Penumbalan Tanah Jawa VERSI Serat Pustaka Raja
Kisah
ini menceritakan bagaimana awal mula Pulau Jawa diisi penduduk manusia. Juga
dikisahkan bagaimana Empu Sengkala membantu memasang tumbal di Pulau Jawa yang
angker sehingga menjadi aman untuk dihuni manusia. Kisah ini disusun
berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.
Serat
Pustaka Raja adalah salah satu kitab yang berisi kisah-kisah Mahabharata dan
Ramayana. Pengarang Serat Pustaka Raja bernama Ranggawarsita.
Serat
Pustaka Raja dikarang oleh Ranggawarsita. Ia adalah seorang penulis yang
memperoleh perlindungan dari tiga Susuhunan, yaitu Pakubuwana VII, Pakubuwana
VIII dan Pakubuwana IX. Ranggawarsita menulis Serat Pustaka Raja sebagai karya
sastra dalam bentuk prosa. Penulisan Serat Pustaka Raja bukan untuk
ditembangkan melainkan untuk dibacakan
Kisah-kisah
yang ada di dalam Serat Pustaka Raja terbagi menjadi Pustaka Raja Purwa,
Pustaka Raja Madya dan Pustaka Raja Wasana. Serat Pustaka Raja memuat cerita
ubahan dari kisah asli Ramayana dan Mahabharata. Pengubahan cerita berupa
penambahan bagian asli dengan bagian yang sesuai dengan falsafah masyarakat
Jawa pada kurun 800–1600 Saka. Pengisahannya sesuai dengan keadaan masyarakat
Jawa pada pemerintahan Brawijaya V
Pustaka
Raja Purwa memuat cerita asli dan terjemahan dari India yang banyak dianut di
Indonesia pada kira-kira 800 tahun pertama sejak tahun Jawa/Saka 1 sampai tahun
Saka 800 (~tahun 100M –> tahun 878 M)
Pada
masa pemerintahan Mangkunegara VII, Serat Pustaka Raja disusun dan diterbitkan
menjadi 37 jilid. Keseluruhan jilid memuat kisah tertentu yang terbagi ke
beberapa jilid. Jilid 1–2 memuat kisah tentang keadaan sebelum kealhiran
Pandawa. Lalu jilid 3–34 mengisahkan tentang kehidupan Pandawa. Kemudian jilid
35–37 mengisahkan tentang Ramayana.
Pustaka Raja Purwa
Pustaka
raja purwa adalah kumpulan cerita yang dipakai sebagai acuan oleh para dhalang
dalam pertunjukan wayang kulit di pulau Jawa. Kumpulan cerita ini dikumpulkan
dan dinyatakan secara tertulis oleh pujangga keraton Surakarta yaitu Raden
Ngabehi Rangga Warsita. Walaupun sumber cerita dari pustaka raja purwa ini
berasal dari Mahabarata dan Ramayana dari India, namun beberapa isi detailnya
telah disesuaikan dengan keadaan di pulau Jawa pada waktu itu.
Beberapa
modifikasi cerita ini misalnya dewi Drupadi dalam cerita aslinya adalah istri
dari kelima saudara Pendawa, tetapi dalam pustaka raja purwa ia hanya
dinyatakan sebagai istri dari saudara tertua Pendawa yaitu Puntadewa
(Yudistira). Hal ini untuk menghindari kemungkinan timbulnya konflik sosial,
karena seorang wanita tidak bisa mempunyai 5 orang suami. Hal ini penting
karena di pulau Jawa, cerita wayang dipakai sebagai petuah, contoh dan pedoman
hidup kebanyakan masyarakat pada waktu itu.
Judul lakon cerita dalam pustaka raja purwa ini ada lebih dari 177
lakon/lampahan dan di antaranya adalah (dalam bahasa Jawa) :
1.
Manikmaya, yaitu cerita mengenai Manik (Bathara Guru
di kahyangan) dan Ismaya (Semar di alam marcapada/dunia).
2.
Watugunung, yaitu cerita mengenai Raden Buduk dari
kerajaan Gilingwesi yang mengawini ibunya sendiri.
3.
Mumpuni, yaitu cerita mengenai perkawinan antara dewi
Mumpuni dan bathara Yamadipati.
4.
Wisnu krama
5.
Bambang Kalingga/Sekutrem
6.
Palasara krama
7.
Dewabrata
8.
Pandu lair
9.
