KISAH WEJANGAN SYEKH AMONGRAGA KEPADA NIKEN TAMBANGRARAS
(MANUNGGALING KAWULO KELAWAN GUSTI DALAM SERAT CENTHINI)
Watu Lumpang Amongrogo, peninggalan Syekh Amongrogo |
Masyarakat Jawa tentunya mengenal Serat Centhini. Kitab ini menuliskan tentang berbagai hal dan tata cara kehidupan manusia.
Kitab ini sering dikaitkan sebagai Kamasutra dari tanah Jawa, karena di dalamnya juga menceritakan hubungan antara suami dan istri.
Dalam Serat Centhini tertulis nama sosok Amongraga. Ia digambarkan sebagai seorang pria romantis yang sangat setia kepada pasangannya, Tembangraras.
Amongraga dalam Serat Centhini dituliskan sebagai seorang Syekh yang memegang teguh pendirian agama.
Dalam Serat Centhini pula turtulis bagaimana perjuangan Amongraga bersama Tembangraras dalam mencari adik-adiknya yang terpisah akibat pelarian menghindari kejaran pasukan Pangeran Pekik.
Sebagai anak seorang wali yakni Sunan Giri, Amongraga dalam pengembaraannya selalu melakukan syiar agama Islam kepada masyarakat yang dijumpainya.
Berbagai wejangan, pitutur maupun larangan hingga nasehat diberikan oleh Amongraga untuk memperbaiki akhlak masyarakat kala itu.
Dari syiar yang dilakukan Amongrogo terdapat 20 ajaran yang terabadikan dalam Primbon Sabda Sasmaya.
Berikut kutipan ajaran-ajaran Amongraga tersebut :
1. Rahayu ing budhi (selamat akhlak dan moral)
2. Mencegah dan berlebihnya makanan
3. Sedikit tidur
4. Sabar dan tawakkal dalam hati
5. Menerima segala kehendak dan takdir Allah
6. Selalu mensyukuri takdir Allah
7. Mengasihi fakir miskin
8. Menolong orang yang kesusahan
9. Memberi makan kepada orang yang lapar
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan
13. Memberikan minum kepada orang yang haus
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat
16. Menyadarkan orang yang lupa
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah
18. Mengasihi dan memuliakan tamu
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak kandung, saudara, dan semua manusia
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, dan jangan merasa memiliki. Merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Allah yang membuat bumi dan langit. Manusia hanyalah sudarma (memanfaatkan sebaik-baiknya dengan tujuan dan cara yang baik pula). Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Watu Lumpang Amongrogo, peninggalan Syekh Amongrogo
Serat Centhini
Ini adalah bagian dari Serat Centhini yang membahas tentang tahap-tahap perjalanan seseorang saat mengalami ekstase. Yaitu sebuah kondisi spiritual saat seseorang mengalami “penyatuan” dengan Dzat-NYA atau manunggaling kawulo kelawan Gusti. Serat Centhini, kita tahu, adalah babon serat-serat Jawa yang terdiri dari 12 jilid dan bila dikumpulkan mencapai 6000 halaman lebih. Semoga pembaca mendapatkan secuil manfaat dari terjemahan ini.
Rahayu Sagung Dumadi.
Syekh Amongraga memberikan wejangan kepada istrinya yang bernama bernama Niken Tambangraras selama 40 hari/malam, baik yang berkenaan dengan makna hidup dan bagaimana cara manusia mendapatkan makrifat kepada Tuhan Dzat Yang Maha Besar, maupun yang berkenaan dengan kehidupan keluarga. Berikut bait-bait yang kamu dikutip dari Serat Centhini yang menggambarkan tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia :
1. Yen nuli / winisik basa sempurna / sareng miarsa Ki Bayi / senggruk-senggruk anangis / tangis cumeplong ing kalbu / manah padang nerawang / ngraos tuwuk tanpa bukti / pangaraose wus ana sangisor aras.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧇꧉ꦪꦺꦤ꧀ꦤꦸꦭꦶ/ꦮꦶꦤꦶꦱꦶꦏ꧀ꦧꦱꦱꦼꦩ꧀ꦥꦸꦂꦤ/ꦱꦫꦺꦁꦩꦶꦪꦂꦱꦏꦶꦧꦪꦶ/ꦱꦼꦁꦒꦿꦸꦏ꧀ꦱꦼꦁꦒꦿꦸꦏ꧀ꦄꦤꦔꦶꦱ꧀/ꦠꦔꦶꦱ꧀ꦕꦸꦩꦺꦥ꧀ꦭꦺꦴꦁꦆꦁꦏꦭ꧀ꦧꦸ/ꦩꦤꦃꦥꦣꦁꦤꦼꦫꦮꦁ/ꦔꦿꦎꦱ꧀ꦠꦸꦮꦸꦏ꧀ꦠꦤ꧀ꦥꦧꦸꦏ꧀ꦠꦶ/ꦥꦔꦫꦎꦱꦺꦮꦸꦱ꧀ꦄꦤꦱꦔꦶꦱꦺꦴꦂꦄꦫꦱ꧀꧈
Maknanya :
“Kemudia ia membisikkan kata-kata sempurna, ketika itu didengar oleh Ki Bayi dia mulai menangis tersedu-sedu, tetapi ia sekaligus ia merasakan suatu kepuasan batin yang besar. Batinnya menjadi terang-benderang, ia merasa kenyang tanpa menyantap sesuatu, ia merasa seolah-olah terangkat ke hadapan tahta Tuhan.”
