TRIBHUWANA TUNGGADEWI
(Ratu Majapahit tahun 1328-1350)
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga dan Rajaputri/Ratu Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
PEMERINTAHAN TRIBHUWANA TUNGGADEWI
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana yang merupakan putri Raden Wijaya naik takhta atas perintah ibunya Gayatri (Rajapatni) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tetapi ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
PEMBERONTAKAN SADENG DAN KETA
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331, Tribhuwana menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng-Keta. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima perang, menyerang Sadeng-Keta didampingi sepupunya, Adityawarman yang pada saat itu menjabat sebagai Wreddhamantri, atau perdana menteri.
SUMPAH PALAPA
Peristiwa penting berikutnya, pada tahun 1334, dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan 'Gajah Mada' saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit menggantikan patih amangkubhumi, 'Arya Tadah'. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit. Pada tahun ini juga Hayam Wuruk lahir.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah/ekspansi Majapahit ke segala arah yang dipimpin oleh Gajah Mada sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Pada tahun 1343, Majapahit mengirim Arya Damar mengalahkan raja Kerajaan Pejeng, Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Pada tahun 1347, Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit sebagai penguasa di seluruh wilayah Sumatra.
Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
AKHIR HAYAT TRIBHUWANA TUNGGADEWI
Menurut Negarakertagama, Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1350 bersamaan dengan meninggal dunianya Gayatri. Namun prasasti Singasari menyebutkan bahwa informasi tersebut kurang tepat karena ia masih memerintah hingga tahun 1351.
Kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih pada tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanatunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
SILSILAH
1. Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya)
2. Mahisa Campaka (Bhatara Narasinghamurti)
3. Dyah Lembu TalDyah Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi)
4. Wisnuwardhana (Ranggawuni)
5. Kertanegara Waning Hyun (Jayawardhani)
6. Gayatri (Rajapatni)
7. Sri Bajradewi
SEJARAH HIDUP TRIBHUWANA TUNGGADEWI SRI RATU MAJAPAHIT
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah Ratu Kerajaan Majapahit yang memulai sejarah menaklukkan Nusantara.
Tribhuwana Tunggadewi (1328-1351 Masehi) adalah raja perempuan Kerajaan Majapahit yang memulai misi menaklukkan Nusantara. Sejarah mencatat, pada era Sri Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani inilah terucap Sumpah Amukti Palapa oleh Mahapatih Gajah Mada.
Antara Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Gajah Mada memang terjalin hubungan yang saling melengkapi. Sri Ratu Tribhuwana mempercayakan Gajah Mada menempati posisi paling bergengsi di pemerintahan Majapahit. Sementara berkat Gajah Mada, misi sang ratu mulai terlaksana.
Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada di hadapan Tribhuwana Tunggadewi hampir benar-benar terwujud di era selanjutnya, yakni pada masa Hayam Wuruk. Gajah Mada berikrar pantang merasakan kenikmatan duniawi sebelum mempersatukan Nusantara di bawah naungan Kemaharajaan Majapahit.
PUTRI RADEN WIJAYA PENDIRI MAJAPAHIT
Tribhuwana Tunggadewi merupakan putri Raden Wijaya, pendiri sekaligus Raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309 M).
Slamet Muljana dalam Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) menuliskan, sang ratu menyandang gelar lengkap Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Sebelum bertakhta di Majapahit, namanya adalah Dyah Gitarja. Ibunda Tribhuwana Wijayatunggadewi bernama Gayatri atau Rajapatni, salah satu istri Raden Wijaya yang juga putri Kertanegara, raja terakhir Singasari.
Setelah Kerajaan Singasari hancur akibat pemberontakan Jayakatwang pada 1292 yang menyebabkan Raja Kertanegara tewas, Raden Wijaya mendirikan pemerintahan baru bernama Majapahit di tepi Sungai Brantas, Mojokerto, setahun kemudian.
