ILMU LADUNI DALAM PERSPEKTIF (SUDUT PANDANG) SEJARAH DAN PRO KONTRANYA
Sebagian orang mungkin belum pernah mendengar istilah Ilmu Laduni. Sementara sebagian lagi yang sudah pernah mendengarnya mungkin berpikir bahwa Ilmu Laduni tidak benar-benar ada.
Secara kasar, Ilmu Laduni adalah ilmu yang mempunyai manfaat menjadikan seseorang mendapatkan ilmu atau pengetahuan tanpa proses belajar. Pengertian tersebut seakan mustahil dan sulit di percaya. Inilah karunia Tuhan dalam berbagai bukti atas kekuasaan-Nya dengan menciptakan berbagai ilmu. Pastinya tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan meridhai.
Kata laduni (Ladunni), berasal dari bahasa Arab, akar kata dari Ladun/ Laday, yang berarti dekat/ pangkuan.
Banyak Ulama dan Sufi memberikan pengertian mengenai Ilmu Laduni, pengertiannya berbeda-beda namun, memiliki hakikat makna yang sama.
Beberpa pengertian ilmu laduni yang dimaksud adalah:
Menurut Abdul Qadir Al-Jaelani dan Al-Jilli memberikan pengertian ilmu laduni sebagai ilmu rohani dan pengetahuan hikmah (kebijakan) yang diperoleh melalui perbuatan kontinyu, dalam waktu lama dalam hal kebaikan dan ke-shalehan amal ibadah.
Pengertian Ilmu Laduni menurut imam Al-Ghazali adalah ilmu yang dipancarkan langsung oleh Tuhan ke lubuk hati manusia tanpa proses belajar terlebih dahulu dan tanpa proses metode ilmiah. Menurutnya lahirnya ilmu laduni, melalui Kasyf atau ilham.
Ibn Arabi menjelaskan pengertian ilmu laduni dalam kitab Futuhat al-Makiyah, yaitu ilmu yang terpancar ke dalam hati manusia, tanpa di usahakan dan tanpa menggunakan argumentasi Aqliyah (argumentasi pikiran).
Pengertian ilmu laduni Ibnu Arabi, setidaknya memiliki kemiripan dengan pengertian ilmu Laduni menurut versi imam al-Ghazali, namun sifatnya lebih mendasar. Jika tak menggunakan argumentasi Aqliyah, bagaimana mungkin melahirkan proses pembelajaran.
Al-Qusyairi dan Al-Harawi memberikan pengertian Ilmu Laduni sebagai sesuatu yang diterima seseorang dengan jalan ekstase dan Kasyaf (ketersingkapan).
Dalam kitab karangan al-Harawi, Manazil As Sairin, disebutkan bahwa Ilmu Laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah Swt ke dalam hati tanpa sebab yang dilakukan seseorang hamba tanpa menggunakan dalil-dalil. Sebab yang dimaksud adalah sebab yang disengaja, atau usaha untuk mendapatkan ilmu Laduni.
Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, ilmu Laduni terbagi menjadi dua. Pertama, ilmu yang didapat tanpa proses belajar, biasa di istilahkan dengan ilmu Wahbiy. Kedua, ilmu yang didapat karena proses belajar, dan biasa di istilahkan dengan ilmu Kasbiy.
Adapun ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, yaitu ilmu Syari’at, dan ilmu Makrifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan Kasyaf.
Kasyaf inilah yang dikenal dengan julukan ilmu Laduni di kalangan ahli tasawwuf.
Sedangkan ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, adalah usaha mendapatkan pengetahuan seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, dan seterusnya.
Pengertian ilmu Laduni menurut penulis, berdasarkan pengertian ilmu Laduni tersebut, ilmu yang bersumber langsung dari Tuhan, di berikan pada manusia, melalui ilham dan tanpa perantara, dan didapatkan tanpa usaha yang disengaja total untuk mendapatkan ilmu tersebut.
Ilmu Laduni bukanlah jalan pintas bagi mereka yang ingin mendapatkan suatu pengetahuan secara instan. Justru sebaliknya, Ilmu Laduni diperuntukkan bagi mereka yang gemar mempelajari hal baru dan memaksimalkan apa yang telah dipelajarinya. Sebab pemilik Ilmu Laduni memiliki kreativitas dan kemampuan yang tinggi dalam mempelajari suatu hal secara cepat dan menghubungkan pikirannya dengan pengetahuan yang maha luas meski lewat proses pembelajaran yang sangat minim sekalipun. Artinya bagi siapapun Anda yang ingin memiliki Ilmu Laduni maka siap melakukan sebuah Riyadhah dan usaha secara spiritual dengan mengamalkan ajaran ilmu yang disampaikan guru pada Anda. Selain hal demikian Anda harus menata hati dan jiwa untuk bisa mencapai ikhlas dan tawakkal, pasrah apapun hasil yang di capai atau di peroleh setelah belajar menguasai Ilmu Laduni ini.
Jadi, orang yang dikaruniakan ilmu laduni atau ilmu ilham ini adalah orang yang mendapat khazanah dari lautan ilmu yang berasal langsung dari Allah Swt. Ada macam-macam ilmu dan setiap sesuatu ilmu itu mempunyai banyak pengertian dan tafsirannya. Jadi Allah Swt memberi pengertian dan tafsiran satu-satu ayat sesuai pada seseorang itu untuk menyelesaikan masalah di zamannya atau keperluan seseorang itu. Perkara itu pula kebanyakannya bukan pengertian mengenai hukum-hukum karena permasalahan itu sudah tetap dan tidak berubah untuk setiap zaman kecuali perkara Khilafiah.
Sebaliknya ilmu laduni ini kebanyakannya mengenai penguraian, falsafah, didikan, hal waktu, metode, dan kaedah saja. Perkara-perkara ini boleh berubah.
Jika ilmu wahyu disampaikan kepada rasul atau nabi, ilmu laduni atau ilmu ilham pula Allah SWT karuniakan kepada para wali dan orang-orang sholeh. Ilmu wahyu adalah syari’at baru yang menghapus syariat yang di amalkan sebelumnya manakala ilmu laduni akan membawa tafsiran atau makna baru kepada ilmu wahyu itu, sesuai untuk zamannya atau orangnya. Ilmu wahyu tidak dilupakan tetapi ilmu laduni atau ilham mudah dilupakan oleh orang yang menerimanya. Kalau yang menerima ilmu wahyu itu adalah rasul maka wajib ia sampaikan tetapi kalau dia seorang nabi, maka tidak wajib menyampaikannya. Sedangkan ilmu laduni baik disampaikan karena ia akan dapat menyelesaikan masalah-masalah semasa yang sedang dihadapi oleh masyarakat, sesuai untuk zamannya. Atau untuk mengetahui hikmah atau pengajaran sesuatu hukum itu.
Jika ilmu wahyu ditolak, maka seseorang itu akan jatuh murtad atau kafir dan di Akhirat akan terjun ke Neraka serta kekal selama-lamanya. Sebaliknya jika menolak ilmu laduni atau ilmu ilham, maka tidak menjadi kafir tetapi akan menghilangkan barokah dan tertutupnya pintu bantuan dari Allah SWT.
Mungkin ada orang yang akan menolak pendapat ini tentang ilmu laduni ini dan payah untuk menerimanya terutama :
1. Orang yang tidak percaya adanya ilmu laduni atau ilham di dalam Islam.
2. Seseorang yang tidak memiliki ilmu ini dan tidak ada pengalaman mengenainya, sekalipun dia mempercayainya.
3. Seseorang yang tahu mengenai ilmu ini tetapi karena sifat hasad dengki, dia tidak senang dengan orang yang mendapat ilmu ini, maka dia pun menolaknya, sedangkan hatinya membenarkan.
Buktinya, adalah berdasarkan hujah berikut :
PERTAMA : Hujah Naqli (Nas)
1. Hujjah Al Qur’an
Dalam Al Qur’an ada dalil yang kuat sebagai bukti kewujudan ilmu ini.
“Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan ajar kamu.” (Al Baqarah: 282)
Dalam ayat ini sangat jelas Allah Swt mengatakan tentang orang-orang bertaqwa yang bersih dari sifat-sifat Mazmumah, Allah Swt akan beri ilmu secara Wahbiah, tanpa usaha ikhtiar, tanpa belajar, atau tanpa berguru.
2. Hujjah Hadis
Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa yang beramal dengan ilmu yang dia ketahui, maka Allah Swt akan berikan kepadanya ilmu yang dia tidak ketahui.” (Dikeluarkan oleh Abu Nuaim)
Inilah buktinya. Artinya ilmu yang telah ada itu akan bertambah bila diamalkan. Yakni ia akan dapat ilmu baru dari hasil dipraktekkan ilmu itu.
Inilah yang dikatakan ilmu laduni atau ilmu ilham yang Allah Swt berikan melalui tiga cara :
a. Ilmu itu langsug Allah Swt jatuhkan ke dalam hati.
b. Adakalanya Allah SWT perlihatkan ilmu itu yang boleh dilihat seolah-olah kita seperti menonton layar TV. Sedangkan orang lain yang ada bersamanya ketika itu sama sekali tidak dapat melihatnya.
c. Atau mungkin mendengar suara yang membisikkan ke telinganya tetapi tidak nampak rupa makhluknya. Inilah yang dikatakan Hatif. Mungkin suara ini suara malaikat, jin yang sholeh, atau wali-wali Allah Swt.
KEDUA : Bukti Sejarah
Banyak kitab dahulu menceritakan bagaimana pengalaman salafussoleh, ulama-ulama besar dan pengarang-pengarang kitab sendiri yang mendapat ilmu-ilmu laduni ini. Ada kitab-kitab karangan ulama Muktabar yang menunjukkan pengarangnya mendapat ilmu laduni.
Di antara ulama yang memperoleh ilmu laduni atau ilmu ilham ini di samping ilmu melalui usaha ikhtiar ialah imam-imam mazhab yang empat, ulama-ulama Hadist seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, ulama-ulama tasawuf seperti Imam Al Ghazali, Imam Nawawi, Imam Sayuti, Syeikh Abdul Qadir Jailani, Junaid Al Baghdadi, Hassan Al Basri, Yazid Bustami, Ibnu Arabi, dan lain-lain lagi.
1. Imam Al Ghazali
Umurnya pendek saja yaitu sekitar 54 tahun. Beliau mulai mengarang setelah bersuluk di kubah Masjid Umawi di Syam (Syria). Umurnya waktu itu sekitar 40 tahun. Artinya dalam hidupnya dia mengarang sekitar 14 tahun. Dalam waktu yang pendek ini dia sempat mengarang sebanyak 300 buah kitab yang tebal-tebal, yang bermacam-macam jenis ilmu pengetahuan termasuklah kitab yang paling masyhur yaitu Ihya Ulumuddin, kitab tasawuf (dua jilid yang tebal-tebal) dan Al Mustasyfa (ilmu Ushul Fiqh yang agak susah difahami).
Coba anda fikirkan, bisakah manusia biasa seperti kita ini menulis sebanyak itu. Walau bagaimana genius sekalipun otak seseorang itu, tidak mungkin dalam masa 14 tahun bisa menghasilkan 300 buah kitab-kitab yang tebal, jika bukan karena dia dibantu dengan ilmu laduni yakni ilmu tanpa berfikir, yang terus jatuh ke hati dan lalu ditulis.
Dalam pengalaman kita kalau ilmu hasil berfikir dan mengkaji, sebagaimana profesor-profesor sekarang, dalam masa empat tahun saja baru dapat membuat satu tesis di dalam sebuah buku. Kalau satu buku mengambil masa empat tahun, artinya kalau 14 tahun baru dapat tiga buah buku. Terlalu jauh bedanya dengan Imam Ghazali yang mencapai 300 buah buku itu.
2. Imam Sayuti
Umurnya juga pendek, hanya 53 tahun. Beliau mulai mengarang sewaktu berumur 40 tahun dan dapat menghasilkan 600 buah kitab. Dalam kurun waktu hanya 13 tahun saja beliau dapat menghasilkan begitu banyak kitab. Artinya dia dapat menyiapkan sebuah kitab setiap dua minggu. Kitabnya itu pula tebal-tebal dan tinggi gaya bahasannya dalam bermacam-macam jenis ilmu.
Diantara kitabnya yang terkenal antara lain: Al Itqan fi Ulumil Quran, Al Hawi lil Fatawa (dua jilid), Al Jamius Soghir (mengandung matan-matan Hadis), Al Ashbah wan Nadzoir, Tafsir Jalalain, Al Iklil, dan lain-lain.
jika beliau menulis atas dasar membaca atau berfikir semata-mata, tentulah tidak mungkin dalam kurun waktu 13 tahun dapat menuliskan 600 kitab atau tidak mungkin dalam masa hanya dua minggu dapat tulis sebuah kitab. Inilah ilmu laduni. Tidak heranlah hal ini bisa berlaku karena dalam kitab Al Tabaqatul Kubra karangan Imam Sya’rani ada yang menceritakan bahwa Imam Sayuti bisa Yakazah dengan Rasulullah Saw sebanyak 75 kali dan dia sempat bertanya tentang keilmuan dengan Rasulullah Saw.
3. Imam Nawawi
Beliau adalah antara ulama yang meninggal sewaktu berusia muda, yaitu 30 tahun. Beliau tidak sempat menikah tetapi telah banyak menghasilkan kitab-kitab karangannya.
Di antara yang terkenal ialah Al Majmuk yakni kitab Fekah. Kalau ditimbang beratnya, kitab itu kurang lebih sekitar 3 Kg, yakni kitab Fekah yang sangat tebal.
Selain itu ada juga kitab Riyadhus Solihin, Al Azkar, dan lain-lain.
Untuk mengarang kitab Al Majmuk saja jika mengikuti kaedah biasa yakni atas dasar kekuatan otak, maka tidak mungkin dapat disiapkan dalam kurun waktu dua atau tiga tahun. Mungkin bisa memakan waktu 10 tahun. Ini berarti dia mulai mengarang ketika berumur 20 tahun.
Biasanya di umur ini orang masih belajar lagi. Tetapi di usia semuda itu Imam Nawawi sudah mampu mengarang bukan saja Al Majmuk, tetapi juga turut mengarang kitab-kitab besar yang lain. Ini luar biasa!
Biasanya seseorang menjadi pengarang kitab ketika telah mencapai di penghujung usianya. Ini membuktikan selain dari cara belajar, ada ilmu yang Allah Swt berikan tanpa proses belajar, tanpa usaha ikhtiar, dan tanpa berguru. Itulah dia ilmu laduni atau ilmu ilham.
Sesudah kita mengkaji kemampuan ulama-ulama dahulu, kita lihat pula ulama-ulama sekarang ini dan coba kita bandingkan. Berapa banyakkah buku-buku atau kitab yang telah ditulis oleh mereka, sekalipun mereka ada yang bertitel PhD hingga profesor ?
Oleh karena itu, jika ulama-ulama dahulu mampu menulis kitab-kitab yang banyak dan tebal-tebal dalam masa yang relatif singkat, tentulah hanya bantuan dari Allah Swt yang luar biasa melalui ilmu laduni atau ilmu ilham yang bersifat Wahbi disamping ilmu Kasbinya.
Jelaslah sekarang ini sudah tidak ada lagi ulama yang bisa ilmu laduni. Ini karena kita semua sudah terjerat dengan kecintaan terhadap dunia dan berkarat dengan sifat Madzmumah. Lihatlah zaman sekarang ini, susah untuk kita dapati ulama yang mengarang buku atau kitab. Mereka tidak mampu mengarang karena kekeringan pikiran, sibuk dengan urusan duniawi, disamping perlu menggunakan otak, berfikir, membaca, banyak menelaah dan banyak referensi yang tentunya memakan waktu yang lama. Mereka tidak mendapati pula ilmu melalui saluran ilham. Maka inilah rahasia kenapa ulama sekarang tidak menulis atau kurang menulis.
FIRASAT
Firasat ialah perasaan atau gerakan hati yang benar atau tepat karena mendapat pimpinan dari Allah Swt. Sabda Rasulullah Saw:
“Takutlah olehmu firasat orang mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah Swt.” (Hadist Riwayat At Tarmizi)
Jika hati kotor, maka syaitanlah yang mengisinya yakni buruk sangka, keraguan, dan lain-lain lagi.
KASYAF
Kasyaf artinya ’singkap’ yakni tabir-tabir yang menjadi penghalang atau yang jadi Hijab pada mata bathin untuk melihat alam ghaib atau rohaniah itu sendiri, Allah Swt singkapkan. Allah Swt buka dan perlihatkan.
Tabir-tabir penghalang itu adalah sifat-sifat Madzmumah. Apabila tabir-tabir Madzmumah itu sudah terangkat, maka hatinya akan menjadi jernih dan terang-benderang, putih bersih laksana mutiara dan embun pagi. Sehingga mata akan mampu melihat makhluk-makhluk Allah Swt yang berlalu lalang di alam yang bukan alam benda atau material (alam ghaib) seperti melihat alam jin, malakut, dan alam barzakh. Juga dapat melihat sifat bathin manusia yakni jika seseorang itu berperangai seperti kuda, maka rupa orang itu memiliki rupa seperti kuda. Jika berperangai anjing, orang itu memiliki rupa seperti anjing. Allah Swt perlihatkan hakikat orang itu.
Pembagian ilmu-ilmu dari Allah Swt di dalam islam dibagi menjadi 2 bagian, yakni :
BAGIAN PERTAMA
Bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam :
1. Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah Swt yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (Wahyu Tasyri’), baik yang langsung dari Allah Swt maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril A.s. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam A.s hingga nabi kita Muhammad Saw adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa A.s dari Nabi Khidir A.s .
Allah Swt berfirman tentang Khidir A.s:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا“
“Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidir A.s berkata kepada Nabi Musa A.s:
“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya.
Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan di amalkan oleh setiap Mukallaf sampai datang ajal kematiannya.
2. Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan Kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau Ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shalih.