2. Ambalik sami sekala / kramane mring Amongragi / mehmeh kaya ngabekti / saking tan nyipa kakalih / mung mangsud guru yekti / Ki Bayi aris turipun / rayi dalem kalihnya / sumangga ing kersa sami / ingkang mugi wontenan sih wulang tuan.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧇꧉ꦄꦩ꧀ꦧꦭꦶꦏ꧀ꦱꦩꦶꦱꦼꦏꦭ/ꦏꦿꦩꦤꦺꦩꦿꦶꦁꦄꦩꦺꦴꦔꦿꦒꦶ/ꦩꦼꦃꦩꦼꦃꦏꦪꦔꦧꦺꦏ꧀ꦠꦶ/ꦱꦏꦶꦁꦠꦤ꧀ꦚꦶꦥꦏꦏꦭꦶꦃ/ꦩꦸꦁꦩꦁꦱꦸꦣ꧀ꦒꦸꦫꦸꦪꦼꦏ꧀ꦠꦶ/ꦏꦶꦧꦪꦶꦄꦫꦶꦱ꧀ꦠꦸꦫꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦫꦪꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦭꦶꦃꦚ/ꦱꦸꦩꦁꦒꦆꦁꦏꦼꦂꦱꦱꦩꦶ/ꦆꦁꦏꦁꦩꦸꦒꦶꦮꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦤꦤ꧀ꦱꦶꦃꦮꦸꦭꦁꦠꦸꦮꦤ꧀꧈
Maknanya :
“Pada saat yang sama sikapnya terhadap Amongraga berubah sama sekali, ia hampir berbakti kepadanya, karena sekarang ia hanya memikirkan satu-satunya ini, aku mendapatkan seorang guru sejati, kemudian dengan suara lembut Ki Bayi berkata, semoga anda berkenan, agar juga kedua adik anda menerima rahmat ajaran anda.”
3. Inggih kang basa punika / Mongraga umatur aris / gih putranta sekalihan / sampun kaula wejangi / ing ratri kala wingi / kalihewus sami suhud / matur alkamdu lilah / kaula dados wuragil / sakelangkung panrima kula satitah.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧓꧇꧉ꦆꦁꦒꦶꦃꦏꦁꦧꦱꦥꦸꦤꦶꦏ/ꦩꦺꦴꦔꦿꦒꦈꦩꦠꦸꦂꦄꦫꦶꦱ꧀/ꦒꦶꦃꦥꦸꦠꦿꦤ꧀ꦠꦱꦼꦏꦭꦶꦲꦤ꧀/ꦱꦩ꧀ꦥꦸꦤ꧀ꦏꦻꦴꦭꦮꦼꦗꦔꦶ/ꦆꦁꦫꦠꦿꦶꦏꦭꦮꦶꦔꦶ/ꦏꦭꦶꦲꦺꦮꦸꦱ꧀ꦱꦩꦶꦱꦸꦲꦸꦣ꧀/ꦩꦠꦸꦂꦄꦭ꧀ꦏꦩ꧀ꦝꦸꦭꦶꦭꦃ/ꦏꦻꦴꦭꦣꦝꦺꦴꦱ꧀ꦮꦸꦫꦒꦶꦭ꧀/ꦱꦏꦺꦭꦁꦏꦸꦁꦥꦤꦿꦶꦩꦏꦸꦭꦱꦠꦶꦠꦃ꧉
Maknanya :
“Yakni kata-kata yang tadi anda sampaikan, Amongraga mejawab, kedua putra Bapak sudah saya berikan ajaran itu tadi malam, keduanya sudah maklum akan kebenaran. Syukur kepada Tuhan, kalau demikian akulah yang bungsu, kata Ki Bayi, saya puas sekalai dengan urutan ini.”