Narasoma kawin
10. Puntadewa lair
11. Suyudana lair
12. Bima bungkus
13. Arjuna lair
14. Yamawidura kawin
15. Pandhu papa
16. Palgunadi
17. Bale sigala-gala
18. Babad alas
Wanamarta
19. Arimba
20. Mustakaweni
21. Antasena lair
22. Gathotkaca lair
23. Pergiwa-Pergiwati
24. Gathotkaca kawin
25. Gathotkaca dadi
ratu
26. Sasikirana
27. Brajadenta
mbalela.
28. ……
29. Wahyu cakraningrat
30. Jagal Abilawa
31. Kresna duta
32. Kresna gugah
33. Seta gugur
34. Bambang Wisanggeni
35. Pendawa dadu
36. Yudayana ilang
37. . .…
38. Arjuna
39. Wiwaha
40. Sumantri ngenger
41. Dasarata kawin
42. Dewi Sinta lair
43. Rama kawin
44. Tundhungan
45. Rama duta
46. Rama gandrung
47. Rama tambak
48. Pejahipun
Kumbakarna
49. Pejahipun Indrajid
50. Pejahipun Dasamuka
51. Sinta obong
52. Rama obong
53. Rama nitis
54. dan lain-lain.
PUSTAKA RAJA PURWA (ringkasan) Versi Indonesia.
Pendobrak
Keluhuran NKRI, Pemegang Kesejatian Pancasila
Oleh
: R. Ravie Ananda
PUSTAKA
RAJA PURWA
Pustaka
Raja Purwa artinya pakem dari seluruh serat–serat Jawa, utau sumber dari
keseluruhan serat–serat Jawa.
Tahun
yang digunakan yaitu:
taun
Surya Sangkala dan Candra Sangkala.
–
Surya Sangkala (SS artinya tahun
merekahnya Surya sejak Ajisaka Hangejawi di
Tanah Dhawa (Jawa).
–
Candra Sangkala artinya tahun merekahnya Candra.
–
Patokan yang digunakan: SS 1 sama dengan 68 M
Pustaka
Raja Purwa dibagi menjadi 2 :
1.
Serat Pustaka Raja Purwa; dari tahun 1 sampai taun Surya Sangkala (SS) 800/
Candra Sangkala (CS) 824 (kurang lebih tahun 68 M – 892 M)
2.
Pustaka Raja Puwara; menerangkan perjalanan dari tahun SS 891 sampai dengan
tahun SS 1400 (kurang lebih 965 M – 1468 M)
Pustaka
Raja purwa semasa Sri Batara Aji Jayabaya mengatur ‘binatara’ di ‘Nungsa Jawi’
yang bertempat di Kerjaan Dhaha yaitu Mamenang Kedhiri.
translated
by A.J. Veckoke
PUSTAKA RAJA PURWA RINGKESAN (Versi Jawa)
Pandobrag
Kaluhuran NKRI, Palenggah Kasejaten Pancasiladipun bedhah dening: R. Ravie
Ananda PUSTAKA RAJA PURWAPustaka Raja Purwa tegesipun pakeming sadaya
serat–serat Jawi, utawi empu sarta tuking/tetungguling serat – serat Jawi
sadaya. Taun ingkang dipun agem inggih punika taun Surya Sangkala lan Candra
Sangkala.Surya Sangkala (SS) ateges taun mletheking Surya wiwit Ajisaka
Hangejawi ing Tanah Dhawa. Candra Sangkala ateges taun mletheking Candra wiwit
Ajisaka Hangejawi ing Tanah Dhawa. ingkang kangge patokan : SS 1 sami kaliyan
68 M Pustaka Raja Purwa kaperang dados kalih :
1.
Serat Pustaka Raja Purwa ; wiwit taun 1 ngantos dumugi
taun Surya Sangkala (SS) 800/Candra Sangkala (CS) 824 ( kirang langkung taun 68
M – 892 M)
2.
Pustaka Raja Puwara ; nerangaken lelampahan wiwit taun
SS 891 dumugi taun SS 1400 (kirang langkung 965 M – 1468 M) Pustaka Raja purwa
yasanipun Sri Batara Aji Jayabaya nata binatara ing Nungsa Jawi ingkang
ngedhaton ing negari Dhaha inggih Mamenang Kedhiri.