Penerus Raden Wijaya yang wafat pada 1309 M adalah putranya yang bernama Kalagemet. Raja ke-2 Majapahit ini dinobatkan dengan gelar Sri Jayanegara (1309-1328 M). Dyah Gitarja alias Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Jayanegara merupakan saudara satu ayah tapi lain ibu.
Semasa era Jayanegara, Dyah Gitarja pernah menjabat sebagai Bhre Kahuripan. Kahuripan (sekarang wilayah Sidoarjo) merupakan salah satu dari 12 wilayah utama atau semacam provinsi terpenting Kerajaan Majapahit yang beribukota di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Jayanegara dianggap tidak becus memimpin Kerajaan Majapahit sehingga timbul serangkaian pemberontakan semasa ia berkuasa. Pada akhirnya, raja ke-2 Majapahit ini tewas dibunuh oleh tabib sekaligus pengawalnya sendiri, yakni Ra Tanca, pada 1328.
Gajah Mada yang kala itu adalah anggota Bhayangkara atau pasukan pengawal raja punya peran penting di era Jayanegara yang penuh huru-hara.
Pernah menyelamatkan Jayanegara dari pemberontakan Ra Kuti pada 1319. Gajah Mada pula yang mengeksekusi the king slayer, Ra Tanca.
Lantaran Jayanegara tidak punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Ratu Gayatri, istri terkasih Raden Wijaya.
Namun, tulis Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia: Volume 1 (2006), Gayatri enggan menjadi penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawi dan memilih jalan religi.
Gayatri melimpahkan takhta kepada putirnya, Dyah Gitarja, yang dinobatkan pada 1328 M dengan menyandang gelar Tribhuwana Wijayatunggadewi. Ia adalah raja perempuan atau rajaputri alias ratu pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit.
MEMULAI MISI PENAKLUKAN NUSANTARA
Purwadi dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa (2007) menyebut bahwa jasa besar Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik kenegaraan Majapahit.
Naiknya Tribhuwana Tunggadewi ke singgasana Majapahit juga berimbas besar terhadap karier Gajah Mada. Sosok perwira muda ini langsung melejit berkat jasa-jasanya mengamankan negara, termasuk menyelesaikan pemberontakan Sadeng dan Keta yang masih menjadi bagian dari dampak kepemimpinan Jayanegara.
Berkat kesetiaannya terhadap negara juga kecakapannya, Gajah Mada langsung menjadi orang kepercayaan Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Pada 1334, Sri Ratu Tribhuwana menunjuk Gajah Mada untuk menempati posisi sebagai rakryan patih atau mahapatih alias perdana menteri menggantikan Arya Tadah yang undur diri karena sudah merasa tua.
Dikutip dari Sedjarah Indonesia Lama (1961) karya Pitono Hardjowardojo, saat dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Ia berikrar pantang merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Era Tribhuwana Wijayatunggadewi memang merupakan masa di mana Majapahit mulai melebarkan sayapnya hingga ke luar Jawa.
Tahun 1343, misalnya seperti dinukil dari buku Sejarah Kebudayaan Bali (1998) yang disusun Supratikno Raharjo dan kawan-kawan, Kerajaan Majapahit menaklukkan Bali.
Berikutnya, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di luar Jawa yang ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gajah Mada atas perintah Sri Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
TRIBHUWANA TUNGGADEWI LENGSER KEPRABON
Kerajaan Majapahit sebenarnya sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Wijayatunggadewi memutuskan lengser pada 1350. Keputusan tersebut diambil seiring wafatnya sang ibunda, Gayatri.
Bagi Sri Ratu Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda yang memberinya mandat untuk menjadi pemimpin. Maka itu, setelah Gayatri tiada, Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat itu telah ditunaikannya.
Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota, Hayam Wuruk, anak Tribhuwana Tunggadewi dari pernikahannya dengan Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan keturunan Singasari.
Setelah lengser keprabon, Tribhuwana Tunggadewi kemudian menempati posisi sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan agung atau dewan penasihat raja yang beranggotakan keluarga kerajaan.
