KI AGENG PEMANAHAN
(KI AGENG MATARAM III)
Raden Bagus Kacung atau Ki Ageng Pemanahan adalah putra dari Ki Ageng Henis seorang Penasehat Spiritual Raja Pajang dan Pemuka agama di Laweyan Kerajaan Pajang, Raden Bagus Kacung pada masa mudanya banyak mengenyam pendidikan dari para Eyangnya yang hebat antara lain Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Ngerang juga ayahandanya sendiri Ki Ageng Henis. Sepertinya Sunan Kalijaga sudah tahu bahwa kepada Raden Bagus Kacung lah kelak Wahyu Raja Tanah Jawa akan turun.
Raden Bagus Kacung adalah Priyayi yang sholeh, tekun menjalankan syariat agama, sosok yang sederhana, cerdas, gesit juga bijaksana. Beliau juga ahli diberbagai ilmu kanuragan / bela diri. Hingga kelak ketika ayahandanya ditunjuk oleh Sultan Hadiwijaya menjadi Penasehat Spiritual Raja di Kraton Pajang, tidak lama kemudian Raden Bagus Kacung diangkat menjadi Lurah Mantri Tamtama Kraton Pajang dan bertempat tinggal di Dukuh Pemanahan. Dan bergelar Ki Ageng Pemanahan. Dan kemudian hari Dukuh Pemanahan di kenal sebagai wilayah Manahan, dan tempat tinggal / Padepokan beliau di kenal dengan nama Depok. Di sana masih ada petilasan beliau, tempat sholat dan mata air untuk wudhu juga untuk keperluan lainnya.
Ki Ageng Pemanahan pada masa mudanya menjalin persahabatan dengan Raden Karebet (Sultan Hadiwijaya), Ki Juru Mertani (sepupu & adik ipar), dan Raden Penjawi (sepupu).
Kedekatan Ki Ageng Pemanahan dengan Sultan Hadiwijaya tampak terlihat ketika Sultan Hadiwijaya yang saat itu belum berputra mengangkat salah satu putra Ki Ageng Pemanahan yaitu Bagus Srubut / Raden Danang / Raden Danar sebagai putranya dan diberi nama Danang Sutawijaya.
Dalam berbagai kegiatan Kraton, Sultan Hadiwijaya juga mengajak Ki Ageng Pemanahan untuk mendampinginya. Termasuk ketika Sultan Hadiwijaya berkunjung ke Padepokan Sunan Kudus juga ke tempat Ratu Kalinyamat. Disana Ratu Kalinyamat meminta Sultan Hadiwijaya / siapapun untuk membalaskan dendamnya atas meninggalnya Pangeran Hadiri suaminya yg terbunuh oleh Arya Penangsang. Dalam perjalanan pulang Sultan Hadiwijaya masih memikirkan ucapan Kakak iparnya tersebut, akhirnya Ki Ageng Pemanahan memberanikan diri untuk tampil melawan Arya Penangsang.
Hingga akhirnya Ki Ageng Pemanahan kelak dibantu Danang Sutawijaya, Ki Ageng Juru Mertani serta Ki Penjawi berhasil menundukkan Arya Penangsang.
Ki Ageng Pemanahan termasuk murid yang taat kepada gurunya, ketika Sunan Kalijaga memerintahkan beliau untuk bertapa ke Kembang Semampir Ki Ageng Pemanahan didampingi sepupu juga adik iparnya yaitu Ki Ageng Juru Mertani serta Danang Sutawijaya berangkat ke Kembang Semampir dan bertapa disana hampir 5 tahun lebih.
