Murwakala
Deso
mowo coro, negoro mowo toto. Kita hargai dan hormati nilai kearifan
masing-masing suku bangsa dan budaya. Karena setiap suku, budaya dan bangsa
memiliki nilai kearifan (local wisdom) masing-masing yang berbeda dengan
masyarakat dan wilayah lainnya. Sebagai hasil interaksi antara manusia dengan
lingkungan alamnya yang spesifik selama berabad dan ribuan tahun lamanya.
Pemaksaan suatu nilai kearifan lokal terhadap masyarakat dan budaya lain,
adalah bentuk tindakan aniaya dan merupakan perilaku melawan hukum alam. Sebuah
penghianatan akan jati diri, jika penganiayaan dilakukan oleh masyarakat dan
suku bangsa itu sendiri. Manusia seringkali kesulitan melepaskan diri dari nafsu golek benere dewe,
golek menange dewe, golek butuhe dewe. Bahkan seringkali nafsu itu diklaim atas
nama Tuhan. Sungguh keterlaluan. Siapapun pelakunya cepat atau lambat akan
digulung dan diadili oleh hukum alam itu sendiri. Sebab hukum alam tidak pernah
menyisakan secuil pun ketidakadilan.
Makna Ruwatan
Ruwatan
adalah salah satu upacara tradisional
dengan tujuan utama mendapatkan keselamatan supaya orang terbebas dari segala macam
kesialan hidup, nasib jelek dan selanjutnya agar dapat mencapai kehidupan yang
ayom ayem tentrem (aman, bahagia, damai di hati). Lebih konkritnya ruwatan sebagai suatu upaya
membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) ang diakibatkan
dari perbuatannya sendiri, hasil perbuatan jahat orang lain maupun force-majeur
misalnya faktor kelahiran dan ketidaksengajaan di luar kendali dirinya. Ruwatan
yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah
ruwatan murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita
Murwakala di mana orang-orang yang termasuk kategori sengkolo-sukerto diruwat
atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara Kala, gambaran raksasa
menakutkan yang suka memangsa para sukerto.
Siapakah sesungguhnya Bethara Kala ?
Semula
saya pribadi pernah tidak percaya samasekali jika Bethara Kala itu ternyata ada
secara faktual. Saya sempat mengira ia hanyalah sebatas dalam cerita mitologi
(dongeng) pewayangan. Namun semenjak 10 tahun lalu, pada suatu ketika kami
mendapatkan anugrah mantra trah secara langsung dari Eyang Gusti Mangkunegoro
IV yang lebih pas disebut sebagai mantra pambuka. Dalam 3 hari kami lakukan suatu ritual khusus
untuk menyatukan mantra itu agar manjing ajur ajer dalam roso pangroso dan
menembangkannya dengan getaran rahsa sejati agar dapat menemukan frekuensi nada
yang selaras dengan harmoni tata keseimbangan kosmos. Pada hari ketiga, berlangsunglah suatu
peristiwa luarbiasa hingga kami dapat menyaksikan langsung ternyata Bethara
Kala itu sungguh-sungguh ada. Peristiwa itu sebagai sambutan dari alam semesta
setelah mencapai frekuensi yang sinergis ke dalam frekuensi roh jagad agung,
atau ke dalam tata keseimbangan kosmos. Manunggal kalayan gustinira berkat laku
neng, ning, nung, nang. Bethara Kala
memberikan sambutan welas asih dari kekuatan jagad semesta dengan menoreh rajah
kalacakra (asli) di punggung sebagai
tanda mata atau sebagai penanda (bagi siapapun juga) yang mau menyelaraskan
diri dengan roh jagad agung, yang tidak lain adalah Sang Jagadnata itu sendiri.
Lantas
apa alasan Bethara Kala ada sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan semesta
ini ? Sesuai dalam cerita pewayangan, Bethara Kala masuk dalam level kadewatan.
Apalagi ia memang anak dari Bethara Guru dengan kata lain ia adalah cucu bangsa
kadewatan. Ia hidup di dimensi bumi tidak lain untuk mengkonstribusi dalam tata
keseimbangan kosmos. Walaupun Bethara Kala adalah Ratu yang hangratoni jagad
lelembut jin setan priprayangan tetapi ia sangat bijaksana. Ia disiplin, patuh
dan loyal terhadap wewaler dan paugeran yang termaktub di dalam hukum tata
kesimbangan kosmos. Hukum alam khususnya di wilayah Nusantara. Ia tidak akan
sembarangan “memangsa” (nasib) bangsa manusia yang bukan termasuk dalam
kategori sengkolo-sukerto. Bagi yang belum memahaminya, Bethara Kala seolah
makhluk jahat pemangsa (nasib) bangsa manusia. Namun jika kita berfikir lebih
kritis dan bijaksana, Bethara Kala sebenarnya hanya menjalankan tugas sesuai
dengan hukum alam dengan rumus-rumus yang berlaku di dalamnya. Ia bukanlah
pelanggar hukum alam (nerak wewaler) atau pembangkang hukum Tuhan. Sebaliknya
ia adalah makhluk yang taat dan patuh menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai
salah satu penjaga tata keseimbangan kosmos. Demikian juga kita semua, bangsa
manusia dituntut agar patuh dan taat (takwa) terhadap hukum alam (ayat-ayat
tersirat/azim). Jadi sesungguhnya bangsa manusia ada dan hidup sebagai bagian
dari kehidupan semesta berfungsi dan bertugas untuk menjalankan hukum tata
keseimbangan kosmos. Jika kita melanggarnya, maka alam semesta melalui
unsur-unsurnya dan kehidupan lainnya akan menghakimi kita. Itu pula disebut
sebagai hukum sebab akibat atau karma.