Hayam Wuruk ditabalkan sebagai raja ke-4 Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara (1350-1389 M). Dengan bimbingan Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Mahapatih Gajah Mada, raja muda ini membawa Majapahit mencapai masa kejayaan, termasuk mewujudkan misi menyatukan Nusantara.
Dikutip dari Nino Oktorino dalam Hikayat Majapahit: Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di Nusantara (2020), tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Tribhuwana Wijayatunggadewi meninggal dunia.
Kitab Pararaton hanya memberitakan bahwa mantan Ratu Majapahit itu wafat setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih pada 1371 M.
Jasad Sri Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi disucikan di Candi Pantarapura yang terletak di Desa Panggih, Trowulan, Mojokerto.
TRIBHUWANA WIJAYATUNGGADEWI RATU PENAKLUK NUSANTARA
Tribhuwana Tunggadewi adalah penguasa ketiga Kerajaan Majapahityang memerintah antara 1328-1350 M.
Setelah menjadi ratu, ia mendapatkan gelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Majapahit belum sepenuhnya tentram karena terjadi beberapa pemberontakan.
Pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas dengan bantuan Gajah Mada.
Sejak saat itu, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih dan dengan setia membantu sang ratu untuk memajukan Kerajaan Majapahit.
Berkat keberanian, kebijaksanaan, dan kecerdasan Tribhuwana Tunggadewi, ekspansi Kerajaan Majapahit mengalami kemajuan pesat.
SILSILAH KETURUNAN
Tribhuwana Tunggadewi adalah putri dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, dari istrinya yang bernama Gayatri.
Dari pihak ibu, ia adalah cucu dari Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari.
Tribhuwana Tunggadewi memiliki saudara kandung bernama Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa dan saudara tiri bernama Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit.
Ia lahir dengan nama Sri Gitarja dan diangkat sebagai Bhre Kahuripan pada masa pemerintahan Jayanagara.
Tribhuwana Tunggadewi sebenarnya ingin dinikahi oleh Jayanagara, tetapi tidak diizinkan oleh Gayatri.
Karena itu, Jayanagara pernah mengurung Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi supaya tidak ada yang menikahi mereka.
Setelah Jayanagara meninggal pada 1328, Tribhuwana Tunggadewi menikah dengan Cakradhara atau Kertawardhana Bhre Tumapel.
Dari pernikahannya ini, ia melahirkan Dyah Hayam Wuruk, yang nantinya menjadi raja Majapahit, dan Dyah Nertaja.
MASA PEMERINTAHAN TRIBHUWANA TUNGGADEWI
Pada 1328, Raja Jayanagara meninggal tanpa meninggalkan putra mahkota.
Menurut Kitab Negarakertagama, Gayatri kemudian memerintahkan Tribhuwana Tunggadewi untuk menggantikannya naik takhta.
Sebab, Gayatri yang seharusnya dapat mewarisi takhta Jayanagara telah menjadi biksuni atau pendeta Buddha.
TRIBHUWANA TUNGGADEWI MEMERINTAH SEBAGAI RATU BERSAMA SUAMINYA KERTAWARDHANA
Pada awal pemerintahannya, yaitu tahun 1331, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta.
Dua pemberontakan tersebut akhirnya dapat dipadamkan oleh Gajah Mada.
Atas jasanya tersebut, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Mahapatih, jabatan tertinggi kedua setelah raja.
Ketika dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Dalam sumpahnya itu, Gajah Mada tidak berkehandak menerima hadiah atau anugerah sebelum berhasil memersatukan nusantara.
Sejak Tribhuwana Tunggadewi didampingi oleh Gajah Mada, kemakmuran kerajaan semakin meningkat.
Untuk memenuhi sumpahnya, Gajah Mada membantu sang ratu dalam perluasan wilayah ke segala penjuru nusantara.
Hasilnya, Bali dan beberapa kerajaan di nusantara dapat ditaklukkan pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
MENGUNDURKAN DIRI DARI PEMERINTAHAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi berakhir ketika sang ibu, Gayatri, meninggal pada 1350.
