Kisah Prabu Siliwangi Dan Kitab Swasit
Kisah
Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran.
Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi
adalah kitab Suwasit. Kitab tersebut berisi 22 bab perjalanan Prabu Siliwangi
dimulai dari ayahnya, Prabu Anggararang Raja Kerajaan Gajah. Setelah Prabu
Anggararang merasa puteranya layak memangku jabatan raja, akhirnya kerajaan
diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum bergelar Siliwangi).
Mengenai
nama Siliwangi, dijelaskan bahwa nama tersebut adalah gelar setelah Pangeran
Pamanah Rasa masuk Islam sebagai salah satu syarat mempersunting murid Syaikh
Quro, yakni Nyi Ratu Subanglarang. Dari isteri ketiga ini, kemudian melahirkan
Kian Santang yang bergelar Pangeran Cakrabuana di Cirebon dan Rara Santang,
ibunda Sunan Gunung Jati.
Bersamaan dengan luasnya wilayah Gajah, kemudian Prabu Siliwangi menciptakan senjata Kujang, berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di tangkainya. Senjata tersebut kemudian menjadi lambang Jawa Barat. Nama kerajaan Gajah pun diganti menjadi kerajaan Pajajaran, karena menjajarkan (menggabung) kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih.
Kisah dalam Kitab Suwasit Swasit diakhiri dengan mokhsa
(menghilang) dan dipindahkannya kerajaan Pajajaran ke alam Gaib bersama Harimau
Putih.
Pada
kitab yang sudah diterbitkan oleh Jelajah Nusa, dikisahkan dalam bab keempat
bahwa setelah menjadi kerajaan Gajah, Pangeran Pamanah Rasa melakukan
pengembaraan hingga di sebuah hutan di wilayah Majalengka. Ketika hendak
meminum air dari curug (air terjun), Pangeran Pamanah Rasa dihadang oleh
siluman Harimau Putih sehingga terjadi pertarungan hebat hingga setengah hari.
Namun berkat kesaktian Pangeran Pamanah Rasa, siluman Harimau itu bisa
dikalahkan dan tunduk padanya.
Kitab
ini mengisahkan tentang Harimau Putih berubah wujud menjadi manusia untuk
mendampingi pengembaraan Pangeran Pamanah Rasa hingga menaklukkan kerajaan
Galuh dengan bantuan Harimauu Putih. Bahkan disebutkan, ketika terjadi
penyerangan oleh kerajaan Mongol (mungkin masa Kubilai Khan), kerajaan Gajah
dibantu pasukan Harimau Putih.
Tentunya,
meskipun kental dengan unsur mitos, kitab tersebut merupakan sumber sejarah
yang sangat penting.
Kitab
ini diberi nama Kitab Swasit, nama kitab Swasit sendiri terdapat pada jilid
kitab ini. Kitab ini terbuat dari bahan kayu dengan tulisan menggunakan huruf
cacarakan atau tulisan Sunda.
Adapun
kitab dan tokoh yang ditulis kan dalam kitab ini meliputi :
1.
Kitab Swasit satu menceritakan tentang sejarah Prabu
Siliwangi.
2.
Kitab Swasit dua menceritakan tentang tokoh Syekh Quro
3.
Kitab Swasit tiga menceritakan tentang tokoh Raden
Kian Santang
4.
Kitab Swasit empat menceritakan tentang tokoh Nyimas
Rara Santang istri Prabu Siliwangi.
5.
Kitab Swasit lima menceritakan tentang tokoh Pangeran
Walangsungsang.
Kisah Kitab Swasit
Kisah
Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran.
Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah
kitab Suwasit. Kitab tersebut berisi 22 bab perjalanan Prabu Siliwangi dimulai
dari ayahnya, Prabu Anggararang Raja Kerajaan Gajah. Setelah Prabu Anggararang
merasa puteranya layak memangku jabatan raja, akhirnya kerajaan diserahkan
kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum bergelar Siliwangi).
