ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN
Islam rahmatan lil alamin biasa disebutkan dalam beberapa konsep dasar agama Islam, Namun, masih banyak yang belum memahami maksud sesungguhnya.
Sederhananya, maksud Islam rahmatan lil alamin adalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 107, Allah SWT juga berfirman mengenai rahmatan lil alamin.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-'ālamīn
Artinya :
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.
Yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil alamin dan contohnya, Islam secara bahasa berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Sedangkan, secara agama, Islam adalah manifestasi dari damai.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, Seorang Muslim itu adalah orang yang orang-orang Muslim lainnya merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.
Hadits riwayat Bukhari berbunyi, Seseorang bertanya kepada Nabi, apakah (amalan-amalan) yang baik di dalam Islam ?
Nabi menjawab : engkau memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan kepada orang yang engkau tidak kenal.
Selain itu, dalam hadits riwayat An-Nasa'i, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seorang muslim itu adalah orang yang orang-orangnya manusia lainnya merasa aman (kejahatan) lisan dan tangannya dan orang mukmin adalah orang yang manusia lainnya merasa aman atas darah (jiwa) dan harta mereka.
Dari tiga hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut.
Adapun, Islam rahmatan lil alamin terdiri dari dua kata, yakni rahmat yang berarti kasih sayang, dan lil alamin yang berarti seluruh alam. Namun, ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maksud rahmatan lil alamin dalam surat Al Anbiya.
Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah (Rahmat) bagi orang beriman maka sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya dan memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang diperintahkan Allah.
Sementara itu, Islam rahmatan lil alamin adalah konsep abstrak yang mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis, dan toleran. Selain itu, konsep ini mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang.
MAKNA RAHMATAN LILALAMIN
Rahmatan-lil-alamin (rahmat bagi semesta) adalah prasa populer yang sering meluncur dari mulut para penceramah atau narasumber talk-show ketika menggambarkan salah satu karakter atau prinsip utama Islam sebagai agama yang merangkul atau mengayomi semua pihak dan dalam semua hal. Prasa ini biasanya makin lantang dikumandangkan di berbagai mimbar dan forum tiap kali muncul aksi kekerasan yang bernuansa keagamaan.
Belakangan, mungkin saking seringnya terdengar, banyak juga pejabat negara dan cendekiawan umum yang fasih mengucapkannya. Berasumsi positif, semoga mereka mengucapkannya dengan pemahaman yang utuh, bukan sekedar ikut-ikutan.
Secara etimologis, kalimat itu terdiri dari tiga bagian : kata rahmat (rahmat atau anugerah atau kasih), hurup li (untuk) dan kata alamin (bentuk plural dari kata alam yang berarti seluruh alam).
Secara terminologi, dalam ilmu kalam (teologi Islam), kata alam didefenisikan segala sesuatu selain Allah, yang mencakup seluruh makhluk hidup dan benda (padat dan cair) serta makhluk/ciptaan abstrak.
Karena itu, pengertian dasar prasa rahmatan lil-alamin adalah bahwa Islam merangkul atau mengayomi semesta dan segala isinya, tanpa kecuali. Sampai di sini, tidak ada persoalan. Persoalannya mulai muncul ketika kata kasih/rahmat atau merangkul dan mengayomi itu coba diimplementasikan dalam kehidupan praktis.
Untuk mengimplementasikan prinsip rahmatan lil-alamin itu secara benar dan tepat, setidaknya diperlukan pemahaman yang utuh terkait beberapa catatan sebagai berikut :
1. Pertama, memahami sejelas-jelasnya makna kata rahmat. Dan ini doktrin paling mendasar dalam proses pembelajaran. Bukan sekedar pemahaman etimologis (kajian kebahasaan), tapi juga pemahaman terminologis (defenitif), yang dikombinasikan dengan faktor historis.