4. Amongraga pan wus wikan / ing dalem papanceneki / Ki Bayi lan putranira / Jayengwesti / beda ganjaraneki / Ki Bayi ganjaranipura / sih kamulyan ing donya / kang putra ganjaraneki / pan cacalon ganjaran mulyeng akerat.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧔꧇꧉ꦄꦩꦺꦴꦔꦿꦒꦥꦤ꧀ꦮꦸꦱ꧀ꦮꦶꦏꦤ꧀/ꦆꦁꦣꦊꦩ꧀ꦥꦥꦚ꧀ꦕꦺꦤꦺꦏꦶ/ꦏꦶꦧꦪꦶꦭꦤ꧀ꦥꦸꦠꦿꦤꦶꦫ/ꦗꦪꦺꦁꦮꦺꦱ꧀ꦠꦶ/ꦧꦺꦣꦒꦚ꧀ꦗꦫꦤꦺꦏꦶ/ꦏꦶꦧꦪꦶꦒꦚ꧀ꦗꦫꦤꦶꦥꦸꦫ/ꦱꦶꦃꦏꦩꦸꦭꦾꦤ꧀ꦆꦁꦣꦺꦴꦚ/ꦏꦁꦥꦸꦠꦿꦒꦚ꧀ꦗꦫꦤꦺꦏꦶ/ꦥꦤ꧀ꦕꦕꦭꦺꦴꦤ꧀ꦒꦚ꧀ꦗꦫꦤ꧀ꦩꦸꦭꦾꦺꦁꦄꦏꦺꦫꦠ꧀꧈
Maknanya :
“Amongraga tahu, apa yang ditujukan kepada Ki Bayi dan apa yang dituakan kepada kedua putranya, Jayengwesti dan Jayengraga. Ganjaran disediakan kemuliaan dunia ini, bagi kedua anaknya kemuliaan di akhirat.”
5. Kewawa ngelmi makripat / de Ki Bayi panurteki / kahidayat ngelmu sarak / Sarengat utameng urip / Mongraga matur aris / paduka ingkang akasud / tepakur maring Allah / lan tangat kala ning wengi / lawan ngagengena salat perlu kala.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧕꧇꧉ꦏꦼꦮꦮꦔꦼꦭ꧀ꦩꦶꦩꦏꦿꦶꦥꦠ꧀/ꦣꦼꦏꦶꦧꦪꦶꦥꦤꦸꦂꦠꦺꦏꦶ/ꦏꦲꦶꦣꦪꦠ꧀ꦔꦼꦭ꧀ꦩꦸꦱꦫꦏ꧀/ꦱꦫꦺꦔꦠ꧀ꦈꦠꦩꦺꦁꦈꦫꦶꦥ꧀/ꦩꦺꦴꦔꦿꦒꦩꦠꦸꦂꦄꦫꦶꦱ꧀/ꦥꦣꦸꦏꦆꦁꦏꦁꦄꦏꦱꦸꦣ꧀/ꦠꦼꦥꦏꦸꦂꦩꦫꦶꦁꦄꦭ꧀ꦭꦃ/ꦭꦤ꧀ꦠꦔꦠ꧀ꦏꦭꦤꦶꦁꦮꦼꦔꦶ/ꦭꦮꦤ꧀ꦔꦒꦺꦔꦺꦤꦱꦭꦠ꧀ꦥꦼꦂꦭꦸꦏꦭ꧉
Maknanya :
“Kedua anak itu mampu menerima ngelmu makrifat, sedangkan kepada Ki Bayi Panurta diberi tuntunan ngelmu sarak (agama menurut hukum), sehingga ia hidup dengan utama. Kemudian Amongraga berkata dengan lirih, tekunlah dalam menjalankan dan lakukanlah olah bakti malam hari, junjunglah sholat yang diwajibkan pada saat-saat tertentu.”
6. Ywa pegat adarus mulang / ing kitan Kur’an amerdi / ing janma pekir kasihan / Ki Bayi nor raga ajrih / ing wulang Amongragi.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧖꧇꧉ꦪ꧀ꦮꦥꦼꦒꦠ꧀ꦄꦣꦫꦸꦱ꧀ꦩꦸꦭꦁ/ꦆꦁꦏꦶꦠꦤ꧀ꦏꦸꦂ’ꦄꦤ꧀ꦄꦩꦺꦂꦣꦶ/ꦆꦁꦗꦤ꧀ꦩꦥꦼꦏꦶꦂꦏꦱꦶꦲꦤ꧀/ꦏꦶꦧꦪꦶꦤꦺꦴꦂꦫꦒꦄꦗꦿꦶꦃ/ꦆꦁꦮꦸꦭꦁꦄꦩꦺꦴꦔꦿꦒꦶ꧉
Maknanya :
“Daraskanlah (membaca) ayat-ayat Al-Qur’an, rajinlah dalam mengajarkan Kitab Suci. Berilah sedekah kepada orang-orang miskin. Ki Bayi merendahkan diri ketika ia menerima ajaran Amongraga.”
7. Mongraga denya kasud / sunad wabin nem rekangatipun / tigang salam sawus ing bakda anuli / tangat kiparat tawajuh / kalih salam bakda manggon.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧗꧇꧉ꦩꦺꦴꦔꦿꦒꦣꦼꦚꦏꦱꦸꦣ꧀/ꦱꦸꦤꦣ꧀ꦮꦧꦶꦤ꧀ꦤꦼꦩ꧀ꦉꦏꦔꦠꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦠꦶꦒꦁꦱꦭꦩ꧀ꦱꦮꦸꦱ꧀ꦆꦁꦧꦏ꧀ꦝꦄꦤꦸꦭꦶ/ꦠꦔꦠ꧀ꦏꦶꦥꦫꦠ꧀ꦠꦮꦗꦸꦃ/ꦏꦭꦶꦃꦱꦭꦩ꧀ꦧꦏ꧀ꦝꦩꦁꦒꦺꦴꦤ꧀꧈
Maknanya :
“Guna mencapai keadaan ekstasis Amongraga melakukan sholat sunat wabin dengan enam rekaat dan tiga salam (pujian), sesudah itu olah kifarat tawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan) dengan dua salam, sesudah itu duduk tidak bergerak.”
