TARI TAYUB / TAYUBAN
Tari Tayub, atau acara Tayuban, merupakan salah satu kesenian Jawa Tengah yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah. Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 9.00-03.00 pagi. Penari tarian tayub lebih dikenal dengan inisiasi ledhek.
Kesenian Tayub merupakan pertunjukan seni yang diadakan untuk ungkapan rasa syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa melalui media sedekah bumi ( bersih desa ) akan keyakinan pada dayang ( penunggu ), ataupun pada saat masyarakat punya hajat yang biasanya diselenggarakan pada saat musim panen. Keberadaan tayub masih bertahan di daerah sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun seiring perkembangannya, dari kalangan Islam kesenian tayub menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Dari pandangan islam kesenian tayub di anggap melanggar hukum yang ada dalam islam. Sebagian masyarakat menganggap kesenian tersebut untuk hiburan dan dapat di terima dengan baik dimasyarakat.
Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. beberapa tokoh agama islam menganggap tari tayub melanggar etika agama, dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan minum minuman keras. pada saat menarikan tari tayub sang penari wanita yang disebut ledek mengajak penari pria dengan cara mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria yang diajak menari tersebut. serinng terjadi persaingaan antara penari pria yang satu dengan penari pria lainnya, persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Tledek (istilah penari tayub wanita).persaingan ini sering menimbulkan perselisihan antara penari pria.
Kesenian tayub berasal dari kerajaan Jawa Kuna, pada hakikatnya merupakan bagian dari rangkaian upacara yang bersifat religius yaitu tujuannya untuk memohon keselamatan pada Tuhan juga sebagai ucapan rasa syukur. Kata tayub berasal dari kata ’tata’ yang berarti teratur dan ’guyub ’ yang berarti bersatu atau rukun. Dengan demikian, tayub berarti suatu bentuk tari yang ditata dengan teratur sehingga menimbulkan kerukunan atau bersatu padu. Memang dalam tari tayub penuh dengan tatanan dan aturan, baik gerak tarian maupun pelaksanaannya, dan tari-tarian tersebut penuh guyub. Tari Tayub dibedakan menjadi 3 bagian :
1. Tayub alus.
2. Gagah.
3. Gecul.
Asal Mula Tayub.
Kata tayub dalam kamus Bau Sastra Jawa Indonesia karangan Prawira Atmaja berarti bersenang-senang dengan mengibing bersama tandak. Atau dengan kata lain menari bersama ledek, penjoged, atau ronggeng. Ada pula yang menyatakan tayub berarti ditata ben guyub. Maksudnya tarian diatur dengan baik untuk menjaga kerukunan di antara sesama.
Ada pula yang mengaitkan antara kata tayub dengan nayub. Poerbatjaraka (1954) mengatakan bahwa kata nayub bukan berasal dari kata tayub melainkan dari kata sayub, adalah untuk menyebutkan makanan yang sudah hampir basi atau menjadi tape. Tape mengeluarkan cairan untuk bahan minuman keras. Pengertian nayub berasal dari kata sayub (sayu-sajeng, wayu-wajeng) yang menunjuk pada minuman keras. Maksudnya nayub berarti menari-nari dengan minuman keras. Dalam setiap pementasan seni tayub tak pernah lepas dari minuman keras. Banyak kalangan mengatakan bahwa tayub tanpa minuman keras bagaikan sayur tanpa garam.
Fungsi Tari Tayub.
Tari Tayub semula berfungsi sebagai pengisi upacara jumenengan, pemberangkatan panglima ke medan perang, dan lain-lain. Perkembangan tayub semakin luas, bukan saja sebagai tari yang bersifat sakral tetapi juga sebagai tari pergaulan, bersifat erotis, dan juga romantis. Perkembangan yang paling akhir tayub sebagai tari-tarian profan. Yang dimaksud tari-tarian profan adalah tari-tarian yang langsung berhubungan dengan masyarakat atau juga disebut tari-tarian pergaulan atau tari-tarian untuk kesenangan.
Pertunjukan Tari Tayub.
