KAYU GUNG SUSUHING ANGIN LAN TIRTA PAWITRA MAHENING SUCI
Tembung meniko asalipun saking crito wayang, naliko Brotoseno utawi Bima nglampahi dawuhe Resi Drona / Durna.
Bima mendapat perintah dari Resi Drona untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin
Bima dengan gagah berani pergi ke hutan ke gunung ke laut hingga ke dasar laut untuk mendapatkan Kayu Gung Susuhing Angin
Berhasilkah Bima ?
Tidak.
Karena Kayu Gung Susuhing Angin tidak berada dimana mana tapi di dalam diri kita sendiri
Seringkali kita manusia terjebak pada konotasi leksikal.
Apa yang kita dengar & kita lihat diterjemahkan apa adanya, menurut kehendak logika
Kayu atau Kajeng sinonim dengan kemauan, cita cita.
Gung adalah tembung wod yang berarti agung, besar.
Susuhing Angin yang berarti sarang angin
Jika menggunakan logika berpikir dalam mengartikan Kayu Gung Susuhing Angin menjadi yaitu kayu besar tempat sarang angin adalah mekanisme leksikon yang bisa jadi menyesatkan kehidupan kita.
Gunakanlah kecerdasan spiritual untuk mengolah setiap petunjuk yang datang dari Sejatine Guru yang berwujud manusia atau Guru Sejati yang bersemayam di dalam diri kita
Di dalam Kawruh Jowo makna dari Susuhing Angin adalah nafas, dimana nafas adalah Sang Hidup atau Urip Sejati.
Sedangkan di dalam Kawruh Jowo makna dari Kayu Gung adalah cita cita yang besar.
Berarti makna dari Kayu Gung Susuhing Angin adalah jika ingin mewujudkan cita-cita maka mintalah ke dalam nafasmu yang menjadi tempat bersemayamnya Sang Hidup atau Urip Sejati.
Seperti yang ada di pewayangan, Resi Drona berkata kepada Bima,
Hai Bima, kalau kamu ingin menang dalam perang Baratayudha, berdoalah memintalah kepada Sang Hidup yang ada di nafasmu, untuk itu sarananya adalah semedi.
Semedi adalah Ilmu Luhur Jawa sebagai satu-satunya sarana untuk mendapatkan Kayu Gung Susuhe Angin yang akan bermanfaat untuk mewujudkan cita-cita hidup mulia mati sempurna.
KAYU GUNG SUSUHING ANGIN
Bagi penggemar wayang kulit tidak asing dengan istilah ini.
Cerita tentang Bima disuruh sang guru, Bhagawan Drona, untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin.
Kata sang guru, ia juga menerimanya sebagai wangsit, jadi tidak tahu artinya. Padahal dibalik perintah untuk mencari makna kata tersebut adalah agar Bima dibunuh oleh raksasa yang tinggal di suatu hutan.
Adalah keberuntungan Bima, ternyata raksasa bisa dikalahkan.
Dan juga raksasa terkalahkan adalah penjelmaan dewa yang dikutuk.
Bukannya mendapatkan musibah, sebaliknya mendapatkah berkah.
Selain mendapatkan penjelasan tentang makna kata Kayu Gung Susuhing Angin, Bima juga mendapatkan pusaka yang kelak bermanfaat untuk masuk ke samudra.
Dalam penjelasannya, sang dewa mengatakan bahwa makna kata Kayu berarti karep atau keinginan.
Gung berarti besar.
Sedangkan Susuhing Angin adalah nafas manusia.
Singkat kata bermakna yaitu keinginan yang kuat atau besar hanya bisa terkabul jika mampu menguasai nafas.
Cerita wayang memahami makna kekuatan dari nafas.
Mereka telah memahami bahwa kehidupan terdiri dari :
Kehidupan adalah Pengalaman dan Pengalaman.
Pengalaman terdiri dari perbuatan dan perbuatan.
Perbuatan akibat dari ucapan dan ucapan.
Ucapan adalah pikiran dan pikiran.
Saat pikiran tidak terkendali yang terjadi hidupnya kacau.
Dapat dipastikan semua kehidupan kacau.
Jika hal ini terjadi, mungkinkah keinginan mulia digapai ?