8. Amapanaken junun / pasang wirid isbandiahipun / satariah jalalah barjah amupid / pratingkahe timpuh wiung / tyas napas kenceng tan dompo.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧘꧇꧉ꦄꦩꦥꦤꦏꦺꦤ꧀ꦗꦸꦤꦸꦤ꧀/ꦥꦱꦁꦮꦶꦫꦶꦣ꧀ꦆꦱ꧀ꦧꦤ꧀ꦝꦶꦪꦲꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦱꦠꦫꦶꦪꦃꦗꦭꦭꦃꦧꦂꦗꦃꦄꦩꦸꦥꦶꦣ꧀/ꦥꦿꦠꦶꦁꦏꦲꦺꦠꦶꦩ꧀ꦥꦸꦃꦮꦶꦪꦸꦁ/ꦠꦾꦱ꧀ꦤꦥꦱ꧀ꦏꦺꦚ꧀ꦕꦺꦁꦠꦤ꧀ꦝꦺꦴꦩ꧀ꦥꦺꦴ꧉
Maknanya :
“Sambil mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan, ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya, ia duduk bersimpuh (kakinya terlekuk ke belakang), hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan.”
9. Nulya cul dikiripun / lapal la wujuda ilalahu / kang pinusti dat wajibulwujudi / winih napi isbatipun / pinatut tyas wusa anggatok.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧙꧇꧉ꦤꦸꦭꦾꦕꦸꦭ꧀ꦝꦶꦏꦶꦫꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦭꦥꦭ꧀ꦭꦮꦸꦗꦸꦣꦆꦭꦭꦲꦸ/ꦏꦁꦥꦶꦤꦸꦱ꧀ꦠꦶꦣꦠ꧀ꦮꦗꦶꦧꦸꦭ꧀ꦮꦸꦗꦸꦣꦶ/ꦮꦶꦤꦶꦃꦤꦥꦶꦆꦱ꧀ꦧꦠꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦥꦶꦤꦠꦸꦠ꧀ꦠꦾꦱ꧀ꦮꦸꦱꦄꦁꦒꦠꦺꦴꦏ꧀꧈
Maknanya :
“Kemudian ia mengawali dikirnya dengan kata-kata, la wujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah), Dat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiaannya, dasar penyangkalan dan pengakuan dan dengan itulah hatinya diselaraskan.
10. Angguyer kepala nut / ubed ing napi lan isbatipun / derah ing lam kang akir wit puserneki / tinarik ngeri minduwur / lapal ilaha angengo.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧐꧇꧉ꦄꦁꦒꦸꦪꦺꦂꦏꦼꦥꦭꦤꦸꦠ꧀/ꦈꦧꦺꦣ꧀ꦆꦁꦤꦥꦶꦭꦤ꧀ꦆꦱ꧀ꦧꦠꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦣꦼꦫꦃꦆꦁꦭꦩ꧀ꦏꦁꦄꦏꦶꦂꦮꦶꦠ꧀ꦥꦸꦱꦺꦂꦤꦺꦏꦶ/ꦠꦶꦤꦫꦶꦏ꧀ꦔꦼꦫꦶꦩꦶꦤ꧀ꦝꦸꦮꦸꦂ/ꦭꦥꦭ꧀ꦆꦭꦲꦄꦔꦺꦔꦺꦴ
Maknanya :
“Kepalanya mulai bergerak memutar, silih berganti menyangkal dan mengakui, pada lingkaran lam terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan ilalah kepalanya bergerak.”
11. Nganan pundak kang luhut / angleresi lapal ila mengguh / penjajahe kang driya mring napi gaib / ilalah isbat gaibu / ing susu kiwa kang ngisor.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧑꧇꧉ꦔꦤꦤ꧀ꦥꦸꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦏꦁꦭꦸꦲꦸꦠ꧀/ꦄꦁꦭꦺꦫꦺꦱꦶꦭꦥꦭ꧀ꦆꦭꦩꦼꦁꦒꦸꦃ/ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦗꦲꦺꦏꦁꦣꦿꦶꦪꦩꦿꦶꦁꦤꦥꦶꦒꦆꦧ꧀/ꦆꦭꦭꦃꦆꦱ꧀ꦧꦠ꧀ꦒꦻꦧꦸ/ꦆꦁꦱꦸꦱꦸꦏꦶꦮꦏꦁꦔꦶꦱꦺꦴꦂ꧉
Maknanya :
“Ke kanan ke atas ke arah bahunya, pada saat ia berkata ila inderanya memasuki penyangkalan tersembunyi, ilalah ialah pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya.”
