RELEVANSI ANTARA FILSAFAT STOIKISME, ISLAM DAN JAWA
Aliran filsafat dari 300 SM itu disebut sebut mempengaruhi ajaran agama yang lahir sesudahnya, khususnya Kristen dan Islam. Dan masih relevan dengan kehidupan di hari ini.
Stoikisme menarik perhatian kaum Urban, warga perkotaan, yang sedang depresi dan frustasi menghadapi keruwetan hidup sehari-hari yang tidak bisa diubah.
Stoikisme tidak menawarkan penyelesaian keruwetan itu. Melainkan mengubah cara pandang terhadap keruwetan itu sehingga bisa diterima, dan hidup kita menjadi normal.
Ajaran paling mendasar dan paling populer sekaligus mudah dipraktikkan dari aliran Stoikime adalah Dikotomi Kendali, yaitu kita tidak dapat mengendalikan apa dan bagaimana sesuatu terjadi. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita beraksi terhadap apa yang terjadi.
Tiga tokoh filsuf Stoa terdiri dari Kaisar (Marcus Aurelius), Pejabat Publik, Penulis Buku (Seneca) dan Budak (Epictetus). Dengan jabatan dan posisi mereka yang berbeda bahkan bertolak belakang ternyata mereka memiliki kesamaan, yaitu sama sama memiliki keterbatasan dan tidak bisa mengendalikan semua hal. Banyak mengalami hal hal di luar kendali mereka.
Menurut Epictetus, tugas utama dalam hidup adalah mengenali dan memisahkan hal-hal eksternal yang tidak di bawah kendali saya, dan yang berkaitan dengan pilihan yang benar-benar saya kendalikan.
Reinhold Niebuhr, seorang teolog Protestan dari Amerika, kemudian menerapkannya, dalam Doa Serenity; Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa kuubah,dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.
Di mata kaum Stoa, Sang Ilahi (Logos Universal) adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional. Senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah ilahi atau Logos.
Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia. Seorang Stoik (pengikut Stoikisme) dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Pasrah, tawakal dalam terminolofi Islam.
Dengan point-point itu, Stoikme ternyata sejalan dengan falsafah hidup orang Jawa.
Pendekatan stoikisme itu sederhana, kendalikan diri kita mendekati sesuatu dengan menjaga emosi tetap terkendali. Jika melakukannya dengan benar, kita akan dapat menavigasi situasi yang kompleks dengan cara yang logis, tenang, dan bahagia. Tapi sayangnya hidup juga tak lepas dari kemarahan, kebencian, dan kesedihan yang sering kali menerobos batas pengendalian diri.
FILSAFAT STOIKISME
Stoikisme adalah aliran filsafat Yunani kuno yang dicetuskan oleh Zeno pada awal abad ke-3 SM. Beda halnya dengan aliran filsafat lain yang dipenuhi oleh ide yang kompleks nan rumit, stoikisme lebih menekankan pada usaha dan praktik dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan utama pengendalian diri.
Agar bisa mampu mengendalikan diri, kita perlu membedakan sesuatu menjadi apa yang tergantung pada diri sendiri dan apa yang tidak tergantung pada diri sendiri. Juga memahami bahwa sesuatu dikatakan baik atau buruk tergantung dari penafsiran jiwa. Dengan berpikir stoic, kita akan melihat sesuatu dengan kacamata yang lebih luas. Karena seorang stoa bisa mengubah penilaiannya terhadap sejumlah hal.
Tak dapat dimungkiri jika kita seringkali marah, kesal, dan khawatir terhadap hal-hal yang sepele. Misalnya, beberapa dari kita merasa kesal karena sering ditanya kapan nikah, kapan wisuda, dan kapan-kapan lainya yang sering terlontar tatkala lebaran tiba.
Rasa kesal itu bisa diatasi atau setidaknya diminimalisir dengan berpikir ala kaum stoa yang sangat mengandalkan pikiran atau nalar untuk mengobati batin yang sakit.
Kaum stoa berkeyakinan bahwa pikiran positif akan menghasilkan kebahagiaan dalam ketenangan. Pikiran positif pada hakekatnya akan membebaskan seseorang dari emosi negatif yang lahir dari kesalahan bernalar. Sebab kita tidak bisa memilih situasi yang terjadi tetapi kita selalu bisa menentukan sikap atas situasi yang dialami. Ide utamanya adalah memahami apa yang ada dalam kendali dan apa yang tidak.
Stoicisme atau Stoikisme bukanlah kepercayaan agama melainkan aliran filsafat yang membantu Anda mengendalikan emosi negatif untuk menerapkan kebahagiaan serta rasa syukur.
Filosofi Stoikisme sebagai salah satu hal yang sekarang banyak dianut oleh masyarakat untuk memperoleh pola pikir lebih sehat.
Menurut teologi, Stoicisme tidak tumpang tindih dengan kepercayaan atau agama apapun, termasuk Islam. Sebab Islam sendiri mengajarkan tawakal, muallaq, mubram jadi tidak berbenturan.
Definisi Stoicism begitu kompleks sebab cakupannya sangat luas karena cara hidup yang mengutamakan dua hal antara dimensi internal dan eksternal.
Dimensi internal ialah segala sesuatu yang berada dalam kontrol penuh seperti etos kerja, loyalitas, profesionalitas, suara, semua berada di bawah kendali penuh.
Sementara dimensi eksternal ialah hal yang berada di luar kontrol yang sama sekali gak bisa anda kendalikan, misalnya pendapat orang lain, respon seseorang.
Problemnya kebanyakan manusia mengaitkan aspek kepuasan dan kebahagiaan pada dimensi eksternal yang gak bisa dikendalikan.
Stoikisme hadir untuk menyadarkan kita bahwa aspek kebahagiaan dan kepuasan bisa dipindahkan dari dimensi eksternal ke internal yang menjadi fundamental dari ajaran filsafat ini.
Mayoritas orang, seakan akan hidup itu soal gimana kita diakui orang dan gimana kita dilihat orang, dan Stoicisme ialah obat paling manjur untuk menghadapi kemajuan era media sosial.
Belajarlah untuk gak masalah dianggap orang gagal, dan itu sesuai yang diajarkan Sayyidina Ali sebab Stoicisme membantu menciptakan kebahagiaan dan ketenangan.
Penganut Stoikisme dikenal sebagai Stoik, punya arah supaya punya jiwa yang semakin tenang menghadapi segala hal di luar kendalinya.
Stoikisme mendidik metode untuk selalu tenang terlebih saat menghadapi kondisi susah atau tidak terduga. Tujuan penting dari stoikisme ialah pengendalian diri. Sekarang Stoik percaya bahwa mereka dapat mengatur perasaan pada sesuatu keadaan, tapi mereka memegang kendali.
Seorang Stoic hanya dapat memastikan bahwa sikap dan tindakannya seirama dengan yang diperlukan. Semakin seseorang mencoba mengontrol apa yang di luar kendali, maka jadi kian frustasi.
Filsafat Stoikisme bakal bikin seseorang jadi tidak resah dengan yang berada di luar kontrol mereka, seperti penafsiran orang lain dan respon orang lain terhadap mereka.