Tayub sebagai tarian rakyat bisa bersifat sakral dan bisa juga bersifat pertunjukan atau kesenian hiburan. Melihat sejarahnya tayub memang untuk keperluan yang sakral namun seiring dengan perkembangan zaman tayub menjadi tarian pergaulan.
Tayub lazim ditarikan oleh pria dan wanita secara berpasangan. Oleh kaum petani Jawa, tayub diselenggarakan untuk ritual yang melambangkan kesuburan. Pertunjukan tayub bisa romantis, bisa pula erotis. Hal ini bisa dilihat saat pertunjukan tayub berlangsung para tamu mendapat persembahan sampur dari penari atau ledhek, tamu yang mendapat sampur kemudian ikut menari atau ngibing bersama dengan ledhek yang diiringi musik gamelan sesuai gendhing yang telah dipesan. Karena gerakan tari penari atau ledhek yang sangat erotis, kadang-kadang bisa ditafsirkan lain oleh penonton dan bahkan bisa menjurus ke perbuatan yang kurang susila.
Sejarah Tayub.
Pada zaman Singasari, yaitu saat Tunggul Ametung menjadi raja, tari Tayub berfungsi sebagai acara karesmen, yaitu acara yang dilaksanakan sesudah upacara penobatan. Biasanya raja menari bersama ledhek, tradisi semacam itu berlaku pada zaman Majapahit. Namun pada masa kerajaan Demak, acara ini ditiadakan. Mulai berdirinya kerajaan Mataram Baru yaitu zaman raja Sultan Agung, tayub digali dan dipakai lagi sebagai bagian tradisi jumenengan di keraton, tarian ini dilaksanakan secara turun temurun sampai keraton Surakarta Hadiningrat. Para penari wanitanya disebut dedungik sontrang. Oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I atau lebih populer dipanggil Pangeran Samber Nyawa, tayub dijadikan kesenian untuk menghibur para pasukan.
Fungsi tayub yang semula sebagai acara jumenengan raja bergeser menjadi tari untuk penghormatan tamu agung. Selanjutnya mengalami perkembangan yaitu berfungsi sebagai rangkaian upacara keselamatan atau syukuran bagi pejabat yang akan mengemban tugas baru. Akhir-akhir ini fungsinya cenderung ke tari pergaulan. Tari pergaulan ini pada umumnya bersifat hiburan atau untuk kesenangan belaka.
Sejak abad XX, tayub sering dilombakan untuk tujuan pelestarian kesenian Jawa. Kesenjan ini juga diminati kaum bangsawan atau kaum elite ketika menggelar hajatan. Para penari tayub yang cukup terkenal adalah Nyi Pantes, Nyi Den Sri, Nyi Sukarini, Nyi Menik, Nyi Kamini, Nyi Suwarni, dan Nyi Tumini. Penari-penari itu berasal dari Solo.
Pertunjukan Tayub di Masa Sekarang.
Pada waktu sekarang ini tayub masih dipentaskan di daerah Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Ada beberapa daerah yang menyelenggarakan acara adat Bersih Desa, bersih dusun, dan rasulan dengan mengadakan pertunjukan tayub. Acara Bersih Desa biasanya diadakan setahun sekali biasanya setelah panen. Menurut cerita, tayub berasal dari alam kadewatan (dewa-dewi). Tujuh bidadari cantik pilihan dewa khayangan menari berjajar-jajar secara tertib dan teratur dalam formasi gerak yang teratu dan guyub, yang kemudian muncul istilah kata tayub. Pada zaman dahulu tarian ini dilaksanakan pada malam hari, tetapi karena pertimbangan beberapa hal salah satunya pertimbangan norma susila maka sekarang sering diadakan pada siang hari.
Pendukung kesenian tayub sekitar 17 orang, dengan perincian sebagai berikut, penari atau ledhek 2 orang, 2 orang menjadi waranggana, seorang vokalis pria atau gerong sisanya sebagai penabuh gamelan dan sutradara. Instrumen untuk mengiringi tayub adalah gamelan lengkap. Kostum penari yaitu berkain panjang, memakai kemben, mengenakan selendang atau sampur untuk menari, rambut disanggul ala dandanan Solo, muka dirias. Para tamu yang ketiban sampur akan menari bersama penari. Para penonton tayub biasanya adalah pria dewasa. Sebelum penari turun ke arena suara gamelan sudah terdengar.