12. Nakirahe wus brukut / lapal la ilaha ilalahu / winot seket kalimah senapas nenggih / senapas malih motipun / ilalah tri atus manggon.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧒꧇꧉ꦤꦏꦶꦫꦲꦺꦮꦸꦱ꧀ꦧꦿꦸꦏꦸꦠ꧀/ꦭꦥꦭ꧀ꦭꦆꦭꦲꦆꦭꦭꦲꦸ/ꦮꦶꦤꦺꦴꦠ꧀ꦱꦼꦏꦼꦠ꧀ꦏꦭꦶꦩꦃꦱꦼꦤꦥꦱ꧀ꦤꦼꦁꦒꦶꦃ/ꦱꦼꦤꦥꦱ꧀ꦩꦭꦶꦃꦩꦺꦴꦠꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦆꦭꦭꦃꦠꦿꦶꦄꦠꦸꦱ꧀ꦩꦁꦒꦺꦴꦤ꧀꧈
Maknanya :
“Demikianlah nakirah menjadi paripurna, kata-kata la ilalahu dirasakannya 50 kali dalam suatu pernapasan, kemudian 300 kali ilalah pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar.”
13. Anulya lapal hu hu / senapas ladang winotan sewu / pemancade tyas lepas lantaran dikir / kewala mung wrananipun / muni wus tan ana raos.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧓꧇꧉ꦄꦤꦸꦭꦾꦭꦥꦭ꧀ꦲꦸꦲꦸ/ꦱꦼꦤꦥꦱ꧀ꦭꦣꦁꦮꦶꦤꦺꦴꦠꦤ꧀ꦱꦺꦮꦸ/ꦥꦼꦩꦚ꧀ꦕꦣꦺꦠꦾꦱ꧀ꦊꦥꦱ꧀ꦭꦤ꧀ꦠꦫꦤ꧀ꦝꦶꦏꦶꦂ/ꦏꦼꦮꦭꦩꦸꦁꦮꦿꦤꦤꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦩꦸꦤꦶꦮꦸꦱ꧀ꦠꦤ꧀ꦄꦤꦫꦎꦱ꧀꧈
Maknanya :
“Lalu hu, hu, 1000 kali dalam satu pernapasan panjang, demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan perantara dikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara yang dikeluarkannya tak ada arti lagi.”
14. Wus wenang sedayeku / nadyan a a e e i i u u / sepadane sadengah-dengan kang uni / unine puniku suwung / sami lawan orong-orong.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧔꧇꧉ꦮꦸꦱ꧀ꦮꦼꦤꦁꦱꦼꦣꦪꦺꦏꦸ/ꦤꦣꦾꦤ꧀ꦄꦄꦄꦼꦄꦼ꧇꧑꧇꧇꧑꧇ꦈꦈ/ꦱꦼꦥꦣꦤꦺꦱꦣꦺꦔꦃꦣꦼꦔꦤ꧀ꦏꦁꦈꦤꦶ/ꦈꦤꦶꦤꦺꦥꦸꦤꦶꦏꦸꦱꦸꦮꦸꦁ/ꦱꦩꦶꦭꦮꦤ꧀ꦎꦫꦺꦴꦁꦎꦫꦺꦴꦁ꧉
Maknanya :
“Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ee, ii atau uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara seekor orong-orong (yang tiba-tiba diam seketika).”
15. Ing sanalika ngriku / coplok ing satu lan rimbagipun / dewe-dewe badan budine tan tunggil / nis mikrad suhul panakul / badan lir gelodog.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧕꧇꧉ꦆꦁꦱꦤꦭꦶꦏꦔꦿꦶꦏꦸ/ꦕꦺꦴꦥ꧀ꦭꦺꦴꦏ꧀ꦆꦁꦱꦠꦸꦭꦤ꧀ꦫꦶꦩ꧀ꦧꦒꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦣꦼꦮꦼꦣꦼꦮꦼꦧꦣꦤ꧀ꦧꦸꦣꦶꦤꦺꦠꦤ꧀ꦠꦸꦁꦒꦶꦭ꧀/ꦤꦶꦱ꧀ꦩꦶꦏꦿꦣ꧀ꦱꦸꦲꦸꦭ꧀ꦥꦤꦏꦸꦭ꧀/ꦧꦣꦤ꧀ꦭꦶꦂꦒꦼꦭꦺꦴꦣꦺꦴꦒ꧀꧈
Maknanya :
“Pada saat yang sama bata-bata dan bentuk terlepas, artinya badan dan budi masing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mi’raj, terlebur dalam Dat Ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.”