AJARAN YANG LEBIH SEMPURNA DARI STOIKISME
Baru baru ini, istilah stoikisme populer di tengah-tengah masyarakat. Diperbincangkan dalam podcast-podcast yang sedang trending dan mulai dipraktikkan oleh sebagian besar anak muda. Sebuah konsep pemikiran yang ada sejak tahun 108 SM. Konsep ini mengajarkan bagaimana agar manusia mampu menjaga ketenangan dalam berfikir secara rasional. Tidak terlalu mempedulikan apa yang terjadi di luar kendali, serta berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan.
Konsep stoikisme mengajarkan tentang keyakinan terhadap apa yang dimiliki oleh diri sendiri kemudian berfokus padanya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Kemudian menyingkirkan pengaruh negatif yang datang dari luar kendali diri. Orang-orang stoikis tidak terlalu mempedulikan bagaimana penilaian manusia kepada diri mereka sehingga mereka hanya fokus melakukan apa yang mereka anggap baik bagi diri mereka.
Orang-orang yang meyakini dan dianggap berhasil menerapkan konsep berpikir ini dalam kehidupan mereka mengakui bahwa cara pandang mereka dalam menjalani hidup menjadi berbeda karena mereka dapat menjadi lebih tenang dan lebih menikmati kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Saudaraku, banyak manusia yang mengaku beriman tapi lebih meyakini konsep-konsep dari ajaran di luar Islam daripada ajaran-ajaran yang bersumber dari agamanya sendiri, meskipun pesan yang dibawa adalah sama, bahkan tidak sebaik dari ajaran Islam. Tidak sedikit umat Islam lebih condong mengikuti nasihat yang dianggap memiliki basis ilmiah daripada nasihat Islam sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun ia menyadari bahwa Al-Qur’an dan hadis itu sendiri adalah sains dan ilmiah. Waliyadzubillah
Padahal, dalam Islam sendiri mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang lebih sempurna dari apa yang diajarkan oleh filsafat apapun yang ada di dunia ini. Dalam Islam, kita diajarkan tentang sebuah konsep mulia yang bernama “niat” yang merupakan pokok fundamental dalam segala aktivitas yang kita lakukan. Islam mengajarkan agar niat itu dipersembahkan hanya untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala.
Melakukan segala amalan berupa aktivitas mulai dari gerakan batin, fikiran, maupun segala hal yang dilakukan oleh fisik (anggota tubuh), dimulai dengan niat ikhlas untuk meraih keridaan Allah. Maka, apapun komentar, tanggapan, bahkan cemoohan dari manusia, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi hal-hal yang kita lakukan yang diawali dengan niat ikhlas tersebut.
Dan rasakanlah betapa ketenangan hidup yang kita inginkan. Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata,
رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ
“Rida manusia merupakan tujuan yang tidak bisa tercapai.”
SENANG TERHADAP PUJIAN MANUSIA
Sebagai manusia, perasaan senang atas pujian seseorang atas diri kita adalah hal yang manusiawi, asalkan tidak melangkahi batasan-batasan syariat yang telah ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun sunah.
Namun, sebagian manusia, setelah melakukan suatu tugas, kewajiban, ataupun pemberian kepada seseorang, ucapan ‘terima kasih’ adalah kalimat yang ditunggu-tunggu. Bahkan, oleh penganut konsep stoikisme sekali pun. Karena mereka tidak meletakkan niat suci dari prinsip itu kepada Zat Yang Mahamengetahui, yaitu Allah Ta’ala.
Saudaraku, kadangkala kita mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain terhadap diri kita. Pujian dan sanjungan, bahkan cacian dan makian manusia sering menjadi tolak ukur kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akhirnya, kita bekerja, beraktivitas, berbicara, berperilaku, bahkan beramal dan beribadah ditujukan untuk mendapatkan pengakuan berupa pujian dan sanjungan itu. Waliyadzubillah
Sesungguhnya kita menyadari bahwa amal ibadah sangat tergantung pada niat kita ketika hendak melaksanakannya. Karena pahala yang diberikan kepada seorang hamba yang melakukan suatu amal berdasarkan niat yang telah ia ikrarkan.
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Namun, alih-alih menghadirkan niat lillah dalam melaksanakan segala hal baik urusan duniawi seperti bekerja ataupun menuntut ilmu, maupun urusan ukhrawi dalam bentuk mengerjakan berbagai amal ibadah, terkadang kita justru menjadikan penilaian manusia sebagai tujuan akhir atas segala urusan tersebut.
Akibatnya, kita sering dirundung masalah hingga bencana sebagai bentuk teguran dari Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya yang sedang ‘jauh’ dari-Nya. Padahal, jika saja segala urusan tersebut disandarkan atas niat untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, tentulah kebahagiaan yang akan diperoleh.
ANGAN-ANGAN MANUSIAWI
Adapun niat untuk mendapatkan pengakuan dari manusia dalam bentuk pujian, ataupun karena takut dari cercaan, maka apapun yang kita dapatkan setelahnya adalah suatu hal yang semu yang dapat berujung pada kekecewaan. Karena tidak ada orang yang dapat selamat dari cercaan manusia. Sesempurna apapun akhlaknya, semulia apapun perilakunya, dan sebaik apapun tingkah lakunya. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak luput dari cercaan dan celaan dari manusia (orang-orang kafir Quraisy).
Nasihat dalam menyikapi keniscayaan cercaan manusia ini dapat kita ambil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata,
مَنْ قَدَّرَ أَنه يَسْلَمُ مِنْ طَعْنِ النَّاسِ وَعَيْبِهِمْ فَهُوَ مَجْنُون
“Barang siapa yang menyangka ia bisa selamat dari celaan manusia dan cercaan mereka, maka ia adalah orang gila.” (Al-Akhlaq wa As-Siyar fi Mudawaatin Nufuus, hal. 17)
Terlalu larut dengan penilaian manusia juga akan memperburuk keadaan pikiran dan batin kita. Sebab, bagaimanapun yang kita lakukan, tetap saja ada manusia yang menilai dari sudut pandang negatif. Semakin kita menjadikan penilaian manusia sebagai ukuran kesuksesan dan keberhasilan, maka semakin dekat pula kita dengan kekecewaan. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“إنّك لا تقدر أن ترضي النّاس كلَّهم، فأصلح ما بينك وبين الله ثمّ لا تبالي بالناس”
“Engkau takkan mampu menyenangkan semua orang. Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia.” (Tawaalii At-Taniis, hal. 168)
Kita hanya perlu memperbaharui niat kita dalam setiap langkah dan aktivitas yang kita lakukan. Niat yang perlu tetap konsisten untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, apapun resiko yang kita hadapi. Bahkan, hingga ke titik resiko yang membahayakan diri kita pun, insya Allah kita akan tetap berada dalam perlindungan Allah Ta’ala, asalkan kita senantiasa menjaga batasan-batasan syariat Allah. Karena dengan menjaga batasan syariat tersebut, kita juga sedang menjaga Allah. Perhatikan hadis berikut ini.
