7 (TUJUH) TITISAN DEWA WISNU
Dalam cerita pewayangan Jawa khususnya di akhir zaman
Purwa Batara Wisnu menitis sebanyak 7 (tujuh) kali di dunia berikut tugas-tugas
Batara Wisnu saat menitis (menjelma) ke dunia :
1. Resi
Wisnungkoro bertugas untuk mengajarkan kebajikan pada bangsanya yaitu bangsa
raksasa, padahal bangsa raksasa pada dasarnya bersifat Angkara murka.karena hal
itu Batara Wisnu turun dan menitis ke dunia sebagai brahmana raksasa untuk
mengajarkan kebenaran dan resi wisnungkoro juga disebut sebagai raksasa yang
berhati luhur.
2. Arjuna
Sasrabahu bertugas untuk menyingkirkan keangkaramurkaan dari raja raksasa
Rahwana untuk pertama kalinya.
3. Prabu
Sri Rama Wijaya bertugas untuk menumpas keangkaramurkaan dari raja raksasa
Rahwana dan menentramkan isi jagad raya.
4. Prabu
Sri Batara Kresna bertugas menjadi pujangga dari Pandawa saat perang
barathayuda jayabinangun untuk menumpas keangkaramurkaan yang disebabkan oleh
kurawa (saudara dari Pandawa).
5. Prabu
Jayabaya bertugas untuk menyatukan kerajaan Kediri dengan yawastina.
6. Prabu
Angling darma.
7. Prabu
brawijaya (Damarwulan) kerajaan Majapahit.
TITISAN DEWA WISNU (VERSI)
(Untuk raja Wangsa Syailendra yang bernama sama, lihat
Wisnu raja)
Wisnu Dewa Hindu Dewa Pemelihara, pelindung alam Semesta.
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (Dewanagari Viṣṇu / Nārāyana) adalah Dewa yang
bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi
segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia
dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Namun dalam legenda
lain, Dewa Brahma adalah Dewa Tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan
tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi
Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau
sederajat dengan Brahman.
Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu
berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti menempati, memasuki,
juga berarti mengisi menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu.
Kata Wisnu kira-kira diartikan : Sesuatu yang menempati
segalanya. Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu
sebagai vishnu vishateh (sesuatu yang memasuki segalanya), dan yad vishito bhavati
tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu
adalah Wisnu).
Adi Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu Sahasranama,
mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya : yang hadir
di mana pun (sebagaimana Ia menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu).
Adi Shankara menyatakan : kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh
alam semesta. Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.'
Mengenai akhiran –nu, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa
bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu' (kejayaan"). Mayrhofer juga berpendapat
kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian višnu, dan kini telah
digantikan dengan kata rašnu dalam kepercayaan Zoroaster di Iran.
Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva (segala).
Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata Wisnu" misalnya: vi-ṣṇu
("mematahkan punggung"), vi-ṣ-ṇu (memandang ke segala penjuru")
dan viṣ-ṇu ("aktif"). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda
terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.
Wisnu dalam
susastra Hindu
Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, tetapi sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.
Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma
sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam
Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai
manusia unggul.
Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu menjabarkan ajaran agama
dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang
perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan
wujud rohaninya sebagai Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada
Arjuna.
Wujud Dewa Wisnu
Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa
Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap;
berlengan empat, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkakala, dan chakra.
Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra dan kulitnya yang
berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud
yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat
ketuhanan :
1. Jñāna
: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta.
2. Aishvarya
: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya.
3. Shakti
: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin.
4. Bala
: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa Lelah.
5. Virya:
kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk.
6. Tèjas:
memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk.
Dewa Wisnu merupakan wujud Tuhan yang Maha Kuasa. Wisnu
ada di setiap perwujudan di seluruh jagad raya,setiap manusia,setiap
hewan,setiap tumbuhan,setiap dewa,setiap tempat,setiap atom dari seluruh alam
semesta. Beberapa ilmuwan dan sastrawan, budayawan Waisnawa meyakini bahwa
masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang
paling penting untuk diketahui hanyalah enam.
