Babagan Bhairawa Tantra
Bhairawa Tantra merupakan bentuk sinkretisme dari Siwa-Budha dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa.
Aliran kuno yang pernah hidup di dalam msyarakat nusantara khususnya dalah masyarakat jawa yang terkenal dengan istilah nama Bhairawa Tantra. Aliran ini adalah sekte kebalikan dari ajaran Hindu yang menyatakan, untuk mencapai nirwana, manusia harus meninggalkan sisi keduniawian. Mereka menolak menyembah langit atau Tuhan untuk mencapai nirwana dan memilih menyembah Dewi Bumi. Dalam beberapa media baca disebutkan bahwasannya di Jawa saat itu sudah ada Kerajaan Kalingga yang dipimpin Ratu Shima yang dimana wilayah kekuasaannya dari Jepara hingga Dieng. Banyak dari penduduknya menjadi penganut Bhairawa Tantra, yakni paham yang percaya bahwa mengumbar hawa nafsu dapat mengantarkannya ke nirwana (surga)
Ajaran Bhairawa Tantra sebenarnya bukan merupakan sempalan dari penganut ajaran Hindu dan Budha. Meski demikian, jumlah mereka terus bertambah dan ajarannya berkembang pesat di masyarakat. Aliran tersebut juga tertutup pada pendatang yang membawa ajaran baru, termasuk sangat tertutup saat datangnya ulama dari daerah Timur Tengah yang ingin menyebarluaskan islam di tanah jawa ini. Jika mereka tau akan keberadaan ada orang baru di wilayahnya mereka langsung dimakan untuk ritual Bhairawa Tantra. Darahnya diminum, dagingnya dimakan. Hal ini yang mengakibatkan ajaran baru sulit masuk ke Jawa, karena orang-orangnya dikenal sangat sakti dari hasil menjalani ritual menyimpang.
Ada beberapa pendapat dan spekulasi yang menyatakan bahwa mereka adalah hasil dari pecahan Hindu Ciwa dan bertemu dengan pecahan Budha aliran Mahayana. Mereka menggelar ritual menyimpang di suatu tanah padang, yang dimana tanahnya terdapat tumpeng dan lauk berupa daging manusia dari seorang perawan yang belum masuk masa haid. Sementara minumannya adalah arak. Usai ritual itu mereka melakukan persetubuhan massal. Ritual tersebut sangat kuat di tengah masyarakat jawa, hingga pada abad 8-14 Masehi, China, Ulama timur tengah dan Arab kesulitan masuk Jawa dikarenakan hal tersebut. "Wali Songo masuk dengan melakukan pendekatan budaya atau kultural, misalnya oleh Sunan Bonang. Beliau ini yang memburu Bhiarawa Tantra. Pertarungan budaya antara Sunan Bonang dengan Bhairawa Tantra ini terlihat di Kediri tepatnya di daerah Pagu Pamenang yang disana mereka menyembah patung Totok Kerot.
Masih banyak misteri dan rahasia yang terkandung dalam Tantra. Namun, yang tidak semua anggota sekte atau kelompok yang mengetahui kebenaran ajaran tersebut. Dalam beberapa catatan sejarah mengatakan bahwasannya Sekte Bhairawa berasal dari Kerajaan Benggala Timur, India pada abad Ke-6. Dalam perjalanannya, sekte ini menyebar ke wilayah Tibet hingga ke Asia Tenggara. Sekte Bhairawa dikenal sebagai sekte rahasia, dan sekte ini memiliki cara yang berbeda dalam mencapai Moksa. Pada Prasasti Suroaso yang berangka tahun 1297 ini, memaparkan dengan jelas segala aktivitas sekte Bhairawa, khususnya di Nusantara. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa Raja Adityawarman diangkat sebagai Ksetrajnya. Ksetrajnya memiliki arti ia yang tertinggi atau ia yang telah mencampai kebebasan jiwa tertinggi.
Para ahli dan pakar sejarah juga menyebutkan bahwa Tantra Bhairawa adalah sekte rahasia dari sinkretisme antara agama Budha aliran Mahayana dengan agama Hindu aliran iwa. Sekte ini muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah timur. Dari sini kemudian tersebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada dasarnya Pengikut sekte Bhairawa Tantra selalu berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka ini adalah anti asketisme dan anti berpikir.
Menurut para pengikutnya pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuan ini secara penuh memanjakan kenikmatan hidup dengan tanpa mengenal kekangan moral dengan puncaknya adalah untuk melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut. Oleh karena itulah, pengikut ajaran ini justru melakukan ritual-ritual tertentu yang bagi selain mereka dianggap sebagai larangan. Hal ini sebagai usaha agar manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia dan sangat mengerikan, yaitu menjalankan Pancamakarapuja ataumalima (lima Ma) dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.
Bhairawa / Bhairava / Dewa Shaivite / Vajrayāna / Bhairo atau Bhairon atau Bhairadya
Bhairava (Sansekerta: भैरव artinya menyala, menakutkan), atau Kala Bhairava, adalah dewa Shaivite dan Vajrayāna yang disembah oleh umat Hindu dan Buddha . Dalam Shaivisme, dia adalah manifestasi atau avatar Siwa yang kuat. Dalam tradisi Shaivisme Kashmir, Bhairava mewakili Realitas Tertinggi, identik dengan Para Brahman.
