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M yang dibawa oleh pedagang dari Mekkah. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke 13 M yang dibawa oleh orang-orang Persia.
Sedangkan untuk kedatangan Islam di tanah Jawa, para ahli sepakat bahwa Islam datang pertama kali pada masa pemerintahan raja-raja Hindu. Hal ini diperoleh dari Prasasti Makam yang ditemukan di Gresik. Yaitu pada nisan Fatimah Binti Maimun yang wafat pada tahun 1.087 M. Prasati ini menjadi bukti otentik bahwa Islam telah menyebar di Pulau Jawa. Khususnya di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Hindu, yaitu Raja Airlangga.
Terlepas dari berbagai macam teori tentang masuknya Islam ke Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia sudah sangat lama dan disebarkan secara damai tanpa adanya kekerasan, dan paksaan. Hal ini didukung oleh pendapat dari Wertheim yang menyebutkan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa arus perdagangan pada masa itu, khususnya di pesisir pantai Utara Jawa yang begitu ramai oleh para pedagang baik dari Eropa, India, Asia Tengah, dan Asia Timur.
Pendapat ini juga mendapat bantahan dari ahli sejarah lain yaitu Van Leur. Ia menyatakan bahwa tidak mungkin Islamisasi bisa dilekukan secara besar besaran hanya oleh kaum pedagang dan perkawinan semata.
Di sisi lain para sejarawan banyak yang menyokong Teori Da'I Sufi yang menyatakan bahwa Islam disebarkan oleh para kaum pendakwah sufi seperti dari wilayah Bengal.
Hal ini dibuktikan dengan corak Islam di Jawa yang bersifat mistik dan temuan naskah-naskah lama di beberapa wilayah Jawa yang bertemakan penyebaran Islam melalui kegiatan sufistik. Penyebaran Islam di wilayah Jawa ini juga tidak terlepas dari peran Wali Songo yang mana makamnya banyak diziarahi umat Islam di Jawa.
Kedatangan Islam ke Indonesia khususnya di daerah pesisir Utara Jawa secara tidak langsung menciptakan suatu akulturasi budaya baru antara budaya yang dibawa oleh orang-orang pendatang dan budaya asli dari penduduk pesisir Jawa sendiri. Akulturasi ini menciptakan sebuah budaya baru yang terus lestari bahkan hingga masa kini. Hasil akulturasi ini dapat kita lihat pada menara Masjid Kudus yang merupakan akulturasi antara Agama Islam dengan Hindu.
Selain berupa bangunan bentuk akulturasi kebudayaan ini juga dapat berupa kegiatan seperti Tahlilan. tahlilan ini merupakan upacara kenduri atau selamatan untuk berdoa kepada Allah dengan membaca Surah Yasin dan beberapa surah dan ayat pilihan lainnya. Diikuti kalimat-kalimat tahlil (laa ilaaha illallaah), tahmid ( Alhamdulillaah), dan tasbih (Subhanallaah). Tahlilah biasanya diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Allah SWT (tasyakuran) dan mendoakan seseorang yang telah meninggal dunia pada hari ke-3, 7,40,100,1000 dan khaul (tahunan).
Tradisi ini berasal dari kebiasaan orang-orang Hindu dan Buddha yairu kenduri, selamatan, dan sesaji. Dalam ajaran agama Islam hal ini tidak dibenarkan karena mengandung kemusyrikan. Sehingga dalam tahlilan sesaji diganti bengan berkat atau nasi dan lauk pauk yang dibawa pulang oleh peserta. Ulama yang mengubah tradisi ini adalah Sunan Kali Jaga dengan maksud agar orang yang baru masuk Islam tidak terkejut karena harus meninggalkan tradisi mereka, sehingga mereka kembali ke agamanya semula.
Selanjutnya ada Sekaten, yang merupakan upacara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di lingkungan keraton Jogjakarta atau Maulud. Selain untuk maulud, sekaten juga diselenggarakan pula pada bulan Besar atau Dzulhijjah. Pada perayaan ini gamelan sekaten diarak dari keraton ke halaman Masjid Agung Jogja dan dibunyikan siang malam sejak seminggu sebelum tanggal 12 Rabiul Awal.
AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA.
Kemunculan dan perkembangan Islam di Dunia Indo- Melayu (termasuk di dalamnya adalah Jawa) menimbulkan transformasi kebudayaan-peradaban lokal. Transformasi suatu kebudayaan-peradaban melalui pergantian agama dimungkinkan, karena Islam bukan hanya menekankan keimanan yang benar, tetapi juga tingkah yang baik, yang pada giliranya harus diejawantahkan setiap Muslim dalam berbagai aspek kehidupan, dan tentu saja termasuk aspek budaya di dalamnya.
Masuknya Islam ke Jawa, dalam konteks kebudayaan membawa dampak pada akulturasi Islam dan budaya Jawa, yaitu budaya yang telah hidup dan berkembang selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa.
Akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat pada batu nisan, arsitektur (seni bangunan), seni sastra, seni ukir, dan berbagai tradisi perayaan hari-hari besar Islam. akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat dalam setiap era kesultanan (kerajaan Islam) yang ada di Jawa, baik era Demak, era Pajang, maupun era Mataram Islam.
Pada era Demak, akulturasi antara Islam dan budaya Jawa terjadi dalam banyak hal, misalnya, arsitektur, seni ukir, kesenian wayang, pola pemakaman, dan seni sastra (seperti babad, hikayat, dan lainnya).
Berbagai hasil akulturasi Islam dan budaya Jawa tersebut dijadikan sarana bagi penanaman nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa.
PERCAMPURAN ISLAM & BUDAYA JAWA
Membaca Alquran dengan langgam Jawa merupakan bentuk membumikan ajaran Islam. Menurut dia, sejumlah pesantren juga mengembangkan metode yang hampir serupa dalam mengekspresikan Islam.
Percampuran budaya antara Islam dengan Jawa sudah lama berlangsung. Sebenarnya, membaca Alquran menggunakan langgam Jawa bukan hal yang baru.
Di Jawa sendiri sudah berkembang kesenian yang hampir serupa.
Kesenian yang dimaksud adalah tembang-tembang Jawa yang liriknya diambil dari terjemahan Alquran.
Tembang-tembang itu berisi ajaran Islam, baik yang terkait peribadatan maupun petuah spiritual.
Ada pula kisah nabi-nabi atau penekanan pentingnya menyembah sang pencipta. Hingga saat ini, sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah masih memelihara tradisi ini.
Margana sepakat jika seni yang dipadukan dengan Islam merupakan bentuk membumikan Islam dengan budaya nusantara. Menurut dia, membaca Alquran lewat langgam Jawa atau langgam dari daerah lain perlu diapresiasi sebagai bentuk kreativitas mengekspresikan Islam secara positif.
Meski saat ini Islam di Indonesia sudah menjadi bagian dari masyarakat mayoritas, lanjut dia, bukan berarti tidak perlu ada inovasi. Menurutnya, masyarakat modern tetap perlu didekatkan kepada Alquran, salah satu caranya lewat seni.
Jalur seni relatif lebih diminati karena dekat dengan budaya masyarakat sehari-hari. Islamisasi tidak boleh sekedar ritual, melainkan ke seluruh aspek kehidupan.
Referensi buku yang ditulis oleh Drs. Abdullah Faishol, M.Hum dan Dr. Syamsul Bakri, M.Ag ini sangat tepat untuk dijadikan bacaan dan rujukan mengenai pribumisasi Islam khususnya di Jawa.
Keselarasan model dakwah dan konsep penyebaran Islam itu semakin ditegaskan saat ini dengan istilah Pribumisasi Islam. Ini adalah sebuah konsep kekinian yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dus) pada tahun 1980-an.
Konsep ini mencoba mengakomodasi ajaran Islam yang bersifat normatif dan berasal dari Tuhan dengan kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Dengan demikian keduanya akan memberikan corak. Konsep ini berikhtiar dan berupaya untuk menghindari timbulnya perlawanan (konflik) dengan budaya setempat, sehingga budaya tersebut tidak hilang, bahkan sebagai sarana untuk Islamisasi.