Tribhuwana Tunggadewi mengundurkan diri karena ia hanya memerintah untuk mewakili sang ibu.
Setelah itu, takhta kerajaan diserahkan kepada putranya, Hayam Wuruk, yang saat itu baru berusia 16 tahun.
Kendati demikian, ia masih sangat aktif terlibat dalam urusan kerajaan.
Tribhuwana Tunggadewi kemudian kembali dinobatkan sebagai Bhre Kahuripan dan menjadi anggota Bhattara Saptaprabhu, dewan tetua kerajaan yang memberikan nasihat kepada raja.
Tidak diketahui pasti kapan meninggalnya Tribhuwana Tunggadewi, Pararaton hanya menyebutkan bahwa dirinya wafat setelah 1371.
Tribhuwana Tunggadewi kemudian didharmakan di Candi Pantarapura yang terletak di Desa Panggih, Trowulan, Mojokerto.
TAHTA MAJAPAHIT DAN BAKTI TRIBHUWANA TUNGGADEWI KEPADA IBU (GAYATRI)
Naik dan turunnya Tribhuwana Wijayattunggadewi sebagai penguasa Majapahit merupakan wujud baktinya terhadap sang ibunda.
Majapahit terguncang sepeninggal Raja Jayanagara yang tewas ditikam tabibnya sendiri pada 1328 M. Putra Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, itu belum sempat dikaruniai anak. Tak ayal, kematian Jayanagara menimbulkan polemik terkait siapa penggantinya. Situasi inilah yang nantinya menaikkan Tribhuwana Tunggadewi ke tampuk kekuasaan.
Lantaran Jayanegara tidak punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri almarhum Raden Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Volume 1, 2006: 30).
Di lingkaran utama kekuasaan Majapahit saat itu sudah tidak ada laki-laki lagi. Dari kelima istrinya, Raden Wijaya hanya dikaruniai satu orang putra, yakni Jayanegara, serta dua orang putri, yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.
Gayatri kemudian memberi titah kepada putri pertamanya, Tribhuwana Tunggadewi, untuk naik takhta, menjadi ratu penguasa Majapahit. Demi baktinya kepada sang ibunda, Tribhuwana bersedia dan kelak mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan.
RAJA PEREMPUAN MAJAPAHIT
Nama asli Tribhuwana Tunggadewi adalah Dyah Gitarja. Beberapa bulan setelah Jayanegara tewas, ia dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Majapahit pada 1329, dengan gelar Sri Tribhuwanattunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979:135).
Tribhuwana Tunggadewi dipanggil sebagai rajaputri, untuk membedakan dengan istilah ratu yang dalam tradisi kerajaan di Jawa memiliki makna yang luas. Ratu bukan hanya disematkan kepada perempuan saja, namun bisa juga untuk menyebut wanita terhormat yang punya pengaruh di istana, ibunda raja misalnya.
Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi sebenarnya tidak pernah terpikir naik takhta sebagai pemimpin Kerajaan Majapahit. Ia hanya mematuhi titah sang ibunda, Gayatri, dan memang karena tidak ada keturunan laki-laki lain sepeninggal Jayanegara.
Semasa Jayanegara masih hidup, Tribhuwana Tunggadewi dan adiknya, Dyah Wiyat, dilarang menikah. Jayanegara takut takhtanya terancam oleh suami-suami kedua adik tirinya itu. Setelah raja ke-2 Majapahit itu tewas, banyak pangeran dari berbagai negeri yang datang untuk melamar Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.
Setelah diadakan sayembara, Tribhuwana Tunggadewi disunting oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan raja-raja Singhasari (Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, 2001: 540). Sedangkan Dyah Wiyat kawin dengan pangeran lainnya bernama Kudamerta.
Nantinya perkawinan Tribhuwana dengan Cakradhara dikaruniai anak laki-laki bernama Hayam Wuruk. Orang inilah yang kelak membawa Majapahit mencapai puncak keemasannya, berkat rintisan serta bimbingan sang rajaputri.