EMPU SENGKALA BERANGKAT KE PULAU JAWA
Batara
Anggajali di tempat pembuatan senjata kahyangan menerima kedatangan Empu
Sengkala yang hendak pergi bertapa di Pulau Jawa atas perintah Batara Guru.
Batara Anggajali pun membekali putranya itu dengan mengajarkan beberapa
tambahan ilmu kesaktian dan nasihat kehidupan. Setelah dirasa cukup, ia lalu
memberikan doa restu agar sang putra selalu mendapatkan keselamatan dalam
perjalanannya.
Setelah
berlayar menyeberangi lautan luas, Empu Sengkala akhirnya tiba di Pulau Jawa
yang saat itu masih tersambung dengan Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Butuh waktu
seratus tiga hari bagi Empu Sengkala untuk berkeliling menjelajahi pulau
tersebut dari Tanah Aceh di ujung barat laut sampai ke Bali. Pulau tersebut
benar-benar sepi dan hanya dihuni oleh para makhluk halus, siluman, bekasakan,
dan binatang buas.
Setelah
selesai berkeliling, Empu Sengkala lalu membangun tempat tinggal di Gunung
Dihyang, dengan diberi nama Padepokan Purwapada.
EMPU SENGKALA MENCIPTAKAN PENANGGALAN
Empu
Sengkala mulai bertapa di Padepokan Purwapada. Karena daya perbawa yang ia
pancarkan, tidak ada makhluk halus yang berani mengganggunya. Setelah beberapa
hari bertapa ia pun didatangi oleh Batari Srilaksmi yang memancarkan cahaya
putih. Batari Srilaksmi mengajarkan kepadanya ilmu Asmaragama, Asmaranala,
Asmaratura, Asmaraturida, dan Asmarandana. Setelah Empu Sengkala memahaminya,
ia pun kembali ke kahyangan.
Pada
hari kedua, Empu Sengkala didatangi Batara Kala yang memancarkan cahaya kuning.
Batara Kala mengajarkan berbagai macam ilmu sihir, kemayan, dan panggendaman.
Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Pada
hari ketiga, Empu Sengkala didatangi Batara Brahma yang memancarkan cahaya
merah. Batara Brahma mengajarkan berbagai macam ilmu ramalan dan kemampuan
melihat masa depan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke
kahyangan.
Pada
hari keempat, Empu Sengkala didatangi Batara Wisnu yang memancarkan cahaya
hitam. Batara Wisnu mengajarkan berbagai macam ilmu kesaktian dan siasat
peperangan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Pada
hari kelima, Empu Sengkala didatangi Batara Guru yang memancarkan cahaya
mancawarna. Batara Guru mengajarkan ilmu kesempurnaan dan ilmu panitisan.
Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Untuk
mengenang peristiwa tersebut, Empu Sengkala kemudian membuat sebuah penanggalan
yang dalam satu pekan terdiri atas lima hari, yaitu hari Sri, Kala, Brahma,
Wisnu, dan Guru. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala
bersamadi menghadap ke selatan, pada hari Brahma bersamadi menghadap ke barat,
pada hari Wisnu bersamadi menghadap ke utara, dan pada hari Guru bersamadi
menunduk ke bumi, serta mendongak ke angkasa.
Penanggalan
yang diciptakan Empu Sengkala tersebut kemudian diberi nama Tahun Suryasengkala
dan Tahun Candrasengkala. Jika Suryasengkala didasarkan pada peredaran bumi
terhadap matahari, maka Candrasengkala didasarkan pada peredaran bulan terhadap
bumi.
PENDUDUK NEGERI RUM MENGISI PULAU JAWA
Tersebutlah
raja Kerajaan Rum bernama Maharaja Galbah. Pada suatu hari ia memimpin
pertemuan dengan dihadap sang putra bernama Pangeran Oto, dan menteri utama
bernama Patih Amirulsamsu. Yang dibicarakan adalah perihal mimpi Maharaja
Galbah, yaitu ia mendapatkan perintah dari suara gaib agar mengisi Pulau Jawa
di seberang lautan timur. Pulau tersebut sangat subur namun hanya dihuni kaum
bekasakan dan makhluk halus, tanpa ada manusia sama sekali di dalamnya.
Maharaja
Galbah bertanya kepada para pendeta kerajaan dan mereka menjelaskan bahwa suara
gaib dalam mimpi tersebut adalah perintah Tuhan Yang Mahakuasa agar
dilaksanakan. Maka, Maharaja Galbah pun mengutus Patih Amirulsamsu untuk
memimpin sebagian penduduk Kerajaan Rum pindah dan bermukim di Pulau Jawa.