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andai pun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad dalam kitab Al-Musnad, 1: 307)
SALAH NIAT PENYEBAB JAUH DARI ALLAH
Seringnya berinteraksi dengan manusia dan menghabiskan waktu dalam kesibukan terhadap urusan duniawi perlahan tapi pasti akan menjauhkan kita dari Allah. Apalagi, kesibukan kita dalam urusan duniawi tersebut telah merenggut waktu-waktu terbaik kita dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Kadangkala, kita selalu mencari alasan dan pembenaran dari dorongan hasrat duniawi yang terlalu sibuk untuk mendapatkan kesenangan yang semu. Atau yang lebih halus, dengan alasan demi mencari kehidupan yang layak, kemudian kesempatan beribadah (seperti solat duha, tahajud, membaca Al-Qur’an) kita tepis seenaknya, dengan berbagai alasan dan hati pun bergumam “Aku tidak sempat melakukannya, ya Allah.”
Padahal, amal ibadah kepada Allah khususnya amalan-amalan sunah (an-nawafil) adalah kunci agar kita semakin dekat dengan-Nya. Dekatnya kita kepada Allah bahkan akan membuka pintu-pintu kebahagiaan dunia dan akhirat. Lantas, kenapa kita menghindarinya?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku, yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 6502)
NIAT DAN IKHLAS
Ketika berada dalam suatu keadaan dimana hanya ada dua pilihan antara kesuksesan di mata manusia tapi harus melangkahi batasan syariat, atau bertekad memperoleh rida Allah meskipun mendapatkan celaan manusia.
Fenomena terjebak dalam dua pilihan ini seringkali terjadi pada diri kita. Baik dalam memutuskan suatu perkara (cobaan bagi seorang pemimpin), maupun dalam melaksanakan suatu perintah (cobaan bagi yang dipimpin). Contoh konkrit, ketika seorang bos lebih memilih untuk tetap bekerjasama dengan pihak mitra untuk suatu project demi mendapatkan keuntungan besar. Padahal ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuh untuk mendapatkan keuntungan itu mau tidak mau harus melanggar ketentuan syariat (seperti ribawi, gharar, dan sebagainya).
Atau seorang anak buah yang mau tak mau harus menjalankan perintah bos-nya untuk tetap melanjutkan kerja sama tersebut padahal ia tahu bahwa yang akan dikerjakan adalah apa yang dilarang oleh syariat. Maka, dengan alasan kekhawatiran akan celaan manusia, atau kekhawatiran akan kehilangan rezeki, ia pun tetap melakukan pekerjaan itu.
Hilanglah niat mengerjakan segala hal untuk mendapatkan rida Allah. Padahal Allah Sang Maha Penyayang akan senantiasa memberikan kita kecukupan selama kita tetap menjaga batasan-batasan agama ini. Perhatikanlah hadis berikut.
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رضى الله عنها أَنِ اكْتُبِى إِلَىَّ كِتَابًا تُوصِينِى فِيهِ وَلاَ تُكْثِرِى عَلَىَّ. فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
Dari seseorang penduduk Madinah, ia berkata bahwa Muawiyah pernah menuliskan surat pada ‘Aisyah, Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata, “Tuliskanlah padaku suatu nasihat untukku dan jangan engkau perbanyak.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menuliskan pada Mu’awiyah, “Salamun ‘alaikum (keselamatan semoga tercurahkan untukmu). Amma ba’du. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari rida Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari rida manusia, namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepada salah seorang murid beliau yang bernama Yunus bin Abdil A’la,
لَوْ اجْتَهَدْتَ كُلَّ الْجُهْدِ عَلَى أَنْ تُرْضِيَ النَّاسَ كُلَّهُمْ فَلَا سَبِيْلَ، فَأَخْلِصْ عَمَلَكَ وَنِيَّتَكَ لِله عَزَّ وَجَلَّ.
“Seandainya engkau bersungguh-sungguh semaksimal mungkin untuk membuat rida manusia seluruhnya, tidak akan mungkin bisa. Oleh karena itu maka ikhlaskanlah amal dan niatmu hanya untuk Allah Azza wa Jalla.” (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 31)
KABAR GEMBIRA BAGI ORANG YANG MEMILIKI NIAT IKHLAS
Telah jelas bagi kita bagaimana keadaan orang-orang yang mengedepankan hasrat untuk mendapatkan pengakuan dan pujian manusia. Mereka tidak akan mendapatkan apapun pada akhirnya, kecuali kekecewaan. Sebaliknya, niat yang selalu dipersembahkan untuk mendapatkan rida dari Allah Ta’ala akab berbuah manis, baik di dunia maupun akhirat.
Maka, apakah alasan bagi kita untuk tidak mengikhlaskan niat hanya bagi Allah Ta’ala?
Oleh karena itu, selain mengetahui balasan kebaikan yang didapat oleh orang-orang yang senantiasa mengikhlaskan niatnya lillah dalam setiap aktivitas, tutur kata, dan tingkah lakunya. Penting pula bagi kita, untuk mengetahui akibat yang lebih jauh bagi orang-orang yang mempersembahkan niatnya kepada selain Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Tidak ada sedikit pun arti suatu amalan tanpa menghadirkan niat lillah dalam setiap amalan tersebut. Apalah artinya suatu amalan yang dikerjakan dengan segala daya dan upaya, namun tanpa niat lillah, kemudian tidak mendapatkan apa pun dari pahala atas amalan tersebut.
Oleh karenanya, amalan yang kita kerjakan dengan niat ikhlas untuk mendapatkan rida Allah (bukan rida manusia) adalah orang yang paling baik agamanya, serta buah dari keikhlasannya tersebut akan berujung pada balasan dengan sebaik-baik balasan dari Allah, yaitu perjumpaan dengan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS. An-Nisa’: 125)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110).
FILSAFAT ISLAM
Secara teori, aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani kuno. Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.
Setelah buku al-Syifâ karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arba'ah karya Mulla Sadra. Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikiran Sadrian dan dewasa ini aliran filsafat yang tersebar adalah aliran filsafat Hikmah Mut'aliyah (Filsafat Hikmah) Mulla Sadra.
Definisi filsafat yang disebutkan sebagai ilmu yang membahas tentang esensi, sifat, hukum-hukum dan kondisi-kondisi universal wujud sebagaimana adanya ia (yang dilakukan) sesuai dengan kemampuan manusia" merupakan definisi Peripatitek terkait dengan filsafat.
Demikian juga definisi filsafat sebagai ilmu yang memunculkan perubahan dalam diri manusia yang secara perlahan memasuki alam akal dan mirip dengan alam luaran. Definisi ini dapat disaksikan pada tuturan-tuturan Farabi dan Mulla Sadra. Definisi filsafat ini sepertinya merupakan definisi yang diadopsi dari aliran Phytagoranisme atau aliran etika Stoikisme yang berdasarkan pada definisi tersebut tujuan filsafat adalah penyempurnaan jiwa pada sisi ilmu dan amal.