Buku ini membahas secara detail konsep perpaduan antara agama (Islam) dengan budaya. Sesuai judulnya buku ini mencoba untuk mengangkat berbagai bentuk budaya Islam-Jawa yang berkembang di masyarakat beserta landasan filosofis dari budaya-budaya tersebut ditilik dari sudut pandang sumber-sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagai contohnya adalah beberapa upacara yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran. Ngapati (empat bulan masa kehamilan), yaitu bentuk ungkapan syukur dari pasangan suami-istri akan kehamilan (mereka akan mendapatkan keturunan). Budaya ini sesuai dengan salah satu hadits nabi yang yang menyebutkan bahwa pada setiap masa 40 hari akan berubah perkembangan janin dari proses pembuahan-menjadi janin dan pada masa 40 hari keempat itulah Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin lalu menulis empat hal :
- Rizki.
- Ajal.
- Amal.
- Bala', celaka/bahagianya.
Itulah dasar dari tradisi tersebut. Secara jelas ini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebelum Allah menentukan empat hal tersebut, orang tua berdoa semoga Allah memberikan hal yang terbaik dengan adanya proses ngapati tersebut.
Tradisi yang lain seperti mitoni (tujuh bulan masa kehamilan).
Sepasaran atau akikahan (bayi umur lima hari), seperti juga upacara perkawinan seperti siraman (pemandian).
Midodareni (malam hari menjelang pernikahan).
Sungkeman (hormat ke orang tua), selametan kematian dan juga tahlilan.
Agama dan Budaya Tak Bisa Dipisahkan dalam Sejarah Islam di Indonesia
Agama dan budaya di Indonesia, jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di Nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis. Agama butuh alat atau pun metode untuk disampaikan kepada masyarakat. Agar orang paham terhadap agama, maka dibutuhkan metode ataupun alat supaya agama itu bisa dipahami orang.
Dalam konteks ke-nusantaraan yang ada di Indonesia, budaya, tradisi dan seni itu menjadi alat untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama.
Perlu dicatat mengapa di Nusantara ini agama dan budaya atau budaya dan tradisi menjadi alat atau metode dalam penyampaian agama :
1. Pertama, supaya agama lebih mudah dipahami. Karena kalau pesan-pesan agama disampaikan dengan cara-cara Timur Tengah tentunya akan ada kesenjangan budaya. Sehingga akan kesulitan untuk memahami dan menerima pesan-pesan agama itu kalau metode di Zazirah Arab itu yang dipakai.
Sejak jaman Walisongo digunakanlah metode atau tradisi nilai-nilai kultur orang lokal Nusantara ini sebagai alat untuk menyampaikan. Dan itu terbukti ampuh, sehingga dalam waktu kurang dari 50 tahun, Walisongo mampu meng-Islamkan masyarakat Nusantara dari yang semula 90% Hindu-Budha berbalik menjadi 90% Islam.
Selama 8 abad, Islam tidak berkembang di bumi Nusantara ini. Data sejarah menunjukkan abad ke-8 Islam sudah masuk di bumi Nusantara melalui berbagai pintu, baik dari pintu Aceh, pintu Jawa dan pintu macam-macam.
Kenyataaanya Islam sendiri baru berkembang pada abad ke-15 di zaman Majapahit yang artinya ada masa kevakuman dari abad ke-8 sampai abad ke-15 yang mana Islam di Nusantara ini belum bisa diterima oleh bangsa Nusantara. Kevakuman itulah yang kemudian dikoreksi oleh para wali dan ternyata ada kesalahan dalam menyampaikan pesan.
Akhirnya disampaikan dengan bahasa, cara, budaya, tradisi yang berkembang di masyarakat, baru Islam itu bisa masuk. Dengan cara yang disampaikan para wali itulah akhirnya melahirkan tembang, gending, syair, babat, serat, sastra dan sebagainya itu. Sehingga dengan kebudayaan ini lebih mudah diterima.
2. Kedua digunakannya kebudayaan sebagai metode atau alat dalam menyampaikan ajaran Islam dikarenakan dengan kebudayaan ini wajah Islam menjadi menyenangkan dan kompatibel dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat.