Pemahaman bahasa terhadap suatu kata yang bersifat umum, juga tidak selalu gampang. Karena itu, ada beberapa metode, antara lain, memahami sebuah kata dengan cara menyandingkan sebuah kata yang ingin dipahami (dalam hal ini rahmat) dengan kata kontrasnya. Artinya, tidak rahmat adalah semua tindakan yang bersifat kejam, keras, tidak manusiawi, intoleran, memecah dapat dikategorikan.
Namun dalam proses pemahaman dan pemaknaan tentang kejam, keras, tidak manusiawi, intoleran tersebut, harus mengacu pada aturan atau prinsip yang jelas. Jika tidak, tiap orang akan cenderung memahaminya sesuai kehendak, pengalaman dan pengetahuannya. Kalau ini dibiarkan, akan memicu perdebatan yang tak ada ujung pangkalnya.
Dalam Islam, untuk mecegah terjadinya pemahaman dan implementasi yang ngawur terhadap suatu prinsip yang bersifat umum dan fleksibel, umumnya dibingkai dalam acuan yang jelas, yaitu syariat.
Contoh : Islam mengasihi atau merangkul dan mengayomi semua binatang, tanpa kecuali. Ini prinsip dasarnya. Tapi tidak bisa diartikan misalnya dengan mengatakan bahwa babi itu halal. Karena terkait babi, sudah ada aturan syariatnya (haram).
Contoh lain : jika di suatu kampung tiba-tiba muncul ular piton besar yang memangsa ternak dan orang, maka ular piton itu wajib dibunuh. Jangan dengan argumen rahmatan lil-alamin lantas mengatakan, udah, biarin aja ular piton itu berkeliaran.
2. Kedua, dalam kajian keIslaman, syariat Islam selalu diposisikan sebagai bagian dari rahmat Allah kepada hambanya. Dan sikap dasar yang mestinya menjadi acuan utama dalam memperlakukan syariat adalah ketaatan, bukan analisa dan interpretasi.
3. Ketiga, bahwa rahmat Islam (atau Islam sebagai rahmat) tidak bisa diartikan secara mutlak anti kekerasan. Sebab jika rahmat itu diartikan mutlak anti kekerasan, maka konsekuensinya kita akan membatalkan beberapa hukum, yang bagi sebagian orang dianggap kejam dan tidak manusiawi, seperti hukuman qishas (vonis mati bagi pembunuh), atau rajam (bagi pezina yang sudah menikah ) atau potong tangan (bagi pencuri yang memenuhi syarat jumlah curiannya). Tegasnya, jangan dengan argumen rahmatan lil-alamin lantas hukum yang terkesan kejam itu lantas ditiadakan.
Membunuh tanpa alasan syariat jelas diharamkan. Tapi sistem hukum apapun di dunia ini mengakui bahwa dalam pertempuran atau perang, misalnya, membunuh adalah pilihan pertama yang paling rasional.
Prinsip yang berlaku dari pada saya yang mati, lebih baik musuh yang mati. Perbedaan pandangan atau interpretasi muncul ketika membahas kapan suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai suasana perang dan kapan tidak.
4. Keempat, memahami tiap prinsip Islam mestinya tetap mengacu atau dalam bingkai dan paradigma Islam. Memahami sebuah prasa, harus mengacu pada paradigma yang melatari paradigma tersebut. Jika tidak, kecenderungan munculnya interpretasi yang nyeleneh sangat besar.
Misal : jika mengacu pada paradigma HAM murni, konklusinya pasti akan berakhir dengan mengatakan, hukum rajam anti HAM, qishash itu tidak manusiawi.
6. Keenam, Islam dan hukum-hukumnya bukan untuk dicocok-cocokkan dengan agama apapun atau konsep apapun. Dan memang salah satu perdebatan yang sering memunculkan kontroversi adalah ketika salah satu pihak mencoba atau bahkan terkesan memaksakan upaya mencocok-cocokkan itu.
7. Ketujuh, tiap pemahaman dasar terkait suatu prinsip Islam, juga tidak boleh dipaksa-paksakan untuk diterima oleh kelompok komunitas selain Islam. Sebab unsur pemaksaan itu sendiri sebenarnya sudah bertentangan dengan prinsip rahmat (merangkul dan mengayomi). Dan poin yang terakhir ini ranahnya adalah dakwah. Dan tiap dakwah adalah proses meyakinkan, bukan proses memaksakan.