Mengenai
nama Siliwangi, dijelaskan bahwa nama tersebut adalah gelar setelah Pangeran
Pamanah Rasa masuk Islam sebagai salah satu syarat mempersunting murid Syaikh
Quro, yakni Nyi Ratu Subanglarang. Dari isteri ketiga ini, kemudian melahirkan
Kian Santang yang bergelar Pangeran Cakrabuana di Cirebon dan Rara Santang,
ibunda Sunan Gunung Jati.
Bersamaan
dengan luasnya wilayah Gajah, kemudian Prabu Siliwangi menciptakan senjata
Kujang, berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di tangkainya. Senjata
tersebut kemudian menjadi lambang Jawa Barat. Nama kerajaan Gajah pun diganti
menjadi kerajaan Pajajaran, karena menjajarkan (menggabung) kerajaan Gajah
dengan kerajaan Harimau Putih. Kisah dalam Kitab Suwasit diakhiri dengan mokhsa
(menghilang) dan dipindahkannya kerajaan Pajajaran ke alam Gaib bersama Harimau
Putih.
Pada
kitab yang sudah diterbitkan oleh Jelajah Nusa, dikisahkan dalam bab keempat
bahwa setelah menjadi kerajaan Gajah, Pangeran Pamanah Rasa melakukan pengembaraan
hingga di sebuah hutan di wilayah Majalengka. Ketika hendak meminum air dari
curug (air terjun), Pangeran Pamanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih
sehingga terjadi pertarungan hebat hingga setengah hari. Namun berkat kesaktian
Pangeran Pamanah Rasa, siluman Harimau itu bisa dikalahkan dan tunduk padanya.
Kemudian dikisahkan bahwa Harimau Putih berubah wujud menjadi manusia untuk mendampingi
pengembaraan Pangeran Pamanah Rasa hingga menaklukkan kerajaan Galuh dengan
bantuan Harimauu Putih. Bahkan disebutkan, ketika terjadi penyerangan oleh
kerajaan Mongol (mungkin masa Kubilai Khan), kerajaan Gajah dibantu pasukan
Harimau Putih.
Dinasti
Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15, menjadikan Islam sebagai agamanya secara
aman dan damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang Prabu
Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon.
Subang Larang adalah santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan
pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya
dengan Subang Larang, terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran
Walangsungsang, kedua, Nyai Lara Santang dan ketiga Raja Sangara.
Ketiga-tiganya masuk Islam.
Pesantren Syekh Kuro
Syekh
Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang peranan penting
dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi.
Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro, menjadikan putrinya, Subang
Larang masantren di Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa
adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih
setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.
Dalam
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang
ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng
Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di
Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden
Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu
Siliwangi.
Adapun
istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih putri kandung Ki
Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa. Isteri
ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Dari
peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng Tapa dan Sang
Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh kekuasaan
berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Hubungan antara keduanya
dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri
Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah
menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan
di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang
sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan
Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon,
Ki Gedeng Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman
kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang
Prabu Siliwangi. Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat
dengan tali pernikahan.
Pengaruh Luar Kerajaan
Pengaruh
islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat dilepaskan
hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah, Fatimiyah
(1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk
di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan,
Mongol pun memeluk Islam. Kemudian membangun kekaisaran Mongol Islam di India.
Perkembangan
kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki semakin berjaya.
Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644)
memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara
lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi
muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430).
Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon
Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho
membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi
muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan
memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang
didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan
Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar
Cirebon.
Perubahan
tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas,
berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali
pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar di Cirebon.
Karena
sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal
niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan
mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng
Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya
Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan
terlebih dahulu ke Syekh Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal
yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami
Islam dengan berguru ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung dan Guru
Naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya menuturkan, setiap dalam upaya
pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah menjadi
rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu berada di Gunung. Dapat kita baca
Rasulullah saw juga menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di Jabal
Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan kembali dengan Siti Hawa ra, di
Jabal Rahmah.
