SLAMETAN
Slametan / Selametan adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Selametan juga dilakukan oleh masyarakat Sunda dan Madura. Selametan adalah suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga .
Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.
Acara Selamatan di sebuah masjid di Cibodas pada tahun 1907, dengan tumpeng sebagai menu utamanya.
Praktik upacara selametan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hildred Geertz tersebut pada umumnya dianut oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin (tukang ngujubke/tokoh masyarakat ahli doa) yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang Maha Kuasa.
Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian, termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya.
Geertz mengkategorikan mereka ke dalam empat jenis utama :
1. yang berkaitan dengan kehidupan :
- Kelahiran.
- Khitanan.
- Pernikahan.
- Kematian.
2. Yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam Bersih Desa (pembersihan desa), berkaitan dengan integrasi sosial desa.
3. Kejadian yang tidak biasa misalnya :
- Berangkat untuk perjalanan panjang.
- Pindah rumah.
- Mengubah nama.
- Kesembuhan penyakit,
- Kesembuhan akan pengaruh sihir,
- Dan sebagainya.
Slametan berasal dari kata slamet (Arab : salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa).
Upacara slametan merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari mala petaka.
Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda.
Hal ini karena kesadaran akan diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia.
Budaya slametan masyarakat jawa.
Istilah slametan sudah sangat terkenal di pulau Jawa.
Slametan merupakan salah satu adat istiadat atau budaya orang jawa, termasuk juga menjadi ritual keagamaan yang populer bagi masyarakat islam pulau Jawa. Istilah Slametan berasal dari bahasa jawa, yaitu slamet yang berarti selamat.
Istilah slametan tidak hanya berada di pulau Jawa.
Istilah slametan juga terdapat selain di pulau Jawa.
Tetapi masyarakat luar pulau Jawa mengenalnya dengan tradisi doa bersama.
Konon slametan adalah salah satu cara yang dilakukan para penyebar agama islam atau yang lebih dikenal dengan walisongo untuk mengajak masyarakat pribumi Indonesia mengenal agama islam. Karena agama menampilkan banyak wajah, tidak hanya sekedar ibadah.
Agama yang asalnya satu bisa berwujud aktivitas beragam yang menggiring pada kerukunan dan harmonitas sosial bila pemeluknya paham atau mengerti agama dan menyadari keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat.
Secara umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata atau kasar dan juga makhluk halus (suatu keadaan yang disebut slamet).
Walaupun kata slamet dapat digunakan untuk orang yang sudah meninggal (dalam pengertian diselamatkan), ada juga yang mengatakan bahwa kata slametan tidak layak digunakan dalam upacara pemakaman, dan menggunakannya berarti keliru.
Alasan utama penyelenggaraan slametan meliputi perayaan siklus hidup seorang bayi, menempati rumah baru, panen hasil pertanian dan dalam rangka memulihkan harmoni setelah perselisihan suami istri atau dengan tetangga, untuk menangkal akibat mimpi buruk, dan yang paling umum memenuhi nadzar atau janji, misalnya bernadzar akan menyelenggarakan slametan kalau anaknya sembuh dari sakit, tetapi tidak ada alasan yang lebih kuat daripada keinginan mencapai keadaan yang aman dan sejahtera.
Menurut Hildred Geertz, ia telah membagi setidaknya menjadi empat jenis kategori utama, yaitu a) Selamatan yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian.
b) Selamatan yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam.
c) Selamatan bersih desa ("pembersihan desa") , berkaitan dengan integrasi sosial desa.
d) Ritual Selamatan untuk kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.
Dalam praktek menjalankannya, slametan dilakukan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga dan juga para tetua desa.
Dan seseorang yang dalam istilah Jawa dikenal dengan nama modin.
Secara tradisional acara slametan dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.
Dan dilanjutkan dengan makan bersama.
Selamatan juga merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang mengalami akulturasi. Masyarakat Jawa terkenal dengan tradisi budayanya yang kental dan dipengaruhi oleh ajaran dan kepercayaan dari kebudayaan Hindu-Budha.