MEMAHAMI ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN
Ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin sebenarnya bukan hal baru, basisnya sudah kuat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti damai, sedangkan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil’alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Rahmatan lil’alamin adalah istilah qur’ani dan istilah itu sudah terdapat dalam Al-Qur’an , yaitu sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107 : Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin).
Ayat tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilakukan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, baik itu untuk orang Islam maupun untuk seluruh alam. Rahmat adalah karunia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua, rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat amma kulla syak, meliputi segala hal, sehingga orang-orang nonmuslim pun mempunyai hak kerahmanan.
Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khoshshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya. Dengan demikian berlaku hukum sunnatullah, baik muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlukan oleh kerahmanan, maka mereka akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam, tetapi tidak melakukan ikhtiar kerahmanan, maka mereka tidak akan mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan ekonomi, maka mereka tidak bisa dan tak akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah non-muslim, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena dalam hal ini mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang berlaku universal (amma kulla syak).
Sedangkan hak atas syurga ada pada sifat rahimnya Allah Swt, maka yang mendapat kerahiman ini adalah orang mukminin. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa rahmatan lil’alamin adalah bersatunya karunia Allah yang terlingkup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk agama Islam (Laa Ikrooha Fiddiin). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Namun dalam konteks kehidupan sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagai rahmat lil’alamin mengakui eksistensi pluralitas, karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.
Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak diabadikan dalam al-Qur’an, di antaranya firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 22 yang maknanya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya: Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat-ayat tersebut menempatkan kemajemukan sosial sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya :
Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Benang merah yang bisa kita tarik dari perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks ini ada tiga macam persaudaraan (ukhuwwah) :
1. Pertama, Ukhuwwah Islamiyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional.
2. Kedua, Ukhuwwah wathaniyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan.
3. Ketiga, Ukhuwwah basyariyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan.
Ketiga macam ukhuwwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan Lil ‘alamin akan terealisasi.
Ukhuwwah Islamiyah dan ukhuwwah wathaniyah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwwah insaniyah. Baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Islamiyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam arti hubungan sosial yang baik.
Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkannya, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja- gereja dan sinagog-sinagog boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.
Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai dengan baik. Selama lebih 12 tahun di Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum muslimin, karena waktu itu kekuatan Islam masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, beliau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah ini pun, beliau tetap konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam
Hal tersebut terkandung maksud bahwa kendatipun terjadi perang, maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah dakwah. Karena itu perang tidak bersifat ofensif tetapi defensif, yaitu semata-mata sebagai jalan (wasilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksplosif, tidak boleh destruktif dan harus tetap menghargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orangtua, dan tidak boleh menghancurkan linkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah Saw yang disampaikan kepada pasukan sahabat Rasul pada saat Perang Mu’tah dan Fath Makkah.
BENTUK KASIH SAYANG ALLAH SWT TERHADAP ALAM SEMESTA
Islam merupakan agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang merupakan bentuk rahmat dan rasa kasih sayang Allah SWT kepada seluruh alam semesta. Rahmat tersebut merupakan milik Allah SWT dan diturunkan melalui Islam.
Memahami konsep Islam rahmatan lil alamin sebagai konsep dasar dalam agama Islam tersebut akan menambah pengetahuan sekaligus beberapa manfaat. Antara lain kembalinya keindahan Islam yang sudah lama meredup.
Hal ini dijelaskan oleh KH Misbahul Munir (Kyai Misbah) mengenai Nabi Muhammad SAW yang dahulu telah diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat bagi alam. Dia menjelaskan bahwa hal tersebut dapat menjadi sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT.
Rasulullah SAW itu diutus ke dunia misinya adalah rahmat. Sehingga dikatakan, Tidak Aku utus engkau Muhammad, kecuali misinya sebagai rahmat. Bentuk kasih sayang Allah kepada semesta alam.