Patih
Amirulsamsu berangkat dengan membawa dua puluh ribu orang penduduk Rum
menyeberang lautan luas. Sesampainya di Pulau Jawa, orang-orang Rum tersebut
bergotong royong membuka hutan dan mendirikan perkampungan. Setelah dirasa
cukup, Patih Amirulsamsu lalu kembali untuk melapor kepada Maharaja Galbah.
Sepeninggal
Sang Patih, orang-orang Rum di Pulau Jawa banyak yang jatuh sakit dan meninggal
karena tidak tahan hawa panas serta diganggu makhluk halus, atau ada pula yang
dimangsa binatang buas. Dalam waktu tiga tahun saja yang tersisa hanya tinggal
dua puluh orang dan mereka memutuskan untuk pulang ke Negeri Rum.
PANDITA USMANAJI BERANGKAT KE PULAU JAWA
Maharaja
Galbah sangat sedih mendengar laporan bahwa dari dua puluh ribu orang yang
menghuni Pulau Jawa hanya tersisa dua puluh orang saja dan mereka memilih
pulang kembali ke Negeri Rum. Patih Amirulsamsu berpendapat bahwa Pulau Jawa
terlalu angker untuk ditempati manusia, dan untuk itu perlu dipasangi tumbal
penakluk makhluk halus. Sang Patih melaporkan bahwa di Negeri Bani Israil hidup
seorang pendeta berilmu tinggi bernama Pandita Usmanaji yang kiranya bisa
melaksanakan tugas berat ini.
Kerajaan
Bani Israil sudah lama menjadi negeri jajahan Kerajaan Rum, sehingga Maharaja
Galbah dapat leluasa memanggil Pandita Usmanaji untuk menghadap dan menerima
perintah darinya. Pandita Usmanaji tiba di kerajaan dan menyatakan siap
melaksanakan perintah itu. Ia lalu mohon pamit berlayar ke Pulau Jawa dengan
diiringi sejumlah pendeta lainnya.
EMPU SENGKALA MEMBANTU PENUMBALAN PULAU JAWA
Setelah
berlayar beberapa bulan, rombongan Pandita Usmanaji akhirnya tiba dan mendarat
di Pulau Jawa. Berkat kesaktiannya, Pandita Usmanaji dapat merasakan bahwa di
pulau tersebut ternyata ada seorang manusia sedang bertapa di Gunung Dihyang.
Didatanginya gunung tersebut dan ditemuinya sang pertapa, yang ternyata Empu
Sengkala, muridnya sendiri.
Empu
Sengkala sangat terharu dan gembira bisa bertemu sang guru di pulau sunyi ini.
Ia pun menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak berpisah dulu, antara lain
pernah menjadi raja Kerajaan Surati dan akhirnya mendapatkan perintah dari
Batara Guru untuk bertapa di Pulau Jawa. Tak terasa sudah enam tahun lamanya
Empu Sengkala bertapa dan ia pun sempat mendengar berita adanya orang-orang Rum
yang bermukim di Pulau Jawa namun mengalami nasib malang.
Pandita
Usmanaji lalu mengajak Empu Sengkala untuk membantunya memasang tumbal supaya
Pulau Jawa yang angker menjadi lebih aman dan nyaman untuk ditempati manusia.
Mereka pun mulai bekerja, dengan memasang lima buah tumbal, yaitu yang empat
ditanam di empat penjuru mata angin dan satu lagi dipasang di tengah-tengah
pulau. Setelah pemasangan tumbal selesai, Pandita Usmanaji dan rombongan
membawa serta Empu Sengkala meninggalkan Pulau Jawa.
Hari
berikutnya, terjadilah bencana alam di segenap penjuru pulau. Gempa bumi,
gunung meletus, badai halilintar, disertai suara bergemuruh terjadi di
mana-mana yang kemudian diikuti suara jerit tangis para makhluk jahat. Mereka
pun berlarian menuju Laut Selatan untuk mencari perlindungan.
EMPU SENGKALA MENDAPAT PERINTAH DARI MAHARAJA GALBAH
Pandita
Usmanaji tiba di Kerajaan Rum dan melaporkan keberhasilannya kepada Maharaja
Galbah. Maharaja Galbah juga sangat berterima kasih atas bantuan Empu Sengkala
dan memberikan gelar Pandita Isaka kepadanya. Pandita Usmanaji lalu mohon pamit
pulang ke Negeri Bani Israil dengan mengajak Empu Sengkala ikut serta. Di sana
Empu Sengkala pun mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan dan ilmu
kesaktian darinya.