Tradisi Ruwat
Ritual
pangruwatan dalam masyarakat Jawa yang
paling sering dan mudah dilakukan
biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis
sesaji dan melakukan ritual khusus. Cara di atas bisa dilakukan apabila
sengkolo-sukerto yang ada masih termasuk jenis yang ringan dan mudah
dibersihkan. Sementara itu untuk sengkolo-sukerto kelas berat pelaksanaan yang
umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar pentas wayang
kulit yang melakonkan tentang ruwatan itu sendiri. Sang dalang dalam
menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.
Misalnya lakon murwakala. Ruwatan dengan pagelaran wayang dilakukan sebagai
suatu bentuk mendapatkan dispensasi atau keringanan hukuman. Dalam tradisi
hukum positif (formal) sepadan dengan membayar denda kepada negara atau memohon
grasi kepada Presiden. Dalam hal ruwatan, Bethara Kala posisinya sebagai
Presiden dari bangsa lelembut. Negosiasi tertuju pada Bethara Kala sebagai
salah satu eksekutor hukum alam.
Dalam
masyarakat Jawa tradisi ritual ruwatan dibedakan dalam tiga macam menurut
fungsi dan tujuannya yaitu :
§ Ritual ruwat untuk
orang per orang (person).
§ Ritual ruwat untuk
lingkungan dan bangunan.
§ Ritual ruwat untuk
suatu wilayah yang luas.
§ Ruwatan Diri
Sendiri
Pada
saat ini ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda
dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Hal ini merupakan suatu
kewajaran karena mengikuti hukum dinamika zaman. Ruwatan untuk diri sendiri
lazimnya bukan disebut ruwatan, walau memiliki tujuannya sama sebagai upaya
membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial). Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan
bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar
mendapatkan kebersihan jiwa. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara
lain adalah Ruwatan Anggara Kencana.
Ruwatan
diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa
(ajaran sinkretisme), melakukan berbagai macam selamatan, melakukan laku tarak
brata atau tapa brata. Dalam tradisi spiritual masyarakat Jawa, bertapa
merupakan bentuk laku atau cara berprihatin. Laku tapa termasuk lelaku. Lelaku
adalah tindakan untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib
negatif. Dengan memasukan unsur kekuatan (fisik dan non fisik) yang bersifat
positif ke dalam diri, gunanya untuk menciptakan keseimbangan energi dalam
tubuh. Orang yang terkena sengkolo dan sukerto, artinya energi dalam dirinya
lebih didominasi oleh kekuatan negatif (buruk) yang disebabkan oleh banyak
faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya.
Khususnya
ruwatan untuk diri sendiri dapat dilaksanakan dengan pakem sederhana maupun
dengan pakem standar yakni dengan pagelaran wayang kulit dengan lakon dan
uborampe khusus ruwatan. Semua itu merupakan pilihan bagi siapa yang akan
melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan
ekonomi yang memadai, biasanya ruwat murwakala dilakukan dengan mengadakan
pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit ini berbeda dengan pagelaran
yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran wayang kulit dilaksanakan pada siang
hari dan dilakukan oleh dalang yang benar-benar mampu (bukan sekedar bisa)
meruwat.
Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan
yang dilakukan untuk lingkungan hidup lazimnya disebut pemagaran yakni teknik
memasang pagar gaib pada suatu lokasi atau bangunan.
Tujuannya antara lain :
§ Memberikan daya
magis yang bersifat menahan, menolak, atau mengalihkan energi negatif yang
berada dalam rumah atau yang hendak masuk ke dalam rumah. Metode semacam ini
biasanya dilakukan dengan menanam rajah, membaca doa-doa dan mantera. Lebih
dari itu bisa dilakukan dengan cara menanam tumbal yang diperlukan, misalnya
dlingo-bengle di setiap sudut bangunan dan gerbang. Bisa juga menanamkan kepala
kambing, hingga yang paling mahal misalnya menanamkan kepala kerbau.
Masing-masing tergantung kebutuhan dan menyesuaikan berat ringannya suatu
gangguan.
§ Menciptakan pagar
gaib agar tidak dapat dimasuki orang yang hendak berniat jahat. Memberikan
kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung seorang pelaku kejahatan,
misalnya pencuri yang masuk ke dalam rumah ia takan menjadi bingung sehingga
tidak mampu menemukan pintu keluar rumah yg dicuri. Atau mengurungkan niat si
pencuri yang akan memasuki sebuah rumah calon sasarannya, karena dalam
pandangan si pencuri rumah itu berubah menjadi hutan, kuburan atau laut. Pemagaran semacam ini termasuk untuk
mengurung makhluk halus pengganggu yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
Mahluk halus dimaksud adalah mahluk halus kiriman atau suruhan seseorang yang
ingin mencelakai.
§ Pemagaran dengan
tenaga dalam atau energi. Lazimnya dilakukan oleh praktisi tenaga dalam.
Pemagaran tenaga dalam ini bisa pula digabung dengan media garam (garam kasar)
dan air sebagai unsur alam yang alamiah penetralisir energi negatif.
§ Tujuan utama
dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan lingkungannya ini bila berhasil
akan menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, tenteram, sejahtera, jauh dari gangguan bangsa manusia dan makhluk
halus suruhan manusia.
Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas
Ruwatan
Murwakala ini disebut pula sebagai ruwat bumi.