Akan tetapi amal yang menjadi obyek perhatian filosof Ilahi adalah penyucian jiwa yang merupakan tujuan pertama filsafat yaitu mengetahui realitas-realitas seluruh entitas dan setelah beramal sesuai dengan ilmu sehingga dengan demikian wajarlah filsafat terdiri menjadi dua bagian. Bagian teori dan bagian praktis yang tentu saja bagian praktis filsafat tujuan utamanya adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang dapat menata masyarakat dengan baik dan benar, kemudian bagian teorinya, dapat meraih sukses pada peradaban filsafat Islam.
Namun filosof Islam kurang menaruh perhatian pada sisi-sisi filsafat praktis Yunani dan yang menjadi obyek perhatian kaum Muslimin pada filsafat praktis Yunani adalah hal-hal umum yang berkaitan dengan dasar-dasar etika praktis; karena hukum-hukum fikih Islam dan akhlak-akhlak praktisnya telah mencukupi bagi kaum Muslimin.
Dari sudut pandang teori aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani kuno. Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.
Ibnu Sina menjadikan aliran filsafat Aristoteles sebagai metode dasar filsafatnya sementara Suhrawardi menjatuhkan pilihan pada sistem filosofis Plato. Namun hal ini secara mutlak tidak sepenuhnya tepat karena tiada satu pun filosof dalam peradaban filsafat Islam yang Peripatetik murni dan Iluminasionis murni.
Dengan mengkaji literatur-literatur filsafat Islam kita sampai pada kesimpulan bahwa filsafat Islam dalam pembahasan teologis tidak terlalu berkukuh menetapkan batasan dan cakupan aliran-aliran. Secara prinsip hal ini bukan menjadi tujuan mereka belajar filsafat.
Tujuan yang mereka ingin capai dalam filsafat Ilahi dan urusan-urusan metafisikal adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang tepat berdasarkan ilmu dan amal. Dengan merealisasikan tujuan ini sistem pemikiran Aristotelian dapat diwujudkan dan juga sistem pemikiran Platonian serta gabungan dari kedua metode pemikiran ini.
Atas dasar itu, Farabi berusaha menggabungkan pendapat-pendapat Aristoteles dan Plato dan pada dasarnya pandangan ini (menggabungkan dua pandangan filsafat) adalah pandangan Farabi sendiri yang ingin mendamaikan pemikiran-pemikiran Peripatetik dan Iluminasionis, murid aliran ini, Ibnu Sina kurang lebihnya melakukan hal ini.
Qasidah ‘Ainiyyah karya Ibnu Sina sepenuhnya bercorak neo-Platonisme dan pada al-Isyarât wa al-Tanbihât dalam dua pertiga namath, Ibnu Sina mengemukakan pembahasan-pembahasan dengan menggunakan metode Peripatetik-Iluminasionis.
Syaikh Maqtul Syihabuddin Suhrawardi (Syaikh al-Isyraq), yang merupakan filosof yang menghidupkan filsafat Iluminasi Iran-Yunani, berkata bahwa untuk menyempurnakan jiwa pada sisi ilmu dan amal maka setiap orang harus menguasai prinsip-prisip filsafat teoritis Peripatetik dan juga pada tataran amal harus beramal sesuai dengan spirit filsafat Iluminasionis.
Pasca Ibnu Sina, kita dapat mengecualikan Khaja NasiruddinThusi dan Ibnu Rusyd al-Andalusi di sini dan selainnya kita hitung sebagai aliran eklektik atau gabungan yang pada dasarnya berhubungan dengan abad ketiga, keempat dan awal-awal abad kelima. Aliran terpenting dari aliran eklektik ini adalah aliran Ikhwan al-Shafa dan Khillan al-Wafa serta pada masa yang sama aliran filsafat Ismailiyyah yang berdasarkan pandangan-pandangan khusus Abu Hatim al-Razi dan Hamiduddin Kermani.
Dalam aliran Ikhwan al-Shafa seluruh mazhab diterima dan seluruh peradaban dimanfaatkan. Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat, mereka melahirkan aliran gabungan yang bisa jadi merupakan sebuah aliran toleran. Adapun aliran filsafat Ismailiyah yang didirikan oleh Abu Hatim al-Rai dan Hamiduddin Kermani sejatinya tidak bertujuan demikian dan melanjutkan aliran ini yang berpindah ke dinasti Ayyubi dan menarik puluhan filosof lainya seperti Suhrawardi.
Aliran-aliran ini di samping aliran teologi filsafat Hasani Zaidi yang merupakan pemikir mazhab Zaidiyah yang sezaman dengan Hamiddudin Kermani, melotarkan pemikiran baru dimana segala sesuatu dapat ditafsirkankan dan ditakwil.
Beranjak dari situ, aliran lainnya berdiri yang mengedepankan zuhud, tasawuf dan ketakwaan oleh Hasan Basri dan Rabi'ah al-Adawiyyah yang kemudian disusul oleh Abdurrahman al-Sulami, Junaid al-Baghdadi, Hallaj yang diteruskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dan Ibnu Faridh. Muhyiddin Ibnu Arabi menyempurnakan langkah pendahulunya dan khususnya ia menilai dirinya sebagai pembawa berita gembira agama Muhammad. Aliran Ibnu Arabi tidak ada yang menandinginya dari sisi keluasan pengaruhnya pada masa itu dan setelahnya tiada satu pun aliran irfan yang dapat menyainginnya.
Apa yang telah disampaikan di atas merupakan ringkasan dari aliran-aliran dan pandangan-pandangan filsafat yang membangung fondasi pemikiran sosok yang bernama Shadruddin Syirazi yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra. Setelah buku al-Syifa karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arba'ah karya Mulla Sadra yang pada masanya orang-orang tidak begitu dapat memahami pentingnya filsafat yang dibangun oleh Mulla Sadra.
Apa yang pasti adalah bahwa buku al-Asfar ini telah dikenal dengan baik semenjak masa dinasti Qajar dan ulama telah mengakui signifikansinya. Pada masa itu dan masa-masa setelahnya sangat sedikit ulama yang membahas, menelaah dan mengajarkan karya magnum opus Mulla Sadra ini. Salah satu sebabnya adalah sangat sukar memahami pandangan-pandangan penulisnya dan sebab lainya adalah bahwa buku al-Asfar bukanlah buku filsafat biasa.
Terdapat beberapa alasan terkait sebab penamaan buku al-Asfar al-Arba'ah ini sebagai Hikmah Muta'aliyah. Sebagian meyakini bahwa Mulla Sadra menyebut filsafatnya sebagai Hikmah Muta'aliyah karena berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari filsafat biasa Peripatetik dan Iluminasionis.
Mulla Sadra berbeda dengan filosof lainya menjadikan fokus filsafatnya pada entitas (qua entitas) dan memandang bahwa yang hakiki adalah entitas (wujud) bukan kuiditas (mâhiyyah). Ia memecahkan banyak persoalan filsafat Ilahi dengan pandangan tipikalnya dalam bab kehakikian wujud (ashâlat al-wujud) dan kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Dalam pandangan Mulla Sadra segala sesuatu memiliki gradasi wujud; nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan merupakan bagian dari gradasi wujud.