Pada
suatu hari Patih Amirulsamsu datang ke Bani Israil untuk menyampaikan surat
perintah Maharaja Galbah kepada Empu Sengkala. Bagaimanapun juga perintah Tuhan
Yang Mahakuasa untuk menempatkan penduduk manusia di Pulau Jawa harus tetap
dilaksanakan. Hanya saja, perintah tersebut tidak menjelaskan bahwa yang harus
ditempatkan di sana adalah penduduk Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah kini
memerintahkan Empu Sengkala untuk mencari penduduk negeri lain yang cocok
dengan keadaan Pulau Jawa sehingga bisa bermukim di sana dengan nyaman.
Empu
Sengkala menyatakan bersedia dan ia pun mohon restu kepada Pandita Usmanaji,
kemudian berangkat menuju ke timur.
EMPU SENGKALA MEMIMPIN PENGISIAN PULAU JAWA
Empu
Sengkala tiba di Kahyangan Jonggringsalaka menghadap Batara Guru untuk meminta
petujuk dalam melaksanakan perintah Tuhan Yang Mahakuasa melalui mimpi Maharaja
Galbah tersebut. Batara Guru selaku pemimpin tertinggi di Tanah Hindustan dan
sekitarnya memberikan izin kepada Empu Sengkala untuk mengumpulkan orang-orang
Keling, Benggala, dan Siam karena mereka memiliki tubuh yang cocok dengan
keadaan alam di Pulau Jawa.
Empu
Sengkala kemudian menemui ayahnya, yaitu Batara Anggajali. Sang ayah memberikan
restu dan menyertakan putra-putranya yang lain untuk membantu pekerjaan Empu
Sengkala tersebut. Mereka adalah Empu Bratandang, Empu Braruni, dan Empu
Braradya, yaitu anak-anak Batara Anggajali yang lahir dari istri kedua.
Empu
Sengkala ditemani ketiga adiknya berlayar membawa dua puluh ribu orang yang
mereka kumpulkan dari Keling, Benggala, dan Siam, sesuai perintah Batara Guru.
Setelah mendarat di Pulau Jawa, orang-orang itu kemudian diajak bergotong
royong membuka hutan dan pegunungan untuk dijadikan tempat permukiman.
Setelah
sepuluh tempat permukiman berdiri, Empu Sengkala lalu memilih sepuluh orang
yang paling pandai di antara para penduduk untuk mendapatkan tambahan pelajaran
darinya. Mereka bernama Jangga, Wisaka, Kutastaka, Malipata, Wiswandana,
Kurmanda, Kusalya, Anuwilipa, Suskadi, dan Sarada.
Setelah
mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, kesepuluh orang itu lalu disebar untuk
menjadi pemimpin para penduduk. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala pun kembali
ke Negeri Rum, sedangkan ketiga adiknya kembali ke Tanah Hindustan.
EMPU SENGKALA MENINJAU PULAU JAWA
Tujuh
belas tahun kemudian Empu Sengkala kembali mendapatkan perintah untuk berlayar
ke Pulau Jawa. Kali ini yang memberikan perintah adalah Maharaja Oto, yaitu
putra Maharaja Galbah. Maharaja baru itu memerintahkan Empu Sengkala pergi
meninjau keadaan Pulau Jawa sebagaimana wasiat terakhir Maharaja Galbah sebelum
meninggal. Jika penduduk Pulau Jawa sudah berkembang pesat dan hidup aman
tenteram, tentu roh Maharaja Galbah bisa merasa tenang di alam baka.
Empu
Sengkala lalu berangkat disertai sejumlah orang Rum sebagai pengiring. Setelah
tiba di Pulau Jawa, mereka gembira melihat para penduduk semakin berkembang dan
jumlah mereka meningkat pesat. Orang-orang Rum yang datang tersebut menjadi
tertarik dan sebagian dari mereka memilih untuk ikut menetap di Pulau Jawa.
Empu
Sengkala lalu menunjuk seorang bernama Tamus untuk menjadi pemimpin orang-orang
Rum yang menetap di Pulau Jawa. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala kemudian
kembali ke Negeri Rum untuk menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto.