Pagelaran wayang biasanya dilakukan pada malam hari. Karena pagelaran
wayang untuk ruwat bumi merupakan acara yang sangat sakral dan memerlukan biaya
yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan dilakukan dan dibeayai oleh
institusi. Seperti halnya dilakukan oleh Kraton Jogja dan Solo, begitu pula
beberapa daerah setingkat Kelurahan hingga Provinsi acapkali mempunyai jadwal
rutin untuk melakukan pangruwatan bumi. Ruwat bumi bertujuan memperoleh
keselamatan dengan cakupan yang sangat luas. Bukan hanya bangsa manusia, tetapi mencakup bangsa
hewan dari hewan terkecil seperti gurem (kutu ayam), tengu, hingga binatang
paling besar seperti gajah. Begitupula ditujukan untuk meruwat bangsa
tetumbuhan dan bangsa mahluk halus.
Dilakukan dengan pagelaran pewayangan
yang membawakan lakon Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus
memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Ruwat bumi adalah ruwatan paling besar
dan berat. Tidak setiap dalang kuat melakukan pangruwatan bumi. Ragam sesaji
dan uborampe sangat beragam dan tidak boleh ada yang terlewatkan satu pun.
Walaupun sesaji dan uborampenya lengkap, dalangnya pun harus benar-benar dalang
pinilih, dalang yang kuat secara batin, dan ilmu spiritualnya mencapai
kesadaran kosmologis. Sebab jika tidak
kuat resikonya adalah muntah darah atau bahkan mati karena tidak kuat saat
Bethara Kala hadir dan merasuk ke dalam diri ki dalang. Sepadan dengan banyaknya beaya serta beratnya
resiko, hasil dari pangruwatan bumi akan sangat menakjubkan. Kehidupan
masyarakat yang aman, tenteram, adil, makmur dan sejahtera. Buminya yang penuh
berkah, gemah ripah loh jinawi ayom ayem tentrem kertaraharja. Itu karena kehidupan tata kosmos keseimbangan
alam berlangsung secara kompak dan harmonis dengan pola hubungan yang penuh
welas-asih.
Hanya Doa Kepada Tuhan Saja ?
Kata-kata
di atas kadang terdengar dari sebagian orang dengan alasan tertentu. Misalnya
karena faktor keterbatasan budget. Bisa juga karena faktor pola pikir. Namun
itu sekedar pendapat atau asumsi. Tidak bisa dinilai benar-salahnya. Tapi
lazimnya yang dilihat adalah efektif-tidaknya soal hasil. Apapun kata orang,
toh fakta telah menunjukkan bukti-bukti hasilnya. Rumus-rumus alam yang
termaktub di dalam hukum alam mudah sekali kita saksikan. Bahwa beragam usaha
mewujudkan suatu tujuan seringkali tidak cukup hanya dengan bermodalkan hasrat
dari dalam lubuk hati maupun ucapan yang keluar dari bibir saja. Misalnya kita
akan membangun sebuah pagar fisik yang mengelilingi rumah tidak cukup hanya
dengan berdoa lantas tiba-tiba muncul pagar yang terbuat dari besi atau tembok.
Pasti harus ditempuh dengan tenaga, pikiran, waktu beaya dan menggunakan
material yang diperlukan. Demikian pula dalam menciptakan pagar gaib.
Seringkali tidak cukup hanya dengan berdoa saja. Tetapi harus ditempuh pula
dengan menggunakan tenaga, pikiran, waktu, beaya. Perbedaan signifikan terletak
pada materi untuk membuat pagar. Prinsip
membuat pagar gaib berlaku pula ketika seperti pada saat orang membuat pagar
rumah yang memerlukan tenaga pikiran waktu dan beaya.
Kita
tidak perlu membiasakan pola pikir bahwa segala sesuatu yang gaib cukup
diupayakan dengan modal mulut komat-kamit sembari “menyuruh” Tuhan yang
mengerjakan semua itu. Sementara pekerjaan itu masih dalam lingkup tugas dan
kemampuan manusia. Pola pikir demikian begitu manja tak perlu dipelihara. Itu
sama halnya kita ingin selalu cari enaknya sendiri. Membuat pagar tembok hanya
bermodalkan ucapan doa dan menyerahkan pekerjaan tukang batu kepada Tuhan. Keselamatan tidak selalu cukup hanya dengan
doa, tetapi perlu ada upaya nyata misalnya mengungsi dari bahaya letusan gunung
atau banjir. Berlindung di dalam rumah dari hawa dingin atau panasnya matahari.
Berlindung di dalam goa dari gempuran badai dan angin besar. Naik ke atas bukit
untuk menghidar dari bahaya banjir dan tsunami. Tidak melewati jalanan sepi dan
rawan untuk menghindari aksi perampokan. Mengenakan jaket anti peluru untuk
menahan senapan. Menabur beras dan garam
agar rumah kita tidak roboh diterjang hujan dan angin besar. Mengoles parutan
dlingo-bengle ke punggung dan telapak kaki bayi agar dijauhi segala makhluk
halus yang energinya bisa membuat bayi rewel tidak nyaman setiap menjelang
malam. Semua itu ilmiah dan sangat rasional asal kita mau berfikir dengan akal
sehat. Asal kita mau menuhankan akal ketimbang menuhankan emosi. Asal kita mau
membuka pola pikir untuk merangkak pada kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Jika
tidak mau repot ruwatan, mudah kok. Kecuali faktor forcemajeur, untuk mengantisipasi sukerto-sengkolo bisa dengan
melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya kepada banyak orang. Asal dilakukan
dengan tulus dan tidak pilih kasih hanya
mau baik kepada yang sealiran, sesuku, sebudaya, seagama, segolongan saja. Buatlah hidup
agar lebih banyak bermanfaat untuk kehidupan lainnya. Gunakan waktu
hidup kita untuk memberikan kehidupan
pada seluruh mahluk. Itu akan menciptakan pagar gaib buat diri Anda sendiri.