16. Tinilar lagya kalbu / yekti ning napi puniku suwung / komplang nyenyed jaman ing mutelak haib / wus tan ana darat laut / padang peteng wus kawios.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧖꧇꧉ꦠꦶꦤꦶꦭꦂꦭꦒꦾꦏꦭ꧀ꦧꦸ/ꦪꦼꦏ꧀ꦠꦶꦤꦶꦁꦤꦥꦶꦥꦸꦤꦶꦏꦸꦱꦸꦮꦸꦁ/ꦏꦺꦴꦩ꧀ꦥ꧀ꦭꦁꦚꦼꦚꦼꦣ꧀ꦗꦩꦤ꧀ꦆꦁꦩꦸꦠꦺꦭꦏ꧀ꦲꦻꦧ꧀/ꦮꦸꦱ꧀ꦠꦤ꧀ꦄꦤꦣꦫꦠ꧀ꦭꦻꦴꦠ꧀/ꦥꦣꦁꦥꦼꦠꦼꦁꦮꦸꦱ꧀ꦏꦮꦶꦪꦺꦴꦱ꧀꧈
Maknanya :
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya merupakan ketiadaan sejati, kosong sepi. Tiada ada lagi daratan maupun laut, terang dan gelap tiada lagi.”
17. Pan amung ingkang mojud / wahya jatmika jro ning gaibu / pan ing kono suhule dinera mupid / tan pae-pinae jumbuh / nora siji nora roro.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧗꧇꧉ꦥꦤ꧀ꦄꦩꦸꦁꦆꦁꦏꦁꦩꦺꦴꦗꦸꦣ꧀/ꦮꦲꦾꦗꦠ꧀ꦩꦶꦏꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁꦒꦻꦧꦸ/ꦥꦤ꧀ꦆꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦱꦸꦲꦸꦭꦺꦣꦶꦤꦺꦫꦩꦸꦥꦶꦣ꧀/ꦠꦤ꧀ꦥꦌꦥꦶꦤꦌꦗꦸꦩ꧀ꦧꦸꦃ/ꦤꦺꦴꦫꦱꦶꦗꦶꦤꦺꦴꦫꦫꦺꦴꦫꦺꦴ꧉
Maknanya :
“Yang ada hanya indah itulah yang meliputi yang batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan yang sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi.”
18. Wus tarki tanajul / mudun sing wahya jatmika ngriku / aningali tan lawan netranireki / Dat ing Hyang Kang Maha Luhur / patang prekara ing kono.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧘꧇꧉ꦮꦸꦱ꧀ꦠꦂꦏꦶꦠꦤꦗꦸꦭ꧀/ꦩꦸꦣꦸꦤ꧀ꦱꦶꦁꦮꦲꦾꦗꦠ꧀ꦩꦶꦏꦔꦿꦶꦏꦸ/ꦄꦤꦶꦔꦭꦶꦠꦤ꧀ꦭꦮꦤ꧀ꦤꦼꦠꦿꦤꦶꦫꦺꦏꦶ/ꦣꦠ꧀ꦆꦁꦲꦾꦁꦏꦁꦩꦲꦭꦸꦲꦸꦂ/ꦥꦠꦁꦥꦿꦼꦏꦫꦆꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴ꧉
Maknanya :
“Sesudah tarakki menyusullah tanazzul, ia turun dari alam lahir dan atin (wahya jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dat Yang Maha Luhur, di sana terdapat empat hal.”
19. Sipat jalal gaibu / jamal kamal kahar gaibipun / wusna mijil saking gaib denyaa mupid / wiwit beda jinisipun / Gusti lan kawula reko.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧑꧙꧇꧉ꦱꦶꦥꦠ꧀ꦗꦭꦭ꧀ꦒꦻꦧꦸ/ꦗꦩꦭ꧀ꦏꦩꦭ꧀ꦏꦲꦂꦒꦻꦧꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦮꦸꦱ꧀ꦤꦩꦶꦗꦶꦭ꧀ꦱꦏꦶꦁꦒꦆꦧ꧀ꦝꦼꦚꦄꦩꦸꦥꦶꦣ꧀/ꦮꦶꦮꦶꦠ꧀ꦧꦺꦣꦗꦶꦤꦶꦱꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦭꦤ꧀ꦏꦮꦸꦭꦉꦏꦺꦴ꧉
Maknanya :
“Sifat jalal yang gaib, keindahan, kesempurnaan dan kekuasaan (jamal, kamal dan kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
20. Dat ing gusti puniku / jalal kamal jamal kahar nengguh / sipat ing kawula pan akadiati / wahdat wakidiatipun / alam arwah adsam mengko.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧐꧇꧉ꦣꦠ꧀ꦆꦁꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦥꦸꦤꦶꦏꦸ/ꦗꦭꦭ꧀ꦏꦩꦭ꧀ꦗꦩꦭ꧀ꦏꦲꦂꦤꦼꦁꦒꦸꦃ/ꦱꦶꦥꦠ꧀ꦆꦁꦏꦮꦸꦭꦥꦤ꧀ꦄꦏꦣꦶꦪꦠꦶ/ꦮꦃꦣꦠ꧀ꦮꦏꦶꦣꦶꦪꦠꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦄꦭꦩ꧀ꦄꦂꦮꦃꦄꦣ꧀ꦱꦩ꧀ꦩꦼꦁꦏꦺꦴ꧉
Maknanya :
“Adapun hahekat Gusti itu ialah jalal, kamal, jamal adapun sifat-sifat kawula itu ialah ahadiyya, wahda, wahadiyya, alam arwah, alam ajsam.”