Sebagian lainnya berdasarkan inklusifitas filsafat Mulla Sadra menjelaskan mengapa disebut muta'âliyah karena merupakan gabungan antara Peripatetik dan Iluminasi, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Nampak jelas filsafat Mulla Sadra merupakan gabungan antara hikmah dzauqi (iluminasi), aqli (rasional), irfan, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Dengan demikian, sebagian memandangnya sebagai filosof eklektik sementara pada kenyataannya tidak demikian.
Mulla Sadra mengambil manfaat dari hikmah dzauqi dari cabang Yunaninya yaitu pemikiran-pemikiran Plato, Phytagoras, Stoikisme dan juga dari pemikiran-pemikiran baru neo-Plato dan neo-Stoikisme demikian juga cabang-cabangnya di Iran yaitu dari pemikiran-pemikiran Syihabuddin Suhrawardi.
Dari sisi lain, juga ia mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Aristoteles pendiri aliran filsafat Peripatetik dan para pengikutnya di Yunani serta pada peradaban Islam yaitu pewaris utama filsafat Peripatetik, Farabi dan Ibnu Sina. Demikian juga dari tuturan-tuturan para arif besar seperti Hallaj, Bayazid, Muhyiddin dan yang lainnya serta menaruh perhatian ekstra pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat.
Setelah mengutip pemikiran-pemikiran besar filosof dan arif serta teolog hal itu tidak bermakna bahwa filsafat Mulla Sadra adalah filsafat eklektik. Tidak demikian. Lantaran Mulla Sadra pada setiap pembahasan ia terlebih dahulu menyampaikan pandangan-pandangannya kemudian mengutip dan mengkritisi atau terkadang menyokong pandangan pemikir lainnya di samping itu menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat untuk mendukung pendapatnya.
Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikirannya. Dewasa ini aliran filsafat yang tersebar di dunia Islam adalah aliran filsafat Hikmah Mut'aliyah Mulla Sadra.
KETENANGAN DALAM ISLAM
Sejalan dengan stoikisme, dalam Islam ada yang dinamakan tawakal atau berserah diri pada Allah Swt. atas segala sesuatu yang menimpa diri. Tawakal bukan berarti pasrah terhadap apa yang terjadi dan hanya menerima takdir, akan tetapi sebelum harus didahului dengan usaha. Ketika kita diberikan sesuatu hasil dari usaha, maka kita harus mengucapkan syukur. Sebaliknya, jika tidak, maka haruslah bersabar. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 42 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal.”
Serupa tapi tak sama, ada hal yang membedakan konsep ketenangan dalam Islam dan stoikisme. Jika stoikisme hanya menyandarkan pada kekuatan akal pikiran yang cenderung rentan terhadap subjektivitas dan logical fallacy (cacat logika), maka Islam menambahkan satu cara lagi sebagai pelengkap yakni dengan zikrullah atau mengingat Allah Swt.
Hal ini menjadi penting mengingat kemampuan otak manusia sangatlah terbatas, sehingga ia pun harus didukung dengan serangkaian proses spiritual untuk mendekatkan dirinya dengan sang khalik melalui zikir.
Dengan berdzikir yang benar, hati menjadi tenang, terhindar dari berbagai penyakit hati. Karena sejatinya tawakal dan zikir merupakan perbuatan yang dilakukan hati, bukan pula hanya sesuatu yang diucapkan lisan. Maka dapat dikatakan juga bahwa tawakal dan zikir adalah buah dari keimanan dan kepercayaan hamba terhadap Tuhannya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ar-Ra’du yang berarti “orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” dalam firman lain Allah memerintahkan manusia untuk banyak mempelajari ilmu pengetahuan dengan berpikir dan mengingat-Nya (QS Al-‘Alaq ayat 1-5). Dengan demikian, tegaslah kiranya bahwa Al-Qur’an menempatkan olah pikir dan zikir sebagai dua dimensi integral yang tidak dapat dipisahkan untuk menggapai ketenangan jiwa.
Raihlah cita-cita mu setinggi langit, apabila kamu gagal, kamu akan jatuh diantara bintang-bintang.
Pepatah tersebut mengajarkan kepada manusia untuk terus berusaha mengejar cita-citanya setinggi mungkin. Cita-cita berasal dari imajinasi manusia yang datang dari akal. Manusia berekspetasi jika ia berhasil menempuh cita-citanya, maka tujuan hidupnya akan terpenuhi.
Manusia tidak akan pernah lepas dari kegagalan. Kegagalan merupakan masalah terbesar yang menghalangi tercapainya cita-cita. Oleh karena itu pepatah ini juga mengajarkan kepada manusia agar selalu bangkit dari kegagalan dan terus berusaha karena tidak ada usaha yang mengkhianati hasil.
Namun, kita sering menemukan teman, sahabat atau seseorang yang berekspetasi sangat berlebihan. Seperti contoh seseorang yang sering berkhayal tentang masa depan.
Selain itu, kita juga menemukan seseorang yang memiliki sifat mudah menyerah, tidak fokus terhadap tujuan utamanya, dan sering kecewa ketika ada masalah yang menimpa dirinya atau orang lain.
ketiga sifat di atas dapat timbul ketika manusia menaruh hatinya pada puncak harapan yang tertinggi. Seolah-olah ekspektasi terlepas pada masalah yang bisa datang kapan saja.
Alangkah lebih baik jika manusia mengubah mindset bersama filsafat stoikisme tentang cara menghadapi kehidupan bahwa realita tidak selamanya manis. Filsafat ini menciptakan cara berpikir positif agar mencapai kehidupan yang sejahtera.
Selain filsafat Stoikisme, agama Islam juga mengajarkan tentang berpikir positif. Keduanya percaya bahwa dengan berpikir positif, hati akan menjadi tenang dan tentram.
FILSAFAT STOIKISME DAN AGAMA ISLAM
Filsafat Stoikisme, stoisisme, atau stoic merupakan salah satu mahzab ilmu filsafat yang lahir pada tahun 301 SM di Athena oleh Zeno. Zeno merupakan pedagang yang lahir di Citium, Cyprus pada 334 SM. Ayahnya bernama Minasseas yang juga merupakan seorang pedagang di Athena.
Zeno meneruskan pekerjaan ayahnya pada abad ke - 3 SM. Zeno melakukan perdagangan dari pelabuhan satu ke pelabuhan lainnya. Atas kerja kerasnya, Zeno berhasil menjadi pedagang yang kaya raya.
Pada suatu hari, Zeno melakukan perdagangan menuju pelabuhan Peiraeus, salah satu pelabuhan di Athena. Namun pada pertengahan perjalanan, Zeno terkena musibah yang membuat kapal dan seluruh kekayaannya hilang karena tenggelam. Beruntungnya nyawa Zeno berhasil diselamatkan.
CERITA ZENO DI ATHENA
Sungguh malang nasib Zeno, dari pedagang yang kaya raya dan berubah 360 derajat menjadi orang miskin. Namun Zeno tetap sabar dalam menjalani kehidupan miskinnya.
Pada suatu hari, Zeno pergi ke toko buku dan menghabiskan waktunya untuk membaca. Disana ia menemukan buku yang sangat menarik berjudul "The Memorabilia, Menopon" karya Socrates.
Buku ini berhasil menarik perhatian Zeno, dan membuatnya sangat kagum kepada pemikiran Socrates tentang hakikat kehidupan manusia dengan pendekatan rasionalisme.