Nilai Dan Fungsi Tayub-Mengenal Asal - Usul Sejarah Tari Tayub Grobogan.
Kesenian Tayub telah di kenal sejak zaman dahulu kala bahkan telah mulai dikenal sejak zaman Kerajaan Singasari di Jawa Timur. Menurut sebuah literatur yang banyak kita jumpai kesenian Tayub pertama kali digelar pada masa pemerintahan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian seni Tayub berkembang pesat di Kerajaan Kediri dan kerajaan Majapahit. Akhirnya Raja Kediri kemudian menjadikan seni Tayub sebagai sebuah tarian resmi kerajaan dan mementaskan tarian tersebut untuk acara penyambutan terhadap tamu agung kerajaan yang datang berkunjung. Pada abad ke XII, kesenian Tayub di pentaskan dalam acara penobatan Raja dari kerajaan Jenggala. Raja Jenggala kala itu mewajibkan para permaisuri untuk menari Tayub ketika menyambut kedatangan raja di pringgitan.
Tarian Tayub merupakan seni gerak tari para penari serta nyanyian yang diiringi dan diatur bersama supaya serempak berdasarkan kepada kesepakatan dari para pemain dengan para penonton, sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Dengan demikian maka Tayub sebenarnya adalah sebuah tarian pergaulan. Kata Tayub berasal dari bahasa Jawa yaitu “Tata dan Guyub” yang maknanya adalah bersahabat dengan rasa persaudaraan tanpa persaingan dan tanpa aturan menari yang dibakukan. Kata Tayub dalam istilah yang di kemukakan oleh Jarwo Dhoso yaitu “ditata ben guyub”, yang merupakan sebuah filosofi yang ditanamkan pada seni Tayub sebagai sebuah kesenian untuk pergaulan.
Nilai dasar atau utama dari seni Tayub adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan jiwa dan bakat seni, baik para penabuh gamelan maupun para penarinya. Kesamaan kepentingan ini kemudian akan melahirkan sebuah keserasian yang menjadikan Tayub sebagai suatu bentuk tarian. Mereka menari sesuai dengan kreativitas yang seirama dan diiringi oleh musik gamelan.
Kalau kita amati lebih dalam lagi, tari tayub ini hampir mirip dengan tari jaipong di Jawa Barat. Walaupun popularitas tari Tayub di Jawa Tengah tidak setenar tari Gambyong, akan tetapi tari tayub masih sering kita jumpai dan di pentaskan dalam acara - acara pernikahan, khitanan, penyambutan pejabat pemerintahan dan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam sebuah grup kesenian tayub, biasanya terdiri dari sinden, peñata gamelan, dan penari pria maupun wanita. Tidak terdapat aturan khusus (pakem) yang membatasi jumlah penari tayub yang harus di tampilkan.
Kesenian Tayub pada prinsip dasarnya adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang sangat merakyat dan di wujudkan dalam bentuk sebuah tarian. Menurut sejarah awal mula munculnya kesenian tayub berawal dari sebuah tarian ritual yang dilangsungkan untuk keperluan upacara ritual kesuburan pertanian. Upacara tersebut dilangsungkan ketika mulai panen dengan sebuah harapan bahwa pada musim tanam berikutnya nanti akan mendapatkan hasil panen yang lebih melimpah.
Tari Tayub juga di pentaskan dalam upacara bedah bumi, dimana pengibing atau penjoget yang tampil pertama bersama para penari (disebut sebagai ledek tayub) adalah para tetua desa. Pasangan antara tetua desa dan ledek dalam tarian tayub disebut bedah bumi atau membedah bumi. Tarian berpasangan itu juga melambangkan hubungan antara pria dan wanita dengan tanah yang dibedah atau dibelah untuk ditanami padi. Hingga saat ini tari tayub masih sering dipentaskan dalam upacara-upacara yang bersifat ritual.