Oleh karena itu, para ulama Islam yang menyebarkan agama Islam di Jawa, atau lebih dikenal sebagai Wali Songo, melakukan langkah atau upaya akulturasi sebagai cara mereka untuk mengajarkan ajaran agama Islam ke dalam lingkungan masyarakat Jawa.
Pencampuran ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekagetan terhadap budaya baru (culture shock) pada masyarakat Jawa yang sudah mengenal budaya Hindu-Budha sehingga dapat menerima dan mengamalkan ajaran agama Islam secara sukarela dan tanpa merasa meninggalkan tadisi nenek moyangnya.
Pada masa Hindu Budha tepat sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan diadakan untuk berterimakasih kepada para dewa dan leluhur mereka atas nikmat yang diberikan.
Tradisi ini dilakukan dengan menyiapkan berbagai jenis makanan atau buah-buahan untuk dijadikan sesajen.
Setelah Islam masuk, Selamatan saat ini diartikan sebagai suatu acara yang diadakan sebagai bentuk syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Selamatan ini dilakukan dengan kehadiran beberapa anggota masyarakat yang di depannya disajikan berbagai jenis makanan dan dilakukan pembacaan do'a yang dipanjatkan kepada Allah SWT oleh seorang tokoh terkemuka dalam masyarakat tersebut.
Akulturasi sangat berperan penting dalam upaya penyebaran agama Islam, terutama di pulau Jawa.
Dengan dilakukannya akulturasi, Islam dapat membenahi kebudayaan yang bertentangan dengan agama menjadi selaras dengan agama, tanpa mengubah kebudayaan asli masyarakat tersebut.
Slametan dalam budaya Jawa
Slametan salah satu kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya adalah menyelenggarakan selametan, yaitu suatu acara pengiriman doa ketika seseorang mendapatkan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa atau meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya dijauhkan dari bencana.. Acara ini biasanya dihadiri oleh para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara, dan keluarga inti.
Siklus Slametan
Slametan terbagi dalam empat jenis :
1. Berkisaran sekitar krisis- krisis kehidupan.
Contoh : Kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian
2.Berhubungan dengan hari- hari raya Islam.
Contoh : Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.
3. Bersangkutan dengan integrasi sosial desa, bersih desa (harfiah berarti pembersihan desa, yakni : dari roh- roh jahat).
4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya.
Faktor
Ada dua faktor yang umum untuk jenis itu, pertama, prinsip yang mendasari penentuan waktu slametan dan kedua arti ekonomi slametan itu.
Perhitungan : Sistem Numerologi Orang Jawa.
Slametan kelahiran waktunya ditetapkan menurut peristiwa kelahiran, dan slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu; namun orang Jawa tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan; peristiwa itu dianggap sebagai yang ditentukan oleh Tuhan, yang menetapkan secara pasti perjalanan hidup setiap orang. Upacara khitanan dan perkawinan tampaknya perlu ditetapkan dengan kehendak manusia, tetapi dalam menetapkan pun tidak boleh sembarangan.
Suatu tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut petungan atau hitungan.
Sistem petungan memberikan suatu jalan untuk menyatakan hibungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan cara untuk menghindari semacam disharmoni dan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan.
Di pihak lain, waktu sebagaimana telah disebutkan, bersifat seperti getaran, suatu periode waktu tertentu merupakan hasil dari koinsidensi hari dalam siklus lima dan tujuh hari dan dalam sistem petungan yang lebih cermat, merupakan bagian dari wuku minggu yang tiga puluh tujuh hari. Bagian dari salah satu bulan dalam dua belas bulan Islam menurut perhitungan rembulan, dan akhirnya bagian dari salah satu tahun dari perhitungan windu. Jadi, dalam kepindahan itu orang harus menyesuaikan arah pindah dengan angka- angka diletakkan kepada hari- hari itu.
Bagi para priyayi, sistem angka- angka hari ini adalah deskripsi empiris dari tatanan alam yang tertinggi.
Angka-angka itu dianggap keluar dari kesadaran dalam orang- orang kramat yang termasyhur dan diwariskan dari generasi ke generasi, sering secara rahasia, dari guru kepada muridnya yang terpilih.