RAJA PUTRI PENAKLUK NUSANTARA
Selama era Jayanegara (1309-1328), Majapahit belum sempat menikmati masa-masa indah. Ia dianggap lemah, jahat, dan tidak bermoral. Banyak intrik yang muncul karena kepemimpinannya yang dinilai kurang baik. Setidaknya sudah terjadi lebih dari 8 kali pemberontakan terhadap Jayanegara yang akhirnya tewas dibunuh tabibnya sendiri.
Ihwal pemunuhan itu, banyak silang pendapat. Salah satu yang kontroversial terbaca dari tulisan Parakitri Simbolon (1995) yang mengutip J. Krom dalam De Hindoe-Javaansche Tijd. Ia menulis bahwa insiden pembunuhan Jayanegara oleh tabibnya itu justru didalangi oleh Gajah Mada, salah seorang panglima perang Majapahit (hlm. 396).
Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara yang disebutkan telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada istrinya. Maka itu, Gajah Mada memperalat tabib istana untuk membunuh sang raja, Jayanegara.
Versi yang lebih banyak beredar bukan istri Gajah Mada yang diganggu oleh sang raja. Menurut Pararaton, justru istri sang tabib sendiri yang digoda oleh Jayanagara. Itulah yang memicu dendam sang tabib sehingga memutuskan membunuh Jayanagara.
Naik takhtanya Tribhuwana Tunggadewi sebagai pengganti Jayanegara pun sempat memantik keraguan karena belum ada sejarahnya Majapahit dipimpin seorang perempuan. Namun, sang rajaputri berhasil menepis skeptisme itu dan justru menjadi pembuka gerbang Majapahit menuju masa emas.
Purwadi (2007) dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa menyebut bahwa jasa besar Tribhuwana Tunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik kenegaraan Majapahit (hlm. 107).
Gajah Mada berperan besar dalam kesuksesan era Tribhuwana. Saat dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa (Pitono Hardjowardojo, Sedjarah Indonesia Lama, 1961:191). Ia berikrar tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Pada era Tribhuwana Tunggadewi inilah ekspansi besar-besaran dimulai. Tahun 1343, Majapahit menaklukkan Bali (Supratikno Raharjo, dkk., Sejarah Kebudayaan Bali, 1998: 78). Tiga tahun berselang, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di Nusantara, terutama di Sumatera, yang ditundukkan.
BAKTI MENGALAHKAN AMBISI
Majapahit sebenarnya sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Tunggadewi memutuskan turun takhta pada 1350. Keputusan tersebut diambil seiring wafatnya Gayatri. Bagi Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda yang memberinya kuasa untuk menjadi pemimpin.
Maka itu, setelah Gayatri tiada, Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat sang ibunda telah ditunaikannya, dan ia merasa tidak berhak lagi menjadi penguasa meskipun saat itu Majapahit tengah merintis pamor sebagai kerajaan yang digdaya.
Denys Lombard (1996) dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, menyebut bahwa Rajapatni (nama lain Gayatri) dan putrinya, Tribhuwana Tunggadewi, jelas-jelas memegang peranan penting dalam kehidupan politik Kerajaan Majapahit selama zaman mereka, yakni 1328-1350 (hlm. 93).
Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota, Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi sendiri kemudian menempati posisi sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.
Sebagai penghormatan untuk Gayatri, Raja Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yakni Upacara Srada. Seluruh pegawai istana, pemuka kerajaan, rayat, juga para raja dari berbagai negeri datang berbondong-bondong ke Majapahit untuk menghadiri upacara tersebut (Purwadi, Jejak Nasionalisme Gajah Mada, 2004:214).
Selanjutnya, Tribhuwana Tunggadewi, juga Gajah Mada, mendampingi Hayam Wuruk mengelola pemerintahan, termasuk meneruskan obsesi penaklukan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Pada masa inilah Majapahit mencapai puncak kejayaannya yang dirintis sejak era kepemimpinan sang rajaputri Tribhuwana Tunggadewi.