FILSAFAT TIONGKOK KUNO
Filsafat Tionghoa yaitu filsafat yang ditulis dalam tradisi pemikiran orang Tionghoa. Sejarah pemikiran Tionghoa telah berlanjut selama beberapa ribu tahun di Tiongkok; sering dianggap bermula dari I Ching (Buku Perubahan), suatu bunga rampai peramalan kuno yang menggunakan suatu sistem 64 heksagram untuk menuntun gerakan. Sistem ini diciptakan oleh Raja Wen sekitar 1000 SM dan karya tersebut menggambarkan karakteristik pemikiran dan pendekatan filsafat Tionghoa. Buku Perubahan berkembang sedikit demi sedikit selama delapan masa seratus tahun berikutnya, tapi pustaka tercatat pertamanya yaitu pada 627 SM.
Filsafat Tiongkok merepresentasikan alur tradisi intelektual dan budaya Cina yang telah dimulai semenjak awal dicatatnya sejarah mereka hingga masa kini. Filsafat Tiongkok sangat dipengaruhi atau didasari berbagai ide yang digagas banyak tokohnya seperti Lao-Tzu, Confucius, Mencius, and Mo Ti, yang semuanya hidup pada masa paruh kedua dari Dinastu Zhou (abad ke-8 hingga ke-3 SM). Bisa dikatakan bahwa keseluruhan budaya Cina juga turut terbentuk, atau dibentuk, berdasarkan pengaruh dari para pemimpin intelektual ini.
Humanisme telah menjadi atribut paling utama dari filsafat Tiongkok. Karenanya, peran manusia dan fungsi atau tempat mereka dalam masyarakat juga selalu dan sejak awal menjadi fokus perhatian para pemikir Cina. Diskusi seputar masalah yang bersifat praktis, moral dan politis lebih disukai dibanding bahasan terkait spekulasi metafisik tersebab para filsuf Tiongkok cenderung mengulas topik duniawi (yakni, manusia dan dunianya).
Namun, kecenderungan di atas tidak untuk menyatakan bahwa bahasan atau ide metafisik lantas absen dari pemikiran para filsuf tersebut. Salah satu contoh dari naskah penting terkait metafisik dalam tradisi (pemikiran) Tiongkok adalah kitab Yi Jing (I-Ching, atau Kitab Pergeseran/Book of Changes) yang berisikan banyak petuah samar. Beberapa kalangan masyarakat Cina menggunakan kitab Yi Jing sebagai panduan dalam ilmu nujum. Juga diyakini bahwa siapapun yang mampu mengartikan pesan kitab tersebut, bakal mampu memahami semua hukum alam.
Dibanding menuangkan pemikiran mereka dalam bentuk prosa sistematis atau logis, para cendekia Tiongkok lebih menyukai format puitis. Mereka juga cenderung abai dalam menerapkan beragam aturan ketat dalam penulisan; namun lebih menuangkan gagasan dalam bentuk pedoman atau panduan (guidelines). Ini menjelaskan alasan banyak manuskrip atau naskah filsafat Tiongkok mengandung beragam aforisme (pernyataan singkat namun padat ragam makna), alusi (acuan pade sesuatu/seseorang) dan parabel (perumpamaan moral) dengan kecenderungan naskah biasanya bersifat gagasan tersirat atau memicu konstruksi ide (suggestive): makin terartikulasi atau jelas sebuah ungkapan, makin hilang ragam makna atau sifat sugestifnya. Karenanya, banyak petuah dan tulisan para filsuf Tiongkok terkesan samar hingga pemaknaannya hampir tak berpagar.
SEJARAH DAN PERADABAN
Sejarah pemikiran Tionghoa telah berlangsung selama beberapa ribu tahun di Tiongkok. Yang paling awal sering dianggap bermula dari I Ching (Buku Perubahan), suatu bunga rampai peramalan kuno yang menggunakan suatu sistem 64 heksagram untuk menuntun tindakan. Sistem ini diciptakan oleh Raja Wen sekitar 1000 SM dan karya tersebut menggambarkan karakteristik konsep dan pendekatan filsafat Tionghoa. Buku Perubahan berkembang sedikit demi sedikit selama delapan abad berikutnya, tetapi referensi tercatat pertamanya adalah pada 627 SM.
