Hierarkhi Kekuatan Pengeleakan (Pangiwa)
Kekuatan Pengeleakan (Pangiwa) dalam konteks Bali merujuk pada ilmu hitam atau kekuatan supranatural yang diasosiasikan dengan leak. Leak, dalam mitologi Bali, adalah manusia yang mempelajari ilmu hitam untuk mendapatkan kekuatan supranatural dan biasanya beroperasi pada malam hari. Mereka diyakini bisa berubah bentuk menjadi berbagai binatang atau bahkan terbang sebagai kepala dengan organ tubuh yang masih menggantung, mencari mangsa seperti wanita hamil untuk mengisap darah bayi.
Beberapa hal penting tentang Pangiwa (Kekuatan Pengeleakan) :
1. Ilmu Hitam
Pangiwa adalah istilah yang digunakan untuk menyebut ilmu hitam atau kekuatan gaib yang diasosiasikan dengan leak.
2. Leak.
Leak adalah makhluk mitologis dalam budaya Bali yang diyakini memiliki kekuatan supranatural dan bisa berubah bentuk menjadi berbagai wujud.
3. Pangiwa dan Penengen.
Pangiwa (aliran kiri) dan Penengen (aliran kanan) adalah dua sisi dalam kepercayaan masyarakat Bali. Pangiwa dikaitkan dengan kekuatan yang bisa digunakan untuk tujuan negatif, sementara Penengen untuk tujuan positif seperti penyembuhan.
4. Rangda.
Dalam mitologi Hindu, Rangda adalah sosok pemimpin leak atau kekuatan sihir. Ia divisualisasikan dengan wujud yang menyeramkan.
5. Tujuan.
Ilmu Pangiwa/Leak bisa digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk melindungi diri, mencari kekuatan, atau bahkan menyakiti orang lain.
6. Tingkatan.
Ada tingkatan dalam ilmu Pangiwa, seperti Ajian Leak Bangke Maong yang dianggap sebagai ilmu tingkat atas, dan ada juga tingkatan lain yang lebih rendah.
7. Penerapan dalam Budaya.
Penggunaan ilmu Pangiwa juga ditampilkan dalam pertunjukan Wayang Calonarang, di mana pengundang leak dihadirkan untuk menciptakan suasana dramatis dan mistis.
8. Penting untuk dicatat.
Meskipun Pangiwa terkait dengan kepercayaan dan mitologi Bali, penting untuk membedakan antara kepercayaan tradisional dan praktik yang mungkin merugikan.
Pangiwa-Leak (Siddhi-sakti Yang Disalah Gunakan)
Pangiwa dan Panengen dua jalan mistik Tantra di Bali. Pangiwa dari kata "kiwa" yang artinya kiri dan Panengen dari kata "tengen" yang artinya kanan. Jadi Pangiwa-Panengen merujuk pada dua jalur dalam tradisi Tantra di Bali, yakni jalur kiri dan jalur kanan. Pangiwa sebagai jalur kiri diidentikan dengan ilmu Leak di Bali. Sebab jalur ini dalam praktiknya lebih kepada penggunaan daya-daya magis (siddhi) dan Sakti.
Oleh karena itu, Pangiwa dan Leak sendiri sering dikonotasikan sebagai ilmu kiri yang dalam perkembangannya diidentikan dengan hal-hal yang buruk dan jahat. Padahal, jalan Kiwa maupun Leak itu sendiri adalah jalan mistik untuk pelaku mampu mencapai puncak kemanunggalan dengan Paramasunya.
Siddhi dan Sakti dalam Tantra dipandang sebagai energy atau power (kekuatan). Siddhi dan sakti dicari adalah semata-mata untuk menggerakan Siwa sebagai kesadaran agar mampu menembus dinding-dinding keakuan. Tanpa ada Siddhi-sakti "kesadaran" akan pasif (lembam), dan tidak akan mampu meghancurkan segala keterikatan diri. Bukan saja terikat akan materi, tetapi keterikatakan yang disebabkan oleh ketakutan, kecemasan akan kematian, kehilangan, sakit, usia tua dan yang lainnya.