Tetapi bagi kalangan abangan angka- angka itu cenderung diterangkan dalam pengertian roh, dalam apa yang disebut nagadina atau naga hari.
Orang menggunakan naga wulan untuk kesempatan-kesempatan yang serius perjalanan jauh, katakanlah ke Mekah Dinas& tugas negara, sementara naga dina kebanyakan digunakan untuk perpindahan di dalam kota. Naga tahun, ular tahun, berhubungan perjalanan yang sangat penting, seperti bepergian keluar Jawa.
Disini kita mempunyai suatu sistem yang agak sedikit umum, yang bisa memberitahukan seseorang tentang apakah yang ingin dilakukan itu baik atau tidak. Pertama-tama orang itu menghitung angka hari waktu ia melakukan ramalannya.
Sistem dan kompleksitas begini biasanya merupakan milik para spesialis, orang biasa lazimnya akan pergi ke dukun apabila ingin mengetahui sesuatu menurut ramalan.
Biaya Slametan
Penyelenggaraan slametan, tentu saja memerlukan uang, tetapi sukar untuk membuat suatu perkiraan tentang berapa besarnya, bukan saja karena orang tidak menyimpan catatan mengenai pengeluaran serupa itu, tetapi juga karena menggambarkan jumlah uang dalam mata uang asing benar- benar tidak banyak artinya justru menyesatkan, bahka kalau orang tahu nilai kursnya.
Memperkirakan arti ekonomis perayaan keagamaan mereka dari sudut pandangan orang Jawa sendiri, agar dengan begitu bisa memberikan yang benar kepada pembaca Barat tentang jumlah sebenarnya, kekayaan orang Jawa yang tersangkut disini memerlukan apa yang disebut fenomologi kompratif mata uang.
Jadi, dalam konteks ini, terutama berdasarkan perbandingan yang mutlak akal dari pengalaman di Amerika dan Mojokuto, bahwa angka pembagi tiga adalah realistis. Karenanya, jikalau slametan sederhana di Mojokuto memerlukan biaya sekitar 30 rupiah, akan keliru sekali untuk disimpulkan bahwa ini dapat dibandingkan dalam arti fenomenologis yang bagaimanapun dengan pengeluaran sebesar satu dollar di Amerika; sepuluh dollar akan lebih terasa sepadan.
Siklus Slametan : Kelahiran
Tingkeban.
Disekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan berbagai slametan kecil. Slametaan utama diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan (tingkeban yang diselenggarakan hanya apabila anak yang di kandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran atau brokohan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan tujuh bulan setelah kelahiran (pitonan). Penentuan waktunya, patut juga dicatat, bukanlah menurut bulan Barat yang hanya 30 hari tetapi dengan bulan orang Jawa yang 35 hari. Orang jawa menggabungkan lima hari pasaran (Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon) dengan hari-hari menurut mingguan Islam-Barat yang tujuh hari (Minggu, Senen, Selasa, Rabo, Kamis, Jumuwat, Setu).
Tingkeban mencerminkan perkenalan wanita Jawa kepada kehidupan sebagai ibu.
Tingkeban itu diselenggarakan di rumah ibu si calon ibu.
Dalam tingkeban sebagaimana dalam slametan, disamping hidangan, sajian gabungan baik kepada roh-roh maupun kepada para tetangga, ada lagi sajian khusus makhluk halus secara keseluruhan yakni sajen. Sajen tersebut diletakkan di berbagai sudut kamar dan ambang pintu di sekitar rumah pada Kamis malam, yang menurut perhitungan orang Jawa sudah merupakan bagian dari hari Jumat karena terbenamnya matahari menandai mulainya hari baru. Bila bagian slametan dari Tingkeban sudah selesai, sajen-sajen itu dibrerikan kepada dukun bayi yang memimpin upacara berikutnya dan yang biasanya juga membantu dalam kelahiran nanti. Ketika sambutan pembuka sudah selesai, donga (doa dari bahhasa Arab) telah dibacakan, hidangan telah dicicipi dan dibungkus untuk dibawa pulang.
