SUKU LINGON (SUKU BERMATA BIRU DI INDONESIA)
Suku Lingon adalah salah etnis dari provinsi Maluku Utara, tepatnya dari kawasan Halmahera Timur. Orang Lingon umumnya hidup di daerah pedalaman hutan Halmahera. Halmahera Timur adalah pulau seluas 17.780 km2 dan menjadi pulau terbesar di kepulauan Maluku. Pulau Halmahera Timur juga sering disebut sebagai Pulau Jilolo atau Gilolo.
Meski tidak ada catatan jelas mengenai asal usul Suku Lingon, namun dipercaya suku ini bukanlah suku asli yang berasal dari Maluku. Diduga orang-orang Lingon adalah etnis yang terbentuk akibat adanya pernikahan campur dengan ras lain.
Sebab suku Lingon memiliki kulit putih, rambut yang pirang, dan mata berwarna biru. Ciri fisik tersebut umumnya dimiliki oleh ras Kaukasoid. Beberapa cerita masyarakat setempat yang berkembang luas juga memperkuat dugaan tersebut. Selain keunikan pada tubuh mereka, etnis Lingon juga mempunyai keunikan lain.
CIRI-CIRI FISIK ORANG LINGON
Suku Lingon sangat berbeda jika dibandingkan suku lainnya di Indonesia, terutama bila didasarkan pada ciri-ciri fisiknya. Meski beberapa orang dari Suku Lingon memiliki ciri fisik seperti orang Asia Tenggara pada umumnya, namun sebagian diantaranya memiliki ciri yang berbeda.
Berikit ini adalah ciri dan karakteristik fisik Orang Lingon sebagai berikut :
1. Mata Berwarna Biru.
Keunikan utama dari orang-orang Lingon adalah bola matanya yang berwarna biru mirip orang Eropa. Warna mata biru tersebut pun terkadang sangat terang atau biru muda bukan biru gelap, sehingga sangat jelas terlihat. Ciri khas ini merupakan ciri fisik ras Kaukasoid yang berasal dari wilayah barat.
Alasannya adalah orang Indonesia asli pada umumnya tidak memiliki mata biru secara alami. Fenomena ini menjadikan Suku Lingon sangat unik dan menarik.
Warna biru pada mata mereka sangat cantik dan mengundang rasa ingin tahu banyak orang dari berbagai tempat. Orang bermata biru biasa diidentikkan dengan sebutan “bule” oleh orang Indonesia. Oleh karena itu, Suku Lingon sering disebut sebagai bule dari Indonesia.
2. Memiliki Rambut Pirang.
Beberapa orang etnis Lingon mempunyai rambut berwarna pirang, meliputi warna pirang terang atau kecokelatan. Warna rambut ini juga jarang dimiliki orang Indonesia, karena mayoritas orang Indonesia memiliki rambut berwarna gelap, hitam atau coklat yang sangat gelap. Rambut berwarna terang tersebut sangat berbeda dan menarik perhatian.
3. Berkulit Putih.
Penduduk asli Maluku umumnya memiliki kulit cokelat atau cenderung gelap. Sedangkan Suku Lingkon memiliki kulit putih cerah dan sangat berbeda daripada suku asli Maluku.
Mata biru, rambut pirang, dan kulit putih adalah perpaduan ciri fisik ras Kaukasoid dan sangat berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang umumnya berkulit kuning langsat, sawo matang, dan gelap.
4. Bertubuh Tinggi.
Suku Lingon mempunyai postur tubuh langsing dan tinggi. Bentuk tubuh ini mirip seperti fisik orang Eropa. Meski saat ini orang Asia juga banyak yang berpostur tubuh tinggi, namun karena warga Lingon bermata biru, berkulit putih, dan berambut pirang, maka ciri-ciri fisiknya seringkali dikatakan sebagai orang Eropa. Karena ciri tersebut, banyak yang berasumsi bahwa Suku Lingon berasal dari keturunan Eropa.
