Kunjarakarna
(KITAB/NASKAH/KAKAWIN KUNJARAKARNA)
Kuñjarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuno yang menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
Kunjarakarna menceritakan atau mengisahkan tentang pembebasan terhadap Yaksa Kunjarakarna dan saudaranya Purnawijaya. Kitab ini bersifat Budhisme-Mahayana. Diketahui bahwa ada dua jenis atau dua versi dari kitab Kunjarakarna ini.
Versi pertama berbentuk Prosa dan ditulis pada zaman Darmawangsa, itu menurut Poerbatjaraka. Sedangkan menurut H. Kern naskah ini ditulis pada bagian kedua di Jawa Barat.
Bentuk atau versi lain dari kitab ini
berupa Kakawin dan ditulis dari zaman Majapahit. Meski bersifat Budhisme,
tetapi cerita dalam kitab ini sangat digemari pada jaman Hindu Nusantara. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan adanya relief candi yang memuat tema daripada
kitab tersebut.
Pada suatu hari Kuñjarakarna bertapa di gunung Mahameru
supaya pada kelahiran berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas
baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana. Maka ia diperbolehkan menjenguk
neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya
Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di
neraka. Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia
diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak
melihat neraka. Lalu ia kembali ke bumi dan berpamitan dengan istrinya.
Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya ratusan
tahun. Lalu ia diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya
Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru. Amanat cerita adalah
barangsiapa mendengarkan dan tahu akan hukum dharma, maka ia akan diselamatkan.
NASKAH KAKAWIN Kuñjarakarna
tan asuwé ring awan,
dhateng ta ya ring bumipata<l>a, hana ta ya srijati
dumilah sadakala lonya sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih ing mata tumingal,
hana ta babahan kapanggiha denira sang Kuñjarakarna, inĕbnya tambaga, lereganya
salaka, tuwin ku<ñ>cinya mas,
ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan
sad<e>pa saroh lonya,
inurap rinata-rata ginomaya ring tahining le<m>bu
kanya,
tinaneman ta ya handong bang, kayu puring, kayu masedhang
asinang, winoran asep dupa, mrabuk arum ambunika sinawuran kembang ura, pinujan
kembang pupungon,
ya ta matanyan maruhun-ruhunan ikang watek papa kabèh
winalingnya
dalan maring swarga ri hidhepnya
Artinya :
Maka tak lama mereka berada di jalan
Dan sampailah di dunia bawah. Maka adalah sebuah pohon
jati yang senantiasa menyala. Tebal batangnya satu indera. Maksudnya hanya satu
pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna melihat ada pintu, panelnya dari
tembaga, lacinya dari perak, dan kuncinya dari emas.
temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan satu
roh
dibersihkan, diratakan dan dibersihkan dengan tinja sapi
perawan betina
diberi tanaman andong merah, puring dan pohon-pohon yang
sedang berbunga harum. Berbaurlah dengan asap dupa, harum semerbuk dan ditebar
dengan bungan sebaran. Bunga-bunga yang sedang berkembang diberikan sebagai
kehormatan
itulah sebab para orang berdosa berbondong-bondong semua.
Salah pikiran mereka,
dikira jalan menuju ke sorga.
Kunjarakarna versi
Dharmawangsa (991 – 1016)
Salah satu buku atau kitab Jawa kuno yang populer di
zamannya adalah kitab Kunjarakarna. Kitab yang ditulis dalam bentuk kakawin
atau tembang ini ditulis pada masa Kerajaan Kediri diperintah oleh Dharmawangsa
(991 – 1016). Seperti banyak buku atau kitab Jawa kuno lainnya di masa itu, di
kitab ini tidak diketahui siapa nama sang pujangga atau penulisnya. Sang
pujangga hanya menyebut dirinya sebagai kadi ngwangadusun, yang artinya
pujangga atau penulis dari dusun.
Kunjarakarna buah karya pujangga yang rendah hati itu di
masanya tentu layak dikategorikan sebagai sebuah karya buku yang spektakuler.
Betapa tidak. Buku atau kitab ini, berbeda dengan kebanyakan kitab karya
lainnya.
Kitab ini membahas
dan menguraikan tentang neraka
Di dalam ajaran-ajaran agama selalu ditemukan kata-kata
tentang sorga dan neraka. Sorga adalah tempat untuk manusia yang semasa
hidupnya selalu beriman dan patuh dengan ajaran-ajaran agamanya. Sedangkan
neraka adalah sebaliknya. Neraka dikhususkan untuk manusia yang tidak beriman
dan menolak kebenaran ajaran agama samawi.