Tempat
pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud. Pengangkatan Musa
as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait
aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak berbeda dengan kisah
islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang
berada di gunung.
Subang
Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan
Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru ke
Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang
diberi nama Samadullah.
Walaupun
demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua guru Sanghyang Naga
di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran
Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung Cangak ini pula berhasil
mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden
Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau pergantian nama memiliki
pengertian sebagai ijazah lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan
cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon.
Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke Cirebon,
berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati di Gunung Tangkuban Perahu.
Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah
lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik haji
Atas
anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang Naik
Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang dipersunting oleh
Maolana Sultan Mahmud disebut pula Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang
setelah haji dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan
Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448
dikenal pula setelah wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua
adalah Syarif Nurullah.
Walangsungsang
setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di
Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian
menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan
Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang atau
Cakrabuana, yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama
menjadi Haji Mansur.
Untuk
lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi, dapat dibaca
pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.
Silsilah Prabu Siliwangi
Kembali
ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang saya angkat dari
karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi merupakan
belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian
sangat menarik, Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cerbon
1720. Diangkat dari terjemahannya karya Pangeran Sulendraningrat (1972), dan
Drs. Atja (1986).
Prabu
Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari Prabu
Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng
Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri
pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri kedua, Nyai
Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki Dampu
Awang.
Selain
itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai ke turunan ke-12
dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas, Prabu Siliwangi
(12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati (9) Prabu
Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal (6) Prabu Wastukencana (5)
Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu
Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan silsilah,
hanya menuliskan urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi pada
zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama tersebut. Kadang-kadang juga
disebut makamnya di mana.
Pengenalan Islam
Adapun
Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah dari garis ibu, Subang Larang.
Dapat dipastikan dari Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh
putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri Ki Gedeng Taparaja
Singapora bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid
dari Syekh Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.
Adapun
putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang Santang. Ketiga,
Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan ajaran
Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh karena itu, Walangsungsang,
mempelopori meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung
Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.
Dalam
pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai pergantian nama
menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir.
Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki Gedeng Alang Alang.
Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.
ISI KITAB SWASIT
Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit.
Kitab
yang ditulis dengan menggunakan bahasa sunda kuno di dalam selembar kulit Macan
putih yang ditemukan di desa pajajar Rajagaluh Jawa Barat.
Setelah
Sri Baduga resmi dinobatka menjadi raja, ia langsung menunaikan amanat dari
kakeknya yaitu Wastu Kancana.
Hal
itu disampaikan melalui ayahnya Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali.
Isi
pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di
Kebantenan.
Isinya sebagai berikut :
Ong awignamastu.
Nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kanycana pun.
Turun ka Rahyang Ningrat Kanycana, maka nguni ka susuhunan ayeuna di Pakuan Pajajaran.
Mulah mo mihape dayeuhan di Jayagiri deung dayeuhan di Sunda Sembawa.
Aya ma nu ngabyuan inya.
Ulah dek ngaheuryanan inya ku na dasa, calagra, kapas, timbang, pare dongdang pun.
Mangka dituding ka para muhara.
Mulah dek mentaan inya beya pun.
Kena inya nu purah buhaya, mibuhaya keunna ka caritaan pun.
Nu pageuh ngawakanna dewasasanna pun.
(Danasasmita, 2014: 67)
Artinya
:
Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada
Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa",
"calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka
diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena
merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran.
Merekalah yang teguh mengamalkan peraturan dewa). (Danasasmita, 2014: 67)
Prabu
Siliwangi merupakan seorang raja besar yang sakti mandraguna, arif dan bijaksana dalam memerintah rakyatnya di
kerajaan Pakuan Pajajaran.
Ia
merupakan Putra Prabu Anggalarang atau Prabu dewa Niskala Raja dari kerajaan
Gajah dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh di
Ciamis Jawa Barat.