Perhatikan saat kita dalam emosi yang negatif, marah, cemas, irihati, sakit hati dan sebagainya, nafas kita pendek dan ritmenya kacau.
Pikiran tidak dapat dilawan.
Saat kita memperhatikan pikiran dan berupaya menenangkan, yang didapatkan bukan semakin tenang tetapi semakin gelisah.
Jika pikiran tidak bisa tenang dapat dipastikan bahwa keinginan atau karep yang kuat tidak akan tercapai. Bagaimana mungkin pikiran yang tidak jernih atau kacau bisa memutuskan sesuatu dengan tepat ?
Bagaikan permukaan danau yang berombak, dasar sugai tidak dapat terlihat.
Hanya saat permukaan danau tenang, maka segala kotoran mengendap.
Dan dengan sendirinya, dasar danau terlihat dengan jelas.
Dalam teks aslinya di Mahabarata, istilah ini, Kayu Gung Susuhing angin tidak ada.
Berdasarkan hal ini, sesungguhnya penulis naskah atau istilah ini sangat memahami korelasi antara pikiran dan nafas.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, saat pikiran tidak tenang, keinginan yang besar tidak bakal terlaksana atau tercapai.
Keinginan yang mulia dapat tercapai bila dan bila menguasai Susuhing Angin, menguasai nafas.
Ya, saat nafas terkuasai, maka dengan sendirinya pikiran menjadi tenang.
Kita tidak mampu menenangkan pikiran, tetapi kita bisa mengatur nafas agar semakin perlahan.
Nafas bisa dikuasai, tidak seperti pikiran. Ibarat suatu tongkat yang dinamakan ketenangan.
Pada bagian pangkal adalah pikiran, sedangkan ujung lainnya adalah nafas. Tongkat ketenangan tidak diperoleh saat memegang bagian pangkal, pikiran.
Namun tongkat ketenangan didapatkan jika kita memegang bagian ujung lainnya, nafas.
Keinginan mulia atau agung hanya bisa dicapai oleh mereka yang nafasnya terkendali.
Nafas berkaitan dengan Prana atau life force atau aliran energi kehidupan.
TIRTA PAWITRA MAHENING SUCI
Tirta Pawitra Mahening Suci memiliki arti filsafat.
Tirta Pawitra Mahening Suci itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
Pawitra : bening.
Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan.
Dewa Ruci Werkudara (Bima dewasa) Sang Bima nyemplung di samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari air kehidupan guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci.
Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya.
Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima.
Kyai Nabat Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu.
Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.
Sang Bima nyemplung di samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari air kehidupan guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci.
Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya.
Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima.
Kyai Nabat Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.
Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga.
Berhasil.
Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka.
Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi pandangan.
Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah.
Sudah hilang kesadarannya.
Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada.
Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.
Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya merasa menginjak tanah, menapak kembali kehidupan. Pandangannya melihat bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di dasar samudra itu.
Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang mengalahkan cahaya yang ada.
Cahaya diatas Cahaya.
Bojah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima.
Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya.
Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi.
Namun saat kutelusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi.
Hilang wujudnya naga yang menggigit pahaku, tak dinyana aku sekarang tersangkut di pulai kecil yang begitu indah.
Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti cahaya.
Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi Bocah Bajang menuju kesini.
Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga.
Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang akan kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu.
Jangan sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana.
Ibaratnya, pernah ada seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota.
Saat terjadi transaksi dengan pedagang, orang gunung tadi hanya diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi berdasarkan ilmunya.
Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk Sang Hyang Bathara Dewa Ruci Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan kecil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah basa karma kepada siapa-pun, bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini. Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya :
Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ?
Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti ada kekurangannya, ada cacatnya.
Apakah Tirta Pawitra Mahening Suci itu ?
Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. Tirta Pawitra Mahening Suci itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
Tirta : air, kehidupan. Dimana ada air disitu ditemui kehidupan.
Pawitra : bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan.
Mahening : dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin.
Suci : terhindar dari dosa.
Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti dirinya untuk menggapai kesucian. Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh banyak manusia dari dulu hingga kini meskipun peyunjuk itu tlah lama adanya.
Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari kegalauan dan kekecewaan, kalau sudah dapat menemukan alam jati. Dimanakah Alam Jati itu ?
Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui cipta.
Bima kemudian disuruh memasuki gua garba Dewa Ruci.
Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati dengan memasuki badan paduka.
Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil.
Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.
Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ?
Bahkan Gunung dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga kiriku. Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.
Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan tentram belaka.
Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ?
Hamba melihat tempat yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan.
Terangnya bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah.
Hamba tidak tahu arah kiblat, mana utara selatan, mana barat timur.
Pun tidak tahu apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang.
Hamba masih dapat melihat dengan baik, dan mendengar, namun kenapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri.
Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?
Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama Loka Baka, alam kelanggengan, alam jati.
Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun masih hidup.
Hamba melihat Nyala satu tapi mempunyai cahaya delapan.
Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya.
Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa.
Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya, api, cahaya air, cahaya angin.
Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi kehidupan alam.
Cahya mentari, bulan dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air dan angin mewujudkan badan kasar manusia.
Ketujuh cahya yang telah menyatu disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar.
Namun hidup haruslah berlandaskan kepada pramana yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna 4.
Cahaya dari terjadi dari hawa 4 perkara, merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian.
Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian.
Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahya tadi maka cahya putih akan ternoda.
Namun bila cahya putih tadi berjalan secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan sendirinya.
Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini selamanya.
Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui berbagai derita sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan hanyalah kedamaian dan ketentraman semata.
Werkudara, sikap yang begitu adalah salah, tidak sesuai dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia dalam menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran.
Kamu disini hanya diperlihatkan alam jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini.
Suatu saat nanti kamu pasti akan menikmati alam itu.
Keluarlah segera kamu dari gua garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria.
Tugas pertamamu telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan nglalu njebur samudra.
Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan Dewa Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini.
TIRTO PERWITOSARI MAHENING SUCI
Penjelasan tentang TIRTO PERWITOSARI MAHENING SUCI terdapat pada Kisah Dewaruci yang terdapat di 2 kitab jawa kuno yaitu :
1. KITAB NAWARUCI
2. KITAB SANG HYANG TAT TWAJNANA
Kedua kitab tsb ditulis oleh Mpu Siwamurti pada jaman Kerajaan Majapahit
TIRTO PERWITOSARI MAHENING SUCI
Berikut ini cuplikannya :
Ilmu sejati meniko tetesing embun ingkang medal saking wahono bumi, inggih tetesing anugrah lan wujud welas asihing Gusti Hyang Tunggal Jati, wujud saking joyo rebowo urip, wujud saking cahyaning urip, wujud agunging Gusti.
Ilmu Sejati di ibaratkan sebagai :
Sumber mata air kebenaran hakiki
Sumber mata air suci cahaya kehidupan.
Ilmu Sejati akan memancar keluar jika manusia sudah bisa mengendalikan nafsunya dan sudah berada di tahap MADEG MADEP MANTEP.
Manusia sejati selalu mengutamakan berbagi welas asih kepada sesama manusia dan makhluk lain di alam semesta.
Manusia wajib berusaha mencari dan menemukan Ilmu Sejati agar bisa mencapai derajat sebagai Manusia Sejati yang ber Budi Bowo Laksono dan ber Budi Pekerti Luhur.
Proses pencarian Ilmu Sejati seperti digambarkan dalam Kisah Dewaruci, dimana Werkudoro bertemu dengan Dewa Ruci yang akhirnya Werkudoro mendapat Tirto Perwitosari yaitu Ilmu Sejati dengan cara Mahening Suci yaitu melakukan Semedi sampai masuk ke alam suwung (alam suci) yang di ibaratkan Werkudoro masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci.
Ilmu Sejati bersumber dari Guru Sejati yang membimbing Sukma Sejati sebagai Utusan Gusti di dunia
Ilmu Sejati sebagai pedoman untuk mengantarkan kita kepada Kamulyaning Urip Kasampurnaning Pati
Sejak ratusan tahun yang lalu Leluhur Jawa sudah memahami dan menguasai Ilmu Sejati atau Ilmu Hakekat Ketuhanan yang juga dikenal dengan Kawruh Jowo.