PERTAPAAN KEMBANG SEMAMPIR
Pertapaan Kembang Lampir awal mulanya bernama Kembang Semampir, tempat tersebut adalah tempat Ki Ageng Pamanahan bersemedi laku prihatin saat mencari Wahyu Kraton pada saat itu kondisi Ki Ageng Pamanahan baru bersedih karena menunggu janji Raja Pajang, Sultan Hadi Wijaya untuk memberikan Tanah Perdikan kepada Ki Ageng Pemanahan belum terlaksana.
dikisahkan dahulu Sunan Kalijaga memerintahkan para muridnya yaitu Ki Ageng Pemanahan & Ki Ageng Giring III yang sama sama keturunan Raja Majapahit Brawijaya V , untuk berkelana mencari Wahyu Kraton di daerah yang sekarang disebut Gunungkidul.
Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pemanahan diperintahkan untuk laku tirakat di suatu tempat yang ada pohon mati tapi berbunga. Akhirnya Pohon mati yang berbunga ditemukan oleh Ki Ageng Pemanahan di daerah yang sekarang di sebuat Kembang Lampir di wilayah Mendak, Giri Sekar, Panggang Gunung Kidul.
WAHYU GAGAK EMPRIT (1)
Dikisahkan Sunan Kalijaga pernah berkata kepada murid muridnya, bahwa Wahyu Ratu Tanah Jawa akan turun di tengah Pegunungan Selatan (Gunungkidul Yogyakarta)
tsb.Dan setelah sekian lama laku prihatin, tapa brata di pertapaan tersebut akhirnya pada suatu hari Sunan Kalijaga berkunjung ke pertapaannya dan berkata Jebeng, galo Wahyu Ratu Tanah Jawa wis katon ono sisih Wetan Jebeng adalah panggilan Sunan Kalijaga untuk Ki Ageng Pemanahan.
Kemudian Ki Ageng Pemanahan berangkat ke daerah Pegunungan Selatan, dan kemudian mampir ke tempat tinggal Ki Ageng Giring saudara seperguruannya. Karena sudah akrab, dan kehausan, Ki Ageng Pemanahan langsung ke Pawon dan meminum air degan dari buah kelapa yang baru dipetik Ki Ageng Giring. Untuk detailnya bisa baca scroll di Wahyu Gagak Emprit.
WAHYU RATU TANAH JAWA (WAHYU GAGAK EMPRIT) (2)
Dikisahkan Sunan Kalijaga pernah berkata kepada murid muridnya, bahwa Wahyu Ratu Tanah Jawa akan turun di tengah Pegunungan Selatan (Gunungkidul Yogyakarta)
Kisah diawali ketika Ki Ageng Pemanahan berhak memperoleh hadiah dari Sultan Hadiwijaya Raja Pajang yaitu Alas Mentaok karena keberhasilannya menundukkan Arya Penangsang .Tetapi hadiah Tanah Mentaok tidak segera di berikan karena menurut Sabda Sunan Prapen yang menyebutkan bahwa di Alas Mentaok kelak berdiri sebuah kerajaan besar dan Giri pun akan tunduk kepadanya.
Menghadapi kondisi tersebut Ki Ageng Pemanahan menjadi muram, ingin memohon pun tidak berdaya. Akhirnya beliau mendapat nasehat dari Sunan Kalijaga untuk laku prihatin memohon kepada Allah supaya Sultan Hadiwijaya berkenan segera memberikan Alas Mentaok kepadanya. Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Ki Ageng Pemanahan untuk bertapa di daerah Pegunungan Selatan disamping untuk keperluan diberikannnya Alas Mentaok juga, guna mencari Wahyu Ratu yang diisyaratkan akan turun di daerah Pegunungan Selatan. Kepada Ki Ageng Pemanahan diperintahkan untuk bertapa di suatu tempat yang ada bunga yang tergantung / tersangkut di sebuah batang pohon. Akhirnya ditemukanlah Tanah bukit dengan tanda tersebut. Kemudian Ki Ageng Pemanahan membuka hutan tersebut dan memulai laku prihatin di tanah tersebut yang kemudian dikenal sebagai Desa Kembang Semampir. Selama di pertapaan Kembang Semampir, disamping laku tapa brata Beliau dan Ki Juru Martani serta Danang Sutawijaya juga terkadang mendapat piwulang dari Sunan Kalijaga yang sesekali datang berkunjung. Selama Di Kembang Semampir, Ki Ageng Pemanahan juga melakukan dahwah / syiar Islam di desa Belimbing yang letaknya dibawah bukit Kembang Semampir. Bahkan beliau bersama Sunan Kalijaga juga membangun masjid di desa Blimbing tsb.Dan setelah sekian lama laku prihatin, tapa brata di pertapaan tersebut akhirnya pada suatu hari Sunan Kalijaga berkunjung ke pertapaannya dan berkata Jebeng, galo Wahyu Ratu Tanah Jawa wis katon ono sisih Wetan Jebeng adalah panggilan Sunan Kalijaga untuk Ki Ageng Pemanahan