21. Misal insan kamilu / beda ning gusti lan kauleku / yekti beda ingriku lawan ingriki / kejaba kang wus linuhung / pramateng kawroh kang wus wroh.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧑꧇꧉ꦩꦶꦱꦭ꧀ꦆꦤ꧀ꦱꦤ꧀ꦏꦩꦶꦭꦸ/ꦧꦺꦣꦤꦶꦁꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦭꦤ꧀ꦏꦻꦴꦊꦏꦸ/ꦪꦼꦏ꧀ꦠꦶꦧꦺꦣꦆꦔꦿꦶꦏꦸꦭꦮꦤ꧀ꦆꦔꦿꦶꦏꦶ/ꦏꦼꦗꦧꦏꦁꦮꦸꦱ꧀ꦭꦶꦤꦸꦲꦸꦁ/ꦥꦿꦩꦠꦺꦁꦏꦮꦿꦺꦴꦃꦏꦁꦮꦸꦱ꧀ꦮꦿꦺꦴꦃ꧉
Maknanya :
“Alam misal dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati.”
22. Sawusira aluhut / lir antiga tumiba ing watu / pan kumeprah tyasira lagyat tan sipi / tumitah ing jamanipun / aral ing kula katonton.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧒꧇꧉ꦱꦮꦸꦱꦶꦫꦄꦭꦸꦲꦸꦠ꧀/ꦭꦶꦂꦄꦤ꧀ꦠꦶꦒꦠꦸꦩꦶꦧꦆꦁꦮꦠꦸ/ꦥꦤ꧀ꦏꦸꦩꦺꦥꦿꦃꦠꦾꦱꦶꦫꦭꦒꦾꦠ꧀ꦠꦤ꧀ꦱꦶꦥꦶ/ꦠꦸꦩꦶꦠꦃꦆꦁꦗꦩꦤꦶꦥꦸꦤ꧀/ꦄꦫꦭ꧀ꦆꦁꦏꦸꦭꦏꦠꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦤ꧀꧈
Maknanya :
“Sesudah ektasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketika kembali dalam keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).”
23. Luaran denya suhul / angaringaken senapas landung / mot saklimah La ilaha ilalahi / mulya andodonga sukur.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧓꧇꧉ꦭꦸꦮꦫꦤ꧀ꦝꦼꦚꦱꦸꦲꦸꦭ꧀/ꦄꦔꦫꦶꦔꦏꦺꦤ꧀ꦱꦼꦤꦥꦱ꧀ꦭꦤ꧀ꦝꦸꦁ/ꦩꦺꦴꦠ꧀ꦱꦏ꧀ꦭꦶꦩꦃꦭꦆꦭꦲꦆꦭꦭꦲꦶ/ꦩꦸꦭꦾꦄꦤ꧀ꦝꦺꦴꦣꦺꦴꦔꦱꦸꦏꦸꦂ꧉
Maknanya :
“Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernafas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.”
24. Yen wus munggah budimulya / Sang Hyang Mahamulya lan mulya ning budi / abeda nora neda / pan wus jumbuh sembah lawan puji / puji amuji ing dawakira / iya dewe nora dewe / tanpa dewe pupus.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧔꧇꧉ꦪꦺꦤ꧀ꦮꦸꦱ꧀ꦩꦸꦁꦒꦃꦧꦸꦣꦶꦩꦸꦭꦾ/ꦱꦁꦲꦾꦁꦩꦲꦩꦸꦭꦾꦭꦤ꧀ꦩꦸꦭꦾꦤꦶꦁꦧꦸꦣꦶ/ꦄꦧꦺꦣꦤꦺꦴꦫꦤꦼꦣ/ꦥꦤ꧀ꦮꦸꦱ꧀ꦗꦸꦩ꧀ꦧꦸꦃꦱꦼꦩ꧀ꦧꦃꦭꦮꦤ꧀ꦥꦸꦗꦶ/ꦥꦸꦗꦶꦄꦩꦸꦗꦶꦆꦁꦣꦮꦏꦶꦫ/ꦆꦪꦣꦼꦮꦼꦤꦺꦴꦫꦣꦼꦮꦼ/ꦠꦤ꧀ꦥꦣꦼꦮꦼꦥꦸꦥꦸꦱ꧀꧈
Maknanya :
“Bila budi sudah naik ke tempat yang mulia, maka dalam keadaan mulia itu Yang Mahamulia dan budi berbeda dan tidak berbeda. Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan pujian terhadap dirinya. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga bukan diri sendiri. Tiada lagi dirinya, hanya itulah yang dapat dikatakan.”