EMPU SENGKALA MENDAPATKAN AIR KEABADIAN
Setelah
menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto tentang keadaan penduduk di Pulau
Jawa, Empu Sengkala kembali menemui Pandita Usmanaji di Kerajaan Bani Israil.
Pada suatu malam ia bermimpi mendengar suara gaib yang menyuruhnya pergi ke
Kutub Utara mencari sebuah tempat bernama Tanah Lulmat dan bertapa di sana.
Setelah berunding dengan sang guru, ia pun mohon restu dan berangkat
melaksanakan mimpi tersebut.
Setelah
bersusah payah, Empu Sengkala akhirnya sampai juga di Tanah Lulmat. Setelah
bertapa beberapa bulan, tiba-tiba muncul mustika awan yang memancarkan air
keabadian Tirtamarta Kamandanu seperti yang pernah dialami Sayidina Anwar
ribuan tahun silam. Terdengar pula suara gaib yang memerintahkan Empu Sengkala
untuk meminum air tersebut. Setelah meminumnya, Empu Sengkala seketika
mendapatkan kehidupan kekal dan tetap awet muda selamanya.
Setelah
itu, suara gaib kembali terdengar yang kali ini mengatakan bahwa kelak Empu
Sengkala harus datang lagi ke Pulau Jawa untuk menumpas angkara murka dan
mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penduduk di sana. Namun peristiwa tersebut
masih berselang ratusan tahun dari saat ini. Untuk menunggu datangnya saat itu,
Empu Sengkala diperintahkan untuk tinggal di Tanah Hindustan sebagai brahmana.
Suara
gaib tersebut kemudian menghilang tidak terdengar lagi. Empu Sengkala lalu
meninggalkan Tanah Lulmat dan pergi menemui Pandita Usmanaji di Negeri Bani
israil, untuk kemudian mohon pamit berangkat ke Tanah Hindustan.
Kutipan teks Serat Pethikan Pustaka Raja Purwa pada bait 1 sebagai
berikut :
1
manising
kintaka manulad ring,
ruwiyaniréng
pustakaraja,
prajéng
Wiratha jamané,
Sri
Basupati Prabu,
kang
kasumbung Naréndra luwih,
konang
dining kanang ngrat,
kadarmanta
nulus,
lastari
saparibawa,
mrabawani
ing jagad tanpa sisiring,
tyas
santa martotama.
1. Pemaknaan
a.
Kelembutan surat dicontohkan yang, di ceritakan dari
kitab raja, Kerajaan Wiratha masanya, Sri Basupati Raja, yang termashur Raja
lebih dari seharusnya, kesejahteraan untuk kemakmuran dunia, kemuliaan
sempurna, terus tingkah laku,
b.
Berpengaruh di dunia tidak bersama-sama, hati tenang
keutamaan.
c.
Berdasarkan Analisis Penokohan (Perwatakan). Raja Sri
Basupati merupakan tokoh sederhana karena hanya memiliki satu kualitas pribadi,
yang artinya bahwa Raja Sri Basupati memiliki karakter penokohan seorang Raja
yang termasyur dan berwibawa selain itu dia merupakan Raja yang adil dalam
pemerintahannya.
d.
Berdasarkan Analisis Kriteria Perkembangan dalam
Cerita Raja Sri Basupati merupakan tokoh yang memiliki karakter penokohan yang berkembang.
Hal ini dapat terlihat dari bait 32-34 dari peristiwa tersebut Raja Sri Basupati
kemudian lebih memiliki karakter sifat, yaitu sifat yang lebih menekankan
terhadap aturan tingkah laku pengormatan kepada yang lebih tua dan yang
memiliki kedudukan lebih tinggi.
2.
Penguasa dari dunia lain
a.
Berdasarkan Analisis Peranan atau Tingkat Pentingnya. Penguasa
dari dunia lain merupakan tokoh tambahan, tetapi dalam intensitas pemunculannya
sering muncul.
b.
Berdasarkan Analisis Fungsi Peran Penguasa dari dunia
lain merupakan tokoh protagonis, karena merupakan tokoh yang selalu memberi
nasihat kepada tokoh utama dalam teks SPPP (Serat Pethikan Pustaka Raja Purwa),
yaitu Raja Sri Basupati.
c.