Zeno pun bertanya kepada sang penjual buku tentang seseorang yang memiliki pemikiran serupa dengan Socrates. Sang penjual buku pun menjawab seseorang itu bernama Crates from Thebes. Zeno pun mencari dan bersemangat untuk mendalami ilmu filsafat bersama Crates.
Setelah Zeno berhasil mempelajari ilmu filsafat bersama Crates, Zeno mengajar di Stoa Poikile, sebuah bangunan besar yang memiliki tiang besar dan teras di Athena. Kata "stoa" pada Stoa Poikile digunakan untuk menyebut istilah filsafat Stoikisme, Stoik, Stoisisme.
Filsafat Stoikisme berkembang sangat pesat di Yunani dan Romawi Kuno. Hal ini disebabkan oleh 3 murid utama Zeno yang menjadi awal penyebaran filsafat Stoik. Ketiga filsuf itu bernama Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius.
Filsafat Stoikisme mempelajari tentang perkembangan logika seperti retorika, dialektika, politik, fisika, dan teologi. Namun yang lebih menonjol dari stoikisme adalah etika, dan cara mengontrol diri manusia.
Filsafat stoikisme percaya bahwa manusia menggunakan akal dan logika secara penuh untuk memilah sesuatu yang pantas masuk ke pikirannya. Seperti apa yang dikatakan oleh Marcus Aurelius
You have power over your mind, not outside events.
Kekuatan logika merupakan kekuatan terbesar yang ada didalam diri manusia. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan munculnya ekspetasi, etika atau perilaku manusia .
Namun terkadang akal dan logika manusia yang berlebihan akan menciptakan bias bagi etika manusia itu sendiri.
Filsafat Stoikisme percaya bahwa manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, oleh karena itu seperti yang dikatakan oleh Epictetus
Manusia terganggu bukan oleh sesuatu, tetapi oleh pandangan yang dia ambil.
Alangkah lebih baik jika manusia tetap fokus terhadap tujuan utama yang bisa dikendalikan oleh akal dan logika manusia itu sendiri.
Namun ingat, bahwa manusia hanya bisa berangan-angan dan berusaha. Kegagalan adalah bagian dari tantangan.
Kehidupan manusia layaknya sebuah permainan di dalam game.
Semakin tinggi level yang dicapai, maka semakin susah tantangan yang dihadapi. Agar dapat menyelesaikan permainan dengan baik, alangkah lebih baik jika kita fokus terhadap 1 level terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke level berikutnya.
Filsafat stoikisme sangat mempercayai keberadaan Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Tantangan kehidupan muncul dari kehendak tuhan itu sendiri. Selain itu, manusia juga berusaha dan memperjuangkan kehidupannya atas dasar tuhan.
Dapat kita asumsikan bahwa ajakan untuk selalu berpikir positif, optimisme, dan terus berjuang merupakan bagian dari pemikiran filsafat stoikisme.
Oleh karena itu filsafat stoikisme sangat sejalan dengan ajaran agama Islam, seperti yang dikutip dalam Qs. At Taubah 40 :
Artinya : “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita” (Qs. At – Taubah 40)
Selain itu juga terdapat pada Qs. Ali Imran 139 :
Artinya : “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman” (Qs. Ali Imran 139)
Kedua ayat di atas sangat menggambarkan bahwa agama Islam dan Filsafat Stoikisme memiliki ajakan yang serupa untuk selalu berpikir positif, optimisme, dan terus berjuang atau ikhtiar.
Ikhtiar merupakan jalan kebaikan manusia. Karunia Allah SWT akan datang kepada manusia yang bekerja keras atas usaha yang dilakukan.
Apapun hasil yang diperoleh umat manusia bukan menjadi suatu permasalahan, karena mereka percaya bahwa Allah SWT adalah yang mengatur rezeki kepada hamba-hamba Nya.
Oleh karena itu, agama Islam dan filsafat stoik percaya bahwa kunci perdamaian dan ketentraman hati adalah berpikir positif, dan mendekatkan diri dengan Allah Swt.
HUBUNGAN ISLAM DAN FILSAFAT STOIKISME
Islam adalah agama yang diturunkan di Jazirah Arab pada tahun 609 Masehi. Kehadiran Islam ditandai dengan diturunkannya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw di Gua Hira.
Kata Islam berhubungan erat dengan makna keselamatan, kedamaian dan kemurnian. Sedangkan secara istilah, Islam bermakna sebagai penyerahan diri kepada Allah Swt dengan cara menerima ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum-Nya.
Berbeda halnya dengan Islam, Filosofi Stoisisme bukanlah sebuah agama melainkan hanya sebuah paham filsafat. Filsafat Stoisisme lahir sekitar 2.300 tahun yang lalu.
Para praktisi filsafat ini melakukan kegiatan belajar dan mengajar di sebuah teras berpilar atau semacam alun-alun Yunani Kuno di Kota Athena. Dalam bahasa Yunani kata teras disebut dengan Stoa, oleh karenanya pengikut filsafat ini disebut sebagai “kaum Stoa”.
Meskipun Islam lahir jauh setelah adanya Filsafat Stoisisme, namun antara keduanya terdapat banyak persamaan, khususnya pada tata cara menjalankan kehidupan dengan sebaik mungkin.
Islam dan Stoisisme menawarkan berbagai mutiara kehidupan yang kaya dan saling melengkapi. Apabila dalam Islam ajaran-ajaran tersebut berasal dari firman Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur’an, dalam Stoisisme kalimat penggugah jiwa ini berasal dari para tokohnya yang terkenal seperti Epictetus, Seneca, Marcus Aurelius dan lain-lain.
Hal yang akan dibahas di dalam tulisan ini khususnya terkait tentang konsep ketetapan Tuhan dan hidup selaras dengan alam antara agama Islam dan Stoisisme.
KONSEP WODARULLAH DAN AMOR FATI
Dalam Islam, penganutnya diwajibkan untuk menyakini adanya Qodarullah atau ketetapan Allah Swt. Allah Swt berfirman yang artinya “… Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” – Q.S. al-Ahzab ayat 38.
Dalam Filsafat Stoisisme ada pula yang disebut dengan konsep Amor Fati atau mencintai takdir. Stoisisme mengajarkan bahwa manusia harus belajar ikhlas dan menerima keadaan saat ini bahkan mencintainya. Hal ini dilakukan agar manusia memiliki kesempatan untuk menikmati dan mensyukuri apa yang ada.
Menurut Filsuf Stoa: “Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginamu, tetapi justru inginkan agar hidup terjadi apa adanya dan jalanmu akan baik adanya” – Epictetus (Discourses).
Antara Qodarullah dan Amor Fati adalah sama-sama ketetapan atau takdir yang tidak bisa diubah oleh manusia. Karena merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah, sudah seharusnya manusia menjalani apa yang telah ditakdirkan dengan penuh cinta atau bersuka cita karenanya.
KEMATIAN
Takdir yang tidak bisa diubah manusia di antaranya adalah perihal kematian. Menurut agama Islam tidak ada yang datang ke dunia ini karena keinginannya sendiri, semua adalah kehendak Allah Swt. Maka kehadiran manusia di dunia ini adalah sesuatu di luar kendali, begitu pula dengan kematian.