Ilmu Kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu Laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
BAGIAN KEDUA
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah Swt yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan Kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir, dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (Syari’at, Ma’rifat, dan Kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru.
Ilmu Kasyf dan ilmu Kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.
ILMU LADUNI MENURUT ORANG-ORANG SUFI
Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :
1. Ilmu Laduni atau Kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah Swt kepada para wali sufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits, tidak bisa mendapatkannya.
2. Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (Syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidir A.s dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa A.s ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidir A.s adalah ilmu Kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan:
“Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
3. Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan Hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Swt. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode Kasyf, langsung didikte, dan diajari langsung oleh Allah Swt, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk mengatakan derajat suatu hadits tidak perlu melalui metode Isnad (riwayat), namun cukup dengan Kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka ”Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau ”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, di shahihkan oleh ahli Kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli Kasyf (tasawwuf).
Ilmu Laduni yang juga disebut dengan Ilmu Mukasyafah adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dari Allah SWT. Dengan demikian Ilmu Laduni bukanlah hasil mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara wajar, namun merupakan ilham yang diletakkan ke dalam jiwa orang mukmin yang bersih hatinya serta pilihan Allah Swt. Karena kemampuan untuk menangkap dan memahami suatu perkara hanya dapat dimiliki dengan hati yang bersih dan ikhlas serta ilmu yang ‘arif, sebab hati yang bersih serta ikhlas dapat berkomunikasi dengan sumber ilmu, yaitu Allah Yang Maha Pemilik Ilmu.
Secara umum Ilmu Laduni dibagi menjadi dua, yakni Ilmu Wahbiy dan Ilmu Kasbiy.
Ilmu Wahbiy adalah ilmu yang diperoleh tanpa proses belajar. Tergolong dalam ilmu ini adalah Ilmu Syariat dan Ilmu Makrifat (hakikat).
Ilmu Syariat adalah ilmu tentang perintah dan larangan Allah Swt yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu, baik secara langsung dari Allah Swt maupun melalui Malaikat Jibril A.s sebagai perantara.
Sedangkan Ilmu Makrifat adalah ilmu tentang segala sesuatu yang gaib melalui terbukanya tabir gaib atau melalui mimpi yang diberikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin. Ilmu Makrifat dapat pula diartikan sebagai pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, suatu pengetahuan yang lebih tinggi dari ilmu yang bisa didapat orang-orang pada umumnya.
Sementara Ilmu Kasbiy adalah ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berpikir, sekolah, dan lain sebagainya.
Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa Ilmu Laduni bukanlah semata-mata mendapatkan suatu keahlian tanpa pernah mempelajari keahlian tersebut sama sekali, melainkan kemudahan dan kelancaran dalam mempelajari sesuatu yang ingin kita pahami dan kuasai. Walaupun terkadang juga bisa mendapatkan ilmu yang tanpa proses belajar ilmu apapun.
Dengan memiliki Ilmu Laduni, orang akan secara otomatis memiliki kemampuan dalam memudahkan proses belajar dan menerima pengetahuan dengan mata bathinnya. Sehingga pemilik Ilmu Laduni mempunyai pemahaman tinggi untuk menangkap kejadian yang sedang atau akan terjadi serta memudahkan mendapatkan sebuah ilham atau petunjuk langsung dari Allah Swt.
Maka tidak salah jika banyak orang menganggap manfaat lain Ilmu Laduni adalah agar manusia dapat menjaga dan mempersiapkan diri dari segala kemungkinan yang mungkin terjadi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan di sekitarnya. serta sebagai ilmu pembuka berkah dan pembuka mata bathin secara khusus dan istimewa.
Sementara jika kita lihat dari sisi kejiwaan, akan muncul perasaan damai, senang, cinta dan bahagia dalam hati seorang pengamal Ilmu Laduni. Bisa berfikir dan bersikap bijaksana dan berhikmah layaknya guru ilmu hikmah. Selain itu dengan meningkatnya kesadaran dan terbukanya mata bathin Anda, terwujudnya rasa damai, Ilmu Laduni juga bermanfaat untuk mengembangkan keistimewaan jiwa/ hati Anda yang menjadi pusat anugerah Allah Swt yang sangat luas. Bahkan jika di amalkan dengan kesadaran yang benar, bukan tidak mungkin seorang pengamal Ilmu Laduni akan memiliki kemampuan telepati untuk melihat dari jarak jauh tanpa perantara apapun serta kemampuan mata bathin yang tinggi untuk membantu manusia lainnya.
Maka berbanding lurus dengan semakin tajamnya kemampuan kejiwaan dan mata batin seseorang, aktivasi Ilmu Laduni juga akan meningkatkan kualitas iman orang tersebut. Insya Allah, ia akan terhindar dari dosa besar, terbebas dari hawa nafsu yang menjerumuskan diri dan semakin baik pula akhlaqnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini semata-mata dikarenakan orang tersebut telah memiliki pemahaman yang benar akan ketentuan-ketentuan dan aturan agama yang dianutnya serta kesadaran dengan lapang jiwa berkah Ilmu Laduni ini.
Sekilas kisah pemilik Ilmu Laduni
Kami sampaikan beberapa kisah tentang orang-orang istimewa yang memiliki Ilmu laduni. Sejak zaman Rasulullah Saw sampai sekarang, Ada banyak orang yang tercatat memiliki Ilmu Laduni semasa hidupnya. Jika Anda tertarik untuk mengamalkan Amalan Ilmu Laduni, maka alangkah baiknya Anda membaca beberapa kisah-kisah mereka yang telah memiliki Ilmu Laduni sebelum Anda. Di antaranya yang kami sampaikan adalah berikut ini:
Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a.
Tahukah Anda bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a menangis dan berduka ketika mendengar bahwa Islam telah disempurnakan?
Kedukaan ini dirasakan Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a sebab dialah yang pertama kali menyadari bahwa sempurnanya Islam berarti telah dekatnya masa perpisahan umat muslim dengan Rasulullah Saw.
Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a dianggap dapat melihat masa depan karena sejak jauh-jauh hari telah memahami perihal kembalinya Nabi Muhammad Saw di hadapan Allah Swt.
Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a juga secara tepat menyebutkan jenis kelamin anak perempuannya yang masih berada dalam kandungan.
Bukan hanya itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a juga dikenal sebagai ahli tafsir mimpi. Salah satunya adalah mimpi Aisyah tentang tiga bulan sabit, mewakili tiga orang terbaik di muka bumi yang akan dikebumikan di kediamannya.
Umar bin Khattab R.a.
Pernah suatu ketika, Umar bin Khattab R.a melihat pertempuran yang terjadi di daerah Nahawand, Teluk Persia. Padahal ketika itu Umar bin Khattab R.a tengah berada di Madinah yang jauhnya ribuan kilometer dari medan perang tersebut.
Umar bin Khattab R.a juga pernah memperingatkan seseorang yang baru saja dikenalnya tentang musibah kebakaran yang menimpa keluarga orang itu. Peringatan tersebut ternyata benar adanya.
Abdullah bin Abbas R.a.
Sepupu Nabi Muhammad Saw ini dikenal memiliki Ilmu Laduni atas kemampuannya melihat Malaikat Jibril A.s dalam dua kesempatan, sementara orang lain yang saat itu juga sedang bersama Rasulullah tidak bisa melihatnya.
Abdullah bin Mas’ud R.a.
Ilmu Laduni yang dimiliki Abdullah bin Mas’ud muncul dalam wujud keteguhan, keberanian dan kemauan sekeras baja. Hal ini terbukti diantaranya ketika ia dengan lantang membaca Al Qur’an di tengah lingkungan orang-orang kafir Quraisy dan di tangannya pulalah Abu Jahal tewas dalam Perang Badar.
Syekh Abdul Qadir Jailani R.a.
Syekh Abdul Qadir Jailani pernah bertemu sejumlah ulama Irak yang semuanya melontarkan berbagai pertanyaan dan persoalan secara bersamaan. Kemudian terpancarlah cahaya dari dadanya dan seketika itu dijawabnya seluruh pertanyaan tadi. Ulama-ulama Irak tersebut merasa heran atas kehebatan ilmu yang beliau miliki. Dari sinilah Syekh Abdul Qadir Jailani dipercaya memiliki Ilmu Laduni.
Mengingat berbagai manfaat dan keistimewaan Ilmu Laduni bukanlah sesuatu yang bisa begitu saja kita dapatkan tanpa usaha, maka sudah sewajarnya jika Anda ingin memiliki Ilmu Laduni, alangkah bijaksana jika Anda mengamalkan Riyadhoh amalan keilmuan Ilmu Laduni dengan belajar dan dengan bimbingan oleh seorang Guru / Ustadz untuk membimbing.
Saran kami, apapun yang Anda dapatkan hasil manfaat setelah mengamalkan Amalan Ilmu Laduni adalah murni pemberian atau anugerah yang langsung dari Allah Swt, Anda tidak boleh menyombongkan diri dan Takabbur serta Kufur nikmat. Namun justru harus rendah hati, penyayang, bijaksana, peduli, dan mau membantu sesama dengan segala manfaatnya. Dan belajar untuk memiliki hati yang suci dan bersih serta pikiran yang tertata dengan benar.
Makna dan keadaan Hal
Secara sederhana perumpamaannya adalah sebagaimana keadaan seorang pemuda menyatakan cinta kepada kekasihnya. “Aku cinta padamu.”
Pernyataan ini akan menimbulkan getaran dan sensasi luar biasa bagi pemuda tersebut. Dan bagi gadis yang mendengarnya pun akan mampu menangkap getaran dalam nada suara dan bahasa tubuh pemuda tersebut.
Bagaimanakah hal keadaan (suasana) dalam dada pemuda tersebut saat menyatakan cintanya ?
Inilah perumpamaannya. Inilah yang di kaji dan diungkap, di rahsakan agar hati mampu menerima keadaan hal sebagaimana makna ayat, itulah hikmah yang luar biasa. Bagaimanakah (suasana keadaan hal) dada orang beriman dan dada orang kafir ?.
Lebih mudahnya lagi saya ilustrasikan. Ketika kita sudah memiliki referensi akan buah jeruk, disebabkan kita pernah, melihat, memegang, mencium, dan memakannya, mengerti rahsanya, maka saat kita mengatakan “JERUK”.
Instrumen ketubuhan kita menerima kata tersebut dengan rileks saja. Jiwa dan raga pernah merasakan sensasi rahsa buah jeruk, akal, dan indera juga sudah menyaksikan secara benar. Maka jeruk kemudian menjadi realitas. Menjadi mudah saja kita untuk memahami dan mengenali sensasi ketika di sebutkan ‘JERUK’.
Maka ketika kita mengatakan. “Aku suka jeruk.” Semua instrument ketubuhan kita bekerja sinergis menerima, tidak ada penentangan apapun baik dari akal, indea, jiwa, ataupun raga kita. Kita akan mengenali sensasi (suasana) rahsanya. Semua difahamkan dan mengerti. Kita akan dalam keyakinan yang bulat saat mengatakan kalimat tersebut. Karena jiwa dan raga serta seluruh instrument ketubuhan kita dalam keadaan harmoni. Itulah perumpamaannya.
Namun sebaliknya jika kita belum memiliki referensi perihal jeruk, instrument ketubuhan kita akan mendustakan apapun yang kita katakan tentang jeruk. Kita tidak akan memiliki keyakinan karena diri kita tidak memiliki referensinya. Meski kita paksakan untuk mengerti, kita tetap tidak akan menemukan realitas jeruk dalam diri kita. Meskipun kita paksakan dri kita untuk agar yakin, namun sejatinya kita hanyalah akan mendapatkan suatu keyakinan yang menipu (keyakinan semu).
Karena di dalam diri kita masih ada ruangan kosong untuk keraguan. Maka saat (ketika) kita berkata. “Aku suka jeruk.” Instrumen ketubuhan kita akan menolak, dan mengingkari, ada penentangan dalam hati. Sebab ada keraguan disana, ada kebohongan yang tersembunyi. Akibatnya jiwa tetap tidak tenang setelah mengatakan kalimat itu.
Semisal lainnya, saat (ketika) kita mendengar kabar perihal Taman Impian Jaya Ancol, banyak berita yang masuk kepada kita. Bagaimana keadaannya, serta apa saja wahana yang di tawarkan disana, penuh suka cita, pesona segala rupa, dan lainnya. Begitu banyak informasi yang kita dengar, sehingga tanpa mampu menolaknya kita meyakini bahwa berita itu adalah suatu kebenaran. Saking sukanya kita dengan berita-berita tersebut. Maka kemudian kita bahkan mampu menceritakan kepada kawan-kawan kita, dengan begitu antusiasnya, berikut sensasi dalam angan-angan kita. Masuklah imajinasi kita ke dalam cerita yang kita bawakan.
Begitu berurut, setiap orang melakukan kontruksi lagi atas berita yang di dengarnya, berdasarkan imajinasi dalam versinya masing-masing, cerita dari mulut ke mulut bersambung, di bawa dari sabang sampai merauke. Sehingga meski tanpa pernah datang kesana setiap orang akan mampu menceritakan bagaimana keadaan Taman Impian Jaya Ancol, berikut dengan sensasinya. Dengan serunya setiap orang kemudian berdebat tentang berita tersebut. Dengan versi kebenarannya sendiri tentunya. Begitulah keadaannya.
Namun sayangnya, hati tidak pernah bisa diajak kompromi, ketika kita menceritakan keadaan hal Taman Impian Jaya Ancol. Hati akan menghakimi kita. Ada kebohongan tersembunyi disana. Maka ketika kita mengatakan bahwa “Saya percaya atas berita tentang Taman Impian Jaya Ancol “.
Kemudian ketika kita berkata bahwa “Saya mencintai Taman Impian Jaya Ancol”. Seluruh instrument ketubuhan kita akan menolaknya. Dalam dirinya tidak ada realitas atas Taman Impian Jaya Ancol. Dia belum pernah kesana, belum pernah merasakan sendiri sensasinya. Maka ada keraguan dalam jiwanya. Jika semakin lama dia bercerita maka akan semakin dalam hijab yang menutupnya. Sehingga dia semakin jauh dari hakekat keadaan Taman Impian Jaya Ancol yang di maksud itu sendiri.
Dalam dirinya hanya penuh angan dan imajinasi yang menipu dirinya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk sebuah keyakinan, jiwa harus menemukan realitas Taman Impian Jaya Ancol, agar dia yakin seyakin-yakinnya. Tiada jalan lain selain dia harus datang, mengenal dan merasakan sendiri bagaimana keadaan tempat tersebut.
Ilustrasi tersebut ingin menjelaskan bahwa ketika kita mengatakan. “Aku beriman kepada Allah.”
Padahal kita sendiri tidak pernah memiliki referensi kata “IMAN’.
Dan Kita sendiri juga tidak mengenal Tuhan “ALLAH”, maka pastilah instrument ketubuhan kita akan mengikari, ada keraguan disana, ada kebohongan tersembunyi. Inilah yang menyebabkan meskipun kita sudah beribadah sedemikian hebat, hati tetap tidak tenang.
Karena diri kita tidak memiliki referensi apapun atas kalimat yang kita ucapkan. Begitu pula kejadiannya, sama keadaannya (ketika) saat berdzikir dan dalam diri kita tidak memiliki referensi apapun atas rahsa dan keadaan hal sebagaimana di maksudkan lafadz yang kita dzikirkan. Maka sudah barang tentu kita tidak mampu berada dalam posisi keadaan sebagaimana maksud dalam kita ber dzikir.
Ketika kita tetap nekad, hantam kromo saja, di khawatirkan justru malahan Jin yang datang, terpanggil oleh energi dzikir kita, maka seringkali kita temukan seseorang yang banyak dzikir keadaan dirinya malahan diliputi para khodam, seakan-akan dia memelihara khodam yang selalu mengikuti apa saja maunya. Inilah jenis hijab lainnya. Dia akan sulit sekali masuk kepada hakekat “La Haula Wala Quwata illa Billah’.
Inilah yang menjadi sebab mengapa ketika kita ‘mengingat Allah’ hati kita tetap tidak mampu tenang. Dan di posisi lain, diri kita tetap tidak mampu menikmati takdir kita dengan puas, ikhlas, dan ridho.
Padahal dalam ayat Al Qur’an jelas dikatakan “Dengan mengingat Allah maka hati akan tenang.”
Disinilah Ilmu Laduni akan memandu kita dalam menemukan hikmah atas makna ayat dalam Al Qur’an, secara benar, pada posisi jiwa yang benar. Sebagaimana yang dimaksud. Sehingga kita akan mampu mengatakan kalimat tersebut dengan keyakinan yang bulat. Sehingga karenanya, kita akan mampu kembali berdzikir dengan khusuk. Ke arah tujuan itulah hakekat keberadaan Ilmu Laduni.
Karena sekali lagi, sudah semestinya kita menyingkap hikmah atas keadaan hal dari setiap ayat, kemudian selanjutnya adalah bagaimana kita mampu mendapatkan posisi pada wilayah rahsa yang dimaksudkan. Keadaan yang dimaksudkan harus menjadi realitas bagi diri kita.
Sebagaimana ilustrasi buah jeruk tadi. Kita harus memiliki referensi atas setiap kata yang kita ucapkan. Kita harus mengenal rahsa yang menyingkap makna. Keadaan realitas yang sebenarnya, sehingga kita mampu mengucapkan kalimat (ayat) dengan khusuk. Ini adalah wilayah Rahsa (Dzauq) dan penyingkapan (Kasyaf). Suatu lintasan rahsa yang unik, sangat subyektif sifatnya.
Keadaan ini sungguh penting, dikarenakan dengan mengetahui keadaan ini, kita akan tahu bahwa saat itu, kita sedang melakukan penyembahan kepada siapa, kepada Allah Swt ataukah kepada selain Allah Swt. Disinilah Ilmu Laduni akan banyak membantu.
Meskipun setiap orang nantinya dalam kadar dan ukurannya masing-masing dalam hal ini, namun tidak seharusnya kemudian kita mengesampingkan realitas keadaan posisi jiwa dimana saat terkini. Mengetahui dimana jiwa dalam keadaan orbit yang semestinya. Maka tidak selayaknya jika kita mengabaikan keberadaan Ilmu Laduni ini.