Zaman Musim Semi dan Musim Gugur dan Periode Negara Berperang menandai masa peralihan dalam sejarah Tiongkok ketika peraturan-peraturan lama dihapus tetapi juga tidak ada peraturan baru yang diciptakan. Dalam upaya untuk mempertahankan pengaruh kekuasaan, para penguasa yang baru mulai mencari cara agar bisa menemukan orang-orang yang cakap dan pandai Di dalam kondisi masyarakat yang kacau akibat perang saudara serta menguatnya persaingan politik, banyak orang yang mulai mencari cara bagaimana mengatasi masalah-masalah tersebut. Hal ini memungkinkan keluarnya pemikiran-pemikiran bebas dan munculnya berbagai sekolah-sekolah pemikiran (filsafat).
Dari periode Kaisar Kuning sampai akhir Periode Negara Berperang, terhitung telah mencapai 2000 tahun lebih. Dari periode ini lahir para pemikir (filsuf) yang muncul untuk mengajarkan teori-teori panduan mengenai kehidupan pribadi dan sosial. Mereka ini antara lain Kong Zi dan Meng Zi dengan Filsafat Konfusianisme, lalu Mo Zi dengan ajarannya sendiri, kemudian Lao Zi dan Chuang Zi sebagai pendukung Taoisme dan Han Fei-zi sebagai pengajar Filsafat Legalisme atau Fa Jia.
Keempat pemikiran tersebut sangat berpengaruh sepanjang sejarah Tiongkok. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian dipelajari serta dipraktikkan oleh para sarjana dan orang-orang Tionghoa pada zaman-zaman selanjutnya. Namun selama Periode Negara Berperang, sebagian besar para pemimpin yang sangat berhasrat mendapatkan hasil yang cepat dan praktis lebih suka mengadopsi pemikiran Legalisme.
Fondasi tradisi (pemikiran) Tiongkok telah dimulai di sepanjang 800-200 SM. Masa tersebut juga menyatakan periode pergeseran sosial politik dan kebangkitan intelektual besar-besaran di Cina. Periode antara 500-200 SM merupakan puncak (kebangkitan) yang sering disebut dengan Masa Klasik Filsafat Tiongkok. Pada masa ini, Cina menyaksikan rentetan peluruhan Dinasti Zhou yang mencapai akhir pada 256 SM atau bertepatan dengan keberhasilan pasukan (negara) Qin menguasai kota Chengzhou. Seiring makin purnanya Dinasti Zhou, makin tercerai juga kekuasaan pusatnya. Skenario ini mendorong perselisihan panjang yang dikenal sebagai Zaman Perang Antar-Negara (Warring States Period) manakala berbagai negara-bagian terlibat dalam perebutan kekuasaan dan penyatuan Cina (di bawah bendera mereka).
NEGARA-NEGARA BERPERANG TIONGKOK ABAD KE 3 SM
Pada sebagian besar masa dalam Dinasti Zhou, organisasi politik di Cina lebih menyerupai sistem feudal dengan raja dari keluarga istana Zhou bertindak sebagai tampuk pranata sosial dan membawahi ratusan pangeran yang masing-masing mengepalai sebuah negara bagian. Wilayah di tiap negara bagian selanjutnya dibagi menjadi beberapa perdikan (fiefs) dan masing-masing dikepalai seorang tuan-tanah (lord) feudal yang melapor kepada pangeran. Di bawah para tuan-tanah ini adalah para jelata yang tidak menjadi bagian dari aristrokasi. Sistem ini diperkuat dengan (metode) relasi keluarga yang menghubungkan semua penguasa tersebut dengan keluarga istana Zhou. Jika relasi keluarga tidak ditemukan, perkawinan diatur atau diadakan sebagai gantinya. Melalui sistem ini diharapkan para penguasa lokal akan menerima kemutlakan atau kedaulatan raja sebagai kepala sebuah keluarga maha-besar.
Tersebab sistem ini juga, pendidikan hanya bisa diakses para aristokrat dan membuat banyak kediaman para penguasa feudal menjadi pusat edukasi, sementara kaum jelata tidak mendapatkan akses mengenyam pendidikan formal semacam ini. Berbanding lurus dengan makin luruhnya Dinasti Zhou, makin banyak kaum aristokrat yang kehilangan tanah dan gelar mereka. Alhasil, banyak bekas pejabat pemerintahan dengan latar belakang ketrampilan dan pelatihan dari berbagai cabang pendidikan atau seni menjadi pengangguran dan terpencar di kalangan awam. Untuk bertahan hidup, banyak bekas pejabat ini yang menggunakan ketrampilan khusus mereka untuk mengajar dengan imbalan uang. Kondisi ini juga menyatakan kali pertama Tiongkok menyaksikan kelahiran para guru profesional yang berbeda (status) dengan pejabat pemerintah (atau sekarang lazim disebut swasta non-pemerintah-penerjemah).