Allah Swt berfirman: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” – Q.S. Ali Imran : 185
Begitu pula menurut kaum Stoa, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sehingga kematian bukanlah hal yang menakutkan karena pasti akan dialami oleh semua makhluk yang bernyawa.
Menurut Filsuf Stoa: “Hidup selama 5 tahun atau 100 tahun, apa bedanya? Dan untuk diminta meninggalkan hidup, bukan oleh tiran tapi oleh alam yang juga dulu mengundangmu masuk ke dalam hidup lalu mengapa kematian begitu buruk?… Baik kedatanganmu maupun kepulanganmu tidaklah ditetapkan dirimu sendiri.
Maka pergilah kamu (dari hidup) dengan anggun, keagungan yang sama yang telah ditunjukkan kepadamu” – Marcus Aurelius (Meditations).
Jika manusia bisa menerima realitas bahwa kematian adalah hal yang pasti terjadi, maka ia bisa berhenti merasa takut akan datangnya kematian, bahkan seharusnya merasa bahagia. Manusia bisa bahagia dengan kedatangan kematian karena kelak akan menjalani kehidupan yang kekal bukan hanya sesaat seperti di dunia. Selain itu manusia juga bisa bertemu Allah, Tuhan yang menciptakannya.
KONSEP SUNNATULLAH DAN HIDUP SELARAS DENGAN ALAM
Dalam Islam terdapat pula konsep Sunatullah atau hukum alam. Manusia yang memegang prinsip selaras dengan alam akan hidup sejalan dengan akal sehatnya sehingga dapat membedakan mana yang haq dan yang bathil (baik dan buruk).
Begitu pula menurut Stoisisme, satu-satunya yang dimiliki manusia yang hidup selaras dengan alam yakni dapat menggunakan akal sehatnya untuk selalu berbuat kebaikan (Life of Virtues).
Menurut Filsuf Stoa: “Bisa dikatakan, manusia lain adalah ‘kerja’ kita. Tugas kita adalah melakukan yang baik kepada mereka dan hidup berdampingan dengan mereka…” – Marcus Aurelius (Meditations)
Oleh karenanya manusia harus selalu berbuat kebaikan karena sudah hukum alamnya demikian. Allah Swt berfirman: “… Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” – Q.S. al-Qashas ayat 77.
Sehingga apabila ada manusia yang berlaku jahat, berarti ia belum hidup sesuai dengan hukum alam. Oleh karena itu hidupnya tidak akan bahagia, meskipun bahagia bisa dipastikan bahwa itu hanya kebahagian yang semu saja.
TIDAK ADA HAL YANG KEBETULAN
Selain itu, hidup selaras dengan alam juga menuntut kita untuk menyadari bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia tidak ada yang kebetulan karena semuanya mengikuti hukum dan aturan alam. Allah Swt berfirman:
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu) dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati peubahan pada sunnah Allah” – Q.S. al-Ahzab ayat 62
Setelah menelaah ayat-ayat Al-Qur’an dan untaian kata-kata bijak para Filsuf Stoa, maka dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan Stoisisme tidak terdapat tembok-tembok pemisah yang dapat menimbulkan konflik. Bahkan kebijaksanaan yang ada di agama Islam dan Stoisisme dapat dijadikan alternatif yang bisa membuat manusia lebih tenang dalam menjalani kehidupan.
FILSAFAT JAWA
Filsafat Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang filsafat yang bertumpu pada pemikiran-pemikiran yang berakar pada budaya Jawa. Filsafat Jawa sebenarnya juga tergolong pada filsafat Timur, yang umumnya berdasarkan pada pemikiran para filsuf di India dan Tiongkok, meskipun saat ini filsafat Jawa belum diakui sebagai bagian dari filsafat Timur tetapi pada dasarnya filsafat Jawa memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam filsafat India.
Filsafat Jawa seperti halnya filsafat lainnya, pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa meskipun dilahirkan dari hasil kebudayaan Jawa tetapi sebenarnya bisa berguna bagi orang-orang di luar Jawa juga. Meski bersifat universal, filsafat Jawa atau filsafat Timur pada umumnya memiliki perbedaan dengan filsafat Barat. Dalam filsafat Timur, termasuk juga filsafat Jawa tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan, sementara filsafat Barat tujuannya adalah kebijaksanaan.
Kemunculan filsafat Jawa juga tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh ajaran Hindu dan Buddha, oleh karenanya filsafat Jawa tidak dapat dipisahkan dari filsafat India. Filsafat Jawa tumbuh seiring dengan kemunculan Aksara Jawa atau yang juga dikenal sebagai Hanacaraka. Kemunculan Hanacaraka membuat kesusastraaan Jawa juga semakin berkembang. Pada masa-masa itu muncul berbagai pujangga-pujangga hebat seperti Empu Kanwa yang menulis Kakawin Arjunawiwāha, Empu Prapañca yang menulis Kakawin Nagarakretagama, Empu Tantular yang menulis tentang Kakawin Sutasoma, dan masih banyak lagi.
Sejarah Hanacaraka muncul dan terkait dengan kisah Aji Saka dan kedatangannya dari Hindustan. Oleh karena itu maka tidak mengherankan bila ditemukan adanya nama-nama tempan atau nama orang Jawa yang mirip dengan nama-nama tempat atau nama orang India. Kisah Aji Saka ini sampai sekarang masih dipegang teguh oleh Suku Jawa dan menjadi inspirasi bagi kehidupan batin dan rohani orang Jawa.
Seperti halnya filsafat pada umumnya, filsafat Jawa juga memiliki dimensi-dimensi yang meliputinya, antara lain dimensi metafisika, dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Penggolongan dari setiap dimensi filsafat tersebut disesuaikan dengan cabang-cabang dalam ilmu filsafat, yakni tentang ilmu pengetahuan, tentang 'ada dan sebab pertama', tentang materi, dan tentang norma-norma.
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa filsafat Jawa mengutamakan pada aspek kesempurnaan hidup lebih tepatnya kesempurnaan batin.NDalam filsafat Jawa, kesempurnaan itu bisa didapatkan manusia dengan cara berpikir dan merenungkan kaitan dirinya dengan Tuhan. Karena dalam filsafat Jawa yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan hidup, maka setiap bidang dan dimensi yang ada dalam filsafat harus menyatu, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dikarenakan filsafat Jawa bertujuan pada kesempurnaan hidup, maka ia memiliki nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Nilai-nilai yang ada dalam filsafat Jawa tidak hanya sebagai ilmu pengetahuan semata, tetapi juga menjadi filosofi dan falsafah dalam menjalani kehidupan. Berikut ini adalah beberapa nilai yang terkandung dalam filsafat Jawa.
Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa, maknanya jangan sombong, harus berempati dan memahami orang lain.
Migunani tumraping liyan, maknanya berbuat baik kepada orang lain, nanti orang lain akan berbuat baik kepadamu.
Eling sangkan paraning dumadi, maknanya selalu ingat asal-usul dan cita-cita dalam hidup.