Hadits-hadits tentang ilmu mauhub/laduni :
1. Hadits Bukhari -Muslim :
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Hadits At Tirmidzi :
“Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar?
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi).
3. Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib R.a:
“Ilmu bathin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
4. Hadits riwayat Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam kitab Al-Hilyah :
Nabi Muhammad Saw bersabda yang maksudnya : “Barang siapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam al hilyah).
5. Hadits riwayat Imam Ahmad Dalam kitab al-hikam
Nabi Muhammad Saw bersabda :” Barang siapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui”.
Imam Ahmad bin Hanbal R.a. Bertemu dengan Ahmad bin Abi Hawari, maka berkatalah Ahmad bin Hanbal R.a. “Ceritakanlah kepada kami apa-apa yang pernah kau dapati dari gurumu Abu Sulaiman R.a. “.
Jawab Ibnu Hawari R.a : “Bacalah Subhanallah tanpa kekaguman”.
Setelah dibaca oleh Ahmad bin Hanbal R.a. : “Subhanallah”
Maka berkata Abil Hawari R.a. : “Aku telah mendengar bahwa Abu Sulaiman berkata : “ Apabila jiwa manusia benar-benar berjanji akan meninggalkan semua dosa, niscaya akan terbang ke alam malakut (di langit), kemudian kembali membawa berbagai ilmu hikmah tanpa berhajat pada guru”.
Imam Ahmad Bin Hanbal R.a. Setelah mendengar keterangan itu langsung ia bangkit bangun/berdiri dan duduk ditempatnya berulang tiga kali, lalu berkata : “Belum pernah aku mendengar keterangan serupa ini sejak aku masuk islam”.
Ia sungguh puas dan sangat gembira menerima keterangan itu, kemudian ia membaca hadits tadi.
(Tarjamah Kitab Al Hikam Syeikh Ibnu Athoillah, H Salim Bahreisy, Victory Agencie, Kuala Lumpur, 2001, pp 33-34., Hadits ini juga tertulis di Fadhilah Al Qur’an penjelasan hadist ke 18, hal 25-27, Syaikh Maulana Zakariyya, era ilmu kuala lumpur)
6. Dalam hadits majmu (Himpunan) hadist qudsy
Allah Swt berfirman kepada Isa A.s: “Aku akan mengirimkan satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri, mereka sabar dan tawakal tanpa [harus] mempunyai Hilm (kemurahan hati) dan ‘ilm.”
Isa bertanya: “Bagaimana mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa Hilm dan ‘ilm?”
Allah menjawab: “Aku memberikan mereka sebagian dari hilm-Ku dan ‘ilm-Ku.”
7. Dalam hadits qudsy (Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn ‘Abd al-Hakam wafat 257 H).
Allah Swt mewahyukan kepada Isa A.s untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: “Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya.”
Isa As. berkata: “Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau perintahkan, tetapi mereka tidak menurut.”
Allah Swt berfirman kepada Isa A.s: “Aku akan mengatasi masalahmu ini.”
Maka Allah Swt membuat para murid Isa A.s bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus
Perkara ini telah dijelaskan oleh sayyidina Ali R.a saat beliau menjawab pertanyaan orang ramai, “apakah beliau telah mendapatkan ilmu khusus atau wasiat khusus dari Rasulullah Saw yang hanya diberikan kepada beliau dan tidak kepada orang lain?”
Hazrat Ali R.a. menjawab : ”Demi Tuhan yang telah menciptakan surga dan jiwa-jiwa, aku tidak pernah mendapat apa-apa selain daripada ilmu yang Allah berikan kepada seseorang untuk memahami Al-Qur’an!”
ibnu abi dunya Rah. berkata bahwa pengetahuan dari Al-Qur’an dan apa-apa yang didapat dari Al-Qu’an begitu luas daripada Al-Qur’an.
Seorang pentafsir harus mengetahui 15 cabang ilmu yang disebutkan di atas. Tafsiran orang yang tidak mahir dalam ilmu-ilmu ini adalah termasuk tafsiran Bil-Rakyi (tafsir menurut fikiran sendiri) yang hal ini DILARANG OLEH SYARA’.
Para sahabat R.a mendapat ilmu bahasa arab secara tabi’i dan ilmu-ilmu lain mereka dapat langsung dari ilmu kenabian (nabi Muhammad Saw).
Nabi Muhammad Saw bersabda : “Barang siapa yang berfatwa dalam masalah agama, tanpa ada ilmu maka baginya laknat Allah, malaikat, dan manusia seluruhnya ” (HR. Imam suyuti).
Jadi Ilmu laduni = ilmu dari Allah Swt sebab hasil amal…karena Allah Swt telah tunjukan cara mendapatkannya pada kita.
Cara mendapatkan ilmu dari Allah Swt.
Ilmu laduni dan cara/jalan untuk mendapatkannya didalam Al-Qur’an dan Hadist :
1. BELAJAR
Termasuk bertanya dengan para ulama. Hendaknya belajar dengan guru mursyid yang menjaga dzikir dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
An-Nahl (16) : 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
16.43. “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama yang menjaga dzikir/mursyid) jika kamu tidak mengetahui,”
2. TAKUT KEPADA ALLAH SWT
Kitab al Hikam, syeikh ibnu Athoillah Alasykandary (kepala madrasah alazhar-asyarif abad 7 hijriyah) menyebutkan nukilan ayat dari Al-Qur’anul Karim :
“Wataqullaha Wayu’alimukumullah” (Qs. Al baqarah ayat 282)
artinya : “Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian“ (Qs. Al Baqarah ayat 282)
Sifat takut/tunduk/patuh hanya kepada Allah Swt, sangatlah mulia. Bukan saja ilmu laduni yang Allah Swt beri, tapi Allah Swt akan tundukan semua makhluk padanya bahkan para malaikat pun akan berkhidmad dan senantiasa membantunya (atas izin Allah Swt), sebagaimana maksud dari hadits nabi Muhammad Saw :
Nabi Muhammad Saw bersabda : “Man Khofa Minallahi Khofahu Kulla Syai Waman Khofa Ghoirallah Khofa Min Kulli Syai”
artinya : “Barang siapa yang takutnya hanya kepada Allah Swt maka Semua makhuk akan takut/tunduk padanya. Barang siapa takut/tunduknya kepada selain Allah Swt maka semua makhluk akan (menjadi sebab) ketakutan baginya “
Lihatlah kisah-kisah salafushalih kita, bagaimana pasukan dakwah sahabat berjalan diatas air melintasi sungai Tigris di irak, pasukan dakwah sahabat yang berjalan melintasi laut merah, mu’adz bin jabal R.a shalat 2 rakaat maka gunung batu yang besar terbelah menjadi dua membuka jalan untuknya, para shahabat R.a terkemuka dapat mendengarkan dzikir benda-benda mati (roti dan mangkuk) .
Abu Dzar Al Ghifary R.a atas perintah khalifah Umar bin Khattab R.a, beliau ditugaskan untuk memasukan kembali lahar gunung berapi yang sudah keluar dari kawahnya. maka atas izin Allah Swt, lahar panas tersebut masuk kembali ke kawah gunung tersebut (Hayatushabat).
Abdullah At Thoyar R.a bisa terbang seperti malaikat yang punya sayap, maka ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, apa yang menjadi sebab Allah Swt berikan karomah tersebut, maka beliau menjawab ”saya pun tidak tahu, tapi mungkin karena aku dari sebelum saya masuk islam sampai sekarang pun saya tidak pernah minum khamr, …dst”.
3. MENGAMALKAN ILMU YANG DIKETAHUI
sebuah hadits menyebutkan bahwa nabi muhammad Saw bersabda :
“Man ‘Amila Bimaa ‘Alima Waratshullahu ‘ilma Maa Lam Ya’lam”
Artinya : ” Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang ia ketahui maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui”
4. TIDAK MENCINTAI DUNIA
‘Alammah Suyuti Rah. berkata : “kamu menganggap bahwa ilmu Mauhub adalah diluar kemampuan manusia. Namun hakikatnya bukanlah demikian, bahkan cara untuk menghasilkan ilmu ini adalah dengan beberapa sebab. Melalui ini Allah Swt telah menjanjikan ilmu tersebut. Sebab-sebab itu adalah seperti : beramal dengan ilmu yang diketahui, tidak mencintai dunia, dan lain-lain….”
Sebagaimana dalam sebuah hadits, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya : “Barang siapa yang zuhud pada dunia (tidak cinta dunia), maka akan Allah Swt berikan kepadanya ilmu tanpa Belajar” (Fadhilatushaqat).
5. BERDOA
Semua itu datang bagi Allah Swt, maka Rasulullah Saw mencontohkan kepada kita agar senantiasa berdoa agar diberikan ilmu dan hidayah dari Allah Swt. Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Wa qul rabbi zidnii ilma“
Artinya : Allah Swt. Berfirman : “Katakanlah (hai Muhammad Saw.) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS Thaha [10] ayat 113)
Untuk menumbuhkan rasa takut pada Allah Swt dengan dzikir
Untuk menumbuhkan zuhud pada Allah Swt dengan Mujahadah
Sedangkan Do’a akan diterima jika kita ikhlash
Untuk itu kita harus belajar dan dibimbing oleh guru-guru yang mursyid.
6. BERDAKWAH
Jika kita berdakwah (amar bil ma’ruf wa nahya ‘anil munkar) atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka Allah Swt akan berikan kepada kita ‘ilm Wa Hilm (’ilmu dan kelembutan hati) langsung dari Qudrat Allah Swt.
Sebagaimana Dalam surat al-‘ankabut ayat terakhir :
“Dan orang-orang yang berjuang di jalan kami (berjihad dan mendakwahkan agama) maka akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang ihsan (muhsinin)” (QS Al’ankabut [69] ayat 69).
Lafadz “ Subulana” atau “jalan-jalan kami” bermakna juga “jalan-jalan petunjuk dari Allah Swt” atau “jalan-jalan hidayah (ilmu-ilmu islam yang haq)”.
Sebagaimana juga dalam hadits Qudsi (kurang lebih maknanya) tatkala Allah Swt menceritakan keutamaan umat akhir zaman kepada Nabi Isa A.s,
Dari Abu Darda R.a berkata : “Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada Isa A.s. : “Aku akan mengirimkan satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri, mereka sabar dan tawakal tanpa [harus] mempunyai hilm (kemurahan/kemurahan hati) dan ‘ilm (ilmu) .”
Isa A.s bertanya: “Bagaimana mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa hilm dan ‘ilm?”
Allah Swt menjawab: “Aku memberikan mereka sebagian dari hilm-Ku dan ‘ilmu-Ku.” [HR. Hakim. Katanya Hadits ini shahihmenurut syarat Bukhary, tetapi ia tidak meriwayatkannya, sedangkan Adzahaby menyepakatinya”. I/348]
Keterangan : Hadits ini juga terdapat pada Muntakhab hadits Syaikhul Hadits Maulana Yusuf, Hadits No. 27, Bab ikhlash dan Juga terdapat pada kitab Ucapan Nabi Isa A.s dalam kisah-kisah literatur umat islam, Tarif Khalidi.
Mengenai kisah dakwah kaum hawariyyin (pengikut Nabi Isa A.s) :
Allah mewahyukan kepada Isa A.s untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: “Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya.”
Isa A.s berkata: “Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau perintahkan, tetapi mereka tidak menurut.”
Allah Swt berfirman kepada Isa A.s: “Aku akan mengatasi masalahmu ini.”
Maka Allah Swt membuat para murid Isa A.s bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus.
(Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn ‘Abd al-Hakam wafat 257 H).
ilmu Laduni adalah karunia khusus/khas bagi hambanya, terlebih bagi mereka yang telah ma’rifat. Orang yang telah ma’rifat akan mendapatkan segala-galanya karena tidak ada keinginan dunia dalam hatinya.
Nabi Muhammad Saw bersabda : “Man Wajadallah Wajada Kulla Syai, Man Faqadallah Faqada Kulla Syai”
artinya : “Barang siapa kenal kepada Allah maka ia akan mendapatkan segala-galanya
Barang siapa yang kehilangan Allah (tidak kenal Allah) maka ia kehilangan segala-galanya.”
( Kumpulan Khutbah jum’at romo kyai).
Dalam kitab Kimiyai Saadat, bahwa ada tiga jenis manusia yang tiadak akan bisa memahami Al-Qur’an :
1. Seorang yang tidak memahami bahasa arab
2. Orang yang berkekalan dengan dosa-dosa besar dan bid’ah. Ini karena dosa dan amalan bid’ah itu akan menghitamkan hatinya yang menyebabkan dia tidak mampu memahami Al-Qur’an.
3. Orang yang yakin hanya terhadap makna-makna dhahir saja dalam hal-hal aqidah (mengambil makna dhohir dari ayat/hadits Mutasyabihat, aqidahnya bermasalah: Mu’tazillah, Mujasimmah dsb).
Perasaanya tidak dapat menerima apabila dia membaca ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan keyakinannya itu. Orang yang demikian tidak akan bisa memahami Al-Qur’an.
“Ya Allah Peliharalah kami daripada mereka!”
BATASAN ILMU LADUNI
Ilmu Laduni adalah sebuah ke-niscaya-an, ilmu yang sebaiknya dimiliki oleh umat Islam. Apakah terlalu berlebihan statement ini. Rasanya tidak. Seseorang yang telah memiliki iman dalam hatinya dan dia bertakwa kepada Allah, akan dengan sendirinya memiliki ilmu ini. Inilah ke-niscaya-an yang saya maksudkan. Pengetahuan akan penyingkapan hati, pengetahuan kasyaf , kemampuan seseorang dalam mengenali daya yang bekerja pada dirinya, adalah sebuah kemampuan yang layak dimiliki.
Menjadi pertanyaan dalam kajian-kajian terdahulu, bagaimana kita mampu mengenali sebuah daya yang bekerja pada diri kita adalah benar daya Allah, bukannya daya yang berasal dari proses induksi. Inilah pertanyaan kita selalu. Keyakinan bahwa daya yang bekerja pada diri kita adalah daya Allah, adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin.
Sayangnya, mengenali sebuah daya dan kemudian menetapinya sebagai daya dari Allah Swt adalah sebuah persoalan tersendiri bagi umat Islam. Mereka selalu merasa sudah benar dalam penyembahan mereka, mereka enggan masuk ke dalam hatinya masing-masing mempertanyakan hal ini. Mereka dan kita semua sering tidak mau mempersoalkan lagi apakah daya yang kita pergunakan adalah benar daya Allah Swt atau bukan.
Sudah mampukah kita meniadakan daya-daya lain yang mencoba memperngaruhi diri kita dan berkata dengan yakin bahwa tiada daya upaya selain (daya) Allah Swt. Tanpa keyakinan yang benar, maka sesungguhnya kita tidak akan mampu mengatakan hal ini. Kita akan mengalami keraguan dan keraguan terus. Semua dalam kesulitan (ketika) saat ber-ikhsan. Hakekat bahwa Allah Swt melihat kita, dan hakekat bahwa (seakan akan) kita melihat Allah Swt. Inilah salah satu sebab mengapa umat muslim Indonesia mengalami kemrosotan akhlak yang akut.
Sebab ketika kita sudah yakin dan mampu mengenali daya tersebut, maka tenanglah hati dan jiwa kita. Inilah system bekerjanya ketubuhan kita.
Bagaimana mengenali daya tersebut jika kita tidak memiliki pengetahuan atas ini ?
Maka dengan ilmu (kasyaf) inilah diharapkan manusia akan dapat mengenali daya tersebut dan kemudian yakin atas ini. Pengetahuan ini bukanlah datang secara tiba-tiba, seseorang harus melakukan perjalanan sendiri-sendiri.
Pengetahuan ini bukan datang dengan cara membaca, ataupun belajar dari seorang guru. Pengetahuan ini langsung diajarkan oleh Allah Swt kepadanya. Maka seseorang yang menginginkan pengetahuan ini wajib melakukan perjalanan rohani, sampai nantinya Allah Swt akan menunjukan jalan kepada-Nya.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (jihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. “ (QS. Al Ankabut : 69)
Inilah janji Allah Swt, maka saya katakan bahwa Ilmu Laduni adalah sebuah ke-niscaya-an saja. Yaitu bagi setiap muslim yang mencari keridhaan Allah Swt dengan sungguh-sungguh maka kepadanya akan ditunjukkan jalan ini. Sebab dengan Ilmu ini dia akan mampu mengenali daya, dia akan mampu mengenali dualitas Rahsa, dia kemudian akan mengenali jalan-jalan-Nya.
Inilah ke-niscaya-an berikutnya, membedakan Rahsa-rahsa di jiwa, yaitu sebuah efek sensasi rahsa yang ditimbulkan oleh sebagai akibat penyembahan diri kita, apakah kepada Allah SWT atau kepada selain Allah SWT.
Dirinya akan mengenali Rahsa tersebut, membedakannya, sehingga kemudian dia mampu melakukan koreksi dan bertaubat, meluruskan kembali niatnya, jika kita salah dalam penyembahan diri kita.
Dengan ilmu ini (kasyaf) dia akan mampu menghadapkan dirinya dengan keyakinan yang benar kepada Tuhan (Allah SWT) Yang maha Esa bukan kepada Tuhan yang sebatas dalam persepsi saja, bukan kepada Hantu yang malah dianggapnya sebagai Tuhan. Semua akan diketahuinya melalui penyingkapan hati, melalui sensasi rahsa yang tak sama. Akan ada efek dualitas rahsa yang akan mampu dikenal dengan baik, sehingga dirinya tidak dibingungkan lagi oleh sensasi dualitas rahsa tersebut.