Maka upacara untuk Tingkeban yang sebenarnyapun mulailah. Upacara Tingkeban ditutup dengan penjualan rujak legi oleh sang istri, dibantu oleh suaminya, kepada semua yang hadir yang membayarnya dengan sebuah mata uang.
Babaran
Dekat menjelang kelahiran, beberapa orang mengadakan slametan kecil dengan anggota-anggota keluarga saja, yang hidanganya terdiri dari sepiring jenang dengan sebuah pisang yang telah dikupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar.setelah anak dilahirkan, dukun mengambil pisau bambu yang tradisional (welad) untuk memotong tali pusar. Kemudian ia membubuhkan kunir (kunyit) untuk segala penyakit pada luka itu dan mengikat tali pusarnya. Suatu slametan kecil yang disebut babaran diselenggarakan ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih, karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur.
Pasaran
Lima hari sesudah slametan pertama untuk bayi diselenggarakan, sebuah slametan yang agak lebih besar, pasaran dan pemberian nama si bayi. Hidangan pada pasaran hampir sama dengan hidangan pada upacara tangkeban, tetapi tanpa rujak legi dan tambahan makanan ringan dari pasar (krupuk ikan, berondong jagung, penganan dari beras yang diberi gula, dan sebagainya)
Pitonan
Slametan tujuh bulanan atau pitonan. Makanan utamanya adalah semacam puding tepung beras yang disebut jenang, yang dibuat dalam tujuh warna. Pitonan harus diadakan pagi hari sebelum pukul 12 siang. Pitonan mengakhiri lingkaran slametan yang berpusat pada kelahiran, walaupun beberapa keluarga lainnya menyelenggarakan slametan kecil pada bulan ke dua belas.
SLAMETAN KHITANAN DAN PERKAWINAN.
Khitanan : Sunatan
Upacara untuk merayakan khitanan pada umumnya menyerupai pola upacara perkawinan, tentunya dengan meniadakan unsur-unsur yang berhubungan dengan upacara bersanding bagi kedua mempelai. Dalam beberapa hal, perkawinan dan khitanan merupakan upacara menyambut masa remaja pada orang Jawa; perkawinan bagi anak perempuan dan khitanan bagi anak laki-laki.
Dalam hubungan ini keduanya harus dilihat sebagai pasangan yang tak terpisahkan dari upacara menyambut masa remaja bagi masing-masing jenis kelamin.
Menurut kebiasaan adat Jawa, penyunatan dilakukan oleh seorang ahli yang disebut calak (atau bong) yang seringkali juga merangkap sebagai tukang cukur, jagal, atau dukun. Salah seorang calak yang terkenal ialah seorang haji yang juga merangkap sebagai dukun.
Penghasilan dari prakteknya sebagai calak merupakan bagian terbesar dari seluruh pendapatannya, upah yang didapatkannya bergantung pada jarak pasien dan juga bergantung pada kedudukan kliennya.
Sesudah sistem petungan diterapkan dan hari baik dipilih, suatu slametan diselenggarakan pada malam hari menjelang sunatan dilaksanakan.
Slametan ini disebut manggulan, adalah sama persis dengan slametan midadareni.
Di dalamnya dihidangkan semua jenis penganan, misalnya penganan dari beras ketan, bubur tiga warna, bubur dari sekam beras yang ditumbuk dan lain-lain, yang masing-masing dari penganan itu mempunyai filosofi sendiri-sendiri. Ada juga beberapa sesajen yang digunakan dalam acara itu.
Setelah slametan selesai, anak laki-laki melaksanakan berbagai tata cara sebelum sunatan / ritual bagi orang Jawa.
Setelah itu, anak disunat oleh calak dengan menggunakan sebilah pisau yang disebut wesi tua.
Malam itu pesta dan hiburan berlangsung walaupun anak masih merasakan sakit dan lesu, ia harus duduk di hadapan para tamu undangan hampir sepanjang malam itu.
Perkawinan : Kepanggihan
Orang tua dari pihak pria masih melakukan pola lama yang terdapat dalam tata cara perkawinan yaitu mengenai lamaran resmi.