Pagar gaib yang berasal dari sistem keseimbangan energi, bahkan dalam diri Anda
akan lebih dominan energi positifnya, semakin tebal pula “tembok” gaib Anda
sendiri. Kebaikan yang kita lakukan pada orang lain, akan kembali untuk diri
kita sendiri.
Ruwatan Dalam Nilai Kearifan Budaya
Kegiatan
gelar budaya ruwatan tidak sekedar latah, namun di dalamnya terkandung nilai
sosial, edukatif, rasa kebersamaan dalam banyak ragam perbedaan. Dan
pemberdayaan terhadap nilai-nilai potensi sumberdaya, kreatifitas manusia serta
ikut melestarikan budaya bangsa khususnya budaya Ruwatan. Ruwatan mengandung makna
mengevaluasi diri atas segala kesalahan yang disadari maupun tidak disadari di
masa yang telah lalu. Sehingga dalam acara ruwatan memiliki makna untuk
membersihkan diri, tidak hanya sekedar pembersihan lahir, lebih utama adalah
membersihkan batin, membersihkan sengkala (penghalang diri) dan sukerta
(kotoran dalam diri). Yang berakibat sering mengalami sebel-sial karena
sengkolo dan sukerto. Maksud diadakannya ruwatan massal ini untuk meringankan
beban peserta sukerto yang mampu maupun tidak mampu, yang tidak dapat melaksanakan sendiri.
Artinya, ruwatan massal dilakukan untuk meringankan beban masyarakat Kabupaten
Lumajang. Tujuan pokok ruwatan, adalah untuk membuang kesialan hidup
orang-orang yang sedang dalam sukerta (susah). Orang-orang sukerta ini, menurut
cerita adalah orang-orang yang akan
dimangsa oleh Bathara Kala sebagai kekuatan penyeimbang hukum alam, karena
orang-orang sukerta tidak selaras atau harmonis dengan hukum alam yang sangat
adil (prinsip Tuhan yang Mahaadil). Dengan kata lain, para sukerta mengalami
suatu peristiwa tidak sengaja, dan perbuatan yang disengaja yang tidak sesuai
dengan kodrat alam yang semestinya.
Prosesi spiritual ruwatan, juga sebagai upaya melestarikan tradisi dan
budaya nenek moyang masyarakat Jawa yang sudah turun temurun ribuan tahun
silam. Sebagai khasanah pelestarian kekayaan ragam budaya di tanah air. Ruwatan
masih merupakan bagian dari prosesi adat Jawa. Ruwatan itu adalah prosesi
penyucian diri seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka. Tapi
hanya orang-orang tertentu yang menyandang predikat Sukerta saja yang
diwajibkan untuk diruwat. Asal-muasul prosesi ruwatan diceritakan dalam kisah
pewayangan lakon Murwakala, yaitu lahirnya Bathara Kala.
Kategori Sukerto
Kategori
sukerto adalah orang-orang yang termasuk dalam daftar perlu diruwat. Mengenai berapa macam sukerto, ada beberapa
versi. Menurut Pakem Pangruwatan Murwakala ada 60 macam sukerto, Pustaka Raja
Purwa ada 136 sukerto, Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto, sedangkan menurut
Buku Murwokolo ada 147 macam sukerto.
Pada
garis besarnya ada 3 (tiga) macam kelompok sukerto, yaitu :
3. Faktor Kelahiran
Sukerto
karena kelahiran seperti anak tunggal, kembar; berdasarkan waktu kelahiran,
misalnya anak yang dilahirkan tengah hari atau saat matahari terbenam
dll.Sukerto kelompok ini adalah anak-anak yang sangat dicintai oleh orang tua
mereka, keselamatan dan kebahagiaan mereka selalu dipikirkan oleh orang tua
mereka.Terlebih para orang tua tersebut mengetahui bahwa anak-anak tersebut
termasuk dalam daftar sukerto.
Menurut Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi
Dalam
kepustakaan Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi yang berdasarkan beberapa
referensi di antaranya dari Serat Centhini (Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Paku Buwana V) orang-orang yang harus diruwat disebut anak atau orang sukerta.
Sukerta terdiri 60 kriteria penyebab malapetaka, akan tetapi di sini saya
kemukakan 36 kriteria yang paling urgen untuk diruwat.
Ke
36 kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Ontang-Anting;
anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2.
Uger-Uger Lawang; dua orang anak yang kedua-duanya
laki-laki.
3.
Sendhang Kapit Pancuran; 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu
laki-laki sedang anak yang ke 2 (tengah) perempuan.
4.
Pancuran Kapit Sendhang; 3 orang anak, yang sulung dan
yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 (tengah) laki-laki.
5.
Anak Bungkus; anak yang pada saat kelahirannya masih
terbungkus oleh selaput plasenta.
6.
Anak Kembar; dua orang kembar putra atau kembar putri
atau kembar dampit yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir
pada saat bersamaan).
7.
Kembang Sepasang; dua orang anak yang kedua-duanya
perempuan.
8.
Kendhana-Kendhini; dua orang anak sekandung terdiri
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9.
Saramba; terdiri 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
10.
Srimpi; terdiri 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11.
Mancalaputra atau Pandawa; terdiri 5 orang anak yang
semuanya laki-laki.
12.
Mancalaputri; terdiri 5 orang anak yang semuanya
perempuan.