Kita ingin memisahkan pemahaman kita dengan pemahaman bahwa Ilmu Laduni atau Ilmu Hikmah adalah sebuah ilmu yang dimaksudkan dan identik dengan kemampauan seseorang yang memilikii karomah, supranatural, atau kesaktian-kesaktian lainnya. Bukan itu yang dimaksudkan. Bukan atas pemahaman itu, kajian ini dituliskan dan bukan maksud dari kajian ini ke arah sana.
Kita akan membatasi pemahaman bahwa Ilmu Laduni , menurut pendapat saya adalah sebuah ilmu mengenali rahsa (Dzauq), menyingkap hati, dan mengenal daya (kasyah) di dalam diri manusia sendiri. Ilmu yang akan mampu menyingkap hakekat diri manusia itu sendiri. Sehingga manusia akan mampu mengenali dirinya sendiri.
Ilmu Laduni adalah ilmu yang sangat spesifik dan unik. Setiap manusia akan diberikan ilmu ini, namun sayangnya ilmu ini hanya bisa digunakan untuk dirinya sendiri saja. Inilah pemahaman saya, sehingga ilmu ini tidak mungkin dapat diajarkan kepada lainnya. Dia hanya bisa menggunakan ilmu tersebut hanya untuk mengenali dirinya sendiri, mengenali lintasan hati dan penyingkapannya.
Maka berhati-hatilah kepada orang yang mengatakan memiliki ilmu ini dan mengatakan mampu mengajarkan Ilmu Laduni ini.
Dalam pemahaman saya Ilmu Laduni bukanlah sebuah ilmu tentang kesaktian manusia, ilmu ini adalah sebuah ilmu hikmah.
Hikmah apa yang perlu diketahui seseorang atas sesuatu hal, maka hanya Allah SWT dan dia saja yang tahu.
Allah Maha Tahu, yang akan menyingkapkan rahasia hikmah apa saja untuk dirinya. Hikmah yang hanya pas untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Hanya dia sendiri yang akan memetik hikmah pelajarannya. Maka pengajaran seperti apa, kurikulum yang mana yang akan pas untuk setiap manusia, hanya Allah yang tahu. Maka hubungan belajar dan mengajar ini sangatlah spesifik sifatnya dan ‘privat’ sekali.
Mengenali rahsa (dzauq), mengenali daya (kasyaf), Ilmu yang mampu meyingkap rahasia hati, sehingga dengan ilmu ini seseorang akan memiliki keyakinan yang tidak akan menyisakan ruang bagi keraguan sedikitpun. Karena telah terbukanya hijab dan penyingkapan hati. Inilah hakekat dan batasan Ilmu Laduni yang dimaksudkan.
Dengan ilmu inilah seorang muslim akan dapat memahami hikmah dam hakekat kebenaran itu sendiri. Sehingga dia tidak akan dibingungkan lagi dengan versi kebenaran kelompok lainnya. Jikalau dalam penyingkapan hikmah, seseorang kemudian di pahamkan melalui cara-cara yang di luar nalar dan logika, (sehingga manusia menganggap sebagai karomah) itu sifatnya hanya individualistis, dan karena semua terserah kepada Allah SWT bagaimana memberikan pengajaran.
Pengajaran dalam mengenali daya, memang kadang sangat mempesona. Hampir semua yang penulis kenal yang sedang belajar hal ini tiba-tiba memiliki kemampuan yang tidak biasa. Kadang bisa menghentikan hujan, menghentikan dan membalikan arah angin, dan juga kemampuan supranatural lainnya.
Banyak diantaranya yang kemudian mampu menyembuhkan penyakit non medis, yang di sebabkan makhluk ghaib, dan lain sebagainya.
Tersingkapnya hijab hati akan menyingkapkan ke-ghaib-an inilah konsekwensinya, maka dia akan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib, dan mengenali kesadaran-kesadaran lainnya, mengenal dari rahsa di jiwa.
Dirinya akan senantiasa di hadapkan kepada dua dunia, beserta dimensi-dimensinya. Dirinya dibenturkan kepada sebuah fakta untuk memaknai manakah yang sebenarnya Realitas dan manakah yang Ghaib. Dualitas rahsa dalam kesadarannya. Karena semua menjadi seakan-akan sama saja. Tinggal dia mau memaknai seperti apa keadaannya dan sebagai apa. Apakah akan memaknainya sebagai hal ghaib ataukah sebagai realitas alam semesta saja, suatu kewajaran.
Sungguh mempesona. Namun hakekatnya itu hanyalah pembelajaran saja kepadanya. Dia sedang diajarkan pelajaran mengenai daya yang sedang bekerja, daya yang bekerja di alam dan dalam tubuh manusia itu sendiri. Di ajarkan siapakah dirinya, hakekat dirinya sendiri, hakekat tentang AKU.
Maka celakalah orang yang kemudian mengaku-aku memiliki daya ini. Celakalah orang yang mengaku aku memiliki Ilmu Laduni ini. Kemudian menganggul-anggulkannya, sebagai kesaktian, sebagai karomah, atau lainnya.
Karena hakekatnya ilmu ini berada di antara ada dan tiada, hikmah diantara realitas dan ghaib. Semua milik Allah Swt. Hasil yang benar jika seseorang memiliki ilmu ini adalah kebalikannya, dia akan menjadi merasa tidak memiliki ilmu sama sekali. Seseorang justru akan merasa tidak memiliki daya sama sekali, setelah belajar dan memahami hakekat ilmu ini. Inilah keanehannya.
Semua tergantung rahmat Allah Swt semata. Dia hanya menggantungkan hidupnya dari kemurahan Allah Swt, yang akan memberikan daya kepadanya atau tidak. Inilah hakekat hasil pembelajaran Ilmu Laduni.
Ilmu ini ada namun menjadi tiada, karena hakekatnya adalah kita kemudian meniadakan ilmu ini sendiri. Ilmu ini berada dalam kesadaran realitas dan keghaiban itu sendiri.
Karenanya kita akan kesulitan jika mencari orang yang benar-benar memiliki ilmu ini, karena dia akan tersembunyi diantara manusia lainnya. Jika tersingkapkan, Ilmu ini menurutnya, hanya akan menjadi aib nya saja nanti. Begitu takutnya dia kepada Allah Swt, takut menjadi riya’ jika dirinya diketahui. Maka keberadaan orang-orang ini nyaris terabaikan, mungkin saja ada diantara kita semua, namun kita tidak tahu. Ciri-ciri seorang muslim sejati ada pada dirinya. Itulah tanda-tandanya.
Ini adalah ilmu ketiadaan, meniadakan daya upaya kita, dia hanya bisa pasrah menggantungkan dirinya atas daya yang diberikan Allah Swt. Dia benar-benar merasa menjadi manusia yang tidak punya daya sama sekali. Benar-benar lemah, menjadi manusia biasa, sangat biasa.
Dia merasa tidak tahu apa-apa, karena semuanya seakan-akan hanya di tarok begitu saja. Dia akan menjadi tunduk, rendah hati, karena dia menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Dan lain lain, dan lain lain. Hingga pada gilirannya nanti sampailah dirinya kepada maqom kearifan tertinggi dalam dimensi manusia.
Jika tertarik belajar Ilmu ini, Ilmu Laduni, maka menurut hemat saya tidaklah harus belajar kepada orang lain. Sebab begitu sulitnya jaman sekarang ini menemukan orang seperti itu. Belajarlah kepada Allah Swt. Bergurulah kepada Allah Swt.
Begitulah ke-khas-an Ilmu Laduni, dalam pemahaman saya, Bagaimana memulainya ?. Maka ini hanyalah sekedar sharing saja, sekali lagi hakekatnya hanya Allah Swt saja yang tahu, pengajaran seperti apakah yang pas buat diri kita masing-masing.
DARI MANA DI AWALI (MULAI)
Di awali dari sebuah pertanyaan yang di lontarkan. Mengapa manusia menerima dengan sikap pasrah sebuah keyakinan secara turun temurun, tanpa sedikitpun keraguan ?
Mengapa manusia tidak mau menggunakan bukti-bukti rasional sebagai dasar penerimaan itu ?.
Mengapa setiap kelompok meyakini paham mereka sebagai suatu kebenaran ?.
Bersikukuh mempertahankan keyakinan yang di dapat dari nenek moyang mereka secara turun temurun, tanpa meragukan sedikitpun.
Mengapa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Bathiniyah, dan lainnya tetap dalam pendapatnya itu. Sehingga pada gilirannya, membuat mereka sendiri menjadi sangat sensitif ketika diantara mereka mengalami benturan keyakinan dan bersinggungan paham.
Mengapakah hal ini tidak menimbul pertanyaan dan keraguan kepada kita, manakah diantara paham mereka sesungguhnya yang benar.
Marilah kita telusuri mengapa keadaannya begitu. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. “ (HR. Al Bukhari, Muslim, Malik, dan Ahmad).
Itulah keadaan real kondisi manusia, saat dia dilahirkan, dia sudah berada dalam kesadaran kolektif masyarakatnya. Dia tidak bisa memilih orang tuanya, lingkungannya, atau agamanya.
Jikalau begitu dapatkah dia disalahkan pada satu sisi itu saja, ketika dia memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Majusi ?
Apakah orang tuanya yang salah ?
Ternyata tidak juga, karena ternyata orang tuanyapun mengalami nasib yang sama. Dia juga hanya menerima agama dari orang tuanya lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Setiap manusia hanya menerima begitu saja paham dan keyakinan dari nenek moyang nenek moyang mereka.
Jikalau setiap manusia mengalami kejadian yang sama seperti itu, kenapa mereka semua harus mewarisi juga sikap permusuhan nenek moyang-nenek moyang mereka semua ?
Menjadi permusuhan yang turun temurun lintas generasi, permusuhan yang tiada habis-habisnya.
Praduga dan persepsi di bangun atas cerita masa lalu. Tidakkah sebaiknya setiap golongan, setiap manusia duduk bersama mengkaji kebenaran masing-masing. Melakukan kontemplasi dalam diri sendiri mencari hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat kebenaran.
Yakinlah, manusia dahulunya adalah umat yang satu. Agama dahulunya adalah satu. Kemudian ada sebagian dari manusia yang di berikan pengetahuan menyimpangkannya, mengikuti hawa nafsunya. Pemahaman tersebut kemudian diturunkan, diikuti oleh keturunan keturunan mereka secara membuta. Sampailah kepada kita sekarang ini. Sesungguhnya manusia telah melalaikan keadaan yang sudah sekian lama begini, berabad abad lalu hingga melintasi jaman dan peradaban, sampailah kepada kita sekarang ini. Dinamika seluruh umat manusia dengan pelbagai macam keyakinan dan kebenaran versi masing-masing.
Kita seharusnya khawatir dengan perkembangan agama Islam itu sendiri, kemudian mempertanyakan dengan keraguan, mengapa begitu banyak mahzab di dalam Islam, mengapa Islam juga terpecah-pecah. Manakah yang benar diantara mereka. Kita harus memiliki Ilmu yakin atas kebenaran yang di dalamnya tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi keraguan. Keyakinan yang Haqul Yaqin yang tidak menyertakan kemungkinan salah dan praduga.
Sebuah keyakinan atas kebenaran yang tidak mungkin mampu di goyahkan sedikitpun oleh siapapun, meskipun sang pembantah memberikan emas sebesar gunung sekalipun. Dan selanjutnya kita mampu menyikapi atas perbedaan yang tengah terjadi di dalam masyarakat itu dengan kearifan, sebab hakekat kebenaran datangnya dari Allah SWT.
Muncullah pemahaman bahwa hakekatnya setiap golongan hanya berada dalam makom mereka masing-masing. Tentunya mereka semuanya nanti, jika telah satu dalam kebenaran Tuhan maka seluruh umat manusia akan menjadi kembali bersatu lagi dalam dienul Islam. Itulah keyakinan Islam.
Sekali lagi, setiap mahzab, setiap golongan senantiasa melakukan klaim atas kebenaran mereka, namun kita tidak pernah tahu, diantara mereka manakah sesungguhnya yang benar. Benar dalam kebenaran Allah Swt.
Dimanakah rantai yang terputus ?
Dimanakah ‘missing link’ nya, sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah terserak-serak, sudah tidak lengkap lagi.?
Kita harus menanyakan kepada diri kita melalui keraguan. Karena Al Qur’an telah mengisyaratkan demikian. Pada setiap peradaban mungkin ada saja nenek moyang kita yang lalai. Kita harus khawatir atas hal itu. Sehingga kitalah yang di harapkan mampu memutuskan mata rantainya, mencari dimanakah asal muaranya, mencari jalan penghubung atas ajaran nabi Ibrahim yang lurus (Milah Ibrahim).
Sehingga kita memliki keyakinan yang benar, yang selanjutnya dengan ini, dapat kita wariskan kembali kepada anak cucu kita berikutnya. Menjadi generasi Islam yang wajahnya penuh senyum, yang senantiasa menjadi rahmat bagi yang lainnya. Islam adalah rahmat semesta alam.
Generasi yang melalaikan
“Yaa Siin. Demi Al Qur’an yang penuh hikmah. Sungguh engkau (Muhammad) adalah seorang dari rasul-rasul. Diatas jalan yang lurus. (Sebagai wahyu) yang diturunkan (Allah) yang maha Perkasa, Maha Penyayang. Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sungguh, pasti berlaku perkataan terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. “ (QS. Ya sin 1-7)
Al Qur’an jauh hari sudah memperingatkan hal tersebut. Dalam setiap peradaban setiap abad akan terdapat suatu kaum yang nenek moyang-nenek moyang mereka lalai. Maka Al Qur’an kemudian di turunkan, sebagai wahyu, memberikan peringatan kepada kita, atas kemungkinan tersebut dengan sebuah praduga bahwa diduga diantara nenek moyang kita terdahulu terdapat suatu generasi yang lalai.
Terjadilah ‘missing link’ mata rantai yang terputus. Sehingga sampai ke jaman kita, sudah menjadi banyak versi kebenaran yang terserak diantara setiap golongan. Kitalah semua yang harus mengkritisi, ke dalam diri kita masing-masing. Mengikuti petunjuk di dalam Al Qur’an. Mencari kebenaran itu sendiri.
Al Qur’an menuntut ke aktifan manusia dalam mencari kebenaran. Menguji kembali keimanan yang telah diwariskan kepada diri kita masing-masing. Meminimalisir kelalaian nenek moyang kita yang beranggapan bahwa diri mereka sudah benar, sehingga karenanya mereka lalai, dan karena itu mereka tidak mau lagi mencari kebenaran. Sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah tidak sempurna.
Kebenaran harusnya sampai kepada kita melalui jalan yang lurus (shirotol mustakim). Bukan melalui jalan orang yang sesat ataupun jalannya orang yang di murkai Allah. Maka kita wajib meyakinkan diri kita atas hal tersebut. Sehingga kita mampu mengamankan setidaknya jalan kita sendiri terlebih dahulu.
Pertanyaan-pertanyan tersebut layaknya terus di lontarkkan ke dalam hati. Sebagaimana yang dilakukan nabi Ibrahim A.s, ketika mencari hakekat Tuhan, sebagaimana juga yang di lakukan Rasulullah Saw dalam kontemplasinya sepanjang waktu dan di perkuat saat-saat di gua Hira’.
Begitu juga sebagaimana Hujatul Islam Imam Al Ghozali. Ini adalah pondasi dasar untuk melatih instrumen ketubuhan kita, mempersiapkan kondisi saat di susupkan contoh rahsa agar dikenali. Semua dimulai dengan pertanyaan, penuh keraguan atas suatu keadaan. Melihat ke dalam diri, mencari referensi atas sesuatu itu, dari dalam jiwa kita sendiri.
Pengajaran yang sederhana
Marilah kita masuki saja agar menjadi lebih jelas apa yang saya maksudkan. Kita mulai dari hal yang sederhana. Kita coba dari masalah yang paling banyak terjadi menimpa kita kaum awam adalah perihal sholat. Al Qur’an sudah memberikan solusi efektif bagi kita kaum urban dalam menghadapi kesempitan dan tuntutan hidup.
Firman Allah Swt “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. “ (QS. Al baqoroh 45).
Perintah tersebut jelas tidak mungkin salah. Masalahnya adalah kita yang belum mampu. Maka mulailah kita bertanya dalam hati kita, berdialog dengan tajam dan dalam.
· Apakah sholat yang di ajarkan orang tua kita sudah benar, sehingga sholat mampu menjadi penolong kita ?.
· Apakah ada yang salah, sehingga sholat belum dapat saya jadikan penolong ?.
· Mengapa sholat dapat di jadikan penolong ?. Bagaimana caranya ?
· Nyatanya berat bukan ?. Kenapa kok saya tidak bisa melakukan hal itu ?
· Hanya orang yang khusuk yang dapat melakukan itu ?
· Mengapa saya tidak bisa khusuk ?.
· Terus bertanyalah dan jawablah dengan jujur. Latih terus instrument ketubuhan kita.
· Kuatkan hati dan terus bertanya kepada Allah Swt. Bagaimana caranya agar kita mampu mengerti.
Begitu juga dalam mengenal Allah Swt, baiknya kita mulai dari ayat yang sering kita lafadzkan sehari-hari . Bisa dari “Bismillahi rohmani rohiem”. Pernyataan tersebut harus kita akui pasti benar.
Maka kenalilah, bertanyalah terus, kasih sayang apakah yang telah diberikan kepada kita. Terlihat sederhana pertanyaan ini, namun seperti uraian dimuka, saat kita tidak memliki referensi apapun tentang sifat kasih dan sayang Allah Swt, kita tidak akan mampu mengucapkan ini dengan keyakinan.
Ketika kita tidak yakin dengan ini, maka kita juga akan sulit mengenal Allah Swt. Sebab dikarenakan kita tidak memiliki referensi sifat kasih dan sayang-Nya dalam diri kita. Ketika kita tidak mampu mengenal Allah Swt, maka selanjutnya kita akan sulit khusuk dalam sholat.