Tak hanya itu, bahwa rahmat tersebut sesungguhnya tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, melainkan bagi semesta alam. Di dalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Jadi, kalimat rahmat itu bukan hanya ditujukan kepada umat Islam, bukan hanya ditujukan kepada umat manusia, tapi semesta alam.
Diutusnya Rasulullah SAW tersebut untuk menjadi hadiah bagi alam semesta.
Rasulullah SAW pernah suatu ketika menegaskan, 'Sesungguhnya aku ini adalah rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada kamu sekalian. Jadi, pemberian dari Allah adalah datangnya Nabi Muhammad dengan membawa syariat itu.
KEBERHASILAN PENYEBARAN ISLAM
Keberhasilan penyebaran Islam di wilayah Arab yang hanya dalam rentang waktu 22 tahun merupakan capaian terbesar dalam waktu paling singkat dalam sejarah umat manusia. Keberhasilan yang fenomenal itu lahir dari sosok pribadi yang sangat sederhana, santun, penyayang, yang melaluinya Allah menginginkan beliau dan agama yang dibawanya (Islam) menjadi rahmat bagi semesta alam. Sosok tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Bahkan di dalam sebuah Hadis disebutkan bahwasanya beliau adalah rahmat yang dihadiahkan oleh Allah kepada seluruh alam semesta.
Empat Khalifah Rasyidin meneruskan pembebasan (futuh) wilayah-wilayah lain semisal Persia, India, dan Afrika Utara. Usaha pembebasan ini kemudian diikuti oleh khilafah Umayah, Abbasiyah, dan Usmaniyah ke wilayah-wilayah lain seperti Andalusia (Spanyol), dan Asia Tengah. Berbeda dengan wilayah-wilayah Islam yang disebutkan di atas yang kebanyakan dibebaskan melalui peperangan, wilayah Asia Tenggara (Nusantara atau Kepulauan Melayu-Indonesia), sebagaimana kebanyakan sejarawan menyebutkan, menikmati perkembangan Islam lewat cara damai (pénétration pacifique) yaitu melalui usaha dakwah para sufi pengembara (the wandering derwishes). Bahkan lewat para sufi ini, sesungguhnya Islam berkembang secara luas di kepulauan ini (Al-Attas, 1963: 22; Johns, 1961: 13-17; dan Azra, 2004: 14-19).
Tasawuf, bahkan merupakan elemen aktif di dalam penyebaran Islam. Memang para sufi bersedia untuk menerima dan menggunakan elemen-elemen budaya lokal masyarakat Nusantara, namun mereka tetap menjaga prinsip-prinsip moral: mendorong berbuat kebajikan dan menahan diri dari melakukan kejahatan (Johns, 1961: 22). Keberhasilan para sufi dalam mengislamkan penduduk Nusantara ini juga disebabkan oleh “kemampuan mereka menyajikan Islam dalam bentuk yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian budaya-budaya lokal penduduk dengan ajaran Islam (continuity), ketimbang melakukan perubahan (change) terhadap kepercayaan dan praktik keagamaan lokal” (Azra, 2004: 14). Keberhasilan Islam tasawuf ini dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu cocok dengan latar belakang masyarakat lokal yang dipengaruhi oleh asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Di samping kecenderungan tarekat sufi bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktik lokal tersebut (Azra, 1989: XV). Kombinasi paham Sunni (Ahlussunnah waljamaah) ala teologi (kalam) Al-Asy’ari, fiqh mazhab Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali ini berkembang dan mengakar kuat di wilayah Nusantara hingga sekarang. Namun pada awal abad ke-19 M tepatnya pada akhir tahun 1803 atau di tahun 1804, tiga orang haji kembali dari Mekkah ke Minangkabau, Sumatera Barat. Mereka menyaksikan penaklukan Mekkah oleh Wahabi, sebuah kelompok puritan di dalam Islam di awal tahun 1803, yang satu abad kemudian menaklukan Mekkah kembali dan mendirikan negara Arab Saudi. Dari perspektif sejarah, gerakan Padri pada abad ke-19 M di Minangkabau mengawali gerakan radikal Muslim di Indonesia.