25. Bakda dikir anuli / adonga sukur Hyang Agung / sawusira dodonga / asujud sumungkem siti / takrub asru tepekurira nelangsa.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧕꧇꧉ꦧꦏ꧀ꦝꦣꦶꦏꦶꦂꦄꦤꦸꦭꦶ/ꦄꦣꦺꦴꦔꦱꦸꦏꦸꦂꦲꦾꦁꦄꦒꦸꦁ/ꦱꦮꦸꦱꦶꦫꦣꦺꦴꦣꦺꦴꦔ/ꦄꦱꦸꦗꦸꦣ꧀ꦱꦸꦩꦸꦁꦏꦺꦩ꧀ꦱꦶꦠꦶ/ꦠꦏꦿꦸꦧ꧀ꦄꦱꦿꦸꦠꦼꦥꦼꦏꦸꦫꦶꦫꦤꦼꦭꦁꦱ꧉
Maknanya :
“Sesudah dikir ia memanjatkan doa syukur kepada Yang Agung, sesudah itu ia bersujud, merebahkan diri ke tanah, dan mendekati Tuhan dengan merasakan kerendahannya.”
26. Rumasa kinarya titah / beda ning kawula gusti / lir lebu kelawan mega / bantala lawan wiati.
Aksara Jawa :
꧋꧇꧒꧖꧇꧉ꦫꦸꦩꦱꦏꦶꦤꦂꦪꦠꦶꦠꦃ/ꦧꦺꦣꦤꦶꦁꦏꦮꦸꦭꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶ/ꦭꦶꦂꦊꦧꦸꦏꦼꦭꦮꦤ꧀ꦩꦺꦒ/ꦧꦤ꧀ꦠꦭꦭꦮꦤ꧀ꦮꦶꦪꦠꦶ꧉
Maknanya :
“Ia menyadari bahwa dia hanya buah ciptaan dan bahwa antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu (di tanah) dan awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa.”
Dari beberapa bait (pada dalam bhs Jawa) yang ada dalam Serat Centhini ini, dapat memberikan suatu gambaran bahwa Tuhan dan manusia tidak sama, karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun manusia bisa mencontoh sifat-sifat Tuhan dan mengingatnya dengan memperbanyak dikir sehingga dapat mengalami kondisi ekstasis, yakni kemanunggalan dengan Dzat Mutlak Tuhan.
Sumber referensi :
- https://alangalangkumitir.wordpress.com/?fbclid=IwZXh0bgNhZW0CMTEAAR1xyaGFvWBBZUfRm1bUz0WMSNEsHsXRp_k8xBwNun4QFpn2sJUZOz593Lo_aem_d1dl4eD-Qilvibt94nM_Rw
Kaserat Dening : Raden Tri Priyo Nugroho alias Ki Lanang Songo Bin R.H. Kodrat Samadikoen alias Sjadjid Sumeh Bin R.H. Hamzah Hadiwidjaja Bin Kiyai Haji Mudthoalim Sumare ING pesarean masjid Jami Daarul Jaalal Ngadiluwih Kediri
Aksara Jawa :
꧋ꦏꦱꦺꦫꦠ꧀ꦝꦼꦤꦶꦁ꧇ꦫꦣꦺꦤ꧀ꦠꦿꦶꦥꦿꦶꦪꦺꦴꦤꦸꦒꦿꦺꦴꦲꦺꦴꦄꦭꦶꦪꦱ꧀ꦏꦶꦭꦤꦁꦱꦺꦴꦔꦺꦴꦧꦶꦤ꧀ꦫ꧀꧈ꦲ꧀꧈ꦏꦺꦴꦣꦿꦠ꧀ꦱꦩꦣꦶꦏꦺꦴꦮꦺꦤ꧀ꦄꦭꦶꦪꦱ꧀ꦱ꧀ꦗꦣ꧀ꦗꦶꦣ꧀ꦱꦸꦩꦺꦃꦧꦶꦤ꧀ꦫ꧀꧈ꦲ꧀꧈ꦲꦩ꧀ꦗ꦳ꦃꦲꦣꦶꦮꦶꦣ꧀ꦗꦗꦧꦶꦤ꧀ꦏꦶꦪꦻꦲꦗꦶꦩꦸꦣ꧀ꦛꦺꦴꦮꦭꦶꦩ꧀ꦱꦸꦩꦫꦺꦆꦁꦥꦼꦱꦫꦺꦪꦤ꧀ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ꦗꦩꦶꦣꦄꦫꦸꦭ꧀ꦗꦄꦭꦭ꧀ꦔꦣꦶꦭꦸꦮꦶꦃꦏꦼꦣꦶꦫꦶ
Ditulis ulang oleh : Imajier Nuswantoro
ꦆꦩꦗꦶꦤꦺꦂꦤꦸꦱ꧀ꦮꦤ꧀ꦠꦺꦴꦫꦺꦴ