Dalam lamaran, pihak keluarga dari pria melamar gadis itu. Selanjutnya nontoni yaitu pertemuan di mana calon mempelai laki-laki dan perempuan beserta para calon mertua hadir, si gadis menghidangkan teh kepada sang jejaka dan jejaka itu hanya memandang dari sudut matanya. Jikalau cocok maka selanjutnya diadakan upacara perkawinan. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan (pertemuan) dan diselenggarakan di rumah pengantin perempuan.
Anak laki-laki menurut tradisi harus memberi dua macam hadiah kepada pihak perempuan: paningset (berupa pakaian dan perhiasan) dan sasrahan (berupa seekor kerbau / sapi dan perabot rumah tangga).
Hadiah yang pertama diberikan sesudah putusan perkawinan ditetapkan.
Perkawinan anak pertama dan terakhir pada umumnya diselenggarakan lebih besar daripada anak-anak perempuan lainnya.
Perkawinan anak perempuan pertama disebut bubak yang mempunyai makna sama dengan babak : membersihkan tanah dan membuka suatu daerah perawan. Upacara anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek artinya penghormatan yang penghabisan.
Dalam islaman, slametan perkawinan disebut juga midadareni, diselenggarakan pada malam hari menjelang upacara yang sebenarnya.
Sesudah slametan, gadis didudukkan di tengah sentong, sementara ibunya melaksanakan upacara membeli kembang mayang.
Perkawinan berlangsung pagi harinya. Hari perkawinan ditentukan dengan sistem petungan.
Pada saat yang baik sebelum tengah hari, pengantin lelaki dan pengiringnya pergi ke kantor naib dengan dipimpin oleh modin. Pengantin perempuan biasanya tidak ikut oleh karena itu diwakili oleh wali dari anggota keluarganya yang laki-laki yang masih hidup. Sang wali secara resmi meminta naib mengawinkan anak perempuannya dengan pengantin laki-laki dan proses pelaksanaan ijab-kabul pun dimulai. Setelah ijab-kabul pengantin laki-laki dan perempuan pun sah menjadi suami-isteri.
Bagi kalangan santri ini merupakan bagian yang terpenting dalam perkawinan, yang membuat perkawinan menjadi sah di mata Tuhan dan di depan pemerintahan. Proses ijab dilakukan di hadapan tamu-tamu pada resepsi resmi. Bagi kalangan abangan, bagian yang penting itu akan menyusul.
Di rumah mempelai perempuan, diadakan pesta/ resepsi.
Pada pintu masuk dipasang janur kuning sebagai tanda bahwa keluarga itu sedang mempunyai kerja (duwe gawe).
Pengantin wanita (manten) bedandan sebagai seorang puteri ratu, sedang pengantin pria (manten) berdandan sebagai pangeran. Setiap perkawinan memerankan kembali perkawinan kerajaan dan pakaian yang dipakai pengantin itu selayaknya pakaian kerajaan. Di masyarakat Jawa umumnya, seorang priyayi tinggi yang mengawini gadis dari kelas yang lebih rendah tidak akan hadir dalam pesta itu, tetapi hanya mengirimkan keris atau foto penganti pria sehingga gadis itu pun dinikahkan dengan keris atau fotonya.
Di adat Jawa pola busana tradisional hanya sering didapati di kalangan priyayi.
Gadis-gadis abangan adat Jawa mengenakan pakaian Barat yang kualitasnya tentu lebih bagus.
Anak lelak abangan berjas ala Barat, bersarung dan berpici hitam dari seberang.
Gadis-gadis santri, khususnya di dalam kota, mengenakan gaun putih bersih, yang agak mirip dengan gaun perkawinan Barat, dan sehelai kerudung, sementara pengantin pria mengenakan pakaian Barat dengan pici di kepala.
Gadis-gadis santri di desa mengenakan kerudung dengan pakaian Jawa yang biasa.
Pengantin perempuan muncul dari rumah dan diikuti pengantin pria yang kemudian masing-masing saling melempar dengan daun sirih itu.
Dalam perkawinan priyayi akan dijumpai upacara sembah, sementara kalangan santri hanya melakukan salaman.
Setelah upacara panggih, kembang mayang dilemparkan ke atap, pasangan mempelai menyalami para tamu dan upacara itu pun selesai.