Dewasa ini pun berbagai pemahaman, pemikiran, ideologi, dan gerakan-gerakan yang terkait dengan Islam berkecambah bak jamur di musim hujan. Kedamaian masyarakat muslim Nusantara yang dulunya bangga dengan sejarah Islamisasi Nusantara dengan cara damai dan menghargai budaya lokal, mulai tergoyahkan. Doktrin takfiri yaitu mengkafirkan orang Islam yang tidak sepaham dengan kelompok orang Islam lainnya berkembang di tengah masyarakat hingga masuk ke dalam buku pelajaran siswa sekolah menengah. Para ulama dan cendikiawan yang mengkhawatirkan perkembangan pemahaman dan pemikiran takfiri dan semisalnya ini di Indonesia yang kebanyakan diimpor dari wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah berusaha mengembangkan pemahaman dan pemikiran Islam yang mengedepankan kasih sayang, kesantunan, toleransi, keseimbangan yang sejak dahulu sudah menjadi gerakan mainstream (utama) di Indonesia. Salah satu gagasan tersebut adalah Islam Rahmatan Lil’alamin. Kehadiran gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini menjadi penting di tengah menguatnya kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan Islam di Indonesia. Untuk itu sebelumnya perlu kiranya diketengahkan penjelasan tentang makna Islam Rahmatan Lil’alamin tersebut.
Kata orang, sebuah pemikiran atau konsep merupakan anak zamannya, at-turats ibn ‘ashrih, lahir dari konteks zamannya. Demikian pula dengan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini. Secara bahasa kata Islam berasal dari kata salama atau salima yang berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri (2014: 74) dalam Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “seperti makna literalnya, Islam adalah pernyataan absolut tentang perdamaian. Dan sebagai agama, Islam adalah manifestasi damai itu sendiri. Dia mendorong manusia untuk menciptakan hidup proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.” Dari kata salima menjadi yaslaamu, salaaman, dan salaamatan, serta kata turunan lainnya, yang di dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap kata berasal, terderivasi, serta terkonjungasi dari kata Islam, secara esensial merujuk kepada pengertian damai, perlindungan, keamanan, dan kenyamanan (Tahir-ul-Qadri, 2014: 82). Hadis-hadis Nabi Muhammadρ banyak yang mengilustrasikan makna Islam sebagaimana pengertian di atas, antara lain :
Dengan tiga Hadis ini cukuplah untuk mengatakan dari kajian bahasa bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan untuk seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut. Istilah rahmatan lil’alamin terdiri atas dua kata rahmat yang berarti kasih sayang, dan lil’alamin yang berarti seluruh alam. Istilah ini sebagaimana tercantum di dalam surat Al-Anbiya’ (21): 107. Menurut Ath-Thabari (224-310/838-923) di dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maksud ayat ini, apakah rahmat itu (diutusnya Nabi Muhammad) ditujukan kepada seluruh alam, termasuk orang-orang kafir ? atau hanya kepada orang-orang beriman? Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah pendapat pertama. Adapun (rahmat) bagi orang beriman maka sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya dan memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang diperintahkan Allah. Adapun bagi orang kafir (maka rahmat) itu berupa penundaan bala’ sebagaimana yang diturunkan kepada umat-umat yang mendustakan rasul-rasul Allah sebelumnya.
Bisa dikatakan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini masih konsep abstrak. Agar lebih operasional, pengertian tentang gagasan Islam rahmatan lil’alamin tersebut, yaitu gagasan dan upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk alam lainnya. Yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga hablum minal alam. Keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam tidak dalam keselamatan. Makanya Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang memberikan keselamatan bagi semuanya.
