NUWUN SEWU / NYUWUN SEWU
Ucapan nuwun sewu, nyuwun sewu, nderek langkung ataupun ungkapan yang lainnya. Merupakan ungkapan tersebut memiliki arti permisi atau perijinan yang menghargai dan menghormati kepada yang ditujukan, biasanya dilakukan saat akan berjalan melewati orang terutama kepada orang yang lebih tua.
Dalam kosakata bahasa Jawa, jika kita ingin berterima kasih kepada orang lain, kita hanya perlu mengucapkan nuwun/matur nuwun, atau jika ingin lebih sopan lagi, bisa menggunakan matur nuwun, dan jika ingin yang lebih sopan lagi bisa menggunakan matur nembah nuwun. Orang Jawa umumnya lebih familiar dan mengedepankan saling menghargai, menghormati, tepo seliro dalam kosakata suwun dan matur suwun. Suwun adalah kata dasar yang kalau dalam bahasa Indonesia artinya minta. Ini jelas nggak sesuai dengan konteks percakapan semula, yang mana kita ingin berterima kasih, jadi terkesan mengucapkan kata yang bermakna minta sebenarnya mempunyai makna yang lebih mendalam dan luas.
Nuwun sewu / permisi, itu tergolong satu kesatuan frasa yang mana kedua kata di dalamnya saling melengkapi, dan jika salah satu katanya dikurangi atau diganti, dapat menimbulkan makna baru. Kalau dalam ilmu bahasa Jawa frasa ini disebut camboran.
Nuwun sewu arti harfiahnya seribu sembah, seribu terimakasih arti sebagai idiom permisi.
Permisi, digunakan sebagai bahasa etika kesopanan unggah-ungguh (sopan santun) ketika melewati kerumunan orang.
Penulisan yang tepat bukan nyuwun sewu tapi nuwun sewu Kalo yang lebih halus lagi, kulonuwun. Kalo nuwun sewu tu untuk ke semua orang banyak, kalau kulo nuwun lebih spesifik biasanya terhadap yang lebih tua.
Nuwun sewu yang artinya minta ijin atau permisi mau lewat permisi.
Mendengar sapaan-sapaan sopan dan menyejukkan seperti ketika orang tidak melakukan tradisi ucap dan laku tersebut, maka secara cepat disebutnya tidak sopan, kurang trapsilo, ora ngerti unggah-ungguh, saru dan sebagainya.
Salah satu etika yang dijunjung tinggi oleh orang Jawa adalah kerukunan dan saling menghormati yang merupakan prinsip-prinsip keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat di Jawa. Salah satu ajaran etika masyarakat Jawa, berusaha keras untuk tidak menyinggung orang lain / tutur kata yang halus seperti, penolakan terhadap tawaran ataupun ajakan seseorang. Orang Jawa tidak mau mengatakan tidak. Orang Jawa menyatakan penolakannya dengan halus. Bibirnya tersenyum/mesem agar tidak menyinggung atau mengecewakan orang yang ditolak tawarannya tadi. Agar hal-hal yang menyebabkan konflik-konflik seminimal mungkin dapat dihindarkan.
Di Jawa memang setiap melewati orang-orang yang sedang duduk atau tengah bercakap-cakap, ketika kita mau melewatinya harus mengucapkan nuwun sewu sebagai tata kramanya atau sopan santun. Secara umum nuwun sewu bermakna permisi / ijin.
Budaya Jawa dan manusia Jawa mempunyai daya tarik tersendiri. Karakteristik dan cara berpikir sangat logis dan penuh dengan kebijaksanaan. Falsafah hidup praktis bernafaskan kemanusiaan sebenarnya bisa digunakan untuk lebih menghayati nilai-nilai pancasilais dan juga dapat untuk menimbulkan sikap saling kerjasama. Menjaga toleransi dan memperbaiki moral adab budi pekerti bangsa ini apabila kita dapat mengartikan falsafah-falsafah tersebut dengan benar. Perkembangan yang timbul sekarang kita sebagai manusia Indonesia, apa mau untuk turut menjaga dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan dari seluruh nusantara tanpa rasa egosentris untuk mempelajarinya, tetapi merasa bangga mempunyai kebudayaan adiluhung tersebut.