13.
Pipilan; 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak
perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
14.
Padangan; 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang
laki-laki dan 1 orang anak perempuan.
15.
Julung Pujud/caplok ; anak yang lahir saat matahari
terbenam.
16.
Julung Wangi/kembang ; anak yang lahir bersamaan
dengan terbitnya matahari.
17.
Julung Sungsang ; anak yang lahir tepat jam 12 siang.
18.
Tiba Ungker ; anak yang lahir, kemudian meninggal.
19.
Jempina; anak yang baru berumur 7 bulan dalam
kandungan sudah lahir.
20.
Tiba Sampir/kalung usus; anak yang lahir berkalung
usus.
21.
Margana; anak yang lahir dalam perjalanan.
22.
Wahana; anak yang lahir di halaman atau pekarangan
rumah.
23.
Siwah atau Salewah; anak yang dilahirkan dengan
memiliki kulit dua macam warna, misalnya hitam dan putih.
24.
Bule; anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih
(bule).
25.
Kresna; anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
(cemani).
26.
Walika; anak yang dilahirkan berwujud bajang atau
kerdil.
27.
Wungkuk; anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok.
28.
Dengkak; yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung
menonjol seperti punggung onta.
29.
Wujil; anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek.
30.
Lawang Menga; anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya
Candikala yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan.
31.
Made; anak yang dilahirkan oleh ibunya tanpa alas
(tikar).
32.
Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan Dandhang
(tempat menanak nasi).
33.
Memecahkan Pipisan dan mematahkan Gandik (alat
landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
34.
Anak-anak yang hari weton lahirnya sama dengan saudara
sekandungnya.
35.
Anak yang hari wetonnya sama dengan orangtuanya.
36.
Orang yang suka mengaku/menyerobot hak orang lain.
Sering mencelakai, menyakiti hati orang lain.
Catatan
;
Komposisi
anak yang termasuk dalam kriteria di atas, dengan catatan bukan karena ada yang
meninggal. Misalnya jumlah anak ada 6 semuanya laki-laki, tetapi meninggal satu
menjadi 5 laki-laki semua. Komposisi ini tidak termasuk pendawa lima, atau
mencala putra, tidak perlu diruwat.
1. Sukerto karena berbuat kesalahan
Meski
tidak sengaja seperti : memecahkan gandhik, alat pembuat jamu; menjatuhkan
dandang (tempat untuk menanak nasi) waktu sedang masak nasi. Namun ada yang lebih
urgent, yakni orang-orang yang terkena sebel-sial akibat sukerto-sengkolo
karena ia sering menyakiti hati atau mencelakai orang lain. Walaupun
dilakukannya tanpa sadar dan tanpa kesengajaan.
Orang yang bersiul saat tengah hari, itu tidak patut/ora ilok.
2. Sukerto Sebel-Sial
Seseorang
yang dalam hidupnya merasa sering mengalami banyak musibah, kesialan, penyakit, dan sering diancam mara bahaya. Ada
orang yang dalam menjalani hidup ini selalu tertimpa sial misalnya sering
terkena musibah, bencana dan sering sekali terancam bahaya. Dalam melakukan
pekerjaan banyak salah, sering merasa
apes, dalam usaha mengalami kegagalan. Terlibat banyak urusan yang tidak enak,
sering mengalami kesulitan yang tidak ada jalan keluar, terkena bermacam-macam
penyakit, hidupnya terasa tidak menyenangkan. Ada yang bilang bahwa waktu dan
kondisi selalu tidak berpihak kepadanya. Ada sesuatu yang salah, sehingga orang
tersebut perlu diruwat.
Dalam
pemahaman kuno, orang-orang yang termasuk tiga kelompok sukerto itu perlu
diruwat secara tradisional. Mereka diruwat supaya tidak menjadi mangsa
Bethara Kala, terbebas dari gangguan dan
bencana yang merupakan ancaman Kala.
Kala
artinya waktu. Yakni waktu yang menjadi ancaman dan menimbulkan resiko musibah
dan bencana adalah waktu yang tidak baik, tidak tepat (tali wangke dan sampar
wangke). Secara umum setiap orang tentu mengharapkan perjalanan waktu selalu berpihak kepadanya. Sehingga hidup
kita selalu berada dalam naungan keselamatan, sehat jasmani dan ruhani, berkecukupan
dalam bidang materi, tentram hatinya, berkembang dan maju karier, pekerjaan dan
usahanya, sukses selalu dalam genggaman, dan berkah agung selalu terlimpah dari
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Gusti Sang Jagadnata.
Kisah Murwokolo Dalam Pewayangan
Kisah
ini menceritakan Batara Kala mencari mangsa berupa para manusia yang tergolong
Sukerta dan Sengkala. Namun usahanya digagalkan oleh Batara Wisnu yang menyamar
sebagai Ki Dalang Kandabuwana. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat
Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan buku
Murwakala Cerita Religius karya Wijanarko dengan sedikit pengembangan.
BATARA GURU MENETAPKAN JENIS MANGSA BATARA KALA
Batara
Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya.
Mereka membicarakan perkembangan Pulau Jawa yang saat ini hanya memiliki dua
orang penguasa saja, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya dan Sri Maharaja
Balya di Kerajaan Medang Siwanda.
Tidak
lama kemudian datanglah Batara Baruna, dewa penguasa lautan yang datang bersama
Batara Kala, penguasa Pulau Nusakambangan. Batara Baruna melaporkan perbuatan
Batara Kala yang terus-menerus memangsa ikan di laut, sehingga banyak binatang
air menjadi korban. Batara Baruna meminta Batara Kala berhenti memangsa ikan
karena jika hal itu terus dilakukan, maka jumlah ikan di lautan akan habis.