Adapun menurut fungsinya, setidaknya terdapat tiga fungsi utama dari kesenian Tayub dalam masyarakat, yaitu:
1. Fungsi Ritual
Fungsi ritual adalah fungsi paling mendasar dari keberadaan tari tayub, yakni sebagai pelengkap untuk upacara kesuburan pertanian, dan memang hampir semua bentuk seni pertunjukan yang ada pada awalnya digunakan sebagai sarana untuk pelengkap upacara.
Seiring dengan kemajuan dan perubahan zaman, fungsi tayub kemudian semakin berkembang dan menjadi sarana hiburan dengan tujuan komersil.
Ciri-ciri dari tayub yang berfungsi sebagai sarana ritual, antara lain:
Diselenggarakan pada saat yang terpilih (Artinya waktu penyelenggaraannya khusus). Dilakukan di tempat yang terpilih (Pementasan di tempat yang telah di tentukan). Penari pria atau pengibing yang menari pertama bersama waranggana harus pria terpilih.Waranggana yang tampil harus terpilih.Diperlukan berbagai jenis sesaji. Dalam ritual tersebut sosok penari atau waranggana yang menari berpasangan dengan laki-laki hanyalah sebagai simbol semata, dimana penari perempuan mewakili bumi atau tanah pertanian,sementara penari laki-laki mewakili benih (padi) yang dalam istilah Jawa dikenal dengan istilah bapa angkasa (bapak langit) dan ibu pertiwi (ibu bumi), persatuan diantara keduanya berupa hujan yang akan turun dan akan mendatangkan kesuburan pada lahan pertanian.
2. Fungsi Sosial.
Pergeseran fungsi tayub dari fungsi ritual menjadi fungsi sosial dimulai pada awal abad ke-19, ketika mulai dibukanya jalur rel kereta api untuk pertama kalinya di pulau Jawa. Dengan adaya pembuatan jalur rel kereta api maka pembabatan hutan untuk dijadikan perkebunan merupakan sebuah hal yang dianggap legal dan tidak melanggar hukum.
Dengan adanya pergeseran tersebut maka seni tradisi juga ikut bergeser dan berubah. Tari tayub tidak lagi hanya sebagai pelengkap upacara kesuburan melainkan lebih condong ke arah perangkat komersil. Para pelaku dalam kesenian tayub ini tidak lagi memposisikan diri sebagai pekerja seni yang terikat pada konsepsi filosofi tentang penyatuan alam “bapak angkasa dan ibu pertiwi” tetapi mulai bergeser dan berubah dengan memposisikan diri atas perhitungan untung dan rugi, sebagai “penjual jasa”, untuk menghibur.
Seni tayub mulai identik dengan budaya masyarakat umum, karena tayub mulai digunakan sebagai sarana hiburan rakyat, seperti untuk memeriahkan acara - acara pernikahan dan sebagainya. Pergeseran fungsi seni tayub sebagai sarana hiburan ini secara tidak langsung akhirnya mampu mendongkrak popularitas tayub yang pada masa itu merupakan kesenian yang sangat dekat dengan masyarakat bawah, dimana tayub yang pada awalnya hanyalah menjadi bagian di dalam prosesi ritual saja, akan tetapi kini juga berfungsi sebagai seni pertunjukan dan sarana hiburan.
Filosofi tayub adalah tentang jati diri manusia.
Secara filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa, dan bakat seni baik kemampuan sebagi penabuh gamelan ( pengrawit ) ataupun penarinya. Kesamaan ini akan melahirkan keselarasan-serasian tayub sebagi suatu bentuk tarian, hentakan kaki sesuai dengan bunyi kendang, lambaian tangan seirama gambang, atau lenggok kepala tiap pukulan gongnya. Meski pada perkembangannya, “pergaulan” dimaknai secara luas sebagai bentuk silahturahmi.
