Kisah Syech Amongrogo
Berada di Puncak Gunung Dangean Ponorogo, Petilasan Putra Kanjeng Sunan Giri Jadi Jejak Sejarah Syekh Amongrogo.
Gunung Dangean berada di Desa Semanding, Kecamatan Jenangan, Ponorogo, Jawa Timur.
Di gunung inilah terdapat petilasan dari putra Kanjeng Sunan Sunan Giri. Untuk menuju puncak, pengunjung harus melewati puluhan anak tangga.
Situs kuno yang berada di puncak gunung itu merupakan petilasan Syekh Amongrogo.
Dikisahkan, sosok Syekh Amongrogo tertulis dalam naskah Serat Centhini.
Serat Centhini adalah karya sastra yang ditulis pada tahun 1850, pada masa Mataram Islam atau masa Kasunanan Surakarta dibawah kepemimpinan Susuhunan Pakubuwono ke V.
Dalam Serat Centhini dikisahkan bahwa 3 anak Sunan Giri Prapen, yakni Jayengresmi, Jayengsari, dan Niken Rancangsapti melarikan diri saat Giri Kedaton mendapat serbuan dari Sultan Agung.
Peristiwa itu terjadi sekitar Abad 17 Masehi atau 1600 an.
Ketiga anak dari Sunan Giri pun melarikan diri dari kejaran para punggawa Sultan Agung. Mereka menyebar melewati hutan belantara, ke pelosok-pelosok perkampungan, dan gunung.
Di tengah pelariannya, anak-anak Sunan Giri belajar ilmu agama agama kepada para kiai ataupun pertapa. Selain itu juga belajar ilmu pengobatan, arsitek, erotica atau seksologi Jawa.
Setelah mendalami ilmu hingga memperoleh maqom yang tinggi salah satunya Jayengresmi atau dikenal dengan nama Sayyid Abdullah atau Pangeran Kidul merubah nama menjadi Syekh Amongrogo.
Syekh Amongrogo berkelana ke berbagai tempat di tanah Jawa. Dalam perjalanan Ia bertemu dengan seorang wanita yang dikemudian hari diambil sebagai istri. Wanita tersebut bernama Niken Tambangraras.
Niken Tambangraras kemudian mengikuti Syekh Amongrogo yang diikuti Ni Centhini yang kemudian diambil dari tajuk naskah tersebut.
Perjalanan Syekh Amongrogo dan Niken Tambangraras serta Centhini konon sampai ke wilayah Ponorogo.
Mereka menetap yang sekarang dikenal sebagai petilasan Syekh Amongrogo di Gunung Dangean atau dalam Serat Centhini disebut dengan Gunung Padangean.
Di dalam petilasan yang diberi cungkup itu terdapat sebuah batu pipih atau batu altar, bisa disebut juga dengan watu gilang.
Petilasan ini berada ditengah-tengah hutan jati yang jauh dari pemukiman penduduk. Suasana sunyi dan asri terasa bagi siapapun yang berziarah di tempat tersebut.
Petilasan ini menjadi jejak sejarah Syekh Amongrogo putra Sunan Giri saat pelariannya ketika Giri Kedaton diserang Sultan Agung.
Watu Lumpang Amongrogo, peninggalan Syekh Amongrogo Watu Lumpang Amongrogo, peninggalan Syekh Amongrogo
Makam Syech Amongrogo
Makam Syaikh Amongrogo telah ditemukan. Yang mana telah sekian kali dicari. Makam tersebut terletak di dusun Maliyan, desa Amongrogo, kec. Limpung, Kab. Batang, Prov. Jawa Tengah. Makam tersebut dibuka oleh Simbah Kiyai Hasyim pada beberapa bulan yang lalu (th 2017). Selain itu para ulama, ‘umaro dan juga para masyikh terutama juga mengikuti prosesi pembukaan sekaligus penemuan makam baru tersebut. Katanya pujangga-pujangga keraton punikut kesitu lantaran Syaikh Amongrogo katanya juga dulu dari trah sana (kerathon) juga. Giri kedathonlah nama asal (kertonnya) dan sekarang (ber-reinkarnasi menjadi Keraton Surakarta) dan juga masih ada sedulur (persaudaraan dengan kraton-kraton lain seperti Jogja dan Cirbon.