Namun, banyak penekun justru terjebak sebagai penikmat siddhi-sakti. Sehingga mereka mengkultuskan siddhi-sakti sebagai tujuan akhir. Padahal semua itu hanya efek kecil dari praktik Kiwa-Leak yang mereka pelajari. Seyogyanya kekuatan itu hendaknya dijadikan "alat" untuk melakukan transformasi diri. Maka mereka yang mengkultuskan "siddhi-sakti" disebut dengan "Nesti atau Desti". Sehingga ada perbedaan antara "Nesti" dengan Leak. Orang yang nesti inilah sering menggunakan kekuatan Siddhi-sakti untuk hal-hal yang kurang terpuji. Dan, mereka yang begitu bukan penekun ilmu Kiwa-leak sesungguhnya, tetapi pemuja kenikmatan siddhi-sakti. Untuk itu, marilah belajar Kiwa-Leak dengan sungguh-sungguh menjadikan Siddhi-sakti tersebut sebagai kekuatan untuk menghancurkan segala Avidyamaya. Sebagaimana kekotoran hanya dapat disentuh dengan kekotoran, pun sebaliknya yang suci hanya dapat disentuh dengan kesucian. Maka, tak ada bedanya keduanya itu.
Tingkat Pengleakan dari rendah ke tinggi :
1. Pengleakan I Cambra Brag
2. Rerajahan I Cambra Brag
3. Pengleakan Beligo Putih
4. Pengleakan Bojog Putih
5. Pengleakan Siwa Bende
6. Pengleakan Babi ngepet (Dadi Bangkung)
7. Pengleakan Pudak Setegal
8. Pengleakan Jaka Tunggul
9. Pengleakan Sang Hyang Aji Kreket.
10. Pengleakan Sampian Mas
11. Pengleakan Cicing selem (belum pernah lihat lontarnya hanya omongan masyarakat).
12. Pengleakan Cicing Bengil (belum pernah lihat lontarnya hanya omongan dari masyarakat).
Pengleakan Pangiwa Wariga Kanda Catur Winasa Sari.
Pangiwa Wariga Kanda Catur Winasa Sari
Cara Membuat Sabuk Pengleakan / Penglatih / Pengarad / Pengeger.
Didalam membuat sabuk dalam hal ini sabuk bersifat / mengandung tenaga gaib yang perlu diperhatikan adalah dasar dari bahan sabuk itu, ada 3 ketentuan dasar didalam membuat sabuk sebagai dasar yaitu :
1. Dasar sabuk dari bahan dasar kertas, daun lontar dan yang sejenisnya, biasanya didalam rerajahan yang akan digambar sudah ditentukan bahwa dasar rerajahan ini harus dibuat dari bahan kertas/daun lontar. Pada umumnya rerajahan ini termasuk kelas nista paling rendah, bukan berarti kelas rerajahan ini dihanggap remeh karena kekuatan sesuatu sabuk ditentukan oleh banyak hal seperti; orang yang membuatnya (kekuatan bathin orang yang membuatnya), saat dibuatnya sabuk itu (dauh), saat pasupati sabuk itu (paling tidak kajeng kliwon), kelengkapan upakara pasupatinya, tempat dimana dipasupati (Pura merajapati bagus) dan factor lainnya.
2. Dasar sabuk dari bahan dasar kain putih/hitam, didalam rerajahan sudah ditentukan bahwa rerajahan ini dibuat dengan dasar kain seperti rerajahan pengasih-asih, penolak desti, penglatih, pengeger dan lainnya. Ini termasuk rerajahan kelas madya/menengah, biasanya untuk lebih mantapnya tetap diisi pedagingan berupa logam yang disebut suwasa bahannya campuran logam besi (wisnu), tembaga (brahma), perak (iswara), sedikit/disepuh emas (mahadewa) kemudian dipipihkan sampai tipis sebesar korek kayu, baru diatasnya dirajah gambarnya, biasanya dirajah dengan gunting kecil yang ujungnya tajam kalau dengan pisau tidak mempan karena logam keras baru dibungkus dan dijarit dengan kainnya yang sudah dirajah dengan gambar yang sama baru dipasupati oleh yang membuat atau nabenya setiap kajeng kliwon selama 3 kali.
3. Dasar sabuk dari bahan dasar logam, biasanya logam yang dipakai adalah logam mulia seperti emas yang dipipihkan tetapi tetap diisi logam lainya sebagai prasyarat kanda pat dewa seperti besi/hitam (wisnu), tembaga merah (brahma), perak/putih (iswara), emas/kuning (mahadewa). Ini termasuk rerajahan kelas utama. Rerajahan ini tidak perlu dibungkus dengan kain/kertas cukup dibuatkan tempatnya sabuk dari kain atau dompet kecil dari kain. Lebih bagus lagi rerajahan ini hanya dalam bentuk tulisan dewa nagari bukan rerajahan gambar dengan tulisan krakah griguh aji modra, ini akan menambah kekuatan gaibnya biasanya dari emas 22-24 karat dan dipasupati setiap kajeng kliwon selama 3 kali baru dipakai.
Imajiner Nuswantoro