Penggambaran
Wisnu dan Laksmi mengendarai Garuda. Lukisan dari
Rajasthan, dibuat sekitar abad ke-18.
Dalam Purana, Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada
di mana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan
atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk
lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut :
Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat
melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh
alam semesta.
Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit.
Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada
langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu.
Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi
Laksmi, pasangannya.
Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari
rangkaian bunga
Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu
bertentangan dalam penciptaan, seperti : kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan
kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu
melekat dengannya, yakni:
Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama Panchajanya,
dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas.
Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam
semesta dalam agama Hindu, yakni :
1. Air.
2. Tanah.
3. Api.
4. Udara
dan.
5. Ether.
Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama Sudarshana,
dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti
pandangan yang baik.
Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri
bawah, melambangkan keberadaan individual. Bunga lotus atau Padma, simbol
kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
Tiga wujud
Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu
disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut
yaitu :
1. Kāraṇodakaśāyi
Vishnu atau Mahā Vishnu.
2. Garbhodakaśāyī
Vishnu dan.
3. Kṣirodakasāyī
Vishnu. Menurut Bhagawadgita, ketiga aspek tersebut disebut "Puruṣa
Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang memengaruhi penciptaan dan peleburan
alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu
yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Dia menghembuskan banyak
alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī
Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan
menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai
Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.
Lima wujud
Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu
diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu :
1. Para.
Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri
Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya Dewi Lakshmi, Bhuma
Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
2. Vyuha.
Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat
fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
3. Vibhava.
Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda,
atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi
kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
4. Antaryami.
Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap
hati makhluk hidup.
5. Arcavatara.
Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh
seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai
wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.
AWATARA
Dalam Purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang
turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud
dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang umum
dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha
Avatār.
Sepuluh Awatara Wisnu :
1. Matsya
(Sang ikan)
2. Kurma
(Sang kura-kura)
3. Waraha
(Sang Babi hutan)
4. Narasingha
(Sang manusia-singa)
5. Wamana
(Rama bersenjatakan beliung / Sang orang cebol)
6. Parasurama
(Sang Brāhmana-Kshatriya)
7. Rama
(Sang pangeran)
8. Kresna
(Sang pengembala)
9. Buddha.
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu)
sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara)
Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara kedua puluh
empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia
yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain
Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang. Buddha
Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu
India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang
sempurna. Buddha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun
umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana.
10. Kalki
(Sang penghancur). Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya
diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan
awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma
pada penghujung zaman Kali Yuga.
Awatara atau Avatar dalam agama Hindu adalah inkarnasi
dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun
manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material,
guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan
menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat
terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara
yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan
dunia.
Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah
pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir
(Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga)
untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab
yang disebut Purana.
1. Matsya Awatara.
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya adalahawatara Wisnu yang
berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti
ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa
pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu),
putra Wiwaswan, dewa matahari.
Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu
mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu
untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah
Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari
bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan
di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.
Dalam diri manusia "ikan" adalah lambang sebuah
benih. Atau sel sperma dan sel telur. Sel seperma tidak akan mengalami
pembuahan jika tidak ada sel telur yang bagus. Untuk menampung pertemuan
tersebut dalam organ tubuh wanita disebut dengan rahim ( perahu dari raja
Manu). Jaman Satya Yuga jika dalam diri manusia adalah ketika masih dalam
kandungan hingga berumur 3 tahun.
Pada kehidupan di bumi = ikan merupakan binatang air.
Pada awal terbentuknya dunia yang ada adalah kehidupan satwa air. Jaman
Ordovisium (500 - 440 juta tahun lalu) Zaman Ordovisium dicirikan oleh
munculnya ikan tanpa rahang (hewan bertulang belakang paling tua) dan beberapa
hewan bertulang belakang yang muncul pertama kali seperti Tetrakoral,
Graptolit, Ekinoid (Landak Laut), Asteroid (Bintang Laut), Krinoid (Lili Laut)
dan Bryozona.