5. Berparas Cantik dan Rupawan.
Bila membahas paras, tentu penilaiannya bias dan relatif tergantung siapa yang menilainya. Namun Suku Lingon sering dikategorikan sebagai orang-orang dengan paras cantik rupawan, karena mereka sangat berbeda dengan orang lain di sekitar mereka.
Bahkan dahulu kala wanita cantik dari Suku Lingon konon sering diculik oleh suku-suku lain di sekitarnya untuk dijadikan istri. Salah satu suku yang sering menculik wanita Suku Lingon adalah Suku Togutil.
Bukan hanya para wanitanya, para pria dari Suku Lingon juga memiliki paras yang rupawan. Kecantikan dan ketampanan Suku Lingon sangat istimewa, meski orang-orang Lingon sendiri tidak menyadarinya dan menganggapnya biasa.
Karena keunikan dan perbedaan fisik di atas, Suku Lingon menjadi sangat istimewa di Maluku. Tak dapat pungkiri, mereka menjadi primadona di wilayah pedalaman Halmahera Timur. Banyak kunjungan wisatawan yang mendatangi Suku Lingon untuk sekedar melihat penduduknya yang berbeda.
SEJARAH SUKU LINGON
Hingga kini belum ada bukti tertulis mengenai asal-usul atau sejarah Suku Lingon. Namun beberapa cerita rakyat yang berkembang mengatakan pada zaman dahulu ada kapal yang berasal dari Eropa sedang berlayar di perairan sekitar Halmahera dan terdampar. Karena sulit mencari bantuan di tengah laut, mereka akhirnya merapat ke daratan.
Persediaan makanan di dalam kapal terus menipis menuntut mereka untuk terus bertahan hidup. Oleh karena itu, mereka terpaksa menepi ke daratan terdekat. Akhirnya rombongan orang Eropa tersebut memasuki hutan karena harus mencari makanan.
Karena Halmehera Timur di kala itu merupakan wilayah pedalaman, maka akses menuju ke sana sama sekali tidak mudah. Mereka yang awalnya masih bisa mendapat bantuan dari kapal lain yang sedang berlayar, akhirnya menyerah.
Mereka tak punya pilihan lain, selain harus menetap di daratan tersebut. Akhirnya mereka membentuk koloni baru yang disebut dengan Lingon. Karena terus-menerus berada di hutan yang sulit diakses, mereka pun terisolasi dan menjalani hidup sebagai suku primitif. Kemudian keturunan Suku Lingon pun meneruskan cara hidup ini.
MITOS SUKU LINGON
Ciri fisik mereka yang sangat jauh berbeda dengan kebanyakan etnis lain di sekitarnya, membuat Suku Lingon menjadi sangat istimewa. Dikagumi itu pasti, tetapi ternyata ciri fisik yang istimewa juga membawa dampak negatif bagi kehidupan orang-orang Lingon.
Suku-suku lain di sekitar Halmahera konon sangat penasaran dengan keberadaan suku ini. Mereka banyak yang berdatangan ke daerah tinggal Suku Lingon dengan harapan dapat bertemu dengan suku bermata biru tersebut.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan ada suku yang sering menculik kaum wanita Suku Lingon untuk dijadikan istri secara paksa. Hal ini tentu menimbulkan kecemasan dan ketakutan, terutama bagi perempuan Lingon.
Ternyata bukan hanya masalah wanita yang diculik, masih ada dampak buruk yang lain. Beberapa suku lain menganggap Suku Lingon sangat berbahaya karena perbedaan fisik mereka. Anggapan ini terjadi karena tidak adanya informasi yang cukup mengenai suku ini. Sebab orang-orang zaman dahulu tidak tahu dan tidak pernah melihat orang dari ras lain di lingkungan mereka.