Untuk mempelai perempuan yang belum mengalami datang bulan, ditambah lagi upacara khusus yang disebut jago-jagoan.
Jikalau telur yang didudukinya pecah maka gadis itu pernah mangalami datang bulan, tapi jika telur itu tidak pecah maka mempelai perempuan disebut sebagai manten pangkon mempelai pangkuan.
Aspek Sosial dan Ekonomi. Upacara Khitanan dan Perkawinan
Orang Jawa menyebut upacara perkawinan dan khitanan dengan duwe gawe atau mempunyai kerja, dan menganggapnya sebagai contoh yang baik sekali untuk sebuah nilai yang mereka sebut rukun, yang barangkali akan sangat tepat jika diterjemahkan dengan kerja sama yang dijadikan tradisi.
Rukun sebagai suatu nilai merupakan bentuk-bentuk kerja sama antarindividu yang secara spesifik terbatas dalam suatu konteks sosial yang diberi batasan secara jelas.
Sebagai suatu upacara, duwe gawe mendekati generalisasi dan pengikhtisaran kewajiban masing-masing orang untuk rukun, seperti juga kewajiban untuk menaati institusi lainnya dalam masyarakat tradisional Jawa, karena fungsi sosial upacara keagamaan adalah sekedar memberi generalisasi dan ikhtisar yang bisa dimengerti atas praktik-praktik sosial yang sudah disepakati dalam bentuk simbolis.
Pada segi konsumsi, aspek sekuler perkawinan dan khitanan biasanya agak terpisah dari aspek-aspek religius yang langsung.
Di kalangan masyarakat, menyelenggarakan resepsi perkawinan atau pun khitanan merupakan suatu keharusan bahkan bagi masyarakat golongan bawah (relatif miskin).
Sumber biaya/ kekayaan dan bantuan tenaga yang digunakan untuk acara resepsi itu berasal dari : pertama bisa menggunakan tenaga sanak keluarganya dan terutama kalau ia kaya dan mempunyai kedudukan tinggi, tenaga teman-temannya juga. Salah satu contohnya, setiap orang yang menyumbangkan tenaga pada slametan perempuan hamil beserta suaminya berhak untuk meminta bantuan tenaga barang sehari untuk maksud yang sama dikemudian hari.
Situasi semacam itu adalah suatu imbalan jasa timbal balik.
Untuk kalangan santri, kelompok wanita yang menjadi organ kedua partai politik Islam merupakan semacam tenaga kerja bergilir untuk pesta-pesta perkawinan dan khitanan masing-masing, untuk kalangan priyayi organisasi wanita nasionalis Perwari merupakan kelompok macam itu, untuk kalangan abangan kelompok-kelompok wanita yang berhubungan dengan serikat-serikat buruh melakukan peranan yang sama juga.
Dalam hal ini mungkn asas timbal balik tidak begitu pasti, sumbangan yang umum sifatnya itu sering hanya merupakan tindakan simbolik saja.
Sumber yang kedua, dengan membelanjakan tabungannya sendiri (misal menjual sapi/ kerbaunya) atau menggadaikan barang berharga (emas). Berhutang kepada teman atau pemberi kredit merupakan sumber ketiga.
Sumber pembiayaan keempat adalah buwuh.
Buwuh adalah jenis sumbangan uang yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang mereka terima.
Jadi buwuh itu, sebagaimana juga sumbangan tenaga, secara ideal merupakan suatu bentuk rukun.
Di kalangan priyayi, di mana kecenderungan ini tampak sangat jelas, pola buwuh yang menyangkut uang ditolak sebagai suatu hal yang tidak senonoh, dan pemberian hadiah terutama dalam perkawinan, menggantikannya.
SIKLUS SLAMETAN KEMATIAN.
Pemakaman : Layatan
Berlawanan dengan upacara-upacara pergantian tahap lainnya, semua pemakaman (layatan) tak pelak lagi masih diselenggarakan oleh modin, pejabat keagamaan resmi di desa.
Kalau terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memanggil modin, dan kedua menyampaikan berita di daerah sekitar bahwa suatu kematian telah terjadi.
Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian.