Lagipula Batara Kala terlahir dari buih samudera, sehingga tidak sepantasnya
memangsa sesama penghuni laut.
Atas
laporan itu, Batara Kala pun memohon keadilan kepada Batara Guru untuk
diberikan jenis makanan lain, karena jika ia tidak boleh memangsa ikan lantas
bagaimana caranya untuk mengisi perut dan menambah tenaga?
Batara
Guru pun memutuskan supaya Batara Kala memangsa manusia saja, yaitu mereka yang
termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Sukerta adalah manusia yang boleh
dimangsa karena kelahirannya, sedangkan Sengkala adalah manusia yang boleh
dimangsa karena salah perbuatan.
Adapun
yang termasuk golongan Sukerta antara lain :
1.
Ontang-anting, yaitu anak tunggal tanpa saudara
2.
Kedana-kedini, yaitu dua bersaudara laki-laki
perempuan
3.
Uger-uger lawang, yaitu dua bersaudara laki-laki
4.
Kembang sepasang, yaitu dua bersaudara perempuan
5.
Gotong mayit, yaitu tiga bersaudara jenis kelamin sama
6.
Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara yang
perempuan di tengah
7.
Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara yang
laki-laki di tengah
8.
Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua
9.
Serimpi, yaitu empat bersaudara perempuan semua
10.
Pandawa, yaitu lima bersaudara laki-laki semua
11.
Pandawi, yaitu lima bersaudara perempuan semua
12.
Pipilan, yaitu lima bersaudara dengan satu laki-laki
13.
Padangan, yaitu lima bersaudara dengan satu perempuan
14.
Wungkus, yaitu anak yang lahir dalam bungkus
15.
Wungkul, yaitu anak yang lahir tanpa ari-ari
16.
Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung tali
pusar
17.
Tiba ungker, yaitu anak yang lahir tercekik tali pusar
18.
Jempina, yaitu anak yang lahir sebelum waktunya
19.
Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
20.
Wahana, yaitu anak yang lahir dalam keramaian
21.
Julungwangi, yaitu anak yang lahir saat matahari
terbit
22.
Julungsungsang, yaitu anak yang lahir tengah hari
23.
Julungsarab, yaitu anak yang lahir saat matahari
terbenam
24.
Julungpujud, yaitu anak yang lahir petang hari
25.
Siwah, yaitu anak dengan keterbelakangan mental
26.
Kresna, yaitu anak yang lahir berkulit hitam gelap
27.
Wungle, yaitu anak yang lahir berkulit putih bule
28.
Walika, yaitu anak yang memiliki taring
29.
Wungkuk, yaitu anak yang punggungnya bungkuk
30.
Dengkak, yaitu anak yang mendongak ke depan
31.
Butun, yaitu anak yang mendongak ke belakang
32.
Wujil, yaitu anak yang terlahir kerdil
33.
Kembar, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan
kelamin sama
34.
Dampit, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan
kelamin beda
35.
Gondang kasih, yaitu dua anak lahir sehari berkulit
putih dan hitam
36.
Tawang gantungan, yaitu dua anak yang lahir beda hari
37.
Sukrenda, yaitu dua anak yang lahir terbungkus
38.
Sementara itu yang dimaksud golongan Sengkala, antara
lain:
39.
Orang yang tidak menutup pintu dan jendela pada saat
senja
40.
Orang yang tidur di dipan tanpa tikar
41.
Orang yang tidur di kasur tanpa seprei
42.
Orang yang punya sumur tepat di depan rumah
43.
Orang yang punya sumur tepat di belakang rumah
44.
Orang yang punya tanah pekarangan miring
45.
Orang yang menggulingkan dandang saat menanak nasi
46.
Orang yang menaruh dandang di tungku padahal belum
mencuci beras
47.
Orang yang mematahkan cobek
48.
Orang yang tidak menyisakan beras di lumbung
49.
Orang yang menyapu di malam hari
50.
Orang yang mengelap kotoran dengan kain yang dipakai
51.
Orang yang membuang sampah di kolong
52.
Orang yang sering telanjang
53.
Orang yang berdiri di depan pintu
54.
Orang yang bergelantungan di pintu
55.
Orang yang sering bertopang dagu
56.
Orang yang sering berdiri dengan satu kaki
57.
Orang yang suka bersiul
58.
Orang yang suka menggigit kuku
59.
Orang yang memotong kuku malam hari
60.
Orang yang makan sambil berjalan
61.
Orang yang makan sambil tiduran
62.
Orang yang duduk di atas bantal
63.
Orang yang berjalan bertiga pada saat tengah hari
tanpa bercakap-cakap
64.
Dan banyak lagi yang lainnya.
Batara
Kala sangat senang mendengar betapa banyak jenis manusia yang bisa dimangsanya
itu. Batara Guru lalu menyerahkan sebuah pusaka berwujud golok, bernama Bedama
yang harus digunakan Batara Kala untuk membunuh mangsanya terlebih dahulu
sebelum dimakan. Batara Kala menerima senjata itu, kemudian mohon pamit kembali
ke Pulau Jawa untuk mencari mangsa.
BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS MENJADI JURU RUWAT
Setelah
Batara Kala meninggalkan kahyangan, Batara Narada pun mengajukan keberatan atas
apa yang menjadi keputusan Batara Guru tadi. Jika semua orang dengan ketentuan
Sukerta dan Sengkala tersebut dimangsa oleh Batara Kala, maka penduduk Pulau
Jawa akan berkurang banyak, bahkan seluruh manusia di dunia juga akan ikut
habis.