Oleh sebab itu, tidak sedikit anggota suku lain yang menuduh bahwa Suku Lingon mempraktekkan ilmu sihir, sehingga mereka bisa mempunyai ciri fisik yang berbeda. Rumor yang perlahan-lahan tersebar ini pun akhirnya membuat beberapa orang takut terhadap Suku Lingon. Selain itu, tersebar pula kabar bahwa Suku Lingon gemar mengonsumsi daging mentah tanpa dimasak.
KEBERADAAN SUKU LINGON
Sayangnya, keberadaan Suku Lingon saat ini benar-benar misterius. Ada yang mengatakan suku ini telah punah. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Suku Lingon sengaja menjauhkan diri karena merasa terganggu dengan rasa ketertarikan masyarakat yang berlebihan terhadap mereka.
BAHASA SUKU LINGON
Hingga saat ini belum ada penelitian lebih mendalam tentang suku pedalaman Halmahera ini. Oleh sebab itu, belum diketahui secara pasti apakah mereka mempunyai bahasa daerah tersendiri.
Jika berdasarkan dugaan bahwa suku lingon berasal dari orang Eropa yang terdampat dari kapal, maka bahasa yang digunakan pun kemungkinan besar berasal dari Eropa. Namun karena kurangnya data dari masyarakat lingkon, maka sulit memastikan apa bahasa asli suku ini.
MATA PENCAHARIAN
Karakteristik orang lingon yang menjauhi keramaian dan hidup di pedalaman menjadikan informasi mengenai bagaimana kehidupan suku ini masih misteri. Namun karena tinggal di hutan, diperkirakan keseharian orang lingon adalah melakukan perburuan dan bertani.
Oleh sebab itu, masih diperlukan kajian lebih lanjut yang mempelajari bagaiaman kehidupan suku lingon sebenarnya.
AGAMA DAN KEPERCAYAAN
Apa agama dan kepercayaan orang-orang lingon hingga kini belum diketahui secara pasti. Sebab, penelitian yang dilakukan cenderung mengutamakan bagaimana ciri fisik orang-orang bermata biru dari Indonesia ini. Sulitnya akses menuju pedalaman hutan Halmahera juga menjadi penghambat pengumpulan data.
LINGON ADALAH SUKU PRIMITIF DI INDONESIA BERFISIK EROPA
Jika kita perhatikan, kebanyakan suku-suku yang ada di pedalaman Indonesia memiliki fisik yang mirip. Kulitnya selalu coklat, bermata agak coklat kehitaman, dan juga rambut yang hitam. Namun ada satu suku yang memiliki fisik berbeda dibandingkan suku lainnya. Suku tersebut adalah Suku Lingon.
Suku yang satu ini benar-benar berbeda dari kebanyakan bangsa primitif yang ada di Indonesia. Alih-alih punya fisik yang seperti orang Indonesia, Suku Lingon justru mirip orang Eropa. Kulitnya putih, rambutnya pirang, dan matanya juga berwarna biru. Fenomena ini tentu jadi pertanyaan besar tersendiri, kenapa bisa ada suku yang fisik orang-orangnya begitu berbeda. Padahal, kalau ditelusuri ke atas, orang-orang Indonesia bukanlah ber-ras Kaukasoid.
Lingon sendiri konon hidup di hutan dengan sistem yang masih primitif. Ada kabar yang mengatakan mereka sudah punah, tapi ada yang bilang juga suku Lingon sengaja menjauh agar tidak diusik.
Lantaran memiliki ciri fisik ala orang bule, maka tak heran juga kalau orang-orang Lingon itu sangat cantik dan ganteng. Sayangnya, masyarakat Lingon sendiri seperti tidak menyadari kelebihannya itu. Menurut cerita lagi, gara-gara kecantikan luar biasa gadis-gadis Lingon, mereka pernah diculik suku lain untuk dijadikan istri.