Unik yang merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan dengan beribu-ribu suku, bahasa, kebiasaan adat istiadat, beradapan, pluralisme tapi dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Magrua. Sungguh menyenangkan dan rasa syukur menjadi bagian bangsa Indonesia, karena mempunyai banyak kebudayaan tetapi lebih menggambirakan apabila kebudayaan-kebudayaan nusantara tidaklah cepat hilang karena arus jaman, tetapi semakin kokoh. Karena petuah-petuahnya menguatkan jiwa kita untuk menjaga persatuan dan esensi bangsa.
Orang Jawa mengembangkan rasa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sikap-sikap dalam proses pergaulan sehari-hari dapat selalu terjaga tidak dapat diingkari bahwasanya struktur masyarakat Jawa yang hierarkis masih ada dominasi tersisa di daerah tertentu.
Sikap kebersamaan yang juga tersurat pada filosofi Jawa, sepi ing pamrih, rame ing gawe. Nilai yang terkandung dalam filosofi ini adalah rela untuk bekerja membantu orang lain tanpa mengharapkan upah atau imbalan. Namun pada masa-masa sekarang, mungkin karena sudah memasuki era globalisasi dan teknologi maju pesat, sikap ini sudah mulai luntur (terutama pada orang yang tinggal di daerah perkotaan di Jawa) dan masyarakat Jawa kota menjadi semakin materialistis dan individualisme. Sebuah realitas yang sangat kontras dengan filosofi sepi ing pamrih, rame ing gawe yang telah tertanam sejak lama.
Dalam realitanya ajaran-ajaran bijak yang selama ini tertanam dalam kehidupan generasi baru masyarakat Jawa tidak bisa berdiri kokoh seperti dulu, dikarenakan adanya kemajuan berakibat dapat dikatakan kemunduran dalam berfikir masyarakat. Sehingga merasa gengsi atau malu dan menganggap kuno untuk mentaati atau melaksanakan petuah-petuah dari kehidupan filosofis-filosofis Jawa yang tradisionil. Budaya Jawa mudah dipelajari berbagai kalangan masyarakat (termasuk orang luar negeri) karena kekhasannya dan keunikannya. Sifatnya yang universal dan dikarenakan banyaknya proses asimilasi yang terjadi menyebabkan masyarakat diluar suku Jawa mudah memahami dan mempelajari budaya yang unik ini. Yang patut disayangkan, masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya sekarang lebih menyukai budaya barat yang bebas yang sebenarnya dalam pandangan budaya Jawa, itu sangat bertolak belakang dengan budaya timur. Tapi yang menjadi aneh, ketika dalam kenyataan di era modern bahwa banyak orang barat yang belajar kebudayaan Jawa (karena dianggap kebudayaan yang beradab). Sehingga hal ini nantinya bisa menyebabkan ahli-ahli kebudayaan Jawa bukan berasal dari nusantara khususnya Jawa melainkan dari orang luar negeri. Sungguh suatu hal yang dapat menjadi bahan refleksi berasama.
Piyantun Jawa mempunyai kebudayaan yang mudah diserap dan menyerap kebudayaan lain. Seharusnya perihal kebudayaan Jawa dapat terus berkembang. Hal inipun sebenarnya sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.
Proses Jawanisasi di nusantara adalah hal yang memalukan sekaligus membanggakan bagi masyarakat Jawa. Memalukan, karena dalam Jawanisasi terkesan bahwa orang Jawa mencoba memaksakan kebudayaan Jawa untuk ikut andil mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan yang lain. Membanggakan, karena budaya Jawa yang diasumsikan memiliki keluhuran budi pekerti dan etika telah berhasil menyebar kemana-mana dengan proses Jawanisasi tadi.