Batara
Guru menyadari kekeliruannya. Ia pun memanggil Batara Wisnu dan Batara Brahma
untuk bersama-sama Batara Narada meruwat para manusia di Pulau Jawa yang
termasuk golongan Sukerta dan Sengkala supaya terhindar dari ancaman Batara
Kala. Batara Wisnu segera mengubah wujudnya menjadi seorang dalang bernama Ki
Dalang Kandabuwana, sedangkan Batara Brahma menjadi penabuh gender wanita
bernama Nyai Seruni, dan Batara Narada menjadi penabuh kendang bernama Panjak
Kalunglungan.
Batara
Wisnu juga mengajak serta adik-adiknya yang lahir dari Batari Umaranti, yaitu
Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara untuk menyamar sebagai para
penabuh gamelan. Bersama-sama mereka lalu berangkat ke Pulau Jawa.
BATARA KALA MEMBERI NAMA KALABANG DAN KALAJENGKING
Sesampainya
di Pulau Jawa, Batara Kala merasa letih dan beristirahat di bawah pohon asam.
Ketika sedang tidur, tiba-tiba kakinya digigit seekor lipan. Seketika ia pun
terbangun namun tidak marah melihat binatang itu, bahkan menjadikannya sebagai
anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk lipan, yaitu Kalabang, artinya “kala
yang berwarna merah”.
Batara
Kala melanjutkan tidur. Tiba-tiba kakinya dicapit seekor ketunggeng yang
kemudian menyuntikkan ekornya yang tajam. Batara Kala terbangun namun tidak
marah, dan menjadikan ketunggeng sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru
untuk ketunggeng, yaitu Kalajengking, artinya “kala yang menungging.”
BATARA KALA HENDAK MEMANGSA BATARA GURU
Batara
Kala memandang ke atas dan tiba-tiba melihat Batara Guru dan Batari Umaranti
mengendarai Lembu Nandini sedang terbang di angkasa untuk meninjau keadaan
Pulau Jawa. Kebetulan saat itu sedang tengah hari, dan mereka bertiga juga
tidak bercakap-cakap, sehingga termasuk golongan Sengkala. Maka, Batara Kala
pun segera terbang menghadang mereka bertiga.
Batara
Guru heran mengapa Batara Kala ingin memakan dirinya. Batara Kala mengaku tidak
peduli meskipun Batara Guru adalah ayahnya, yang jelas saat ini sudah masuk ke
dalam golongan Sengkala sehingga boleh dimangsa. Batara Guru pasrah jika memang
dirinya harus dimangsa oleh anak sendiri. Namun sebelumnya, ia ingin bermain
tebak-tebakan lebih dulu dengan Batara Kala. Yang ia tanyakan adalah makna
kalimat “Hong, eka egul, eka wancah, dwi srogi, tri nabi, sapta trisu cahya,
astha pada.”
Batara
Kala tidak bisa menjawabnya. Batara Guru pun menjelaskan makna kalimat tersebut
secara panjang lebar, yaitu “satu ekor, satu tali hidung, dua tanduk, tiga
pusar, tujuh mata, dan delapan kaki” yang tidak lain dalah penggambaran Batara
Guru, Batari Umaranti, dan Lembu Nandini.
Setelah
menerima penjelasan tersebut, Batara Kala bersiap memangsa mereka bertiga, akan
tetapi saat itu matahari sudah agak condong ke barat sehingga Batara Guru
berkata bahwa dirinya bertiga sudah bukan lagi golongan Sengkala sehingga tidak
boleh dimangsa. Batara Kala merasa kalah cerdik dan tertunduk malu. Pada saat
itulah Batara Guru secara cepat menuliskan rajah pada dahi, rongga mulut, dada,
dan punggung Batara Kala. Ia kemudian berpesan bahwa barangsiapa bisa membaca
tulisan rajah tersebut maka Batara Kala harus menghormatinya sebagai perwakilan
Batara Guru.
Batara
Kala mematuhi pesan tersebut dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.
BATARA KALA MENGEJAR JAKA JATUSMATI
Tersebutlah
seorang pemuda bernama Jaka Jatusmati, yang merupakan anak tunggal Nyai
Prihatin dari Desa Medangkawit. Pada suatu hari ia mandi di Telaga Nirmala
untuk menghilangkan nasib buruknya. Tiba-tiba muncul Batara Kala hendak
memangsanya karena tahu kalau ia anak tunggal. Jaka Jatusmati pun berlari
sekencang-kencangnya, dan Batara Kala selalu mengejar ke mana pun ia pergi.
Dalam
pelariannya, Jaka Jatusmati banyak melewati orang-orang Sengkala, antara lain
ada orang yang memasang atap rumah tapi tiangnya belum dikuatkan, ada orang
yang merobohkan dandang saat menanak nasi, ada pula orang yang mematahkan cobek
saat menggiling bumbu. Batara Kala yang tetap mengejar Jaka Jatusmati tidak
memangsa orang-orang itu, tetapi mengutuk mereka akan kehilangan harta benda.
Dengan demikian, menjadi mangsa Batara Kala tidak berarti harus mati badan,
tetapi juga bisa mati sandang pangan.
Sampai
akhirnya, ia pun melihat ada sebuah pertunjukan wayang di Desa Medangwantu,
yang dimainkan oleh Ki Dalang Kandabuwana.
Orang
yang mengadakan hajatan menanggap wayang tersebut bernama Buyut Wangkeng yang
ingin mendamaikan anak dan menantunya, yaitu Rara Primpen dan Buyut Geduwal.