Berdasarkan Analisis Penokohan (Perwatakan) Penguasa
dari dunia lain merupakan tokoh sederhana karena hanya memiliki satu kualitas
pribadi dalam hal ini merupakan tokoh yang selalu memberikan nasihat kepada
Raja Sri Basupati.
d.
Berdasarkan Analisis Kriteria Perkembangan dalam
CeritanPenguasa dari dunia lain merupakan tokoh statis atau merupakan tokoh
yang tidak berkembang, karena dari awal hingga akhir dalam teks SPPP (Serat
Pethikan Pustaka Raja Purwa) dia merupakan pembawa pesan bagi Raja Sri
Basupati.
3.
Saudara Raja Sri Basupati (Marmarti, kakak kawah, dan adik ari-ari)
a.
Berdasarkan Analisis Peranan atau Tingkat Pentingnya. Saudara
Raja Sri Basupati merupakan tokoh tambahan, pemunculan tokohnya hanya ketika
disebut oleh penguasa dari dunia lain dan tidak ada percakapan antara tokoh
utama, yaitu Raja Sri Basupati dengan saudara Raja Sri Basupati.
b.
Berdasarkan Analisis Fungsi Peran. Saudara Raja Sri
Basupati merupakan tokoh protagonis, walaupun intensitas pemunculanya hanya
sekali, tetapi dapat dikatakan demikian karena tokoh tersebut tidak bertentangan
dengan tokoh utama.
c.
Berdasarkan Analisis Penokohan (Perwatakan). Watak
dari saudara Raja Sri Basupati tidak begitu dapat diartikan karena merupakan
saudara yang tidak terlihat dan saudara yang tinggal di dunia lain. Penggambaran
dari tokoh ini hanya disebut-sebut/diceritakan saja oleh penguasa dari dunia
lain. Hal ini yang menyebabkan sulit untuk dideskripsikan.
d.
Berdasarkan Analisis Kriteria Perkembangan dalam
Cerita . Saudara Raja Sri Basupati merupakan tokoh statis, karena penggambaran
tokoh ini hanya diceritakan oleh penguasa dari dunia lain dan tidak disebutkan
secara jelas mengenai tokoh tersebut.
4.
Pemuda Tampan
a.
Berdasarkan Analisis Peranan atau Tingkat Pentingnya. Pemuda
tampan merupakan tokoh tambahan, pemunculannya hanya sekali Ketika di taman
menemui Raja Sri Basupati untuk dipersilahkan menghadap penguasa dari dunia
lain. Hal ini dapat dilihat di bait 5 :
5
sangkêp
sanggyaning warna di adi,
sarwa
pénni rêngganning wisma mas,
dahat
karyéram rakitté,
nulyana
janma jalu,
pêkik
prapta anganycarani,
matur
saha tur sêmbah,
ngunycup
kêna astéku,
ingarassakên
ing grana,
têmbungnyaris
suwawi kakang Narpati,
paduka
ingandikan.
5. Pemaknaan sebagai berikut :
a.
lengkap semuanya berkata lebih utama, serba indah
dihiasi rumah emas, lebih dari karya yang bagus susunannya, kemudian seorang
laki-laki, tampan datang mempersilahkan, berbicara dan menghaturkan hormat, menutupkan
tangan, menciumkan di hidung, kalimat lembut seperti kakak Raja,
b.
Raja dalam perkataannya. Berdasarkan Analisis Fungsi
Peran Pemuda tampan merupakan tokoh protagonis, walaupun intensitas
pemunculanya hanya sekali, tetapi dapat dikatakan demikian karena tokoh
tersebut tidak bertentangan dengan tokoh utama.
c.
Berdasarkan Analisis Penokohan (Perwatakan). Pemuda
tampan merupakan tokoh sederhana karena karena hanya memiliki satu kualitas
pribadi, dalam hal ini karena pemunculannya sekali ketika menyambut Raja Sri
Basupati untuk dipersilahkan menghadap penguasa setempat.
d.
Berdasarkan Analisis Kriteria Perkembangan dalam
Cerita. Pemuda tampan merupakan tokoh statis karena tidak mengalami
perkembangan dalam teks SPPP (Serat Pethikan Pustaka Raja Purwa), dapat
dikatakan demikian karena pemunculannya hanya sekali.