Sungguh bagi sebagian orang, menemukan dan mencari referensi kasih sayang Allah Swt di dalam dirinya, merupakan perjuangan yang melelahkan, mendaki lagi sukar. Banyak kesadaran lain yang menghijab. Banyak sekali kesadaran lain yang ikut di dalam dirinya akan melakukan pengingkaran-pengingkaran,
Bahkan mungkin akal , mungkin jiwanya sendiri juga akan melakukan pengingkaran, sehingga hati sulit sekali mendapatkan hal atau keadaan seperti keadaannya. Yaitu keadaan rahsa di dada seperti dimaksud ketika Allah Swt melimpahkan kasih sayangnya.
Apakah kita mengerti dan memahami bagaimana keadaan tersebut ?
Tentunya kita harus belajar mengenali, belajar untuk mendapatkan contoh rahsanya, dengan suatu Mujahadah yang tak kenal lelah, agar nantinya tidak salah lagi.
Kita harus terus istiqomah, melewati fase-fase awal. Kesadaran-kesadaran yang berada dalam diri kita secara perlahan tapi pasti akan di singkap, bagai mengupas kulit bawang, selapis demi selapis.
Yakinlah, dengan mengenal Allah Swt melalui sifat kasih sayang-Nya saja kita sudah akan mampu menjalani kehidupan beragama dengan tenang, puas, dan ridho.
Inilah pengajaran yang sederhana namun tepat guna dan manfaat.
Bila orang tua kita hanya mengajarkan “Bismillah”, maka masuki saja lebih dalam. Insyaallah dengan ini, kita akan mampu mengerjakan dan mendirikan syariat dengan lebih ringan, lebih ikhlas, dan sabar.
Agama selanjutnya tidak menjadi beban kita lagi. Insya Allah beragama dan bekerja akan sejalan. Meskipun penguasaan agama kita hanya sedikit.
Berguru Kepada Allah Swt
Masih banyak yang harus disingkapkan, perihal bagaimana pengajaran Allah Swt, bagaimana keadaannya jika kita berguru kepada Allah Swt. Sungguh luar biasa pernyataan yang di usung Ustad Abu Sangkan.
Dalam bukunya Berguru Kepada Allah Swt. Meski menabrak logika berfikir umat Islam, dan mendobrak ‘mainstream’ yang begitu kuat. Nyatanya pemahaman ini secara perlahan mampu diterima masyarakat. Meski pada awalnya banyak penentangan di sana-sini.
Lambat laun, masyarakat mampu melihat dengan jernih kemana muaranya. Pemahaman ini secara tidak langsung telah melahirkan paradigma baru dalam konsep berfikir tentang Islam itu sendiri. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya atas diri beliau. Amin
Dalam perjalanan Berguru Kepada Allah, manusia akan diperjalankan, dan di ajarkan bagaimana memahami dirinya sendiri terlebih dahulu. Terutama adalah bagaimana manusia mampu memahami dualitas rahsa yang telah disusupkan oleh Allah Swt kepadanya. Rahsa pada jiwa yaitu kefasikan dan ketakwaan.
Manusia harus mengenalinya. Membedakannya bagaimana sensasi rahsa bila kita berada dalam makom kefasikan dan bagaimana juga keadaan sensasi rahsa di jiwa ketika kita berada di makom ketakwaan. Sungguh kita harus mampu membedakan keadaan ini. Agar kita tidak tertipu.
Manusia secara perlahan diminta mengenali rahsa takut, rahsa syukur, rahsa takwa, tawakal, iman, sabar, harap, dan lain-lain, dan berikut dengan dualitasnya, yaitu rahsa kebalikannya. Digulirkan juga rahsa senang dan sedih, gembira dan nestapa, sukses, dan kecewa, dan bagaimana memaknai hikmah diantara dua rahsa itu. Kemudian bagaimana juga menetapinya, rahsa yang bagaimanakah yang bersumber dari daya Allah SWT.
Semua akan diajarkan satu persatu. Begitu dahsyatnya pengajaran itu, hingga sangat terasa di badan. Sebagaimana halnya sampai-sampai pada dada Rasulullah Saw ketika sholat seperti bergemuruh, saking dahsyatnya, hingga terdengar oleh orang di belakangnya. Maka ketika kita diajarkan rahsa ini, sungguh kita harus istiqomah dalam keyakinan kepada Allah SWT.
Gemuruh di dada dan bagaimana sensasinya begitu luar biasa, benar-benar akan melumpuhkan dirinya. Bagai gelombang tsunami yang akan melemparkan apa saja. Bagai radiasi yang akan meluluh lantakkan apa saja yang terpapar. Semua menimpa raganya. Maka bagi manusia hanya ada satu jalan, hanya kembali kepada Allah Swt . Tidak ada jalan kembali.
Apakah dia akan menjadi kafir setelah beriman ?
Itulah taruhannya. Jika dia berbalik, sungguh siksaan Allah Swt amatlah pedih.
Kemudian manusia juga akan diajari bagaimana membedakan sensasi bagaimana jika kita takut kepada Allah Swt dan bagaimana juga ketika kita takut kepada selain Allah Swt. Demikian juga untuk rahsa cinta.
Bagaimana sensasi rahsa ketika kita cinta kepada Allah Swt dan ketika kita mencintai selain Allah SWT.
Dengan mengenali sensasi rahsa ini (dzauq), manusia akan mengenali daya (kasyaf) yang menimbulkan sensasi tersebut. Karena hakekatnya rahsa hanyalah sebuah efek atas bekerjanya sebuah daya saja.
Sebuah rahsa panas yang dirimbulkan oleh alat pemanas, atau bohlam lampu misalnya, akan terasa bedanya jika daya listrik yang menghidupkannya berasal dari daya PLN ataukah bersumber dari daya sebuah battery. Jika dari PLN akan lebih konstan namun jika dari baterry dayanya semakin lama akan meredup sehingga nyalanya (panasnya) akan tak beraturan.
Sensasi ini terasa nyata dan akan beda sekali bagi yang mampu merasakannya. Inilah perumpamaannya.
Begitulah cara mengenali sebuah daya.
Apakah daya dari Allah Swt ataukah daya dari selain Allah Swt. Kita mengenali dari sensasi rahsanya (dzauq).
Kemudian setelah kita mengenalinya, maka kita akan mendapatkan referensi atas rahsa yang dimaksudkan. Allah Swt akan memberikan contoh rahsanya yang benar (hal). Bagaimana rahsa yang sungguh-sungguh benar.
Kita akan memiliki keyakinan yang kuat tentang kebenaran yang dimaksudkan-Nya. Tanpa rekayasa apapun. Betul-betul seperti di taruh saja.
Setelahnya, kemudian manusia harus mengupayakan dirinya agar menempati maqom tersebut, berdasarkan referensi yang sudah didapatkannya itu.
Inilah perjuangan yang terus menerus, hingga manusia mampu mencapai maqom yang dimaksudkan. Begitus seterusnya sehingga tercapailah kearifan puncak. Menjadi manusia yang (menjadi) rahmat semesta alam.
SEJARAH ILMU LADUNI (MENGGALI POTENSI HATI)
Sebagaimana telah dihuraikan dahulu, bahawa ilmu laduni adalah ilmu yang terbit dari kekuatan ruhani atau dengan istilah “ilmu rasa”, sedang ilmu yang lain adalah dari kekuatan potensi akal dan potensi fikir atau dengan istilah ´ilmu rasional. Adalah ibarat dua lautan yang tidak bertepi. Titik pertemuan dua ilmu tersebut di dalam hati seorang hamba, adalah perkiraan tempat terbitnya ilmu laduni. Oleh kerana itu, pertemuan kedua sosok tersebut (nabi Musa dan nabi Khidhir) sebagai sosok karakter bukan sosok personal adalah lambang sumber ilmu laduni yang harus digali oleh para salik di dalam karakternya sendiri. Karakter tersebut dibentuk dengan ilmu, iman, amal dan akhlakul karimah.
Sebagaimana yang diisyaratkan Allah SWT. kepada Musa as. saat berdialog dengan-Nya, “Iaitu seseorang yang paling berilmu tinggi adalah ketika dia telah mampu menyampaikan ilmu orang lain kepada ilmunya sendiri“.
Seandainya sebagai seorang murid nabi Musa mahu mengalah dan percaya kepada nabi Khidhir, membenarkan perbuatan gurunya, yang menurut dirinya adalah salah, dengan diam tidak bertanya, sambil mencari rahsia kebenaran yang dikandungnya melalui proses memasuki kepada potensi-potensi fasilitas ilmu laduni yang telah disiapkan oleh Allah bagi setiap manusia, maka akan dibuka di hatinya rahsia-rahsia dan hikmah urusan yang ghaib di sebalik kejadian-kejadian yang zahir tersebut, sehingga akan terbit suatu pemahaman yang baru terhadap hal yang selama ini belum pernah difahami sama sekali. Adalah proses yang datangnya tidak terduga, merupakan sebab-sebab pertama dari terbukanya rahsia sumber ilmu laduni di dalam hati seorang hamba. Tidak dengan sebaliknya, iaitu hanya memaksakan ilmunya supaya diterima oleh ilmu orang lain, ketika terjadi konflik ilmiyah di dalam pikirannya.
(Keadaan tersebut, sebagaimana yang digambarkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan tidaklah urusan Kami kecuali hanyalah satu perkataan seperti kerdupan mata”. (QS.al-Qomar/49-50).
Dalam waktu yang kadang-kadang relatif kurang dari satu saat itu apa saja boleh terjadi, suatu pengertian yang selama ini belum diketahui, dapat terbit dalam hati yang luasnya tidak dapat tertampung baik oleh ucapan maupun tulisan, bahkan kadang-kadang dapat menghidupkan kemampuan daya kreasi yang selama ini belum pernah dimiliki oleh seseorang. Seperti orang bermimpi, yang kadang-kadang hanya sekejap tapi jalan ceritanya mampu diceritakan sepanjang hari, bahkan tidak habis-habis meski diceritakan sehari semalam, layaknya kejadian seumur hidup terulang kembali. Yang demikian itu adalah sunnatullah, siapapun berpotensi dapat memasukinya, asal terlatih dengan bimbingan yang benar).
Seperti itulah makna kesalahan seorang murid terhadap gurunya, dia melanggar perjanjian yang sudah disepakati bersama, sehingga murid terlepas dari kesempatan emas untuk mendapatkan sumber ilmu laduni yang sudah di depan mata. Bukan ilmu dan pengalaman yang sudah ada yang disalahkan akan tetapi cara memanfa’atkannya yang harus lebih mendapatkan perhatian. Seorang murid yang sudah bai’at (melaksanakan janji untuk mengikuti) kepada gurunya, sedikitpun tidak boleh mempunyai prasangka buruk kepada gurunya, meskipun dihadapkan kepada perbuatan maksiat. Seorang guru mursyid, seperti seorang doktor, memang terkadang harus mampu berbuat buruk kepada muridnya. Itu ibarat seorang Doktor ketika dia mengadakan pembedahan untuk mengangkat penyakit yang ada dalam jasad pesakit, guru mursyid pun demikian.
Ketika guru mursyid harus menguji murid-muridnya dengan perbuatan yang tidak masuk akal, menyakiti perasaan dengan menjatuhkannya di depan orang ramai umpamanya, hal tersebut sebenarnya semata-mata untuk mengangkat penyakit-penyakit ruhani yang ada dalam karakter muridnya. Yang demikian itu adalah bahagian tarbiyah yang harus mampu dilaksanakan oleh seorang guru mursyid kepada anak-anak asuhannya. Kejadian seperti itu pernah terjadi pada diri Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. ketika menjalani tarbiyah dari nabi Khidhir as., padahal asy-Syekh, tidak mengenalnya, asy-Syekh diperintah untuk tinggal di suatu tempat selama tiga tahun, dan hanya setahun sekali nabi Khidhir as. mengunjunginya. Nabi Khidhir berkata kepadanya :
“Perbezaan pendapat (antara murid dan gurunya) akan menjadi sebab perpisahan”.
Sebagai bahagian bentuk pengabdian yang harus dilakukan, suatu saat seorang murid harus mampu mengosongkan akalnya dari ilmu yang sudah dimiliki untuk membenarkan perbuatan gurunya walaupun menurut ilmunya perbuatan gurunya itu salah. Hal itu bertujuan, ketika telah terjadi pengosongan supaya “nur ilmu” yang dipancarkan seorang guru mursyidBniat di balik ujian yang diberikan mampu mengisi bilik akal yang sudah terkondisi tersebut. Seperti menanam benih, kadang-kadang di tanam pada waktu yang tepat adalah yang akan lebih menentukan kualiti tanaman itu daripada benih itu ditanam pada waktu yang tidak tepat. Adalah urusan-urusan “dalaman” (ruhani) yang harus difahami oleh seorang salik, seperti ilmu teori, supaya praktik yang dijalankan tidak salah jalan.
Ketika terjadi pergolakan di dalam hati, sakit hati akibat terpaksa harus membenarkan orang lain yang semestinya menurut ilmu syari’at salah, arus itu menimbulkan hawa panas dalam hati yang akan mampu membakar hijab-hijab. Hal tersebut merupakan mujahadah “bil hal” (mujahadah hati) yang harus dilaksanakan oleh murid. Saat itulah, ketika kristal-kristal hijab berhasil dilelehkan oleh hawa panas yang membakar hati, lalu kristal itu larut di dalam samudera ilmu Allah yang tidak terbatas, dengan izin Allah Ta’ala, pintu matahati seorang hamba akan terbuka, sehingga yang selama ini ghaib menjadi nyata dalam pandangan hati. Itulah pengendapan ilmu, ketika seorang hamba mampu melaksanakannya, maka garis-garis urat wajah akan ikut tertata sehingga sinar wajah menjadi cemerlang dan menyejukkan.
Mujahadah di jalan Allah tidak selalu dengan melaksanakan wirid dan dzikir saja. Namun juga menerima pendapat orang lain, memaafkan kesalahan, membiarkan dirinya dihina dan difitnah, adalah mujahadah yang jauh lebih berat, akan tetapi juga dapat menghasilkan kemanfaatan yang lebih utama :
“Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keredhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS.al-Ankabut/69).
Kadang-kadang hanya sekadar untuk mencabut rasa sombong yang sudah mengakar dalam karakter manusia, kewujudan orang tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan musibah dan fitnah-fitnah. Hal itu bertujuan supaya hatinya bersih dari sifat pengakuan diri yang dapat menerbitkan rasa sombong dan kemudian supaya mampu bertaubat kepada Allah Ta’ala dengan taubat nasuha. Seperti hutan ketika akan dibuka untuk tanah pertanian, setelah tanaman-tanaman ditebang kemudian dibakar, dan ketika hujan turun, kemudian baru tanah itu menjadi subur dan siap ditanami.
Oleh kerana manusia tidak mampu melaksanakan pensucian (tazkiyah) dengan pilihan hatinya sendiri, maka Allah Ta’ala membuka jalan dengan pilihan-Nya. Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata :
“Apabila kebiasaan (buruk) telah mendominasi kehidupan manusia tanpa adanya kemahuan untuk mensucikannya, Allah mengujinya dengan didatangkan berbagai penyakit (baik zahir maupun batin), sebagai peleburan dosa dan pensucian, supaya dia pantas menghadap (mujalasah) dan mendekatkan diri kepada Allah. Yang demikian itu dikehendaki mahupun tidak”
Setelah hati menjadi bersih dari sifat basyariyah yang tidak terpuji, disedari mahupun tidak, ilmu yang didengar, walau sedikit akan tumbuh berkembang dalam ingatan. Sebab, seperti tanah, hati yang subur itu akan mudah menerima ilmu serta mengembangkannya dengan tanpa batas :
“Sebab itu sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku (iaitu) orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.az-Zumar/17-18).
Kadang-kadang datangnya sumber “ilmu laduni” tersebut dimulakan dengan kejadian di alam mimpi-mimpi. Seorang murid bertemu dengan gurunya misalnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, dia mendapatkan perintah dengan isyarat yang masih samar. Akan tetapi setelah bangun dari tidur, menjadikan tumbuhnya semangat yang kuat untuk melaksanakan amalan dan ibadah. Setelah isyarat mimpi itu dilaksanakan dengan mujahadah serta perjalanan ruhaniyah yang terancang, saat berikutnya, hatinya mendapatkan “futuh” dari Tuhannya sehingga isyarat-isyarat yang terdahulu masih samar tersebut kini menjadi kenyataan.
Sebagian besar para Nabi juga dijalankan dengan cara demikian :
“Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS.ash-Shooffat/105)
Perintah kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putranya, Nabi Isma’il as. juga dimulai dengan datangnya mimpi yang berturut-turut sebanyak tiga kali (Muqotil-Tafsir Qurthubi).
Demikian juga “Futuh al-Makkah”. (kembalinya tanah kelahiran Nabi Muhammad saw. tersebut kepangkuan baginda Nabi). Dengan mimpi-mimpi itu dijadikan sebagi isyarat dari-Nya, maka para Nabi tidak pernah tidur walau matanya sedang tidur. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya keadaan para Nabi, mata-mata kami tidur akan tetapi hati-hati kami tidak tidur”. (Tafsir Qurthubi)
SEJARAH ILMU LADUNI (RAHASIA DIBALIK TIGA PERANGKAP)
Secara umum dari ketiga ayat tersebut dapatkita ambil beberapa pelajaran sebagai berikut :
1. Keburukan secara zahir ternyata boleh jadi merupakan kebaikan secara batin, sebagaimana yang ditampilkan contoh kejadian pertama dan kedua. Sedang contoh kejadian ketiga ialah: Secara zahir merupakan sesuatu yang tidak berguna (memperbaiki rumah yang mau roboh) ternyata secara batin untuk kemanfaatan jangka panjang (menjaga harta warisan anak yatim). Sedangkan secara khusus apabila dikaitkan dengan ilmu laduni, ternyata dengan Al-Qur’an Allah Ta’ala mengajarkan kepada hamba-Nya dua jenis ilmu, yaitu ilmu zahir (ilmu syari’at) dan ilmu batin (ilmu hakikat).