Sebab ada kesenjangan budaya kesannya kalau kita langsung pakai cara-cara metode Arab itu orang menjadi defence culture. Kesenjangan kultural inilah yang menyebabkan akhirnya ada defence culture.
Untuk mengatasi adanya defence culture itu maka inilah kebudayaan yang menjadi Wasilah.
Dengan cara-cara inilah, menurutnya, Islam menjadi lebih kreatif.
Meski ajarannya tidak diubah, ekspresinya menjadi lebih bisa beragam dan menunjukkan Islam itu kebenarannya akan tetap abadi di setiap tempat dan waktu.
Karena budaya-budaya yang ada di masing-masing tempat itu bisa menerima dengan baik dan bisa ekspresikan Islam dengan gayanya masing-masing dari segi kultural tanpa harus merubah ajaran-ajaran yang sudah baku. Inilah yang perlu dipahami masyarakat pemeluk agama Islam.
Islam yang seperti ini, maka orang menjadi tidak mudah marah. Karena kalau Islam ini sedikit sedikit marah, ditunjukkan dengan emosi ataupun kemarahan-kemarahan, akhirnya orang menjadi berpikir mengapa ajaran Islam ini ajarannya marah-marah.
Kita juga perlu marah tetapi harus pada tempatnya. Kalau kita marah dan mengatasnamakan marah itu pada hal-hal yang sifatnya membesar-besarkan masalah, maka orang jadi mikir seperti masalah sedikit dibesar-besarkan yang akhirnya sama saja dengan mengkerdilkan Islam itu sendiri.
Terkait banyak kejadian pengadaan agama, ini mengindikasikan bahwa taraf keberagamaan masyarakat Indonesia ini cenderung masih bersifat legal formalistik, di mana masih menjadi orang yang mudah kaget, mudah marah, dan mudah terkejut. Padahal sebetulnya puisi itu adalah puisi otokritik yang dapat menjadi bahan refleksi bagi masyarakat semuanya.
Kondisi radikalisme sudah diantisipasi oleh para wali pada zaman dahulu ketika Sunan Kalijogo mentransformasikan ayat-ayat Allah menggunakan seni, budaya dan tradisi. Karena hal itu sebagai sarana untuk menyebarkan, mengajarkan, dan menyampaikan pesan-pesan agama supaya lebih indah, lebih mudah diterima dan lebih menyenangkan ketika didengarkan orang.
Akhirnya dengan cara seperti itu justru Islam bisa diterima oleh semua orang, dibanding dengan orang-orang yang berteriak-teriak tetapi suaranya enggak jelas meskipun itu suara yang mengandung kebaikan. Ini faktual, harus dibedakan antara pesan agama, ajaran agama dengan metode, cara atau alat menyampaikan pesan.
Karena adzan itu adalah bagian dari ritual agama dalam memanggil orang untuk melaksanakan shalat dan karena suara adzan itu suara sakral, suara suci dan ritual agama, maka mestinya harus disampaikan dengan suara yang indah sehingga jangan sampai kalah dengan kidung.
Kalau langgam kalah dengan kidung akhirnya dia menjadi bahan ketawaan orang dan bahan ejekan orang. Ketika ada orang ada yang merasakan seperti itu ya kita jangan marah, mestinya kita instropeksi lain kali kalau adzan suara atau langgamnya harus yang bagus, merdu.
Sunan Kalijogo dulu ketika membangunkan orang untuk salat tahajjud tidak langsung mengutip ayat-ayat dalam kitab suci melainkan ditransformasikan menjadi kidung Rumekso Ing Wengi.
Itu adalah contoh Sunan Kalijogo mencoba memperindah, mempercantik supaya pesan-pesan agama ini lebih mudah, gampang dan lebih enak diterima oleh para penyampai pesan. Karena itu sesuai dengan kondisi psikologis, kondisi kultural, kondisi tradisional masyarakat. Jadi marilah kita sama-sama mencoba untuk menghayati sejarah itu di muka bumi Indonesia ini.