Awalnya, Rara Primpen sejak menjadi pengantin tidak pernah mau melayani
suaminya, bahkan sampai minta bercerai. Buyut Wangkeng pun menasihatinya dengan
sabar, sehingga Rara Primpen akhirnya bersedia melanjutkan rumah tangga dengan
Buyut Geduwal, asalkan sang ayah menanggap wayang untuknya. Maka, Buyut
Wangkeng pun mengundang Ki Dalang Kandabuwana untuk mendalang di rumahnya.
BATARA KALA TUNDUK KEPADA KI DALANG KANDABUWANA
Jaka
Jatusmati yang tiba di rumah Buyut Wangkeng segera menyusup ke atas panggung
wayang dan berbaur dengan para penabuh gamelan. Batara Kala yang datang
menyusul menjadi bengong karena tertarik melihat pertunjukan wayang, sehingga
lupa kepada buruannya. Sebaliknya, para penonton langsung ketakutan dan
berlarian ke segala arah begitu melihat ada raksasa tinggi besar tiba-tiba
muncul di antara mereka.
Ki
Dalang Kandabuwana pun menghentikan pentas dan menemui Batara Kala. Batara Kala
meminta supaya pentas dilanjutkan karena ia sudah terlanjur suka. Ki Dalang
Kandabuwana bersedia melanjutkannya asalkan Batara Kala membayar tebusan dengan
cara menyerahkan senjata Bedama. Batara Kala pun menyerahkan senjata itu kepada
Ki Dalang Kandabuwana.
Tiba-tiba
Batara Kala melihat Jaka Jatusmati ikut menabuh gamelan dan ia pun menangkap
pemuda itu untuk dimangsa. Akan tetapi, begitu teringat pada pesan Batara Guru,
ia segera meminta kembali senjata Bedama dari tangan Ki Dalang Kandabuwana
untuk menyembelih Jaka Jatusmati. Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkan
Bedama, asalkan ditukar dengan Jaka Jatusmati. Batara Kala setuju, dan ia pun
menyerahkan Jaka Jatusmati dan menerima Bedama.
Begitu
menerima Bedama, Batara Kala baru ingat kalau Jaka Jatusmati sudah lepas dari
tangannya. Ia pun meminta supaya pemuda itu diserahkan kepadanya. Ki Dalang
Kandabuwana bersedia menyerahkannya asalkan ditukar dengan Bedama. Batara Kala
lalu menyerahkan Bedama tersebut, dan ia pun menerima Jaka Jatusmati, begitu
seterusnya.
Batara
Kala semakin bingung. Ketika ia lengah dan mulutnya ternganga, tiba-tiba saja
Ki Dalang Kandabuwana membaca tulisan rajah di rongga mulutnya, juga
rajah-rajah lainnya di dahi, punggung, dan dada. Batara Kala heran ternyata
orang yang dihadapinya ini bisa membaca tulisan-tulisan tersebut. Ki Dalang
Kandabuwana juga menjelaskan nama-nama rajah tersebut, yaitu pada dahi disebut
Sastra Carakabalik, pada rongga mulut disebut Sastra ing Telak, pada dada
disebut Sastra Bedati, dan pada punggung disebut Sastra Trusing Gigir.
Seketika
Batara Kala teringat bahwa jika ada orang yang bisa membaca tulisan rajah pada
tubuhnya, maka ia harus dihormati sebagai wakil Batara Guru. Oleh sebab itu,
Batara Kala lalu duduk bersimpuh di hadapan Ki Dalang Kandabuwana dengan sikap
pasrah dan lemas tak bertenaga.
Ki
Dalang Kandabuwana menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat tugas untuk
meruwat orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Mereka yang
sudah diruwat tidak boleh dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala menyatakan
patuh terhadap ketentuan tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke Pulau
Nusakambangan.
KI DALANG KANDABUWANA MENGADAKAN RUWATAN MASSAL
Setelah
Batara Kala pergi, Ki Dalang Kandabuwana dan para pengikutnya lalu mengadakan
upacara Ruwatan terhadap orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan
Sengkala. Setelah meruwat mereka, ia juga mengajarkan mantra penolak gangguan
jahat Batara Kala yang berbentuk Tembang Prawiralalita, berbunyi:
Yamaraja
– Jaramaya, Yamarani – Niramaya, Yasilapa – Palasiya, Yamidora – Radomiya,
Yamidosa – Sadomiya, Yadayuda – Dayudaya, Yasiyaca – Cayasiya, Yasihama –
Mahasiya.
Selain
itu ia juga mengajarkan laku brata sebanyak lima perkara kepada masyarakat Jawa
untuk menghindari ancaman Batara Kala, yaitu:
§ Puasa, menahan
makan dan minum
§ Berjaga, tidak
tidur sampai orang lain tidur
§ Membisu,
mengurangi banyak bicara
§ Wahdat, mengurangi
persetubuhan dengan jarak seratus hari, atau paling tidak empat puluh hari
§ Bersabar,
mengurangi marah.
Setelah
mengajarkan itu semua, Ki Dalang Kandabuwana kembali ke wujud Batara Wisnu dan
kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka bersama para dewa lainnya untuk melaporkan
bahwa tugas telah selesai dilaksanakan. Batara Guru menerima laporan tersebut
dengan senang hati dan berpesan agar Batara Wisnu tetap waspada karena setiap
saat Batara Kala bisa datang kembali untuk membuat kekacauan di Pulau Jawa.
Koleksi
Artikel Imajiner Nuswantoro