Pada
masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau diasuh
oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan
Singapura (sebelum bernama kota Cirebon).
Setelah
Raden pemanah Rasa Dewasa dan sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh Ki Gedeng
Sindangkasih.
Beliau
kembali ke kerajaan Gajah untuk mengabdi kepada ayahandanya prabu Angga
Larang/Dewa Niskala. Setelah itu Raden pemanah Rasa Menikahi Putri Ki Gedeng
Sindangkasih.
Yang
bernama Nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu
dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasanya.
Wilayahnya
terbentang luas dari Sungai Citarum di karawang yang berbatasan langsung dengan
kerajaan Sunda, sampai sungai Cipamali berbatasan dengan Majapahit.
Silsilah Prabu Siliwangi sebagai keturunan ke-12 dari Maha Raja Raja Adi Mulya/Ratu Galuh Ajar Sukaresi.
1.
Maha Raja Adi Mulya/Ratu Galuh Ajar Sukaresi Menikah
Dengan Dewi Naganingrum/Nyi Ujung Sekarjingga Berputra :
2.
Prabu Ciung Wanara
Berputra :
3.
Sri Ratu Purba Sari Berputra :
4.
Prabu Lingga Hiang
Berputra :
5.
Prabu Lingga Wesi
Berputra :
6.
Prabu Susuk Tunggal Berputra :
7.
Prabu Banyak Larang Berputra :
8.
Prabu Banyak Wangi
Berputra :
9.
Prabu Munding Kawati/Prabu Lingga Buana Berputra :
10.Prabu Wastu
Kencana (Prabu Niskala Wastu Kancana) Berputra :
11.Prabu Anggalarang
(Prabu Dewata Niskala) Menikah Dengan Dewi Siti Semboja/Dewi Renganis Berputra
:
12.Sri Baduga Maha
Raja - Waliyulloh Jaya Dewata Raden Pamanah Rasa (1459-1521m) (Gelar : Prabu
Siliwangi). Mempunyai Harimau Putih Dari Bangsa Jin Namanya Si Tablo/Prabu
Giling Wesi Sakti Dari Curug Sawer Talaga Majalengka.
Pada
suatu Hari Prabu Angga Larang geram karena banyak dari penduduknya di muara
jati yang beragama Hindu pindah keagama Baru yang Dibawa oleh Alim Ulama dari
Campa kamboja bernama Syekh Quro.
Agama
tersebut Bernama Islam. Maka diUtuslah Beberapa orang kepercayaannya untuk
mengusir Ulama itu dari Tanah Jawa.
Konon
kabarnya, Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh
Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin, beliau adalah seorang yang arif dan
bijaksana dan termasuk seorang ulam yang hafidz Al Qur’an serta ahli Qiro’at
yang sangat merdu suaranya.
Syekh
Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa
(Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina
Hussen Bin Sayidina Ali RA dan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW.
Sebelum
Beliau datang ke tanah jawa sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro pertama kali
menyebarkan Agama islam di negeri Campa Kamboja, lalu ke daerah Malaka dan
dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampailah ke
Pelabuhan Muara Jati yang saat itu Syahbandar digantikan oleh ki gedeng Tapa
karena Ki gedeng Sindangkasih telah wafat.
Disini
beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati,
yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana Ayah dari Prabu Anggalarang dan oleh
masyarakat sekitar.
Mereka
sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang disebut
ajaran agama Islam. Sampailah para utusan itu di depan pondokan Syekh Quro,
utusan itu menyampaikan Perintah dari Rajanya agar penyebaran agama Islam di
Muara Jati harus segera dihentikan.
Hingga
kelak, anaknya Ki Gedeng Tapa yaitu Nyai Subang Larang akan dinikahkan bersama
Prabu Siliwangi dan suatu saat keturunannya menjadi Raja-Raja di Nusantara.
Imajiner
Nuswantoro