2. Tujuan dari ketiga contoh kejadian tersebut adalah menolong orang lain. Pertama; sekelompok orang miskin, kedua; dua orang beriman(suami istri), ketiga; dua anak yatim.
3. Pelaku dari ketiga contoh kejadian tersebut berbeza-beza. Contoh kejadian pertama nabi Khidhir sendiri secara individu (aku bertujuan merosakkan bahtera itu), kedua nabi Khidir secara kelompok (kami khuatir bahawa dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran) dan ketiga adalah Allah Ta’ala (maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya).
4. Ketiga-tiganya adalah perbuatan seorang guru mursyid yang sedang mengadakan ujian-ujian dalam rangka mentarbiyah muridnya.
5. Yang demikian tersebut bukan hanya sekadar kejadian sejarah yang sudah berlalu dengan tanpa tujuan yang bererti, tapi yang lebih penting dari itu adalah sebagai pelajaran bagi umat Muhammad saw. yang mahu mengambil pelajaran darinya.
Rahsia Pertama :
Rahsia pertama itu ialah menyakiti bahagian yang kecil untuk menyelamatkan bahagian yang besar. Iaitu untuk sementara perahu itu harus ditenggelamkan namun dengan tujuan untuk diselamatkan dari kehilangan. Yang demikian itu adalah bagian tugas “nubuwah” dan “walayah”, agar hati seorang hamba tidak mudah terjebak dengan tipudaya kehidupan dunia.
Firman Allah Ta’ala :
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merosakkan bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. (QS:18/79).
Perahu itu milik sekelompok orang miskin yang mencari sumber kehidupan di laut. Perahu itu ditenggelamkan oleh si guru untuk diselamatkan dari perbuatan penguasa zalim yang ada di hadapan mereka yang sedang merampas setiap perahu yang keadaannya baik. Seperti itulah filosofinya perbuatan seorang doktor kepada pesakitnya. Doktor tersebut menyakiti anggota tubuh yang sedikit untuk menyelamatkan penderitaan yang besar. Oleh kerana urusan tersebut hanya berkaitan kehidupan ekonomi (orang-orang miskin yang bekerja di laut), maka cukup hanya nabi Khidir as. secara individu sebagai pelaku utama serta yang bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Supaya seorang hamba tidak terlalu cinta kepada kehidupan dunia tahap pertama dari perangkap tersebut untuk sementara kadang-kadang dunia itu harus dijauhkan dahulu dari kekuasaan tangannya. Diselamatkan dari kerakusan hawa nafsunya, supaya dia mampu menguasai pemilikannya bukan sebaliknya.
Ketika ternyata mereka mampu menjalani ujian-ujian hidup tersebut dengan arif dan sabar, barulah kemudian dunia itu dikembalikan kepangkuannya dengan berlipat ganda sebagai pahala dari kesabaran yang dilakukan. Jika proses kejadian seperti tersebut mampu dijalani oleh seorang salik dengan arif dan sabar, memadukan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat, akan membentuk kedewasaan jiwa secara sempurna, jiwa seorang hamba yang ma’rifat kepada Tuhannya. Allah telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Dan sungguh akan Kami berikan dugaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS.al-Baqoroh/155).
Rahsia Kedua :
Rahsia yang kedua, hakikatnya sama dengan rahsia ujian yang pertama, hanya saja yang kedua ini berkaitan dengan jiwa manusia. Bentuk ujian yang berkaitan dengan jiwa manusia (kekurangan harta, jiwa). Oleh kerana itu, jiwa (anak kecil) yang dicintai oleh kedua orang tua yang beriman itu—oleh contoh kejadian yang ditampilkan proses pengajaran ilmu laduni ini dicabut dari hati kedua orang tuanya. Hati yang beriman itu diselamatkan dari kesesatan dan kekafiran. Dalam hal ini sang guru tidak berbuat sendiri, melainkan dengan “rahsia alam nubuwah”. Disebut “rahasia alam nubuwah” kerana pelakunya adalah seorang nabi, apabila pelakunya seorang waliyullah maka disebut “rahsia alam kewalian” yaitu cara kerja secara rahsia dari alam “kewalian”. [Oleh kerana itu, nabi Khidir sebagai pelaku kejadian berkata dalam ayat itu dengan kalimat “kami”: (kami khuatir bahawa dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran)].
Firman Allah Ta’ala:
“Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu’min dan kami khuatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran”. (QS. 18/80).
Diriwayatkan, “al-Ghulam”, anak kecil yang dibunuh nabi Khidhir as. Anak itu bernama “Hitsur”. Sedangkan di dalam sebuah hadits, dari Ibnu Abbas, dari Abi bin Ka’ab ra. dari Nabi saw. bersabda :
”Anak Kecil yang di bunuh Khidhir itu, tabi’at sehariannya adalah tabi’at kafir“.
Allah Ta’ala memberikan isyarat dengan firman-Nya :
“Dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (QS.at-Tahrim/4).
Qotadah ra. berkata: Dengan cinta yang berlebihan, menyebabkan kedua orang tua tersebut menjadi sangat gembira dengan kelahiran anaknya, juga akan menjadi sangat susah ketika menghadapi kematian anaknya. Kalau yang demikian itu dibiarkan, boleh jadi akan menjadi penyebab kehancuran kehidupan mereka berdua..Dari cinta yang berlebih-lebihan tersebut dikhuatirkan kedua orang tuanya akan mengikuti tabi’at anaknya yang cenderung kepada kekafiran, padahal kedua orang tua itu adalah orang yang beriman. Allah Ta’ala tidak menghendaki yang demikian, maka anak itu dihilangkan dari belahan hati mereka berdua. Hal itu disebabkan, disamping Allah Ta’ala adalah Dzat yang paling cemburu kepada hamba yang dicintai-Nya, Dia juga tidak menghendaki kepada orang-orang yang beriman kecuali hanya kebaikan.
Rasulullah saw. telah bersabda dalam sebuah hadits shoheh yang ertinya:
”Allah tidak menetapkan ketetapan kepada orang yang beriman kecuali ketetapan yang baik.baginya“.
Kecintaan yang berlebihan kepada dunia (harta, takhta, isteri dan anak-anak) akan menutup kecintaan manusia kepada kehidupan akhirat dan kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dapat menjadi terbitnya sumber penyebab kesalahan kepada manusia. Sebab, hati manusia pasti tidak cenderung kecuali kepada yang dicintai. Ketika kecintaan kepada dunia melebihi kecintaannya kepada akhirat, kecintaan itu akan menjebak manusia kepada perbuatan salah, yakni apa saja yang dapat diperbuat, meski itu adalah urusan agama, hujung-hujungnya pasti akan bermuarakan kepada kepentingan duniawi.
Kalau yang demikian itu terjadi, maka kesalahan itu akan menjadi semakin dalam, kerana manusia terjebak kepada perbuatan munafiq, mereka suka bertopengkan agama, golongan, jema’ah dan lembaga, padahal hujung-hujungnya adalah mencari keuntungan peribadi. Dalam kaitan peristiwa ini, oleh kerana kemampuan murid hanya masih sebatas ilmu syari’at dan belum mampu melihat rahsia yang tersembunyi di sebalik kejadian tersebut, menjadi maklum ketika nabi Musa menyalahkan nabi Khidhir: Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih bukan karena ia membunuh orang lain?. (QS. al-Kahfi/74). Akan tetapi yang menjadi persoalan besar adalah cara menyikapi kesalahan itu dengan menghukum gurunya berbuat mungkar “Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang.munkar“. (QS. al-Kahfi/74.) Yang demikian itu bermakna seorang murid telah membangkang kepada gurunya.
Walhasil, hukum-hukum syari’at yang sudah ditetapkan Allah Ta’ala dan rasul-Nya serta hasil “ij’tihad” para Ulama ahlinya adalah sungguh sudah betul, apabila itu dilanggar bererti manusia berbuat kesalahan. Akan tetapi cara menyikapi kesalahan-kesalahan itu, apabila seorang hamba mampu mendasari ilmu syari’atnya dengan penguasaan “ilmu hikmah”, dengan matahati yang cemerlang, seorang salik dapat menemukan mutiara yang tersembunyi disebaliknya..Seorang hamba yang beriman harus senantiasa mengetahui, sedar, yakin, istiqomah dan thuma’ninah,.bahawa apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini, lebih-lebih lagi yang berkaitan urusan keimanan, baik untuk dirinya mahupun untuk orang lain, itu pasti datangnya dari Allah Ta’ala untuk kebaikan. Bertolak dari sini, kemudian rahsia-rahsia disebalik kejadian itu dapat terkuak di dalam pandangan matahati mereka, itu ketika seorang salik telah mendapatkan kunci sumber “Ilmu Hikmah” bukan ilmu kesaktian, hizib, dan wifiq, akan tetapi ilmu yang mampu menghantarkan pemiliknya ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Kerana dengan ilmu hikmah itu seorang hamba mampu membaca rahsia di sebalik kejadian zahir yang sedang – dihadapi:
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al- Qur’an dan As-Sunnah) kepada sesiapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi kurnia yang banyak. Dan hanya para ‘Ulul albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).(QS.al-Baqoroh/269)
Mereka itu tidak seharusnya hanya mampu melihat kejadian dan keadaan secara zahir saja, tetapi juga rahsia dan kemungkinan yang boleh terjadi disebalik kejadian itu. Barangkali disitu ada mutiara-mutiara hikmah yang lebih bermanfaat dan berguna untuk dirinya.
Rahsia Ketiga :
Rahsia ketiga itu adalah menjaga “warisan” orang tua yang sholeh kepada dua orang anak yatim. Warisan pusaka itu boleh jadi harta benda, ilmu, amal dan kelebihan-kelebihan (karomah). Allah Ta’ala berfirman :
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami”. (QS.Fathir/35).
“Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun”. (QS.al-Baqoroh/248).
Oleh rahsia prestasi “nubuwah” dan “walayah”, warisan tersebut harus dijaga dan dilestarikan, itu tidak boleh terputus di tengah jalan, maka tembok yang akan roboh itu diperbaiki. Oleh kerana itu, pentafsiran tentang “warisan” di dalam ayat ini tidak seharusnya condong kepada urusan dunia (harta benda) saja, kerana yang mewarisi adalah kedua orang tua yang sholeh: (sedang ayahnya adalah seorang yang sholeh). Warisan tersebut seperti yang diwariskan nabi Dawud kepada nabi Sulaiman, bukan berupa kerajaannya tapi “ilmu dan kemampuan” sehingga nabi Sulaiman mampu menguasai kerajaannya:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (QS.an-Naml/16).
Kalau warisan tersebut dii’tibarkan sebagai bentuk pelaksanaan amal ibadah (thoriqoh) misalnya, maka tembok yang condong itu ibarat sistem kepemimpinan yang keadaannya kurang terkondisi. Kepemimpinan yang tidak jelas dan kabur sehingga antara urusan zahir dan batin menjadi bercampur baur. Pimpinan yang perilakunya hanya mengatur murid-muridnya dengan aturan zahir dengan mengaburkan pelajaran yang batin. Hanya dominan mengikuti aturan organisasi secara zahir dengan mengenepikan rahsia “prestasi walayah” secara ruhani. Oleh kerana thoriqoh adalah amalan zahir dan batin, maka cara mengaturnya, seharusnya juga dengan aturan zahir dan batin yang seimbang pula.
Dengan ilmu “nubuwah dan walayah”, sistem kepemimpinan yang kurang terkondisi itu mampu dikondisikan lagi. Yang demikian itu adalah tugas para waliyullah yang suci lagi mulia, mereka bertugas menyuburkan amal ibadah umat, walau dia bukan “guru mursyid” amal ibadah (thoriqoh) tersebut. Mereka juga bertugas membantu dan mendukung perjuangan para guru mursyid dalam membina amal dan aqidah murid-murid dan anak asuhannya namun dengan tanpa harus bercita-cita tinggi menjadi pemimpin. Untuk tugas yang demikian berat tersebut di dalam ayat di atas dikatakan oleh nabi Khidhir as. pelaksananya adalah hanya Allah Ta’ala : (maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya). Urusan yang demikian itu adalah urusan hidayah di dalam hati seorang hamba, maka hanya Allah Ta’ala yang menentukan:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mahu menerima petunjuk”. (QS.al-Qashash/56).
Firman Allah Ta’ala:
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di dalam kota itu, yang di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua sedang ayahnya adalah seorang yang sholeh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu”. (QS. 18/82).
Firman Allah SWT.:
“dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua” .(18/82 Al-Aufi).
ra. berkata, dari Ibnu Abbas ra., “Sesungguhnya yang dimaksud simpanan itu adalah simpanan ilmu pengetahuan”.
Ibnu Jarir ra. di dalam tafsirnya berkata : dari Al-Hasan al-Basyri ra. berkata:
“Bahwa simpanan itu berupa ´Lauh (atau papan tulis dari emas yang di dalamnya ada tulisan: Bismillaahi Ar-Rahmaani AR-Rahiimi),
Menghairankan bagi orang yang yakin akan Qodar (taqdir), tapi mengapa mereka menjadi susah kerananya. Menghairankan bagi orang yang percaya dengan mati, mengapa mereka dapat bergembira dengannya. Dan menghairankan keadaan orang yang mengenal dunia dan penguasaannya kepada pemiliknya, bagaimana dia boleh tenang-tenang dengannya. Laailaaha illa Allah, Muhammadar Rosuulullaah.
Firman Allah SWT.: “Wakaana Abuuhumaa Shoolihan”. (Dan kedua orang tuanya adalah sholeh).
Dengan ayat ini menjadi dalil bahwa seorang hamba yang sholeh dapat menjaga keadaan anak keturunannya dan menyampaikan berkah kepada mereka dari rahsia buah ibadah yang dilakukan, baik untuk kepentingan urusan dunia mahupun akhirat, dengan sebab “syafa’atnya dan akan mengangkat darjat anak-anaknya di syurga kerana kemanisan pandangan mata kepada mereka atau pancaran do’a-do’a yang ditujukan kepada mereka, (Min Qurroti A’yunin), sebagaimana yang telah diabadikan Allah Ta’ala di dalam Al-Quran al-Karim :
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(Min Qurroti A’yunin), dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa“. (QS.al-Furqon/74).
Said Bin Jabir berkata, dari Ibnu Abbas ra.,Orang tua yang dapat menyampaikan syafa’at kepada anak keturunnya dari rahsia amal ibadah yang dikerjakan tersebut adalah para orang tua sampai tingkat yang ke tujuh. Firman Allah SWT. (dan Tuhanmu menghendaki kepada sampainya usia keduanya dan mengeluarkan simpanannya). Ayat ini menunjukkan semuanya itu berjalan atas urusan dan ketetapan Allah semata. *(Tafsir Ibnu Katsir , ayat 86. Surat al-Kahfi)*
Asy-Syekh Ja’far bin Muhammad ra. berkata:
Ulama’ telah berbeza pendapat di dalam mentafsirkan lafad Kanzun, (harta simpanan), sebahagian mengatakan, yang dimaksudkan adalah harta benda, dan sebahagian lagi berpendapat adalah simpanan “ilmu pengetahuan”, kerana keterkaitannya dengan lafad, “Kaana Abuuhumaa Shoolihan”, (adalah kedua orang tuanya sholeh). Terlepas dari perbezaan pendapat tersebut diatas, dari ayat ini dapat diambil pengertian : Bahawa orang tua yang sholeh, dapat memberikan kemanfa’atan pertolongan atau syafa’at dari sebab kesholehannya atas pembentukan perilaku atau karakter anak-anaknya bahkan sampai kepada tujuh keturunan. (Tafsir Fahrur Rozi 11/163)
Walhasil, siapapun tidak akan mampu mendapatkan kelebihan-kelebihan melebihi orang lain pada umumnya, baik aspek ilmu pengetahuan, amal ibadah mahupun kelebihan-kelebihan (karomah), kecuali akan diberikan Allah Ta’ala melalui proses panjang yang berkaitan dengan rahasia kesholehan kedua orang tuanya, atau dari rahasia ilmu yang diwariskan oleh para pendahulunya. Sejarah telah mencatat bahawa setiap terlahir Ulama’ besar pada kurun zaman tertentu, sering kali Ulama’ tersebut dilahirkan dari keturunan Ulama’ besar pula dari kurun zaman sebelumnya. Disini ada ´rahsia besar yang harus menjadi pusat perhatian dan kajian bagi orang yang mempunyai hati yang selamat. Hal tersebut boleh terjadi, kerana do’a-do’a yang setiap saat dipancarkan kedua orang tua kepada anak-anaknya menjadi bagaikan “nur” yang menerangi jalan kehidupan dan jalan ibadah yang dilalui anak-anaknya, sehingga lebih memberikan kemudahan-kemudahan, penjagaan dan pertolongan, ketika kemahuan manusia untuk telah tumbuh dari dalam hatinya :
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia”. (QS.al-An·am/122/.
Dua hal penting pada diri manusia yang tidak dapat dipisahkan antara salah satunya :
1. Kemahuan dan kemampuan untuk menempuh jalan hidup yang dipilih. Dengan apa saja, sebagai apa saja dan dimana saja, seorang hamba harus bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah dan pengabdian yang hakiki. Mereka harus membongkar barak-barak syaitan yang telah membelenggu jiwanya sendiri, melebur hijab-hijab yang menutupi mataharinya, itulah “mujahadah di jalan Allah” yang harus dijalani setiap individu tanpa kecuali.
2. Ketika tabir-tabir penutup rahsia ketuhanan telah disingkapkan baginya—buah ibadah yang dilakukan—seorang hamba memerlukan “Nur Ilahiyah” untuk menerangi sorot matahati yang sudah cemerlang itu. Seperti sinar matahari menyinari persada maka mata yang sihat dapat melihat alam nyata. Sinar matahari itu ibarat “syafa’at di dunia” dari yang pemberi syafa’at tunggal yaitu Syafii’ina Muhammad saw. yang diturunkan melalui rahsia amal ibadah para pendahulu yang terlebih dahulu mendapatkan “syafa’at” itu dari para pendahulunya.