Sementara itu jauh sebelum Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang Semampir, Sunan Kalijaga memberikan kepada salah satu muridnya yaitu Ki Ageng Giring III sabut kelapa kering untuk di tanam di halaman rumahnya di daerah Paliyan Gunung Kidul. Setiap hari Ki Ageng Giring merawat sabut kelapa tersebut dengan telaten. Akhirnya dari sabut kelapa tersebut tumbuh pohon kelapa. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, delapan tahun berlalu akhirnya pohon kelapa tersebut berbuah untuk pertama kalinya. Pada saat itu Ki Ageng Giring sedang menyadap (nderes) pohon kelapa tersebut, ketika ada sebuah suara bisikan yang bersumber dari buah kelapa muda tersebut yang isinya Hei Ki Ageng Giring mengertilah ! Barang siapa yang meminum air kelapaku sampai habis tanpa berhenti (sak endegan) kelak akan menjadi Ratu berikut keturunannya akan menguasai Tanah Jawa.
Betapa kagetnya Ki Ageng Giring kemudian dipetiknya buah kelapa muda tersebut dan dibawanya ke rumah untuk diminum airnya. Tapi sebelum meminum air kelapa tersebut Ki Ageng Giring terlebih dahulu masuk ke hutan menebangi pohon supaya nanti sepulang dari hutan bisa menghabiskan air kelapa dalam satu tegukan (sak endegan).
Tapi begitulah lelaku kehidupan (takdir), sesampai di rumah ternyata air kelapa muda tersebut telah diminum habis oleh saudara seperguruannya yang datang berkunjung kerumahnya yaitu Ki Ageng Pamanahan. Yang mana pada saat itu Ki Ageng Pamanahan baru saja menyelesaikan tapa brata laku prihatin di Padepokan Kembang Lampir agar memperoleh petunjuk dimana wahyu keraton berada.akhirnya langkah kakinya mengajaknya untuk berkunjung ke rumah saudara seperguruan sekaligus sama sama keturunan darah Majapahit yaitu Ki Ageng Giring III.
Meskipun kecewa, Ki Ageng Giring berusaha memupus semua yang telah terjadi itu telah digariskan oleh Tuhan. kemudian Ki Ageng Giring menceritakan kepada Ki Ageng Pemanahan bahwa wahyu Ratu Jawa ada di dalam kelapa muda yang diminum oleh Ki Ageng Pemanahan tersebut, kemudian Ki Ageng Giring meminta kepada ki Ageng Pemanahan supaya kelak kerajaan diperintah selang seling dari keturunan mereka tapi Ki Ageng Pemanahan tidak menyetujui, kemudian Ki Ageng Giring memohon lagi diseling setelah keturunan kedua, tapi Ki Ageng Pemanahan tetap tidak mengiyakan begitu seterusnya sampai akhirnya Ki Ageng Giring memohon supaya keturunannya yang ketujuh kelak akan menjadi Ratu di tanah Jawa dan Ki Ageng Pemanahan hanya bisa berkata lirih, Kakang Giring Allahualam, besuk keadaanya bagaimana aku tidak tahu
Dan pada kenyataannya sesuai silsilah sejarah ternyata Raja Mataram ke 7 yaitu Sunan Pakubuwana I mempunyai darah keturunan dari Ki Ageng Giring yang diturunkan melalui Dewi Kajoran (Putri Panembahan Rama, bupati Klaten) yang dipermaisuri oleh Sunan Amangkurat I. Jadi Sri Sunan Pakubuwana I berikut semua keturunannya mempunyai darah Pamanahan dan Giring III.