Urip iku urup, maknanya hendaknya memberi manfaat pada lingkungan sekitar kita.
Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti, maknanya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan.
Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha, maknanya jangan besar kepala jika sedang beruntung atau menang.
Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan, maknanya jangan mudah tersinggung.
Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman, maknanya jangan terkejut, tetap tenang.
FALSAFAH HIDUP JAWA
Orang Jawa mengenal pepatah wis ginaris sudah tertulis suratan Illahi. Lengkapnya, Yen kabeh wis ginaris nyata, aja nganti ana ati sing rumangsa sengsara narima pacoba Semua sudah tergaris, tertulis nyata, jangan ada yang merasa sengsara oleh percobaan.
Yen kabih wis ginaris nyata, aja nganti ana ati sing rumangsa sengsara narima pacoba. (Jika semua sudah menjadi ketetuan Tuhan, jangan ada lagi hati yang merasa sedih disaat menerima cobaan).
Wis ginaris neng takdire menungsa yen apa sing urip kuwi wis disangoni saka sing kuwasa. (Sudah digariskan oleh takdir bahwa semua yang hidup itu sudah diberi bekal oleh Yang Maha Kuasa).
Yen kabih wis ginaris nyata, aja nganti ana ati sing rumangsa sengsara narima pacoba."
(Jika semua sudah menjadi ketentuan Tuhan, jangan ada lagi hati yang merasa sedih disaat menerima cobaan)
Filosofi Jawa lain yang sejalan dengan Stoikisme adalah nrima ing pandum dan pasrah ngalah yakni kesadaran bahwa Hyang Maha Kuasa memberikan setiap makluknya jatah yang diberikan (pandum) kepada setiap makhlukNya. Dan sikap kita adalah menerima.
“Pasrah” adalah kesadaran saat kita tak bisa melampaui batas kemampuan kita. Sedangkan “Ngalah” bukanlah semata mata “mengalah”, melainkan “nuju ing Allah” (menuju Allah), sebagai rasa penerimaan segala pemberian/ keputusan.
Stoikisme mengajarkan “Premeditatio Malorum” atau “mengkontemplasikan derita” agar kita lebih siap secara mental untuk menghadapi kenyataan yang tidak selalu menyenangkan dan di saat yang sama membantu kita untuk bersyukur apabila hal atau peristiwa yang diharapkan ternyata tidak menjadi kenyataan.
Dalam pepatah Jawa dikenal, “Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan” Jangan gampang sakit hati ketika musibah menimpa diri. Jangan sedih saat kehilangan sesuatu.
Stoikisme juga mengajarkan “Amor fati” berarti “mencintai takdir” yaitu kesadaran banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita ubah. Dan cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan menerima atau mencintai takdir tersebut. Tentu tidak mudah, karena ego di dalam diri kita, akan selalu ingin mengubah sesuatu sesuai apa yang kita inginkan.
Sesuai yang dikatakan oleh Epictitus mengenai “Kalau kamu berharap dunia ini akan memberikan apapun yang kamu mau, kamu akan ngerasa kecewa. Tapi, kalau kamu menerima apapun yang dunia berikan kepada kamu, hidup kamu akan lebih tenang”.
Stoikisme merupakan filsafat terapan pada kehidupan sehari-hari dengan fokus etika, moral, akhlak sebagai das sein sambil mendayagunakan apa yang disebut sebagai “physics” sebagai perpaduan sains dengan metafisika serta apa yang disebut sebagai logika, epistemologi, filsafat bahasa dan sains kognitif demi membawa peradaban umat manusia menuju das sollen yang lebih baik.
Sebagai orang yang dibesarkan di tengah kebudayaan Jawa, saya merasakan ada banyak persamaan pemikiran Stoikisme, Marcus Aurelius, Seneca, Epictetus dengan nilai nilai yang dikembangan ajaran Kejawen dari Jangka Jayabaya, RM Ronggowarsito, Serat Wedhatama Mangkunegara IV, Raden Mas Said, Sosrokartono, Ki Hajar Dewantara, dll.
Para sesepuh Jawa mengajarkan kepada anak anaknya yang mulai dewasa agar ‘Sumeh’ (ramah tamah), ‘Sareh’ (sabar), ‘Sumeleh’ (pasrah), dan ‘Ora Jireh’ (tidak gentar) .
‘Sumeh’ artinya banyak senyum, selalu memperlihatkan keramahan, dan tidak punya prasangka negatif.
‘Sareh’ artinya bersikap tenang, tidak terburu buru, menahan diri, tidak mudah tersinggung, juga tidak mudah protes.
‘Sumeleh’ itu menerima hasil akhir apa pun yang terjadi setelah berusaha sekuat tenaga.
Sedangkan ‘Ora Jireh’ artinya tidak takut menghadapi tantangan dan kegagalan.
Menurut Suwardi Endraswara menerangkan bahwa falsafah hidup orang Jawa adalah perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas. Sehingga olah pikir dan asah budi orang Jawa senantiasa mendambakan keselamatan dan kesejahteraan.
Masyarakat Jawa juga diajarkan kehidupan yang sederhana oleh para leluhur. Banyak petuah bijak Jawa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menjalani hidup, termasuk yang selaras dengan konsep stoikisme.
Misalnya, ada petuah nrimo ing pandum yang artinya menerima apa yang telah digariskan oleh Tuhan. Nrimo ing pandum erat hubungannya dengan pengelolaan emosi, keselarasan batin, serta pengendalian dan penerimaan diri. Filosofi tersebut sejalan dengan upaya mereduksi rasa kecewa apabila sesuatu yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan di kemudian hari.
Maka jelaslah falsafah Jawa juga memiliki konsep hidup stoik dengan caranya sendiri. Jadi jika dalam filsafat barat ada konsep stoik, dalam Islam ada yang namanya tawakal maka dalam falsafah hidup Jawa ada petuah nrimo ing pandum. Patut kita ketahui yang menjadi ciri khas dari falsafah hidup Jawa adalah penuh rasa sehingga perlu dipahami secara intuitif.
Bagaimana tidak, misalnya dalam pewayangan Jawa ada tokoh yang bernama Semar. Digambarkan oleh Sujiwo Tejo bahwa Semar akan tertawa sekaligus menangis secara bersamaan karena dalam jiwanya selalu bertanya, apakah kebahagiaan ini maya atau fana? Apakah kebahagiaan ini yang terakhir kali? Apakah ini akan terulang? Sikap seperti ini tidak bisa dilakukan jika tanpa olah rasa yang mendalam.
Selain petuah nrimo ing pandum falsafah stoik ala Jawa juga dapat dilihat dalam tembang sugih tanpo bondo, memiliki arti kaya tanpa harta. Pada salah satu baitnya berbunyi “langgeng tanpo susah tanpo seneng” yang artinya tetap tenang dalam susah ataupun senang. Karena dengan ketenangan, kita bisa mengukur kemampuan kita dan juga lebih bersabar menghadapinya.
Dari ulasan di atas, bisa dilihat bahwa pendekatan ketenangan hidup stoikisme mengandalkan akal pikiran, Islam menambahkan dalil untuk mendukung akal dan spiritual sedangkan falsafah Jawa lebih menekankan pada emosional.