Koral dan Alaga berkembang membentuk karang, dimana
trilobit dan Brakiopoda mencari mangsa. Graptolit dan Trilobit melimpah,
sedangkan Ekinodermata dan Brakiopoda mulai menyebar. Meluapnya Samudra dari
Zaman Es merupakan bagian peristiwa dari zaman ini. Gondwana dan benua-benua
lainnya mulai menutup celah samudera yang berada di antaranya.
Kisah tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana dan
juga Purana lainnya. Diceritakan bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih
dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil
menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan.
Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam
kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut
bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia memindahkan ikan
tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi
berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara
bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan
tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke
samudera. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi
bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari.
Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera
besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut
dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina
dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala macam tumbuhan,
dan mengajak Saptaresi (Tujuh Maha Rsi).
Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar
tiba, diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga
Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut
menghilang.
Menurut Matsyapurana, seratus tahun kemudian, kekeringan
yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit
dipenuhi oleh tujuh macam awan yang mencurahkan hujan lebat tak terhentikan.
Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena
Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan
awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.
2. Kurma Awatara.
Kurma adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang
berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut
kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud
seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau
Kserarnawa).
Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan
tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi.
Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk
mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama
Gunung Mandara Giri, yang digunakan untuk mengaduknya.
Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan
Naga Wasuki (Naga Basuki) dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar
gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut
agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat
dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran
Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa. Dikisahkan pada zaman
Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru
untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat
hidup menjadi abadi.
Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian
menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab
dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah."
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana,
berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung
bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya
sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta
segala isinya.
Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara
dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor
kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan
Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara
supaya tidak tenggelam.
Pemutaran Gunung
Mandara Giri
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng
gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak
melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar
gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali.
Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan
rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan
tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki
menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan.
Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian
mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara
beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung
Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala
menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa
kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut
Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai
dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
1. Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
2. Apsara, Kaum bidadari kahyangan
3. Kostuba, Permata yang paling berharga di dunia
4. Uccaihsrawa, Kuda para Dewa
5. Kalpawreksa, Pohon yang dapat mengabulkan keinginan
6. Kamadhenu, Sapi pertama dan ibu dari segala sapi
7. Airawata, Kendaraan Dewa Indra
8. Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Pembagian Tirta
Amertha
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta
amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan
rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin
agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak
para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya,
Sangka Dwipa.
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan
rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya
Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama
Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka
sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak
sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini.
Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan
mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan
rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan
asura dan rakshasa.
Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama
sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata
cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa.
Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita
kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa. Para Dewa kemudian
terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta
amerta sehingga hidup abadi.
Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti
dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi
Dewa dan turut serta meminum tirta amerta.
Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang
kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan
senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta
sudah mencapai tenggorokannya.
Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup
karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada
Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan
bulan. Sehingga terjadilah gerhana bulan dan gerhana matahari.
3. Waraha Awatara
Waraha adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu
yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman
kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab
Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang
raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum
Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke
dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma
menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan
menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang
dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa
Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang
lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang
menang.
Pertarungan Waraha
dan Hiranyaksa
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat
bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari
lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa
Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa
planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan
mata.
Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi
hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing
membawa : cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada
4. Narasinga
Awatara.
Narasinga (disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah
awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia
dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan
yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang
melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga
(zaman kebenaran), seorang raja asura Hiranyakasipu membenci segala sesuatu
yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada
orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama
Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat,
dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk
muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi
kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa
Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain.
Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa
dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi,
siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara,
tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh
segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma
mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah,
para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada datang untuk
menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati.
Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan
diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang
budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat
keraksasaan ayahnya.
Mengetahui para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu.
Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu,
namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara
langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada
menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul".
Mendengar jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan
menghancurkan pilar rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan.
Pada saat itulah Dewa Wisnu sebagai Narasinga muncul dari pilar yang
dihancurkan Hiranyakasipu.
Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan
ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma,
Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan
kondisi yang tepat.
Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih
wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga
memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak
berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu.
Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga,
karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan
pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar
atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di
pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana.
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan
ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang
jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura,
namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai
Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa
Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India,
kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di
India.
Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India
Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan.
Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.
5. Wamana Awatara.
Wamana adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa
Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun
ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali
(Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada.
Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra,
karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja
Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang
membawa payung.
Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu
yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil.
Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana.
Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja
Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan
hadiah.
Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan
hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu
pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana
yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang
diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali begitu takabur dan melupakan nasehat
dari Sukracarya. Lalu Raja Bali menyuruh Brahmana kecil itu untuk melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus
membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan
bumi sekaligus (Bhur, Bwah, Swah).
Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada
langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak
ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu,
tamatlah kekuasaan Bali.
Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya
gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada
Manwantara berikutnya.
6. Parasurama
Awatara.
Parasurama adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam
ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama yang
bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna
"keturunan Maharesi Bregu".
Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan
hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang
satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia.
Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke
dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni,
untuk menumpas para kesatria tersebut.
Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi
keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa.
Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama.
Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu
membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata
lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri,
yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani
kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian
memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut.
Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan
mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali
Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan
mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas
ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun
mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni.
Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus
menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya
ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan
Parasurama.
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia
dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain.
Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai
pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun
pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh
kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai
tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan
suci di suatu tempat bernama Samantapancaka.
Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal
dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang
perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa dan Korawa.
Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas
habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama
Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik Jamadagni.
Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada
kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara
membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci
Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala.
Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri Rama
putra Dasarata. Pada suatu hari ia berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan
Mithila untuk memperebutkan Sita putri negeri tersebut. Sayembara yang digelar
ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa. Dari sekian banyak
pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar
oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk
menantang Rama yang dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati
berhasil meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke
pertapaannya.
Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awatara Wisnu,
karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali Ciranjiwin, ia hidup abadi sebagai
Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara
Wisnu saat itu telah berakhir.
Pada zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali sebagai
Kresna putra Basudewa. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu
Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana.
Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama
mengetahui kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan
lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat
pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna
berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di
Kurukshetra.
Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang.
Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di
dalam hutan belantara.
7. Rama Awatara.
Rama atau Ramacandra adalah seorang raja legendaris yang
terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti
Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota
Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh
yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga.
Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan
dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia
Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja
Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang
artinya "Manusia Sempurna".
Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan
beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar,
yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam wiracarita Ramayana diceritakan bahwa sebelum Rama
lahir, seorang raja raksasa bernama Rahwana telah meneror Triloka (tiga dunia)
sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap
Brahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya.
Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang telah
memberikan anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi takabur.
Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma
kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh.
Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia
berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata dari Ayodhya.
Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil
peran sebagai Laksmana, serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai Sita.
8. KRESNA AWATARA.
Kresna adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat
Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan
mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia
digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke
samping.
Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata
menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena,
kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara
(inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia
dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu
sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna,
misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha
Esa.
Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok
penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita
Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan
berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran
filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat
kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
9. Gautama Buddha
Awatara.
Budha adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan
di antara perwujudan awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana
umat manusia diajarkan tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak.
Di jaman kerajaan Kapilavastu dengan rajanya Suddhodana
dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu kemudian melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan yang mereka beri nama Siddhartha, akan tetapi sungguhlah
sayang tujuh hari kemudian, sang ratu Mahamaya meninggal dunia.
Seorang Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang
bernama Kala Devala memberi tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha
beranjak dewasa ia akan melihat hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi
menuju hutan. Mendengar hal itu raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk
pergi melewati gerbang istana.
Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga
amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta
sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya
sehingga angsa tersebut terjatuh.
Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka
tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia
yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya
mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu
mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang
yang berusaha membunuhnya.
Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda.
Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama
Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan
istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan
pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana.
Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah
tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana.
Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha
menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya
agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.
Siddartha keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang
pria dengan kepala gundul. Ia bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata
itu adalah seorang bijak yang meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk
mencari kebahagiaan.
Pada suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk
meninggalkan Istana dan mencari kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika
istri dan anaknya Rahula sedang tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia
Channa dengan diam-diam pergi meninggalkan istana.
Mereka menyeberangi sungai Anoma, disana Siddartha
melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa untuk
mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye serta
memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru yang lain
menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?
Tapi tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya
ia duduk di bawah pohon Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri.
Beberapa hari kemudian ia menjadi seorang yang bijak dan orang-orang
menyebutnya Gautama Budha. Budha mencintai seluruh binatang dan memperlakukan
mereka dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa
tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian
karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dewa Siwa mengirim binatang buas yaitu gajah liar dan
harimau liar nan ganas. Tetapi yang terjadi pada binatang-binatang tersebut
setelah melihat cahaya kasih sayang yang dipancarkan oleh Sang Budha
binatang-binatang tersebut langsung tunduk hormat dan bersimpuh di bawah kaki
Sang Budha. Akhirnya Sang Budha mempunyai pengikut yang sangat banyak dan
pengikutnya tinggal di dalam sebuah grup yang di sebut Sangha.
Sang Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan
kebahagiaan dengan merasa puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih
sayang pada semua mahluk. Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara,
Sang Budha berbaring di bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh
Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman
Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar
dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak
moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan
bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.
10. Kalki Awatara.
Kalki (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah
awatara kesepuluh dan awatara (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara,
yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran).
Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari
“keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata
Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu
"Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”,
"Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa
Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.
Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan
pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul.
Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu
beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan
nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap).
Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan
menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman
yang baru.
Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah
Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta
sekitar abad ke-7 sebelum Masehi.
Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu
bagian Trimurti, dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan
kehancuran sesuatu.
Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang
utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah Kalki
Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.
Membuka Wawasan
Pikiran Kita
Beberapa orang meyakini bahwa filsafat Dasa Awatara
menunjukkan perkembangan kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi. Setiap
Awatara merupakan lambang dari setiap perkembangan zaman yang terjadi.
Matsya Awatara merupakan lambang bahwa kehidupan pertama
terjadi di air. Kurma Awatara menunjukkan perkembangan selanjutnya, yakni
munculnya hewan amphibi. Waraha Awatara melambangkan kehidupan selanjutnya
terjadi di darat. Narasimha Awatara melambangkan dimulainya evolusi mamalia.
Wamana Awatara melambangkan perkembangan makhluk yang
disebut manusia namun belum sempurna. Parashurama Awatara, pertapa bersenjata kapak,
melambangkan perkembangan manusia di tingkat yang sempurna. Rama Awatara
melambangkan peradaban manusia untuk memulai pemerintahan.
Krishna Awatara, yang mahir dalam enam puluh empat bidang
pengetahuan dan kesenian melambangkan kecakapan manusia di bidang kebudayaan
dan memajukan peradaban. Balarama Awatara, Kakak Kresna yang bersenjata alat
pembajak sawah, melambangkan peradaban dalam bidang pertanian. Buddha Awatara,
yang mendapatkan pencerahan, melambangkan kemajuan sosial manusia.
Awatara yang turun ke dunia juga memiliki makna-makna
menurut zamannya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama
Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh
Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga. Makna dari turunnya para Awatara selama masa
Satya Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan
perkembangan peradaban manusia.
Awatara-awatara dalam daftar di atas merupakan inkarnasi
Wisnu, yang mana dalam suatu filsafat merupakan lambang dari takaran dari
nilai-nilai kemasyarakatan. Istri Dewa Wisnu bernama Laksmi, Dewi kemakmuran.
Kemakmuran dihasilkan oleh masyarakat, dan diusahakan agar terus berjalan
seimbang.