Syafa’at Nabi itu ibarat kunci segala pintu keberhasilan hidup bagi seorang hamba yang mengabdi kepada Tuhannya. Juga untuk meningkatkan darjat kemanusiaan dari tingkat kehinaan alam kebinatangan kembali kepada tingkat kemuliaan yang dahulu pernah ditinggalkan nenek moyangnya di Syurga. Yakni sebagai khalifah bumi yang sempat menjadikan iblis cemburu kepada manusia. Sebagai khalifah bumi tersebut manusia tidak hanya menjadi makhluk yang mulia saja, tetapi juga akan mendapatkan fasilitas hidup yang telah tersedia baginya. Fasilitas itu berupa kemampuan diri untuk menjinakkan sistem kehidupan alam semesta yang memang diciptakan untuk dapat dijinakkan manusia:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya”. (QS.al-Jaatsiyah/13).
Itulah tujuan hidup yang ideal, hanya manusia yang mendapatkan kesempatan menggapainya.
ILMU LADUNI TEORI KAUM SUFI
Ilmu laduni sudah begitu lekat dengan komunitas sufi, bahkan menjadi keyakinan puncak mereka. Karena hanya merekalah yang mengklaim demikian. DR. Yunasril AB, dosen UIN Jakarta ketika ditanya: “Jika demikian, apakah ilmu laduni ini hanya otoritas kaum sufi/wali?
Jawabnya:
“Kalau kita baca uraian-uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu”, kemudian menukil pendapat lbnu Arabi yang mengatakan bahwa yang mampu menerima ilmu laduni hanyalah orang yang hatinya sudah sangat suci. Mereka itu adalah para nabi, para wali dan para sufi. (Majalah Sufi edisi 25 September 2003).
Bahkan bisa dipastikan bahwa ilmu ini hanya monopoli mereka atau persisnya bualan mereka. Ada beberapa alasan yang mereka ajukan untuk memunculkan dan membela adanya ilmu ini, yaitu;
1. Surat al-Kahfi ayat 65;
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. Al-Kahfi: 65).
Dalam ayat ini Allah mengkhabarkan bahwa Khidhir menerima ilmu langsung dan Allah. Dengan demikian ada ilmu yang langsung diperoleh dari Allah dengan tanpa perantara dan ada yang dengan perantara seperti ilmu syari’at ini.
Al-Ghazali berkata: “Jika anda bertanya:
“Jelaskan kepadaku interprestasi ‘ilmu menuju jalan akherat, walaupun tidak terperinci!”
Ketahuilah jalan menuju akherat ada dua, ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Jenis yang pertama yaitu ilmu mukasyafah adalah ilmu batin, dia merupakan puncak ilmu…ilmu ini dimiliki para shiddiqiin yang dekat dengan Alloh.
Ilmu mukasyafah adalah suatu ungkapan tentang cahaya yang menampak di hati karena kesucian dan bersihnya dari sifat tercela. Dengan cahaya tersebut banyak sekali perkara akan tersingkap. Yang kami maksud dengan ilmu ini adalah tersingkapnya tabir sehingga nampak jelas baginya kebenaran pada perkara-perkara ini laksana terlihat dengan mata. Kitab ini tidak termaktub dalam kitab-kitab dan tidak dibicarakan oleh orang yang diberikan nikmat ilmu ini kecuali kepada orang yang berhak. . .“. (lhya’ Ulumuddin 11-20, lihat al-Jama’at al-lslamiyah Syaikh Salim Al-Hilali hal. 110).
2. Adanya’ Ilmu Syari’at dan Makrifat atau Ilmu Dhahir dan Batin.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepada umatnya dua macam ilmu; ilmu dhahir yaitu syari’at ini yang harus diperoleh dengan dipelajari atau dalam istilah al Ghazali disebut ilmu muktasab. llmu kedua adalah ilmu yang langsung diterima dari Alloh yang dinamakan al-Ghozali ilmu mauhub. (Majalah Sufi 25 Rajab ‘1242 H).
Contohnya ucapan Abu Yazid al-Busthami:
“Kalian mengambil ilmu dari orang mati, sedang kami mengambilnya dari Dzat Yang Maha Hidup Yang Tidak Mati.
Orang terbaik kami berkata:
“Hatiku memberitahukanku dari Robbku, sedang kalian berkata: “Fulan memberitahukan kepadaku, dimana fulan? Mereka menjawab: “Fulan telah mati”, Fulan mengambil ilmu dari mana? Dan fulan yang lain, dimana fulan? Mereka menjawab: “Fulan telah mati”. (Al-Futuhat al-Makiyah 1/37, lihat aI-Jama’at al-lslamiyah Syaikh Salim Al-Hilali hal. 111).
3. llham, berdasarkan hadits riwayat Bukhari
“Sesungguhnya pada umat sebelum kalian tendapat muhaddatsun (mendapat llham), jika didapati pada umatku maka dia adalah Umar bin Khathab. (HR. Bukhari 3282 dan Muslim 2398).
Itulah beberapa alasan yang dipakai kalangan sufi untuk mengklaim adanya ilmu laduni. Berbekal ilmu tersebut mereka mengklaim pula berbagai macam khayalan yang tentunya tidak selaras dengan syari’at dan akal sehat. Semisal, bisa melihat Alloh, mengetahui segala hal termasuk bahasa batu, melihat kejadian masa depan, menyatu dengan Alloh sehingga tidak perlu shalat dan semacamnya. Lantas benarkah klaim mereka itu.
Untuk menimbang apakah klaim mereka benar atau salah maka harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah, karena kita diwajibkan untuk mentaati beliau Shallallahu alaihi wa sallam pada setiap keadaan, dalam beribadah, menuntut ilmu dan lainnya. Alloh berfirmanb:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“ Hai orang-orang yang beriman, ta ‘atilah Alloh dan ta ‘atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (‘Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu,) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59).
Rasulullàh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku (syari’atku) dan sunnah khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. (HR. Tirmidzi 2676, berkata hasan shahih).
Sabdanya Shallallahu alaihi wa sallam pula;
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang kalian tidak akan sesat selama berpegang dengan keduanya yaitu kitab Alloh dan Sunnah Nabi Nya. (HR. Malik 1594, secara mursal, namun dikuatkan hadits riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak 323).
Dan masih banyak nash-nash semisal.
1. SURAT AL-KAHFI: 65
Untuk masalah pertama kita tidak mendapati penafsiran ayat tersebut kecuali penafsiran mereka. Untuk menyingkap kepalsuan mereka kita lihat perkataan ulama seputar ayat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun hujjah mereka dengan kisah Khidhir dan Musa maka dari dua sisi.
Pertama : Mereka berkata bahwa Khidhir menyaksikan irodah Robbaniyah (kehendak Allah) yang sempurna dan kehendak Alloh yang menyeluruh. lnilah yang dinamakan hakekat Kauniyah. Oleh karena itu jika mereka menyelisihi perintah dan larangan syar’i mereka tidak dicela. Ucapan ini termasuk kejahilan dan kesesatan yang parah, bahkan termasuk kenifakan dan kekufuran yang besar. Sebab ucapan ini berkonsekuensi bahwa siapa yang beriman kepada takdir dan bersaksi bahwa Alloh adalah Robb segala sesuatu maka dia tidak terbebani perintah dan larangan. ini adalah kekufuran terhadap semua kitab Alloh, para rasul Nya dan perintah dan larangan yang dibawa oleh para rasul tersebut. ini juga serupa dengan ucapan orang-orang musyrik yang berkata:
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah:
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. (QS. AlAn’am: 148).
Selain itu Musa juga beriman kepada takdir dan mengetahuinya, bahkan para pengikut beliau dari kalangan Bani Israil, juga beriman kepada takdir. Apakah orang yang berilmu rendah akan mengatakan bahwa Musa meminta kepada Khidhir untuk belajar keimanan kepada takdir dan hal itu mampu menolak celaan, padahal Musa lebih tahu tentang takdir ketimbang Khidhir bahkan mayoritas pengikut Musa mengetahuinya. Tambahan lagi, andaikan hal ini merupakan rahasia kisah ini tentunya Khidhir akan memberitahukan kepada Musa dengan berkata: “Aku menyaksikan kehendak dan takdir Allah”. Tetapi perkaranya tidak demikian, Khidhir hanya menjelaskan kepada Musa sebab sebab syar’iyyah yang menghalalkan perbuatannya.
Kedua: Sebagian mereka menyangka bahwa sebagian wali dibolehkan keluar dan syari’at Islam (tidak mentaatinya), seperti keluarnya Khidhir dari syari’at Musa. Sebab para wali itu telah mukasyafah dan mukhothobah sehingga tidak wajib lagi mengikuti Rasulullah pada semua atau sebagian keadaan. Bahkan sebagian mereka menyangka bahwa wali lebih mulia daripada nabi secara mutlak atau dalam beberapa hal. Méreka menyangka bahwa dalam kisah ini terdapat hujjah bagi mereka.
Semua ucapan mereka itu merupakan kejahilan dan kesesatan yang sangat parah, bahkan termasuk jenis kenifakan, kemurtadan dan kekufuran yang besar. Sebab termasuk perkara pokok dan qoth’i dalam agama ini, bahwa risalah Muhammad bin Abdillah mencakup semua manusia, bangsa Arab atau selainnya, para penguasa, orang orang yang zuhud, para ulama dan semua manusia.
Risalah ini tetap berlaku sampai hari kiamat. Maka diharamkan bagi siapapun untuk keluar dari pengikutan, ketaatan dan komitmen kepada apa-apa yang disyari’atkan beliau dan apa-apa yang disunnahkan beliau kepada umatnya berupa “perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan. Bahkan andaikan para nabi sebelum beliau hidup kembali maka diwajibkan untuk mengikuti dan mentaati beliau. Alloh berfirman:
Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”.
قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Alloh berfirman:
“Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (OS. Ali lmron:81).
lbnu Abbas rodhiAllahu anhu berkata: “Alloh tidak mengutus seorang nabipun melainkan diambil perjanjian darinya yaitu apabila Muhammad diutus sedangkan nabi tersebut hidup maka harus mengimani dan menolongnya. Dan Alloh juga memerintahkan agar nabi tersebut mengambil perjanjian dari umatnya seperti itu pula”.
Disebutkan dalam sunan Nasa’i dari sahabat Jabir bahwa Nabi melihat selembar Taurat di tangan Umar bin Khathab, maka beliau bersabda: “Apakah engkau ragu Wahai lbnul Khathab, sungguh aku telah datang membawa agama yang putih bersih, andaikan Musa hidup maka dia harus mengikutiku”. Hadits serupa diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad dengan redaksi:
“Andaikan Musa hidup lantas kalian mengikutinnya dan meninggalkan aku niscaya kalian akan tersesat”. Dalam Marasil Abu Dawud Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Cukuplah suatu kaum itu sesat jika mereka mencari kitab selain kitab kalian, yang diturunkan kepada salah seorang nabi yang bukan nabi mereka”.
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Allah menurunkan: Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? (QS. Al-Ankabut: 51).
Telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Isa bin Maryam jika turun dari langit, beliau mengikuti syari’at Muhammad bin Abdillah . Jika nabi saja wajib mengikuti beliau lantas bagaimana dengan selain mereka?! (Majmu’ Fatawa 11/420- 424).
Lanjutnya: “Termasuk dalil yang menjelaskan kesalahan orang yang berhujah dengan kisah Khidhir dan Musa untuk menyelisihi syari’at ini yaitu Musa tidak diutus kepada Khidhir dan Alloh tidak mewajibkan Khidhir untuk mengikuti dan mentaati Musa. Bahkan telah disebutkan dalam dua kitab shahih (Bukhari 4448 ) bahwa Khidhir berkata kepada Musa:
‘Wahai Musa, aku telah diberi ilmu oleh Alloh yang Dia ajarkan kepadaku sedangkan engkau tidak mengetahuinya, dan engkau diberi ilmu oleh Alloh yang diajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinnya”.
Hal ini karena dakwah Musa itu khusus untuk kaumnya. Dan telah tetap dalam kitab kitab shahih (Bukhari 328, Muslim 810, Nasa’i 429, Abu Dawud 3875 ) dan berbagai jalan bahwa Nabi bersabda: “Setiap Nabi diutus khusus kepada kaumnya sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia”.
Dakwah Muhammad mencakup seluruh manusia, tidak boleh bagi siapapun untuk tidak mengikuti, mentaati beliau dan tidak membutuhkan syari’atnya. Sebagaimana keluarnya Khidhir dan ketaatan dari pengikutan kepada Musa dan beliau mencukupkan diri dengan syari’at yang diterimanya langsung dari Alloh.
Haram bagi siapapun yang menjumpai Islam untuk mengatakan: “Aku telah diberi ilmu oleh Alloh yang Dia ajarkan kepadaku sedangkan engkau (Muhammad) tidak mengetahuinya”.
Siapa saja membolehkan ucapan ini atau meyakini bolehnya keluar dari dakwah Muhamamd dan tidak wajib mengikutinya, baik dari, orang-orang yang zuhud, ahli ibadah, atau selain mereka maka dia kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Dan indikasi masalah ini di dalam al-Qur’an dan Sunnah terlalu banyak untuk disebutkan disini. (Majmu’ Fatawa :11/425-526)
Imam al-Qurthubi dalam Jami’ Li Ahkamil Qur’an 11/28-29 berkata: “Guru kami Imam Abul Abbas berkata: “Kaum Zindiq dan Batiniyah memilih menjalani suatu tarekat yang dibutuhkan oleh hukum-hukum syari’at. Mereka berkata: “Hukum-hukum syari’at umum ini hanya diperuntukkan bagi para nabi dan orang awam, adapun para wali dan orang-orang khosh (khusus) tidak membutuhkan syari’at tersebut. Mereka membutuhkan lebih dari itu yaitu apa-apa yang terlintas dalam hati mereka dan mereka dihukumi dengan apa-apa yang terlintas dalam hati mereka itu. Hal ini disebabkan hati mereka bersih dari kotoran dan hal-hal tercela. Oleh karena itu ilmu-ilmu ilahiyah dan hakekat-hakekat robbaniyah menampak kepada mereka. Mereka berpijak pada keadaan keadaan rahasia dan mengetahui hukum-hukum yang terperinci. Dengan demikian mereka tidak membutuhkan huku’m-hukum syari’at yang umum sebagaimana dialami oleh Khidhir. Dia mencukupkan diri dengan ilmu yang menampak padanya, tidak membutuhkan kepahaman yang dimiliki Musa. Mereka mengatakan: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun ahli-ahli fatwa memberi fatwa kepadamu”.
Guru kami (Abul Abbas) berkata:‘Ucapan ini merupakan ucapan zindiq dan kufur, pengucapnya dibunuh tanpa diminta bertaubat terlebih dahulu, karena dia mengingkari syari’at.
Sesungguhnya Allah telah memberlakukan ketetapan dan hukum-Nya yaitu bahwa hukum hukum-Nya tidak dapat diketahui kecuali melalui para utusannya yang bolak-balik antara-Nya dengan makhluk-Nya. Mereka menyampai kan risalah dan kalamNya, menjelaskan syari’at-syari’at dan hukum-hukum-Nya. Alloh memilih mereka dan mengkhususkan mereka untuk memikul tugas ini, seperti firmanNya;
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dan malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Hajj: 75).
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (QS. Al-An’am: 124).
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Alloh mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan. (OS. Al-Baqoroh: 213).
Dan ayat lainnya yang semakna. Kesimpulannya, ilmu yang qoth’i, keyakinan yang pasti dan ijma’ salaf dan kholaf menetapkan bahwa tidak ada jalan mengetahui hukum-hukum Alloh yang berpulang kepada perintah dan laranganNya, tidak dapat diketahui sedikitpun kecuali harus melalui para rasul.
Siapa mengatakan ada jalan lain untuk mengetahul perintah dan larangan Nya dan tidak membutuhkan para rasul tersebut maka dia kafir, dibunuh tanpa diminta bertaubat dahulu dan tidak diperlukan dialog lagi. Selain itu ucapan tadi berkonskuensi penetapan adanya nabi setelah Rasulullah padahal Alloh telah mejadikan beliau sebagai penutup para nabi dan rasul, tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Penjelasannya, barangsiapa yang mengatakan bahwa dia mengambil ilmu dari hatinya, dan dianggap sebagai hukum Alloh, dia beramal dengannya, tidak membutuhkan al-Qur’an dan Sunnah berarti dia telah menetapkan bagi dirinya sifat khusus kenabian. Sesungguhnya ucapannya itu seperti sabda Nabi: “Ruh Qudus meniupkan di hatiku”, al-hadits.
Sedangkan Syaikh Abu Usamah Salim bin led al-Hilali dalam kitab al-Jama’at al-lslamiyah hal. 115 berkata: “Adapun hujjah mereka dengan surat al-Kahfi tersebut adalah batil dari beberapa sisi :
a. Sudah dipastikan bahwa Khidhir adalah nabi, seperti dikuatkan oleh lbnul Jauzi dan lbnu Hajar. (Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 322 dan lbnu Ha jar dalam al-Zahru an-Nadhru fi Nab’il Khidhir 2/197-199, beliau menukil ucapan pendapat ini dari jumhur ulama.
b. Syari’at ini bukan termasuk syari’at kita. Sebab dalam syari’at kita tidak dibolehkan bagi siapapun untuk memilih syari’at selain Islam, mempelajarinya atau mengklaim bahwa kedudukannya di sisi Rasulullah seperti Khidhir dengan Musa. lni jelas kafir bawwah (nyata) dan syirik yang gamblang”
2. ILMU DHAHIR DAN BATIN .
Hujjah mereka adalah hadits hadits berikut :
Dari Abu Hurairah RadhiaLlahu anhu , berkata:
“Saya menghafal dari Rasulullah dua jenis ilmu, salah satunya telah kusebarkan, adapun yang kedua jika aku sebarkan putuslah leheri ini” (HR. Bukhari 120).
lbnu Hajar rohimahullah berkata: “lbnul Munir berkata: “Bathiniyah menjadikan hadits ini sebagai sarana untuk membenarkan kebatilan mereka dimana mereka berkeyakinan bahwa syari’at itu ada yang dhahir dan batin, dan batin ini hanya diperoleh jika berlepas dari agama. Tetapi maksud ucapan Abu Hurairah “putuslah” adalah putuslah kepala orang yang curang jika orang orang mengetahui aibnya disebabkan perlakuan dan vonis sesat dari mereka.