Kabarnya, suku Lingon berada di pedalaman hutan Halmahera dan mereka menjalani hidup secara sederhana, alias primitif. Jadi, mereka masih hidup bergantung kepada alam, tapi mungkin sudah mengenal sistem pertanian dan bermukim.
Akses keluar yang sangat susah didapat jadi alasan kenapa orang-orang Lingon menjalani hidup secara primitif. Mereka tinggal di tempat yang cukup terpencil dan sulit untuk dijangkau. Hal ini membuat teknologi tidak bisa menjangkau mereka. Soal keyakinan, banyak yang percaya kalau suku Lingon menganut animisme dan dinamisme.
KEBERADAAN DI INDONESIA
Teori yang paling masuk akal adalah adanya kawin silang. Dengan berbekal teori ini, kita juga bisa bilang kalau suku Lingon bukanlah orang-orang asli Indonesia. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti cerita dari masyarakat sekitar yang secara tersirat seakan membenarkan hal tersebut.
Cerita muasal Lingon diawali dari karamnya sebuah kapal asal Eropa di sekitar Halmahera. Kemudian karena harus bertahan hidup, orang-orang kapal ini pun akhirnya menepi dan lama-kelamaan memasuki hutan. Lantaran susahnya akses dan lain sebagainya, mereka pun tak punya pilihan selain menetap dan akhirnya membentuk koloni sendiri yang disebut Lingon. Alasan kenapa mereka jadi primitif mungkin karena sudah terlalu lama tinggal di hutan. Pelan-pelan orang Lingon melupakan asal usulnya dan kemudian menyesuaikan diri.
Lingon menurut ceritanya merupakan suku yang tidak benar-benar ramah. Mereka cenderung agresif dan defensif. Bahkan mereka akan menyerang kalau ada orang-orang yang memaksa untuk mengusik mereka.
Dilihat dari foto di atas, sepertinya suku ini benar-benar ada, hanya saja tidak muncul ke permukaan sehingga bisa dibilang antara ada dan tiada. Selain foto para penjelajah Maluku di atas, ada satu foto lagi yang diduga memperlihatkan gadis dari suku Lingon bernama Ariska Dala, berikut ini.
3 SUKU BERMATA BIRU DI INDONESIA
Mata biru tidak hanya dimiliki oleh orang-orang ras Kaukasoid saja yang biasanya tinggal di benua Eropa. Ternyata orang di Indonesia juga ada yang memiliki mata biru.
Ada tiga suku di Indonesia yang memiliki mata biru, suku apa saja itu? Simak penjelasan berikut yang dikutip dari Akun Instagram Disdik Jawa Barat:
1. Suku Lamno (Aceh).
Masyarakat dari Desa Lamno sebagian besar bermata biru, berkulit putih, berhidung mancung, dan berpostur tinggi seperti orang Eropa. Hal tersebut dikarenakan keturunan Lamno yang berasal dari cucu bangsa Portugis.
Mereka adalah hasil kawin campur dengan penduduk setempat pada zaman dahulu. Pada zaman penjajahan banyak orang Portugis yang berdagang di Aceh dan menikahi penduduk asli. Namun bencana tsunami di Aceh tahun 2004 nyaris membuat punah warga keturunan Portugis di Lamno.
Salah satu komunitas yang ada di Aceh adalah komunitas keturunan Eropa (Portugis). Komunitas ini telah lama tinggal di kawasan Lamno. Orang-orang Eropa (Portugis) yang meninggalkan tanah airnya dengan tujuan berdagang dan maksud lain telah membawa mereka ke Aceh. Secara fisik keturunan Portugis ini sangat berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Ciri-ciri fisik mereka menyerupai orang Eropa, berkulit putih, bermata biru atau coklat, tinggi. Oleh karena itu mereka sering disebut si mata biru dari Lamno. Selain itu, ciri yang juga membedakan adalah sifat pemalu yang dimiliki si mata biru. Masyarakat yang berada di sekitar mereka menerima keberadaan komunitas si mata biru ini. Tidak ada friksi di antara masyarakat sekitar dengan komunitas si mata biru. Pada saat terjadi tsunami di Aceh, tempat tinggal komunitas si mata biru sangat dekat dengan pantai yang menyebabkan sebagian besar anggota komunitas ini meninggal dunia. Akan tetapi sebutan si mata biru di kawasan Lamno akan tetap terkenang sepanjang masa.
