WANI SILIT WEDI RAI
Tegese wanine nang mburi seneng ngoMongke eleke liyan tapi ora wani ngadepi utowo ora wani adu arep.
Wani silit, wedi rai - suatu ungkapan peribahasa Jawa yang mengambarkan sikap pengecut.
Wani silit = Berani menunjukkan pantat.
Wedi rai = Takut menunjukkan muka.
Takut berhadapan muka, hanya berani menunjukkan pantat (berlari menjauh).
Dalam bahasa Jawa, orang model seperti masuk dalam istilah Wani Silit Wedi Rai.
Wani (berani), Silit (dubur), Wedi (takut), Rai (muka).
Peribahasa ini biasanya untuk menggambarkan sikap seorang pengecut.
Wani silit bisa diartikan seseorang hanya berani dari belakang, tidak berani bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya.
Wedi rai berarti takut mengakui kesalahan dan takut untuk bertanggung jawab pada apa yang telah diperbuat.
Dalam perkembangannya, orang-orang model seperti itu akan mudah memanfaatkan orang-orang di sekeliling untuk menutupi kekurangannya. Dengan kata lain, menjadikan orang di sekelilingnya sebagai tameng. Maka, jika ada permasalahan seringnya dilimpahkan ke orang lain padahal dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua itu.
Mental pengecut memang ada di sekitar kita. Atau bahkan kita sendiri terjangkiti gejala itu. Gampang menuduh, lari dari tanggung jawab, menimpakan kesalahan pada orang lain wujud dari mental pengecut. Itu tidak saja menunjuk pada sekelompok masyarakat, tetapi juga sebagian elite politik. Inilah mental wani silit wedi rai.
Tentu sikap itu tidak elok. Seseorang tentu akan marah jika dituduh bermental wani silit wedi rai.
Ungkapan Wedi Rai Wani Silit seperti apa yang tersurat dalam Serat Rama (1912), berarti Takut bertatap muka beraninya sama anus.
Pepeling ini merupakan perumpamaan bagi seseorang yang pengecut, yang beraninya hanya mencaci maki di belakang orang, tetua di Bali mengatakan dengan istilah demen ngukir tundung timpal (suka mengukir punggung orang lain), tetapi saat berhadap-hadapan ia tidak berani berkata apa-apa.
Bahkan, seringkali seorang pengecut pura-pura bermuka manis di hadapan orang yang sebenarnya dibencinya.
WANI SILIT WEDI RAI dan TUMBAK CUCUKAN
Wani : Berani; Silit: Anus; Wedi : Takut; Rai: Wajah. “Silit” tempatnya di bagian belakang sedangkan “Rai” di bagian depan.
Jelas sekali bahwa ungkapan ini berarti orang yang beraninya hanya dari belakang. Bukan berati orang yang menusuk kita dari belakang. Ungkapan ini tidak ada kaitannya dengan serangan fisik dari belakang, tetapi serangan mulut pada saat yang bersangkutan tidak ada di hadapan kita.
WANI SILIT WEDI RAI
Hal seperti ini banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita ambil contoh ketika ibu-ibu sedang kumpul, bisa kumpul terencana seperti waktu arisan, atau kumpul tidak terencana misalnya sore-sore di depan rumah. Semula dua orang lama-lama bisa duabelas orang. Kebanyakan “ngrasani” ibu lain yang tidak ada di situ. Mulai hal kecil sampai hal besar, mulai hal umum sampai hal khusus. Ketika ibu yang dirasani tahu-tahu muncul, mungkin karena perasaan tidak enak lalu keluar rumah, atau secara kebetulan saja, pembicaraan pun tahu-tahu beralih. Bahkan mungkin memuji-muji ibu yang tadi dirasani jelek.
Apalagi di kantor, “ngrasani” bos adalah hal biasa. Bos yang baik pun bisa dirasani. Dan susahnya jarang ada orang “ngrasani” hal-hal yang baik. Mulai dari perilaku pribadi sampai perilaku kepemimpinan, atau membanding-bandingkan dengan bos terdahulu. Padahal bos yang dulu pun juga dirasani jelek. Ketika dipanggil boss atau rapat dengan boss, yang tadinya merupakan bahan “rasan-rasan” tidak muncul samasekali.
Di dunia pewayangan pun hal ini berlaku. Pada waktu Korawa selesai mengikuti paseban, setelah keluar kemudian menyiapkan barisan, Ki Dhalang dengan mahirnya menampilkan tokoh-tokoh yang “wani silit wedi rai” ini.
Disitu ada patih Sangk
uni, Dursasana, Citraksa, Citraksi, Durmagati dan lain-lain. Kalau nanti ketemu tokoh Pandawa, seperti Gatutkaca atau Antasena, sesumbarnya seperti membelah langit.
TUMBAK CUCUKAN
“Ngrasani” itu nikmat, “wani silit wedi rai” itu pengecut yang aman, sepanjang tidak ada diantara kita orang yang “tumbak cucukan”. (Tumbak : Tombak; Cucuk: paruh burung).
Yaitu orang yang suka “wadul-wadul” atau mengadu.
Mungkin ia malah memancing-mancing untuk memperoleh bahan “wadul” nya.
Orang “tumbak cucukan” biasanya sudah diketahui teman-temannya. Ia juga jadi bahan rasanan tersendiri. Dia juga punya kenikmatan tersendiri kalau bisa “wadul” dan yang “diwadulkan” bisa saja lebih besar dari ceritera yang digossipkan. Wadul tidak hanya kepada boss tetapi juga bisa kepada teman yang lain. Ia bisa dianggap sebagai mata-mata atau tukang adu domba ketika kemudian ia “wadul” sana sini.
KESIMPULAN
Hidup ini mestinya jangan menjadi keduanya, “wani silit wedi rai” dan “tumbak cucukan”. Persaudaraan bisa rusak, hubungan atasan bawahan juga bisa kacau.
Hidup sudah penuh masalah, jangan menambah masalah lagi dengan gossip / tukang ngrasani dan adu domba .