Alasan yang lazim dikemukakan bila ada orang bertanya mengapa penguburan itu begitu tergesa-gesa adalah bahwa roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya dikuburkan, tinggalkan. Makin cepat ia dikuburkan, makin cepat pula rohnya kembali ke tempatnya yang layak.
Beberapa slametan yang bentuknya persis sama, tetapi dengan ukuran yang lebih besar dalam arti jumlah tamu dan panjangnya pembacaan doa, diselenggarakan pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan keseratus si mati meninggal, pada peringatan tahu pertama dan kedua, dan hari keseribu si mati meninggal.
Kepercayaan dan Sikap Terhadap Kematian.
Iklas, merelakan keadaan secara sadar, merupakan kata yanfg jadi pedoman, dan walaupun seringkali sulit diperoleh, namun senantiasa diusahakan orang. Ada berapa variasi dalam kepercayaan terhadap takdir ini, karena beberapa orang berpendapat bahwa umur orang akan bertambah kalau ia bertingkah laku sesuai denga etika, dan orang lain lagi (atau kadang-kadang juga orang yang sama cocok tidaknya logika dua kepercayaan yang berlainan biasanya tidak merupakan masalah yang serius bag kalangan abangan) berpendapat bahwa kematian prematur mungkin merupakan hasil dari kecelakaan hebat, tenung, berkawan dengan roh jahat, mengucapkan sumpah palsu, perjalanan hiup yang terlalu cepat, kekecewaan hati yang terus-menerus berkepanjangan, atau semacam luka berat yang mendadak.
Tiga pengertian terpisah tentang hidup dan sesudah mati, lagi-lagi sering dipegang bersama-sama oleh individu yag sama, suatu hal yang bisa terjadi di Mojokunto. Yang pertama adalah versi Islam mengenai konsep balas jasa abadi, mengenai hukum dan pahala di akhirat untuk dosa-dosa dan amal saleh yang bersangkutan. Yang lebih populer di kalangan abangan adalah konsep sampurna, yang secara harfiah berarti lengkap atau sempurna, tetapi yangmemberikan indikasi dalam konteks ini bahwa kepribadian individual menghilang seluruhnya sesudah ia meninggal da tak ada lagi yang tinggal kecuali debu.
Pandangan ketiga, yang dipegang secara sangat luas oleh semua orang kecuali santri, yang menganggapnya sebagai bid’ah, adalah pengertian tentang reinkarnasi-bahwa ketika seorang meninggal, jiwanya masuk segera sesudah itu ke dalam suatu embriyo dalam rangka kelahirannya kembali.
Siklus Slametan :
Slametan menurut Penanggalan
Slametan yang berhubungan dengan titik tahap kehidupan, ada siklus lain yang kurang ditekankan dan tak begitu meriah, yang berhubungan dengan kalender umat islam
- Sura : merupakan hari raya Budha.
10 Sura untuk menghormati :
- Hasan dan Husein yang merupakan cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum Kafir.
- 12 Mulud : menurut konvensi, Nabi Muhammad dilahirkan dan wafat. Slametan ini kemudian disebut dengan Muludan.
- 27 Rejeb : untuk merayakan mikraj, perjalanan Nabi Muhammad menghadap Tuhan dalam satu malam.
- 29 Ruwah : permulaan puasa yang disebut dengan Megengan. Slametan ini diadakan paling sedikitnya salah seorang dari orang tuanya yang sudah meninggal.
- 21, 23, 25, 27 atau 29 Pasa : diadakan pada salah satu diantaranya, yang disebut dengan maleman.
- 1 Syawal : mengakhiri puasa yang disebut Bruwah; nasi kuning dan sejenis telur dadar merupakan hidangan yang spesial, kemudian ddilanjutkan berziarah kemakam keluarga atau orang tua mereka.
- 7 Syawal : suatu slametan kecil yang disebut Kupatan.
10 Besar : merupakan hari penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari jemaah haji berkumpul di Mekah untuk melaksanakan lagi pengorbanan itu.
Slametan Desa : Bersih Desa
Berhubungan dengan Pengudusan perhubungan dalam ruang. Dimana hidangan dipersembahkan kepada danyang desa di tempat pemakamannya. Bersih desa selalu diadakan pada bulan Sela, bulan kesebelas Tahun Kamariah.