ALIRAN FILSAFAT TIONGKOK UTAMA
Gompalnya tatanan sosial pada masa itu juga mendorong munculnya bermacam ragam rangkaian ide atau pemikiran manakala para pemikir Tiongkok berusaha menjawab atau menjelaskan tantangan sosial yang dialami masyarakatnya. Saking membludaknya rencahan pemikiran tersebut, sampai-sampai beberapa cendekia lampau menyebut masa ini dengan julukan Seratus Aliran filsafat. Sima Tan, sang Empu Astrologi pada masa pemerintahan Han yang hidup sekitar 165-110 SM, menulis ringkasan yang menggolongkan aliran pemikiran utama di Tiongkok kuno. Yang perlu diingat adalah daftarnya baru menyatakan sebagian dari aliran pemikiran yang saat itu aktif di masa Tiongkok kuno.
ALIRAN YIN DAN YANG (YIN YANG JIA)
Juga sering disebut Aliran Naturalis, aliran Yin dan Yang mengambil nama dari prinsip Yin-Yang yang menurut tradisi Cina diyakini sebagai dua prinsip dasar dalam kosmologi mereka: Yin, menyatakan sifat betina, dan Yang, jantan. Bagi masyarakat Cina, kombinasi dan interaksi dari dikotomi ini dipercaya melahirkan segenap fenomena semesta.
YIN DAN YANG
Bisa jadi aliran ini mungkin bersumber dari para pejabat pemerintahan yang mempraktikkan seni okultisme. Beberapa bentuk praktik gaib ini termasuk astrologi, pernujuman dan sihir. Semua rumah-tangga atau kediaman aristokrat bertumpu pada layanan pejabat yang dilatih khusus menguasai beberapa bentuk seni tersebut, termasuk para penguasa yang sering meminta konsultasi jasa mereka.
KONFUSIANISME
Filsafat Konfusianis didirikan oleh Kong Zi, kemudian dilanjutkan oleh Meng Zi. Pemikiran ini mementingkan pentingnya hubungan yang etis serta martabat seorang manusia. Konfusianisme merupakan awal mula dari humanisme Tionghoa. Dua buah ajaran penting Konfusianisme antara lain Ren dan Yi. Ren dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta akan sesama manusia, prinsip hubungan antar manusia. Yi dapat diterjemahkan sebagai kewajiban seseorang terhadap sesamanya. Dalam kata lain menurut Kong Zi jika seseorang dapat mencintai sesama dan memenuhi kewajiban kepada mereka, ia telah melakukan tugasnya dalam komunitas.
Konfusianisme menjelaskan tahap-tahap untuk menciptakan suatu masyarakat yang makmur. Proses itu dimulai dengan pengembangan diri sendiri yang berlanjut ke peraturan keluarga dan kehidupan bernegara, pendamaian dunia, serta penciptaan persemakmuran yang ideal. Konfusianisme menekankan pengajaran dan pengembangan di dalam sekolah dan lingkungan masyarakat tentang perilaku seseorang yang berbakti. Terutama yang terpenting adalah hubungan yang baik antara orang tua dan anak.
Konfusianisme (Ru jia).
Juga sering disebut dengan nama Aliran Cendekia atau Terpelajar (Literati), Konfusianisme pada awalnya disusun sebagai seperangkat doktrin moral dan politis dengan berlandaskan pada ajaran Konfusius (sebagian masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai “Kong Hu Cu atau Konghucu” - penerjemah). Pada perkembangannya, ajaran filsuf Meng Zi (Mencius) dan Xunzi (Xun zi) juga menjadi bagian dari aliran ini. Titik berat humanisme dalam filsafat Tiongkok sebagian besar berhutang pada besarnya pengaruh Konfusianisme. Pada sebagian besar masa sejarah Cina, Konfusianisme juga dianggap sebagai penjaga nilai-nilai tradisi Cina dan karenanya, sebagai wali (guardian) dari kebudayaan Cina itu sendiri.
Komentar Analek Konfusius.
Diyakini bahwa aliran ini berasal dari para pejabat pemerintahan yang berfokus pada pengajaran (tradisi) klasik serta pelaksanaan upacara dan musik tradisional. Setelah susah payah berkutat selama masa Dinasti Qin (221-206 SM), Konfusianisme muncul sebagai pemenang mutlak dan permanen di sepanjang dinasti berikutnya, Han (206 SM – 220 M). Tersebab dukungan dan lindungan dari penguasa Dinasti ini Konfusianime bakal mendominasi pemikiran Tiongkok selamanya.