2. Suku Buton (Sulawesi Tenggara).
Masyarakat Suku Buton memiliki mata biru terang dan berkulit cokelat. Mata biru tersebut disebabkan oleh kelainan genetik langka yang disebut Waardenburg Syndrome. Namun ada juga fakta yang menyebutkan jika mata biru pada Suku Buton adalah hasil perkawinan silang dengan bangsa asing Portugis.
Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.
Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara Kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatra kerapkali disebut juga melayu. (H. J. Van Den Berg)
Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah Jambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan Jawa di Sumatra tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. Kerajaan Jawa yang di Sumatra itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu.
Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka. Sebagian dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia). Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.
Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, Ia mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton. Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.
Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.
Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari. Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.
Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa. Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.
Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantulu Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya
Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya. Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa.
Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga +7 KM.
Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkusangia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “fari” asal “peri”. Menurut Pak La Hude (Sejarawan) dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga).
3. Suku Lingon (Maluku).
Suku Lingon berada di pedalaman Halmahera, Maluku. Banyak warga suku Lingon sendiri yang memiliki mata biru dan berkulit putih. Dari sejarah yang ada di masyarakat, sekitar 300 tahun silam pernah ada di sebuah kapal dari Eropa yang tenggelam di dekat perairan Halmahera.
Beberapa penumpang yang selamat kemudian membangun pemukiman di tengah pedalaman hutan Halmahera Timur. Mereka lalu membentuk komunitas yang disebut Lingon Tribe atau Suku Lingon.
Lingon adalah sebuah suku pedalaman yang mendiami Halmahera, Provinsi Maluku Utara, Indonesia yang dikenal karena memiliki ciri fisik ras Kaukasoid yakni berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru, berbeda dengan suku-suku bangsa di Indonesia lainnya yang umumnya memiliki ciri fisik berkulit coklat, bermata coklat kehitaman dan berambut hitam.
Lantaran memiliki ciri fisik ala orang bule, maka nggak heran juga kalau orang-orang Lingon itu sangat cantik dan ganteng. Menurut cerita masyarakat, orang-orang Lingon memang seperti itu. Sayangnya, masyarakat Lingon sendiri seperti tidak menyadari kelebihannya itu. Menurut cerita lagi, katanya gara-gara kecantikan luar biasa gadis-gadis Lingon, mereka pernah diculik suku lain untuk dijadikan istri. Ada kabar yang mengatakan mereka sudah punah, tapi ada yang bilang juga suku Lingon sengaja menjauh agar tidak diusik.
Tidak ada ceritanya orang ras Mongoloid bisa menghasilkan keturunan Kaukasoid, kecuali ada silang kawin di antara keduanya. Dengan berbekal teori ini maka dapat disimpulkan bahwa suku Lingon bukanlah orang-orang asli sini. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti cerita dari masyarakat sekitar yang secara tersirat seakan membenarkan hal tersebut.
Cerita muasal Lingon diawali dari karamnya sebuah kapal asal Eropa di sekitar Halmahera. Kemudian karena harus bertahan hidup, orang-orang kapal ini pun akhirnya menepi dan lama-kelamaan memasuki hutan. Lantaran susahnya akses dan lain sebagainya, mereka pun tak punya pilihan selain menetap dan akhirnya membentuk koloni sendiri yang disebut Lingon. Alasan kenapa mereka jadi primitif mungkin karena sudah terlalu lama tinggal di hutan. Pelan-pelan orang Lingon melupakan asal usulnya dan kemudian menyesuaikan diri.