Bhairawa (bahasa Sanskerta: भैरव, maknanya Mengerikan atau Menakutkan, kadang disebut Bhairo atau Bhairon atau Bhairadya, adalah salah satu perwujudan Siwa dalam bentuk yang menakutkan, dihubungkan dengan tindakan pemusnahan atau pembinasaan.bDia adalah salah satu dewa terpenting di Rajasthan dan Nepal, disucikan oleh umat Hindu.
Bhairawa digambarkan berhiaskan belitan ular yang dikenakan sebagai anting, gelang, gelang kaki, dan tali kasta (yajnopavita). Ia mengenakan cawat kulit harimau dan berhiaskan rangkaian tengkorak manusia. Bhairawa memiliki seekor serigala sebagai wahana (kendaraan).
Bhairawa adalah salah satu bentuk ugra atau ghora dari Siwa. Dalam wujud Bhairawa, Siwa mempunyai bentuk yang demonik, cirinya adalah mempunyai taring. Kadang-kadang Bhairawa bahkan digambarkan tanpa busana dan memakai perhiasan yang seram, berbentuk tengkorak dan ular.
Ada pendapat bahwa Kepala Bhairava adalah sebuah topeng yang berasal dari Periode Malla di Nepal. Patung ini ditemukan di Lembah Kathmandu, Nepal.
Ajaran Bhairawa Tantra Merupakan Ajaran Sinkretisme Agama Tertentu
Banyak cerita beredar seputar bentuk- bentuk ritual kuno di wilayah lereng Merapi. Salah satunya adalah ajaran Bhairawa Tantra, yang merupakan bentuk sinkretisme dari agama tertentu.
Awalnya keyakinan ini hanya berkembang di penggede, punggawa / raja politis Keraton saja dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu, sehingga kecenderungan jiwa akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut.
Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab, bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (Jakarta-Groningen: J.B. Wolter, 1953:89).
Bhairawa Tantra muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah timur. Dari sini, lalu tersebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Cabang yang lain tersebar ke arah timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Selain di Jawa, sekte ini juga menyebar di Sumatra serta berangsur-angsur bersatu dengan tenung dan kepercayaan pada kanibalisme. Seorang raja terkenal dari kerajaan Melayu kuno, diceritakan menerima pelantikannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, dan menghadap korban manusia yang menebarkan bau busuk.
Akan tetapi, semua ini bagi Adityawarman sangat semerbak baunya. Pengikut sekte Bhairawa Tantra berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka adalah anti asketisme dan anti berpikir.
Selain di Jawa, sekte ini juga menyebar di Sumatra serta berangsur-angsur bersatu dengan tenung dan kepercayaan pada kanibalisme.
Menurut mereka, pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuan secara penuh memanjakan kenikmatan hidup dengan tanpa mengenal kekangan moral ini puncaknya adalah untuk melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut.
Bentuk ritual sekte ini meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual ma-lima terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga kerasukan), dan maithuna (seks bebas). (Lihat, HM Rasjidi, Islam dan Kebatinan. (Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia, 1967, juga R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Yogyakarta: Kanisius, 1988).
Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Lihat, Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2006:253, 448).
Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan di tempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme.
Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2010:347).
Praktik mistis lain yang masih eksis di lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin upacara. (Majalah Liberty, 11-20/1/2008).
Ritual ini juga masih memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah sekitar Merapi, bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat ditemukan. Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih dapat ditemui di Bon Bimo.
Namun di tempat petilasan itu saat ini telah didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat. Konon, berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi altar penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo itu mengeluarkan suara tangisan di malam hari.
Saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi altar penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo itu mengeluarkan suara tangisan di malam hari.
Banyak penduduk sekitar bisa mendengarnya. Namun masyarakat setempat kini telah memilih Islam dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu. Tradisi ritual semacam ini tentu saja sudah ditinggalkan masyarakat sekitar lereng Merapi.
Sebagian besar mereka kini memeluk agama Islam. Bahkan, tradisi-tradisi sesudahnya, seperti penanaman kepala kerbau juga berangsur ditinggalkan oleh masyarakat. Pemahaman Islam telah mengubah persepsi mereka tentang makna ibadah dan kurban.
Ironisnya, kini dengan berlindung di balik slogan kearifan lokal ada pemerintah daerah setempat berupaya mengomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan. Dalam cara pandang ini kebudayaan dianggap sebagai sebuah bentuk stagnasi sebuah periode sejarah.
Kebudayaan ditempatkan sebagai objek mati yang statis dalam merespons perkembangan kebudayaan manusia. Padahal cara pandang ini sebenarnya sangat aneh sebab merupakan cara pandang lama yang telah banyak ditinggalkan.
Ironisnya, kini dengan berlindung di balik slogan kearifan lokal ada pemerintah daerah setempat berupaya mengomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan.
Van Peursen, pakar strategi kebudayaan, menyebutkan cara pandang terhadap kebudayaan hari ini telah bergeser, di mana setiap orang merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan. (Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Penerbitan Kanisius, 1976:12). Dengan kondisi budaya dan agama seperti itu, bisa dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh Wali Songo saat menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Mereka harus menyadarkan para pengikut Bhairawa Tantra. Melalui proses yang lama dan tidak mudah, ajaran sekte ini akhirnya ditinggalkan orang. Sisa-sisa ajaran Bhairawa Tantra memang masih bisa ditemukan pada sebagian individu. Hingga kini, Islamisasi di lereng Merapi terus berjalan meski harus berhadapan dengan Kristenisasi dan nativisasi.
Imajier Nuswantoro