Bersih desa, yang mulanya dirancang untuk mengintegrasikan rakyat yang kurang akrab satu dengan yang lain, namun kadang-kadang juga mengalami kesulitan untuk melakukan fungsi di dalam konteks yang lebih bersifat kota.
Slametan selingan
Slametan yang sekali-sekali diadakan untuk suatu peristiwa atau maksud khusus yang tidak secara khas berulang kembali pada rangkaaian jarak aktu ttertentu.
Slametan : pindah rumah, ganti nama, memulai perjalanan, mimpi buruk, menolak atau meminta hujan, ulang tahun klub-klub atau organisasi persaudaraan, slametan karena tenung, untuk pengobatan dan slametan selingan.
Pengaruh kebiasaan Belanda kebanyakan dikalangan priyayi kadang-kadang membawa timbulnya slametan yang keluar dari kebiasaan beberapa orang misalnya mengadakan slametan kawin perak atau pesta pertunangan.
Ada keadaan-keadaan tradisional yang mengharuskan untuk diadakan slametan seperti, slametan yang harus diadakan untuk anak tunggal agar ia tidak jadi mangsa Batara Kala, Dewa Hindu yang jahat.
25 Nama Selamatan Jawa dan maknanya.
Meskipun orang Jawa asli, belum tentu mengetahui selamatan atau upacara-upacara jawa di bawah ini.
Tahlilan, kirim luwur (jawa) adalah nama upacara yang sangat terkenal luas, bahkan anak kecil pun sudah pada mengetahuinya tak peduli apakah orang Jawa atau bukan, karena sudah menjadi me-nasional acara ini dilakukan di seluruh Indonesia terutama umat Islam aliran Walisanga tersebut.
Berdasarkan abjad, inilah ke duapuluh lima acara di tanah Jawa.
25 Nama Selamatan Jawa dan maknanya :
1. Bersih Desa.
Selametan ngresiki desa.
2. Berjanji.
Moco puji-pujian ngenani riwayate Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
3. Boyongan.
Ngalih omah.
4. Brokohan.
Slammetn tumrap bayi kang mentas lahir.
5. Kirab.
Metu arak-arakan (wadyabala, manten).
6. Mantu.
Duwe gawe ngomah-omahake anak.
7. Megengan.
Wiwitane sasi poso.
8. Mitoni.
Slametan naliko meteng pitung sasi.
9. Mule.
Slametan ndongakake para kaluwarga sing wis seda.
10. Muludan.
Slametan ing dina wiyose Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
11. Ngirim.
Ngopeni kuburane kaluwarga.
12. Nyandran.
Ndongakake wong sing wis seda ana ing makam.
13. Nyekar.
Ngopeni kuburan lan ndongakake keluwarga sing wis sedo.
14. Nyepalani.
Slametan naliko bayi umur selapan (35 hari).
15. Nyepasari.
Slametan naliko bayi umur sepasar (5 hari).
16. Puputan.
Slametan naliko pusere bayi wis pedot.
17. Sedekah bumi.
Bersih desa.
18. Slawatan.
Dedonga marang Gusti Allah kagem Kanjeng Nabi Muhammad SAW, keluwarga dan sahabatnya.
19. Tahlilan.
Maca puji-pujian marang Gusti Allah, biasane sak wise kesiprahan (kepaten).
20.Tetakan.
Sunatan.
21. Tedhak siti.
Slametan naliko bocah cilik wiwit diudhunake ing lemah.
22. Tingkeban.
Mitoni, slametan naliko meteng 7 bulan.
23. Udhun-udhunan.
Slametan ngarepake Bakde (lebaran).
24. Unggah-unggahan.
Slametan ngarepake poso (sasi poso, Ramadan).
25. Wiwit.
Slametan ngarepake methik pari.
Dari keduapuluhlima nama selamatan itu, ada nama yang beda namun artinya adalah sama yaitu antara mitoni dan tingkeban yang artinya sama-sama mengadalan selamatan karena istri sedang mengandung 7 bulan.