Aliran Mohis (Mo jia)
Tokoh utama dari aliran ini adalah Mo Ti (Mozi, Mo Tsu atau Mo Di) dan sekaligus menjadi penentang (oposan) pertama dari Konfusius. Para pengikut aliran ini ditata dalam organisasi yang memiliki ikatan erat dan menerapkan norma disiplin yang ketat. Kontras antara Konfusius dan Mo Ti merupakan salah satu hal yang paling menarik dalam filsafat Tiongkok. Konfusius dikenal menaruh rasa hormat yang tinggi pada wujud tradisi (seperti institusi, ritual, musik dan sastra) dari jaman sebelum Dinasti Zhou serta mencoba merasionalkan dan membenarkan tradisi tersebut dalam pemaknaan etika. Mo Ti, sebaliknya, justru mempertanyakan keabsahan dan kegunaan tradisi tersebut, bahkan tidak segan menggagas nilai tandingan yang lebih sederhana namun, menurut hematnya, jauh lebih berguna. Karenanya, Konfusius sering dilihat sebagai penjaga, pemakul (yang merasionalkan) dan pembela tradisi lama, sementara Mo Ti adalah kritikus tradisi tersebut.
Kalangan spesialis militer yang aktif bertugas pada masa pemerintahan feudal Dinasti Zhou diyakini sebagai asal dari aliran ini. Disiplin ketat yang dipraktikkan para Mohis dan fakta bahwa pemimpinnya sering memiliki kuasa atas nyawa anggota aliran ini, bisa jadi merupakan peninggalan (relik) dari biang militer aliran ini. Seiring para tuan-tanah feudal kehilangan lahan/wilayah, banyak tentara juga kehilangan pekerjaan dan menjadi serdadu-kelana. Karena para serdadu ini biasanya direkrut dari kalangan jelata, tipikal nilai ajaran Konfusianisme (ritual dan musik) menjadi kurang bermakna bagi mereka. Kondisi ini mungkin juga bisa membantu menjelaskan prilaku negatif yang sering dilontarkan atau dirasakan golongan Mohis terhadap nilai-nilai Konfusianisme.
Aliran Asma (Ming jia).
Terkadang diacu sebagai “para bijak (sophists)” atau “logikawan”, aliran ini memusatkan perhatian pada relasi antara ming (nama atau atribut) dan shi (aktualita), atau mirip dengan hubungan subjek dan predikat. Para anggotanya dikenal sangat solak menuntun diskusi apapun menuju problematika paradoks. Mereka juga sangat tanggap berdebat-kusir dengan orang lain, dan seringnya sengaja membenarkan apa yang disangkal orang lain atau menyangkal yang dibenarkan orang lain.
Sebuah cerita-sohor dari buku yang ditulis Gongsun Long (Kung-Sun Lun), seorang anggota aliran Asma, menggambarkan jenis paradoks yang sengaja dibuat pakar logika aliran ini ketika mempraktikkan kekancilan intelektual mereka :
[…] suatu hari ketika sedang duduk di pelana, dia [Gongsun Long] dihentikan seorang penjaga gerbang yang kemudian memberitahu bahwa kuda dilarang melewati gerbang. Kung-sun [Gongsun Long] sontak membantah, “Ini kan kuda putih, bukan cuma kuda!”
(Hucker, 74).
Agak susah untuk mengenali asal usul aliran ini, pun cenderung sukar membedakannya dengan aliran filsafat lain: jejak pemikiran aliran Asma kurang berpengaruh dalam sejarah Cina dan opini dari berbagai anggotanya juga tidak menyatakan satu landas-pikir yang homogen. Beberapa pakar meyakini bahwa aliran ini berasal dari para 'ahli debat' yaitu para pejabat pemerintahan yang mumpuni dalam berseni wicara.
Aliran Legalis (Fa jia).
Kata fa bermakna rumusan atau hukum. Aliran ini karenanya mengkhususkan diri membahas apa yang harus dilakukan dan bagaimana masyarakat sepatutnya atau tidak sepaturnya bertindak untuk menjamin kemakmuran negara. Karena aliran ini sama sekali mengabaikan pertimbangan moral dan keberadaannya kadang dianggap sebagai tentangan atas pemikiran Konfusius yang sangat peduli akan nilai-nilai moral. Dari sudut pandang aliran Legalis, institusi moral bukan pedoman yang baik bagi masyarakat serta pemerintahan yang baik sudah sepatutnya dan sepenuhnya berlandaskan kemutlakan undang-undang beserta pelaksanaannya.
Perutusan Dinasti Qin tentang Plakat Perunggu.