Syaikh Amongraga hidup di sekisar tahun 1636 masehi. Atau masa akhir kerajaan Giri Kedathon dan brelanjut pada kerajaan Mataram. Syaikh Amongrogo dahulu selain menjadi santri yang masih berkelana dan haus akan ilmu[1] kemudian berkelana sambil mencari kedua adiknya yaitu Jayengsari dan Rancangkapti. Ketika itu mereka bertiga terpisah saat terjadi pemberontakan yang diserang oleh musuh. Mereka perpisak ketika masih kecil menjelang usia dewasa, dam mereka bertiga saling mencari. Adapun Jayengsari sudah bersama Rancangkapti ketika sejak terjadi peperangan itu dan mencari-cari kakak tertua mereka yaitu Jayengresmi (Amongrogo).
Jayengresmi diubah (namanya) menjadi Amongrogo ketika telah mencapai tingkatan tertentu dalam ilmunya ( Agama, tasawuf, fiqih, dll.) serta terutama ilmu tauhid dan keIlahiannya. Kemudian ia sempurna dalam ilmu Syari’at, tharekat, hakikat, dan makrifat. Dn masuk dalam maqam insan kamil.
Nama tersebut diberikan oleh gurunya, kemudian setelah itu beliau segera diutus untuk menuju ke Timur (kembali) mencari kedua adiknya sambil menuju Wanamarta dan menemui Ki Panurta. Setelah sampai disana ia dinikahkan dengan Tembanglaras (putri Ki Panurta) yang ketika itu masih diruang lingkup pesantren. Setelah menikah dengan Niken Tembanglaras ia minta izin terlebih dahulu untuk mencari adiknya kembali, namun ketika itu tidak ingin diketahui orang lain kepergian tersebut agar tidak merepotkan yang lain, atau di suruh utnuk membantu perjalanan beliau.
Amongrogo berjalan dari arah timu ke bagian barat, kemudian kembali gagi ketimur (kemudian setelah dinikahkan), kemudian ke barat lagi. Selama perjalanan dari awal sampai akhir, yang mana sebelum beliau menikah, ia ditemani oleh kedua abdinya, yaitu Jamal dan Jamil. Yang mana mereka berdua tunduk dan sangat patuh serta menyayangi Amongrogo serta menemaninya dalam perjalanan.
Amonrogo ialah pemuda yang sopan santun dan lembut, beliaupun sering menangis ketika berjumpa dengan para guru di tanah jawa ini. Tak jarang setelah diberi wejangan dan ilmu kemudian menangis dan pamit untuk mencari adiknya kembali. Abdi dua-nya pun selalu siap setiya dibelakangnya untuk mengiringi Amongrogi selama diperjalanan. Jamal daqn Jamil sangat terampil dalam melayani junjungannya (Atau Syaik Amongrogo) walaupun sebenarnya Amongrogo tidak meminta sesuatu, kadang-kadang mereka berdua sudah cekatan. Mereka berdualah yang bertekat untuk menemani Amongrogo terus-menerus.
Sumber referensi :
- https://malang.jatimnetwork.com/aneka/37911282510/berada-di-puncak-gunung-dangean-ponorogo-petilasan-putra-kanjeng-sunan-giri-jadi-jejak-sejarah-syekh-amongrogo?page=2
- http://makamsyechamongrogo.blogspot.com/2017/06/makam-syech-amongrogo.html
Imajiner Nuswantoro
ꦆꦩꦗꦶꦤꦺꦂꦤꦸꦱ꧀ꦮꦤ꧀ꦠꦺꦴꦫꦺꦴ