Hal ini dikuatkan oleh hadits-hadits yang telah tertulis, jika hadits-hadits tersebut termasuk hukum syari’at maka tidak boleh disembunyikan karena dalam hadits tersebut Abu Hurairah menukil ayat yang menunjukkan celaan kepada orang yang menyembunyikan ilmu.
Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud ucapan Abu Hurairah adalah apa-apa yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, berubahnya keadaan dan munculnya fitnah di akhir zaman. Siapa yang tidak mampu mensikapinnya maka diingkari dan siapa yang tidak bisa merasakannya diingatkan”. (Fathul Bari 1/216-217).
- Ilmu itu ada dua, ilmu dhahir yaitu hujjah Alloh terhadap makhlukNya dan ilmu batin yaitu ilmu yang bermanfaat. Hadits dha’if, riwayat Dailami dalam sunannya 1/102, sanadnya sampai Al-Hasan Al-Bashri shahih tetapi tidak bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mursal (Lihat Miskat Mashabih tahqiq al-Albani 270 dan ad-Dh’aifah 3945).
- Ilmu Batin merupakan rahasia dari rahasia-rahasia A!loh Azza wa Jalla dan hukum dari hukum hukum Alloh, Alloh memasukkannya ke dalam hati para walinya yang dikehendaki”
Hadits palsu, diriwayatkan lbnul Jauzi dalam al-’IIal alMutanahiyah 1/83 lantas berkata: “Hadits ini tidak shahih, mayoritas perawinya tidak dikenal”.
lbnu Iraq menukil ucapan adz-Dzahabi:
“Hadits ini batil”. (Tanzih asSyari’ah 1/280). Al-Albani menilai palsu dalam Silsilah Ahadits ad Dha’ifah 1227.
Hadits lain yang menjadi hujjah adalah;
Sesungguhnya diantara ilmu itu ada yang tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya selain ulama billah, jika mereka mengucapkan ilmu itu tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang orang yang lalai kepada Alloh Azza wa Jalia maka kalian jangan menghina seorang ulama yang diberikan ilmu oleh AlIoh sebab Alloh Azza wa Jalla tidak menghina orang yang Dia beri ilmu.
Hadits ini dipakai hujjah oleh Al-Ghozali dalam lhya’ nya 1/20.
Ternyata hadits ini sangat dha’if, didha’ifkan oleh Al-Hafizh al-Iraqi dalam kitab al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fil Asfar 1/20, dan tercantum dalam catatan kaki kitab lhya’ Ulumuddin, didha’ifkan pula oleh al-Mundziri dalam at-Targhib wa Tarhib 1/62, al-Albani dalam adDha’ifah 870 dan ulama lainnya. (Lihat al-Jama’at al-Islamiyah, Salim al-Hilali hal. 115-116).
Orang-orang sufi mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan ilmu dhahir dan ilmu batin. Ilmu dhahir ini adalah syari’at yang beliau ajárkan kepada umat adapun ilmu batin maka diajarkan kepada orang orang tertentu”. (Lihat majalah Sufi)..
Ucapan ini tidak muncul kecuali dari orang yang jahil karena hanya khayalan tanpa dalil. Ucapan ini mengandung implikasi bahwa beliau menyembunyikan syari’at ini dan tidak menyampaikannya. Suatu tuduhan yang sangat keji.
Allah Azza wa Jalla berfirman;
Pada hari ini telah Kusempumakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (OS. Al Maidah: 3).
lbnu Katsir rohimahullah berkata: Dan aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang selama kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan sesat yaitu kitab Alloh. Kalian akan ditanya tentangku maka apa jawab kalian? Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan risalah dan memberi nasehat”. Beliau lantas mengangkat jari telunjuk ke arah langit lalu mengarahkan kepada manusia sambil berkata: “Wahai Alloh saksikan, sebanyak tiga kaIi’ (Riwayat Bukhari 6667, Muslim 1218, Abu Dawud 1905, lbnu Majah 3074, lbnu Hibban 3944).
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mensabdakan:
Tidak selayaknya bagi Nabi menyembunyikan sesuatu. (Abu Dawud 3194 dishahihkan al Albani).
Hadits ini merupakan tamparan keras bagi orang-orang yang menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dan orang-orang yang mengklaim bahwa dalam agama terdapat hal-hal yang rahasia yang tidak diketahui oleh manusia. Hadits ini semakna dengan hadits;
Tidak selayaknya Nabi itu memiliki pandangan mata khianat. (Abu Dawud 2683 dishahihkan al Albani).
lbnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 324-325 berkata: “Banyak orang sufi yang membedakan antara syari’at dan hakekat. Ini merupakan kejahilan pengucapnya sebab syari’at itu semuanya adalah hakekat. Jika yang dikehendaki mereka adalah rukhshah (dispensasi dalam syari’at) dan ‘azimat maka keduanya juga termasuk syari’at. Para pendahulu mereka mengingkari berpalingnya orang orang tersebut dari dhahir syari’at.
Sahl bin Abdullah berkata: Jagalah hitam diatas putih, tidak ada seorangpun yang mencampakkan dhahir kecuali dia telah zindiq (kafir)”.
Abu Bakr ad Daqqoq berkata: “Saya mendengar Abu Said al-Khozzar berkata: “Setiap batin yang menyelisihi dhahir maka batil’.
Abu Hamid al-Ghazali dalam al lhya’pun telah memperingatkan hal ini’ dengan berkata: “Siapa yang mengatakan bahwa hakekat menyelisihi syari’at atau batin menyelisihi dhahir maka dia lebih dekat kepada kekufuran daripada keimanan”.
lbnu Aqil berkata: “Orang orang sufi memberi nama pada syari’at, namun yang dimaksud adalah hakekat”. lbnu qil mengomentari: “ini suatu yang jelek, sebab syari’at di tetapkan oleh Alloh untuk kemaslahatan hamba dan peribadatan mereka. Kalau masih ada hakekat dibalik ini yang tersimpan di hati, tiada lain hanyalah bisikan setan”. Siapa yang menghendaki bahwa hekekat bukan syari’at maka dia tertipu dan terperdaya”. (Lihat pula al-Jama’at al-lslamiyah, Salim al-Hilali hal. 129-130).
DR. Abul ‘Ala al-’Afifi berkata: “Dikotomi antara syari’at dan hakekat pada awal
kemunculannya berpulang kepada dikotomi syari’at menjadi dhahir dan batin. Kaum muslimin generasi awal tidak menetapkan pembedaan ini dan tidak pula terpikir oleh mereka. Syi’ahlah yang memunculkan’pembagian ini dengan mengatakan: “Setiap sesuatu itu ada yang dhahir dan batin, al-Qur’an ada yang dhahir dan batin bahkan setiap ayat dan kata ada yang dhahihr dan batin. Batin ini hanya tersingkap bagi khowwash (orang-orang khusus) yang dipilih Alloh. Alloh membukakan bagi mereka rahasia al-Qur’an”. Oleh karena itu mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan al-Qur’an. Ditulislah sekumpulan tafsir batil dan ayat ayat al-Qur’an dan syari’at dien. Makna-makna ghaib yang tersingkap bagi pelaku tarekat melalui jalan lain (bukan jalan Nabi), oleh Syi’ah dinamakan ilmu batin, menurut sangka mereka diwarisi Ali bin Abi Thalib dari Nabi lalu diwarisi pula oleh ahli ilmu batin dan mereka menamakan diri al-Warasah (pewaris).
Kaum sufi mengikuti metode mereka ini dalam menafsirkan nash. Oleh karena itu mereka mengadopsi banyak sekali metode dan istilah-istilah Syiah. Pada uraian yang lalu diketahui eratnya hubungan antara tashowwuf dan Syi’ah Bathini”. (al-Jama’at allslamiyah, Salim al-Hilali, hal. 101- 102).
3. ILHAM
Hujjah yang mereka pakai adalah hadits Bukhari dimuka, tetapi apakah maksud hadits tensebut mendukung mereka, ternyata tidak.
lbnu Hajar dalam Fathul Bari 7/65 cet. Dari as-Salam berkata:
“Ada yang berpendapat bahwa hikmah adanya orang yang mendapat ilham pada Bani Israel itu dikarenakan mereka membutuhkan orang-orang tersebut karena tiadanya nabi di tengah mereka. Menurut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini tidak begitu dibutuhkan pada umat ini karena mereka sudah cukup dengan al-Our’ an. Bila ada dari umat ini yang mendapat ilham maka tidak boleh dipakai sebagai hukum tetapi harus diselaraskan dengan al-Qur’an. Jika cocok dengannya atau dengan sunnah maka diamalkan, jika tidak sesuai maka ditinggalkan. Ini jika memang didapati ada yang mendapatkannya, karena hal itu sangat jarang tenjadi”.
lbnul Jauzi berkata: “. . .ini disebabkan dangkalnya ilmu mereka. Seandainya mereka berilmu niscaya akan mengetahui bahwa diperoleh nya ilham tidak menafikan ilmu dan tidak lebih luas darinya. Tidak dipungkiri bila Alloh azza wa Jalla memberi ilham kepada seseorang seperti disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .: “Pada setiap umat terdapat muhadatsun dan jika didapati pada umatku maka dia adalah Umar bin Khathab”
Maksud dari tahdits pada hadits tersebut adalah ilham menuju kebaikan.
Hanya saja jika dia mendapatkan ilham yang menyelisih ilmu maka tidak boleh diamalkan. Ilham bukanlah bagian dari ilmu tetapi buah dari ilmu dan takwa. Oleh karena itu pemiliknya akan tertunjukki menuju kebaikan dan terilhami petunjuk. Adapun jika dia tidak menuntut ilmu dan mengatakan bahwa dia bersandar kepada ilham dan kata hati maka ini tidak berguna sama sekali. Karena jika bukan karena ilmu yang diperoleh dengan meriwayatkan niscaya kita tidak akan mengetahui apa yang terlintas di hati, apakah termasuk ilham kebaikan ataukah bisikan setan.
Ketahuilah bahwa liham yang masuk ke dalam hati harus membutuhkan ilmu, sama halnya ilmu aqli (hasil pemikiran) membutuhkan ilmu syar’ i, sebab akal itu bagaikan makanan dan syari’at bagaikan obat. Yang pertama tidak dapat mengganti yang kedua”. (Talbis Iblis, hal. 322).
lbnul Qoyyim berkata rohimahullah :
“Beliau lantas memastikan adanya orang-orang yang mendapat ilham pada umat terdahulu dan menetapkan pada umat ini (Islam) dengan persyaratan.
Persyaratan ini bukan merupakan kekurangan umat ini dibanding umat sebelumnya, tetapi justru merupakan tanda kesempurnaannya. Hal ini dikarenakan umat ini, nabiNya dan syari’atNya telah sempurna, maka tidak membutuhkan orang-orang yang mendapat ilham ini. Jika ada itupun hanya sebagai pendukung dan penguat bukan menjadi sandaran. Karena umat ini sudah cukup dengan syari’at yang dibawa Nabi mereka, tidak membutuhkan mimpi, mukasyafah, ilham atau hikayat.
Adapun umat terdahulu mereka membutuhkan itu sehingga Alloh menjadikan ditengah mereka orang yang mendapat ilham”. (Tanqihul Ifadah al-Muntaqo mm Miftah dan Sa’adah hal. 413).
lnilah yang diisyaratkan oleh Ali bin Abi Thalib ketika ditanya oleh Abu Juhaifah: “Apakah engkau memiliki kitab? Jawab Ali:
“Tidak, kecuali kitab Alloh atau kepahaman yang diberikan kepada seorang muslim”. (Bukhari 111).
Lihatlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh. Mereka meriwayatkan ilmu tersebut. Oleh karena itu Alloh menganugerahkan kepada mereka kepahaman yang menjadi hujjah bagi generasi penerusnya dan menjadikan mereka imam bagi orang-orang yang bertakawa, dengan firman Nya; Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (OS. Al-Furqon: 74). (al-Jama’at al-lslamiyah, hal. 114-115).
ILMU LADUNI ANTARA HAKIKAT DAN KHURAFAT
Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah adza wa jalla dengan penuh kesadaran dan pengertian.
Allah adza wa jalla berfirman, artinya :
”Dan Allah mengeluarkankamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An-Nahl: 78).
Pada hakekatnya, semua ilmu makhluk adalah ”Ilmu Laduni” artinya ilmu yang berasal dari Allah adza wa jalla. Para malaikat-Nya pun berkata ”Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah 32).
Ilmu Laduni Dalam Pengertian Umum Ini Terbagi Menjadi Dua Bagian :
PERTAMA : Ilmu Yang Di Dapat Tanpa Belajar (Wahbiy),
KE DUA : Ilmu Yang Didapat Karena Belajar (Kasbiy).
BAGIAN PERTAMA :
Adapun ilmu yang diturunkan dan didapat tanpa belajar (Wahbiy) terbagi menjadi dua macam :
1). Ilmu Syari’at
Yaitu ilmu tentang perintah Allah adza wa jalla yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu yang tasyri’), baik yang langsung dari Allah adza wa jalla maupun yang menggunakan perantara malaikat Jibril ’alaihi sallam. Jadi semua wahyu yang diterimaoleh para nabi semenjak Nabi Adam ’alaihi sallam hingga Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa sallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa ’alaihi sallam dari Nabi Khidhir ’alaihi sallam, artinya :”Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari Sisi Kami, dan telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.” (QS. Al-Kahfi: 65).
Di dalam hadits Imam Al-Bukhari, Nabi Khidhir ’alaihi sallam berkata kepada Nabi Musa ’alaihi sallam, ”Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.” (Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalani: I/141.167).
Ilmu syari’at ini mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baliqh) sampai datang ajal kematiannya.
2. Ilmu Ma’rifat (Hakikat)
Yaitu ilmu tentang sesuatu yang qhaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang di berikan oleh Allah adza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan ”Ilmu Laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al- Qur’an maupun kitab-kitab hadits yang shahih. Menyalahi disini bisa berbentuk menentang, menambahi atau mengurangi.
BAGIAN KEDUA :
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah adza wa jalla yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan Kasb(usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (Syari’at, Ma’rifat, dan Kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu Syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu Kasyf dan ilmu Kasb tidak dianggap apabila menyalahi Syari’at. Inilah hakikat pengertian yang sebenarnya Ilmu Laduni di dalam islam.
KHURAFAT SHUFI
Istilah ilmu laduni secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat shufiyyah. Sekelompok sufi mengatakan bahwa :
”Ilmu Laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus di berikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para wali sufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits (sunnah), tidak mendapatkannya.
”Ilmu Laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidhir ’alaihi sallam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa ’alaihi sallam adalah ilmu wahyu, sedangkan ilmu Nabi Khidhir ’alaihi sallam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al-Busthami (261 H). Mengatakan, ”Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghafal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hafal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan AS-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah adza wa jalla.”
Dengan ”ilmu laduni” saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan di ajari langsung oleh Allah adza wa jalla, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abdul Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk menafsiri ayat atau utuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehinga terkenal ungkapan di kalangan mereka , ”Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” atau ”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.” Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya.
Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli Hadits (Sunnah) tidak pernah bertemu (sependapat) dengan ahli Kasyf (Tasawwuf).
BANTAHAN SINGKAT TERHADAP KESESATAN DI ATAS
Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tsawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimuliakan oleh Allah adza wa jalla dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu ’anhu di ilhami oleh Allah adza wa jalla bahwa anak yang sedang di kandung oleh istrinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan, bahwa ilham atau ilmu ilahi itu termasuk sebagian dari balasan amal shalih yang diberikan oleh Allah adza wa jalla di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, ” Barang siapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui .” (al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dari Anas radhiallahu ’anhu, Hadits Dha’if).
Yang benar menurut ahlus sunnah wal jama’ah adalah Nabi Khidhir ’alaihi sallam memiliki syariat tersendiri sebagaimana Nabi Musa ’alaihi sallam. Dan hal ini di benarkan Di dalam hadits Imam Al-Bukhari, Nabi Khidhir ’alaihi sallam berkata kepada Nabi Musa ’alaihi sallam, ”Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.” (Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalani: I/141.167).
Bahkan ahlus sunnah sepakat kalau Nabi Musa ’alaihi sallam lebih utama daripada Nabi Khidhir ’alaihi sallam, karena Nabi Musa ’alaihi sallam termasuk ulil azmi (lima Nabi yang memiliki keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh ’alaihi sallam, Ibrahim ’alaihi sallam, Musa ’alaihi sallam, Isa ’alaihi sallam dan Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam).
Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), yaitu AL-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami al-Kitab dan as-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan bahwa ada orang selain Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang mengambil ilmu langsung dari Allah adza wa jalla kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
Anggapan bahwa ilmu syariat itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak islam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda ”Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian memegangnya erat¬-erat, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik apa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia untuk selamanya dalam hidupmu.” HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar dan sebuah kisah yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-Sirah Al-Nabawiyyah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah.
Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari Cahaya Islam.
Anggapan bahwa dengan ilmu laduni sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama ahlu sunnah termasuk Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan, ”setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
Inilah penyebab lain dari kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan dalam tasawwuf yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang menyebabkan orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap masalah karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam menilai hadits, Dua metode bid’ah yang menyesatkan.
Tiada kebenaran kecuali apa yang telah diajarkan oleh Rsulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda : ”Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barang siapa yang di kehendaki baik oleh Allah, maka ia akan di faqihkan (difahamkan) dalam urusan agama ini.” (HR: Ibnu Abi Hashim, Thabrani, al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan).
SEMOGA BERMANFAAT DAN BERKAH