Sumber : KRT Koesrahadi Sajid Jayaningrat (JSM)
PERDIKAN MATARAM
Dan akhirnya pada tahun 1556 atas saran Sunan Kalijaga , Sultan Hadiwijaya Raja Pajang berkenan memberikan tanah Hutan Mentaok setelah Ki Ageng Pemanahan mengangkat sumpah akan setia dan tunduk kepada kerajaan Pajang hingga akhir hayatnya.
Setelah tanah Mataram diberikan, Sunan Kalijaga berpesan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk membangun tempat tinggal untuk keluarga di sekitar pohon beringin yang telah di tanam beliau sewaktu beliau tinggal beberapa waktu di hutan Mentaok. Seperti dikisahkan ketika dahulu menanam pohon beringin tersebut, Sunan Kalijaga berdoa semoga kelak daerah tersebut menjadi daerah yang rejo atau makmur.
Ki Ageng Pemanahan bersama sanak keluarga dan para pengikutnya berangkat meninggalkan Desa Pamanahan yang letaknya di sebelah utara Kraton Pajang ke hutan Mentaok. Dan mulai membuka hutan Mentaok menjadi sebuah desa. Dan seiring berjalannya waktu wilayah Alas Mentaok semakin berkembang, penduduknya semakin bertambah dan akhirnya menjadi sebuah daerah pemukiman yang makmur yang disebut sebagai "Perdikan Mataram" dan Ki Ageng Pemanahan dikenal sebagai Ki Ageng Mataram, dan daerah tempat kediaman keluarga Ki Ageng Pamanahan disebut Kotagedhe.
Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1584. Dan dimakamkan didekat tempat tinggal beliau, sekarang disebut Astana Kotagedhe.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, pada tahun 1586 Sultan Hadiwijaya wafat, Danang Sutawijaya akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram Islam dengan pusat pemerintahan di Kotagedhe pada tahun 1587
Dan Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
Berikut adalah para putra Ki Ageng Pemanahan :
A. Istri pertama (Nyai Sabinah / Nyai Ageng Pemanahan) menurunkan :
1. Raden Roro Sobro atau Raden Ayu Adipati Manduranagara
2. Raden Danang Bagus Srubut kelak bergelar Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam I)
3. Nyai Ageng Tumenggung Mayang
4. Raden Roro Maryam (RAy Djoyoprono)
5. Raden Panulat (Adipati Teposono)
6. Raden Pamadhe
7. Raden Jambu (P Adipati Mangkubumi)
8. Raden Santri (P Adipati Singasari)
9. Raden Tompe, Pangeran Gagak Baning
10. Raden Sambak meninggal masih bayi.
11. Pangeran Adipati Pringgolayan
12. Nyai Ageng Sewakul
B. Istri Pangrembe (Niken Rubiyah)
1.R. Andangkoro Pangeran Ronggo Mertosono
2. Pangeran Haryo Tanduran
3. Raden Ayu Kajoran
4. Laki-laki meninggal masih bayi
5. Nyai Ageng Tanduran.
6. Nyai Ageng Panjang Jiwa
7. Perempuan meninggal masih bayi
8. Nyai Ageng Banyak Patra
9. Nyai Ageng Kusumoyudo Marisi
10. Nyai Ageng Pucang
11. Nyai Ageng Singopodo di Panggul
12. laki-laki meninggal masih bayi
13. Nyai Ageng Mohammad Pekik
14. Nyai Ageng Wirobodro
15. Nyai Ageng Adiguno di Pelem
16. Nyai Ageng Suroyudo
17. Nyai Ageng Mursodo Silarong
18. Nyai Ageng Ronggo Kranggan
19. Nyai Ageng Kawangsen
20. Nyai Ageng Wirosobo