Keterangan :
Bait
4 - 5
Rasa
takjub yang dirasakan oleh Raja Sri
Basupati
setelah kedua mata dan telinganya
ditetesi
dengan minyak pranawa (minyak
kebijaksanaan),
dan kemudian melihat
taman
yang sangat indah. Di tengah-tengah
taman
itu terdapat empat rumah kuku, lalu
Raja
Sri Basupati turun pergi ke taman itu
dan
amat terkejut karena melihat bermacammacam isi dari taman tersebut
Bait
6
Setiba
di tempat penguasa tersebut Raja Sri
Basupati
terkejut di dalam hati karena
melihat
seseorang yang mirip dengannya
Bait
10
Ketika
penguasa dari dunia lain mengatakan
bahwa
kesejahteraan kerajaan Wiratha
berasal
darinya dan Raja Sri Basupati
bingung
harus menjawab apa karena takut
tidak
sopan sehingga mengangguk saja.
Bait
13 - 14
Ketika
penguasa dari dunia lain
menceritakan
awal kejadian (kelahiran
Raja
Sri Basupati dan saudarasaudaranya), yaitu ketika ibu dari Raja Sri
Basupati
yang sedang hamil tua dan
mendekati
masa-masa melahirkannya.
Rasa
khawatir dan ketakutan akan dirinya
sendiri
dan kemudian melahirkan Raja Sri
Basupati.
Ketika akan melahirkan,
penguasa
dari dunia lain itu mendengar ibu
Raja
Sri Basupati memanggail nama kakak
perempuan
Raja Sri Basupati yang
bernama
Marmarti bersamaan dengan ibu
Raja
Sri Basupati mengejang ketika akan
melahirkan
calon bayi. Ketika calon bayi
akan
keluar dari rahim ada yang
mendahului
dan disebut dengan
kakawah/kakang
kawah yang berwarna
putih.
Kemudian Raja Sri Basupati lahir
dan
disusul oleh ari-ari yang berwarna
kuning
dan disebut sebagai adik Raja Sri
Basupati.
bait
29-33
Ketika
penguasa dari dunia lain mengingatkan dan meminta Raja Sri Basupati
untuk
melakukan ruwatan (penyucian) yang dipersembahkan kepada semua saudara
Raja
Basupati. Baik saudara yang terlihat maupun saudara yang tidak terlihat oleh
mata.
Hal itu dilakukan agar terlepas dari musibah yang tidak diinginkan. Ruwatan
(penyucian)
tersebut harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan dipusatkan di
hati.
Mendengar hal tersebut Raja Sri Basupati gembira menyanggupi karena telah
diingatkan.
Kemudian Raja Sri Basupati bertanya kepada Penguasa dunia lain
tentang
cara pengormatan yang dilakukan di tempat itu berbeda dan kemudian
dijawab
oleh Penguasa dunia lain dengan sopan dan dijelaskan. Bahwa cara
pengormatan
dari pengikut kepada Raja itu dengan menyatukan kedua telapak
tangan
dan kemudian bersujud menyembah. Cara penghormatan yang selanjutnya
yang
muda kepada yang tua dengan menyatukan telapak tangan dan diciumkan
sampai
ke ujung hidung.
bait
34-37
merupakan
penyelesaian cerita
yang
berakhir dengan bahagia. Diceritakan setelah Raja Sri Basupati mendapatkan
petuah-petuah
bijak dari Penguasa dari dunia lain, dia merasa gembira dan memohon
diri
untuk pulang. Setibanya di istana Raja Sri Basupati menceritakan kejadian yang
telah
dia alami. Beberapa bulan kemudian Raja Sri Basupati mengumpulkan semua
sanak
keluarga dan pengikutnya untuk melakukan ruwatan (penyucian) yang
dipersembahkan
kepada saudara yang tidak terlihat dan mengajarkan aturan tingkah
laku
dalam menghormati dan cara melakukan penghoramatan dari orang tua kepada
pemuda
yang tinggi kedudukannya, yaitu dengan duduk menunduk dan memegang
telinga,
hormat guru kepada murid dari golongan atas, yaitu dengan memegang
dada,
dan semua itu harus tetap selalu dijalankan walaupun berada di lain negara.
Dalam
pesannya Raja Sri Basupati berpesan kepada semua sanak keluarga dan
pengikutnya
untuk selalu menjaga tradisi ruwatan (penyucian) dan aturan tingkah
laku
penghormaatan tersebut untuk seterusnya dilakukan walaupun di lain negara
dan
jadilah contoh dari aturan tingkah laku yang sudah diajarkan.
Koleksi Artikel Imajiner Nuswantoro