Bahwa gagasan Islam rahmatan lil’alamin mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis dan toleran, serta mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang. Pluralis dalam arti memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam arti menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai manusia. Dialogis dalam arti semua persolan yang muncul sebagai akibat interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam pemikiran. Dan toleran dalam arti memberi kesempatan kepada yang lain untuk melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai. Kaitannya dengan profil manusia/siswa yang dihasilkan oleh institusi pendidikan agama Islam ke depan adalah bangunan Islam Indonesia yang berwajah menyelamatkan relasi antar manusia dan relasi antar manusia dengan alam, sebagai perwujudan Islam yang rahmatan lil alamin, yang dalam konteks dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang mengahadapi persoalan yang berkebalikan dengan gagasan Islam rahmatan lil’alamin seperti kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Ada yang beranggapan bahwa AlQur’an dan Hadis Nabi memang mengajarkan orang Islam untuk melakukan kekerasan kepada orang lain.
Namun faktanya menyebutkan sebaliknya bahwa mayoritas masyarakat Islam di seluruh dunia tetap dalam pemahaman yang sama bahwa Islam adalah agama cinta perdamaian. Lahirnya pemahaman yang menyelisihi pemahaman mayoritas orang Islam tentang pesan damai Islam yang akhirnya membentuk pemahaman radikal/ekstrem (Arab: ghuluw) oleh sebagian kecil umat Islam, sebenarnya dari perspektif sejarah, sudah dimulai pada zaman Nabi masih hidup dilanjutkan oleh mereka-mereka yang membelot pada zaman Khalifah Usman dan Khalifah Ali yang kemudian disebut dengan Khawarij.
Secara umum bentuk ghuluw itu menurut Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq (1992: 70-77) di dalam “Al-Ghuluw fi ad-Din fi Hayah al-Muslimin al-Mu’ashirah” terbagi ke dalam dua bentuk: al-ghuluw al-kulli al-i’tiqadi (terkait masalah akidah) dan al-ghuluw fi al-juz’i al-‘amali (terkait masalah perilaku). Yusuf al-Qardhawi dalam Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayna alJuhud wa at-Tatharruf (terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem” 2001: 29-49) menjelaskan kriteria seseorang dapat dianggap ekstrem dalam beragama: 1. Fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain. 2. Mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka. 3. Memperberat yang tidak pada tempatnya. 4. Sikap kasar dan keras (kecuali di tengah medan perang dan dalam rangka pelaksanaan sanksi hukum). 5. Buruk sangka terhadap manusia. 6. Terjerumus dalam jurang pengafiran (takfiri). Melihat fenomena ekstremisme yang marak belakangan ini di dunia Islam, para peneliti telah banyak melakukan pengkajian terhadap fenomena ini. Dan banyak yang menyamakan perilaku ekstremisme sebagian orang Islam sekarang ini dengan apa yang dilakukan oleh Khawarij pada masa lalu.
Hasil penelitian terhadap faktor-faktor penyebab ektremisme dalam beragama ini misalnya ditulis oleh Yusuf al-Qardhawi dalam Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa at-Tatharruf (terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem” 2001: 50-95). Menurutnya faktor-faktor ekstremisme itu :
1. Lemahnya pandangan terhadap hakikat agama
2. Kecenderungan zahiriyah/harfiyah dalam memahami nash-nash
3. Sibuk mempertetangkan hal-hal sampingan seraya melupakan problem-problem pokok
4. Berlebih-lebihan dalam mengharamkan
5. Pemahaman keliru dalam beberapa pengertian/istilah
6. Mengikuti yang tersamar (mutasyabihat) dan meninggalkan yang jelas (muhkamat)
7. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya
8. Berpaling dari ulama
9. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah Menjadi penting untuk mengupayakan langkah-langkah antisipatif menahan lajunya masalah ekstremisme ini, terutama di sekolah-sekolah. Sekolah/Kampus dan Pendidikan Islam Rahmatan Lil’alamin Para pemuda merupakan target strategis untuk disusupi dan diindoktrinasi oleh ekstremis. Nabi Muhammad sudah memberikan sinyalemen ke arah tersebut:
Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri (2014: 337) kata ahdas al-asnan dan sufaha al-ahlam dalam Hadis di atas bisa jadi bahwa Khawarij merupakan orang-orang muda atau menggunakan orang muda untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Agar terhindar dari infiltrasi dan indoktrinasi paham ini, oleh karena itu, sekolah –dalam hal ini gurumerupakan benteng kedua setelah orang tua dalam menyemai Islam Rahmatan Lil’alamin. Peran guru/dosen menjadi penting di dalam menjelaskan dan mencontohkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta dalam melahirkan generasi yang berkarakter pluralis, humanis, dialogis, dan toleran, serta menghargai alam. Guru/Dosen (Arab: mu’allim, muaddib, mudarris, syekh, imam) sebagai sumber belajar bagi para siswa/mahasiswa merupakan faktor paling penting dalam tradisi keilmuan Islam pada masa klasik. Mereka yang belajar tanpa guru, hanya melalui media tertulis atau audio-visual, diibaratkan oleh Kuntowijoyo sebagai “Muslim tanpa masjid” bahkan di dalam tradisi Sufi dikenal ungkapan “Man la syaikha lahu fa asy-syaithan syaikhun lah.” Kitab-kitab klasik dalam dunia pendidikan Islam seperti Ta’lim al-Muta’allim karya Az-Zarnuji (w. 591/1195) dan Tazkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim karya Ibnu Jamaah (639-723/1241- 1325) menempatkan arti penting guru dalam pendidikan siswanya.
Setelah guru, metode pengajaran yang digunakan pada masa klasik Islam dengan membiasakan menghargai perbedaan pendapat, mengikuti dan mempelajari mazhab/aliran pemikiran tertentu yang masih berada dalam koridor agama dengan tidak fanatik,16 menempatkan wahyu dan akal secara proporsional, serta terdidik di dalam kehalusan budi dan batin di dalam akhlak/tasawuf, telah menjadi bukti dalam sejarah bagi perkembangan Islam yang toleran dan damai.
RAMADHAN DAN ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN
Ramadhan adalah bulan penggemblengan spiritual dan pengendalian nafsu sehingga akan melahirkan insan bertakwa yang memiliki sifat kasih sayang, sesuai dengan misi Nabi Muhammad saw sebagai pembawa ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin.
Makna “Islam Rahmatan lil ‘Alamin” adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta.
Rahmatan lil’alamin adalah istilah qurani dan istilah itu sudah terdapat dalam Alquran, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al- Anbiya’ ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٧﴾
Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Ayat tersebut menegaskan bahwa ajaran Islam yang dipahami secara benar akan mendatangkan rahmat untuk semua orang, baik Islam maupun non muslim, bahkan untuk seluruh alam. Islam tidak membenarkan ada diskriminasi karena perbedaan agama, suku, ras, dan bangsa. Itu tidak boleh dijadikan alasan untuk saling berpecah belah. Seorang muslim mempercayai, bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Perbedaan suku, bangsa, dan warna kulit, adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, dalam menciptakan dan mengatur makhluk-Nya.
Nabi mulia Muhammad saw bersabda :
يا أيها الناس، إن ربكم واحد وأباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا أسود على أحمر، ولا أحمر على أسود إلا بالتقوى
Artinya : “Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu, dan ayah kalian satu (Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. (Musnad Ahmad, hadis nomor 22391).
Dengan demikian perbedaan harus dianggap sebagai rahmat kasih sayang Allah bagi makhluk karena dengan perbedaan maka kita bisa saling melengkapi. Perbedaan tidak boleh dianggap bahaya dan ancaman yang harus dihilangkan tapi dikelola dengan bijak sebagai modal agar tercipta keragaman yang damai, tenteram dan saling menghargai.
Oleh karena itu Allah swt menegaskan demikian dalam QS. Ar-Rum : 22
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa kalian dan warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Demikianlah pandangan orang mukmin seharusnya terhadap umat manusia. Tiada perasaan kebanggaan tentang nasab, tempat kelahiran, tidak ada perasaan dengki antara kelompok satu dengan yang lain, antara individu satu dengan yang lain dan yang ada hanyalah perasaan cinta kasih, persamaan dan persaudaraan. Karena Islam memang agama yang menyebarkan benih-benih kasih sayang, cinta dan damai.