Tari tayub biasa disebut tayuban adalah kesenian tradisional Jawa dengan memperlihatkan unsur keindahan dan keserasian gerak. Unsur keindahan dalam tayuban ini diikuti dengan kemampuan penari dalam memainkan tari yang dibawakan. Tayuban biasanya dipertunjukkan pada acara bersih desa, hajatan dan acara-acara kebesaran. Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. Pada saat menarikan tari tayub sang penari yang di sebut ledek mengajak penari pria dengan cara mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria yang diajak menari tersebut. Tayub juga disebut tandhak, penari perempuan.
Menurut teori R.M. Soedarsono tayub mempunyai tiga fungsi utama (primer) yaitu sebagai sarana upacara (ritual), hiburan dan tontonan. Tayub dipertunjukkan pada berbagai hajat masyarakat terutama sebagai sarana upacara, seperti bersih desa dan perkawinan. Tayub yang dipertunjukkan dalam bersih desa memiliki peranan sangat penting untuk mendapatkan kesuburan tanah, hasil panen melimpah, ketenangan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu tayub yang dipertunjukkan dalam upacara pernikahan mempunyai maksud agar pasangan pengantin segera mendapat keturunan. Tradisi mempertunjukkan tayub masih dilakukan terus menerus dikalangan masyarakat berbagai daerah terutama di Jawa, baik daerah yang memiliki atau tidak memiliki kesenian tayub. Pada intinya pertunjukkan tayub di berbagai daerah itu sama yaitu tarian berpasangan antara seorang wanita dengan laki-laki dengan diiringi musik gendhing-gendhing jawa.
Anggapan bahwa tayub sebagai tarian mesum merupakan penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh tayub identik dengan hal-hal yang negatif. Dalam tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung. Selain itu, tayub juga menjadi simbol yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis tentang jati diri manusia.
Kesan tayub sebagai tarian mesum, seperti ditulis Suara Merdeka, muncul pada abad 19. Pada 1817, GG Rafles dari Inggris, dalam bukunya berjudul ‘History of Java’, menulis tayub sebagai tarian ronggeng mirip pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal Belanda, G Geertz dalam bukunya ‘The Religion of Java’.
Tapi, menurut koreografer Tayub Wonogiren, S Poedjosiswoyo BA, orang Jawa akan protes bila kesan Rafles dan Gertz itu diterima secara utuh. Sebab, kata dia, kesan mesum yang diberikan pada tayub hakikatnya terbatas pada pandangan sepintas yang baru melihat kulitnya saja, tanpa mau mengenali isi maupun kandungan nilai filosofisnya.
Dalam buku ‘Bauwarna Adat Tata Cara Jawa’ karangan Drs R Harmanto Bratasiswara disebutkan, tayuban adalah tari yang dilakukan oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. Keberadaan tayub berpangkal pada cerita kadewatan (para dewa-dewi), yaitu ketika dewa-dewi mataya (menari berjajar-jajar) dengan gerak yang guyub (serasi).
Menurut Poedjosiswoyo, berdasarkan sejarahnya, tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad 19. Waktu itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Betapa tayub memiliki kandungan nilai adiluhung, kiranya dapat disimak dari tulisan dalam buku ‘Gending dan Tembang’ yang diterbitkan Yayasan Paku Buwono X.
Dalam buku itu disebutkan, tayub telah dipakai untuk penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur pada abad 12. Keraton Jenggala kemudian kemudian membakukan tayub sebagai tari adat kerajaan, yang mewajibkan permaisuri raja menari ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.
Nilai Agamis
Tayub juga diyakini memiliki kandungan nilai agamis. Hal itu terjadi pada abad 15, ketika tayub digunakan sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali pagelaran ayub dengan dzikir untuk mengagungkan asma Allah.
Budaya kejawen penganut paham tasawuf menilai tayub kaya kandungan filosofis akan gambaran jati diri manusia lengkap dengan anasir keempat nafsunya.
Dalam tarian itu selalu ada penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia, terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning) dan mutmainah (putih).
Selain itu, pemeran penari tledhek wanita sebagai penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan manusia. ”Yang inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus terlebih dahulu mampu mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik dengan pakem wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo,” kata Poedjosiswoyo.