Hal tersebut dilambangkan dengan Dewi Laksmi yang berada
di kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi sangat setia terhadapnya.
Filsafat Catur Yuga yang merupakan masa-masa yang menjadi
latar belakang turunnya suatu Awatara dideskripsikan sebagai berikut :
1. Satya
Yuga, dilambangkan dengan seseorang membawa sebuah kendi (kamandalu)
2. Treta
Yuga, dilambangkan dengan seseorang yang
membawa sapi dan sauh
3. Dwapara
Yuga, dilambangkan dengan seseorang membawa busur panah dan kapak
4. Kali
Yuga, dilambangkan dengan seseorang yang sangat jelek, telanjang, dan melakukan
tindakan yang tidak senonoh.
Jika deskripsi di atas diamati dengan seksama, maka
masing-masing zaman memiliki makna tersendiri yang mewakili perkembangan
peradaban masyarakat manusia. Pada masa pertama, Satya Yuga, ada peradaban
mengenai tembikar, bahasa, ritual (yajña), dan sebagainya.
Pada masa yang kedua, Treta Yuga, manusia memiliki
kebudayaan bertani, bercocok tanam dan beternak. Pada masa yang ketiga, manusia
memiliki peradaban untuk membuat senjata karena bidang pertanian dan kemakmuran
perlu dijaga. Yuga yang terakhir merupakan puncak dari kekacauan, dan akhir
dari peradaban manusia.
Hubungan dengan
Dewa lain
Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi, Dewi
kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra, Wisnu juga memiliki
hubungan dekat dengan Brahmā dan Siwa sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa
Wisnu adalah Garuda, Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering
dilukiskan duduk di atas bahu burung Garuda tersebut. Dewa Wisnu beserta Dewi
Lakshmi merupakan 'orangtua' dari Kamadeva, karena Kamadeva menitis sebagai
Pradyumna, anak dari Kresna dan Rukmini yang tak lain adalah titisan Wisnu dan
Lakshmi.
Tradisi dan
pemujaan
Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk
yang Maha Kuasa. Dalam filsafat Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai salah
satu dari manifestasi Brahman. Dalam segala tradisi Sanatana Dharma, Wisnu
dipuja secara langsung maupun tidak langsung, yaitu memuja awatara-nya.
Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte
Waisnawa di India, Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan
Dewa-Dewi lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat. Waisnawa menganut
monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak
setara dengan Dewa.
Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan
dirinya menjadi Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja
secara khusus.
Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu
dimulai. Dalam Veda dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu
diasosiasikan dengan Indra. Shukavak N. Dasa, seorang sarjana Waisnawa,
berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda ditujukan bukan
untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu Yang Maha Kuasa yang
merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa.
Di Bali, Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk
dia, bernama Pura Puseh, yakni pura yang harus ada di setiap desa dan
kecamatan. Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang Hyang Widhi
yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta.
Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di
Bali, Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata angin. Warnanya Hitam, Aksara
sucinya “U” (ung).
Versi pewayangan
Jawa
Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu. Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara Guru dan Batari Uma. Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.
Sang Hyang Batara Wisnu bersemayam di Kahyangan
Utarasegara, mempunyai tiga permaisuri dan 18 orang putra (14 pria dan 4 wanita
), dengan Batari Srisekar/Sri Widowati berputra Batara Srinodo, Batara Srinadi
, dengan Batari Pratiwi berputra Bambang Sitijo (Prabu Bomanarakasura), Dewi
Siti Sundari, adapun dengan Batari Sri Pujawati/Pujayanti berputra 13 orang
masing-masing bernama :
Batara Heruwiyono, Batara Ishawa , Batara Bhisowo ,
Batara Isnowo, Batara Isnapuro , Batara Maduro, Batara Madudewo, Batara
Madusadono, Dewi Srihunon, Dewi Sri Srihuni, Batara Pujarto , Batara Panwaboja,
dan Batara Sarwedi/Hardanari.
Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia
menjelma menjadi raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura,
terletak di wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sri
Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang air.
Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu menurut pewayangan antara lain :