Sepanjang masa Dinasti Qin (221-206 SM), aliran ini ditetapkan sebagai dasar kebijakan resmi kerajaan dan mencapai puncak ketenarannya. Nama baik aliran Legalis banyak tercemari akibat seringnya sejarawan Cina pada masa sesudahnya menyandangkan reputasi buruk pada para penguasa Qin, termasuk tuduhan beragam aksi kebrutalan yang dilakukan penguasa Dinasti ini.
Sebelum Dinasti Zhou beranjak luruh, masyarakat feudal memberlakukan dua jenis undang-undang atau tata-laku pada saat itu: hukum kepatutan tak tertulis yang mengatur prilaku kaum aristokrat dan aturan pidana yang mengatur kaum jelata. Aturan pidana atau hukuman ini digunakan para penguasa untuk menjamin kepatuhan rakyatnya. Karenanya, aliran Legalis banyak diyakini berasal dari para pejabat pemerintahan yang bertanggung jawab mengatur atau mengelola hukum atau tata-laku tersebut.
Taoisme (juga Daoisme atau Dao jia).
Seiring runtuhnya Dinasti Zhou, muncul satu pihak yang berubah skeptis terhadap kemampuan para penguasa dan masyarakat sendiri dalam mengatasi kekalutan yang makin menjadi, terlebih lagi mengembalikan ketentraman. Keraguan ini mendorong mereka membanting haluan menjadi pertapa dan pemencil yang sengaja mundur dari masyarakat dan menjalani hidup sederhana dalam kesendirian mereka. Beberapa pakar meyakini bahwa efek samping dari prilaku pemencilan inilah yang menyumbang perkembangan Taoisme. Aliran tersebut banyak menentang ide-ide Konfusius melalui gagasan yang berfokus pada kehidupan individu berbanding kewajiban bermasyarakat serta kerohanian berbanding duniawi. Pada kenyataannya, banyak teks Konfusianisme sendiri yang mencatatkan beragam episode manakala para pemencil ini bakal mengejek Konfusius dan kesia-siaan upayanya (dari sudut pandang para pertapa tersebut tentunya) untuk memperbaiki masyarakat. Jalan hidup aliran Tao berpedoman pada kesederhanaan, spontanitas, serta non-aksi atau kenihilan tindakan (dalam arti, membiarkan alam bekerja dengan sendirinya).
Konfusius, Buddha dan Lao-Tzu.
Filsafat Taoisme berpusat pada konsep yang susah didefinisikan yaitu Tao (Dao) atau Jalan. Wing-tsit Chan menjelaskannya sebagai “sang Eka, yang alami, abadi, spontan, tak-berasma dan tak-terperikan”.
Karya paling utama dari tradisi ini adalah Laozi (Lao Tzu) atau Daodejing (Tao Te Ching) dan terkadang diterjemahkan sebagai Klasika Jalan dan Kemumpunian (Classic of the Way and of Virtue). Tradisi Taois memberikan kredit penciptaan naskah ini kepada Lao Tzu, figur seangkatan namun lebih tua dari Konfusius, akan tetapi banyak pakar pada masa kini yang lebih meyakini bahwa karya tersebut merupakan kolaborasi dari banyak pengarang.
Pemikiran Mo Zi
Pemikiran Mo Zi atau Mojia, dalam Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Mohisme, menekankan rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang menderita akibat peperangan. Ia menganjurkan agar dihentikannya peperangan antar negara dan agar rakyat dapat hidup damai. Ia merupakan penganjur kehidupan yang sederhana dan menentang bentuk kehidupan yang penuh dengan kemewahan.
Taoisme
Pemikiran Taois yang bersifat naturalisme diajarkan oleh Lao Zi dan Chuang Zi. Mereka percaya bahwa semua penderitaan manusia diakibatkan oleh kebodohan mereka sendiri. Orang-orang harus hidup dalam kedamaian penuh tanpa aksi, mencocokkan hidup mereka dengan jalannya alam yang alami. Jika mereka dapat hidup menurut aturan alam, mereka tidak perlu khawatir tentang semua hal dan semua masalah dapat diatasi tanpa banyak upaya. Metode ini disebut kaum Taois sebagai “aksi dengan tanpa aksi”.
Pemikiran Han Fei-zi
Pemikiran Han Fei-zi dinamakan juga Filsafat Legalis (Fa Jia). Ia mengajarkan tentang pengejaran hasil yang bersifat material dan nyata. Kepada para penguasa ditanamkannya upaya untuk mengejar prestasi dari orang-orang yang memiliki jabatan pemerintahan dan membagikan hadiah dan hukuman dengan tegas. Efisiensi dalam pemerintahan merupakan hal yang diutamakan dan kadang-kadang harus mengambil cara apapun untuk mencapai hal tersebut.