Dengan kata lain, sorga adalah suatu tempat yang paling
menyenangkan dan penuh keindahan. Sementara neraka adalah tempat yang paling tidak menyenangkan, sangat
menyakitkan, tempat menjalani siksaan atau hukuman bagi orang-orang yang semasa
hidupnya selalu berbuat kejahatan, mengingkari agama dan lain-lainnya yang
serba buruk.
Neraka yang mengerikan, menakutkan, dan tempatnya
menjalani siksaan, atau tempatnya Tuhan memberikan hukuman kepada orang-orang
yang semasa hidupnya tak pernah mengindahkan ajaran-ajaran agama itulah yang
diuraikan di dalam kitab Kunjarakarna.
Imajinasi sang pujangga atau penulis kitab ini memang
sungguh luar biasa. Ia telah membawa pikiran, jiwa dan rasa segenap pembaca
kitab ini melesat jauh untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya alam neraka yang
sangat mengerikan dan penuh siksaan itu. Para pembaca di masa itu telah dibawa
oleh sang pujangga untuk menyelusup sedalam-dalamnya ke alam neraka, guna
mengetahui bagaimana sesungguhnya yang ada dan terjadi di sana. Misalnya, ragam
atau bentuk siksaan apa saja yang ada, dan kenapa siksaan-siksaan yang
mengerikan dan sangat pedih itu diberikan.
KUNJARAKARNA TENTANG Membersihkan
Diri
Seperti kebanyakan kitab Jawa kuno lainnya di masa itu, Kunjarakarna
juga berangkat dari latar belakang cerita dunia pewayangan. Dikisahkan oleh
sang pujangga, tentang kisah perjalanan raksasa Kunjarakarna yang ingin merubah
dirinya menjadi manusia.
Perubahan jati diri raksana menjadi manusia seperti yang
diinginkan oleh Kunjarakarna itu ternyata tidaklah mudah. Sesakti apa pun atau
sehebat apa pun ilmu yang dimiliki Kunjarakarna, tapi untuk merubah dirinya
agar bisa menjadi manusia biasa bukanlah sesuatu yang mudah.
Tapi sebagai raksasa yang sudah bertekad bulat untuk
meninggalkan kehidupannya sebagai raksasa, Kunjarakarna tak pernah putus asa.
Ia pun lalu bergegas menemui Sang Bhatara Wairocana yang berada di kayangan. Di hadapan Bhatara
Wairocana, sambil terisak-isak menangis Kunjarakarna menyampaikan keinginannya
untuk meninggalkan kehidupannya sebagai raksasa dan berganti dalam kehidupan
sebagai manusia.
Kehidupan sebagai raksasa membuatnya menjadi berwatak
seperti setan, selalu berbuat kerusakan dan kejahatan. Kunjarakarna mengaku,
dirinya tak sanggup lagi menjalani kehidupan seperti itu. Ia ingin menjalani
kehidupan baru yang serba damai, tenteram, penuh kesabaran, penuh kelembutan,
terhindar dari perbuatan yang penuh keangkaramurkaan.
Pada mulanya Sang Bhatara Wairocana terkejut dan heran
dengan kedatangan Kunjarakarna. Karena tidak pernah ada raksasa yang mau
bersimpuh dan menangis tersedu di depan Dewa. Tetapi hal yang tak pernah
terjadi itu telah terjadi di hadapannya. Raksasa Kunjarakarna bersimpuh dan
menangis di depannya, meminta agar dirubah menjadi manusia.
Setelah meyakini bahwa keinginan Kunjarakarna itu memang tulus keluar dari dalam hati sanubarinya, Bhatara Wairocana pun kemudian menyatakan kesediaan dirinya untuk membantu. Tapi caranya tidak mudah. Ada ‘syarat laku’ cukup berat yang harus dijalani oleh Kunjarakarna. Salah satu syaratnya, Bhatara Wairocana meminta Kunjarakarna menemui Bhatara Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana untuk membersihkan diri atau meruwat diri.
Tanpa membuang waktu, Kunjarakarna pun bergegas menemui
Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana. Tegal Petrabhuwana adalah suatu tempat untuk
para arwah manusia yang semasa hidupnya selalu melakukan kejahatan dan
keangkaramurkaan menjalani hukuman siksaannya. Tegal Petrabhuwana ini adalah
tempat yang bernama neraka itu. Setelah bertemu dengan Bhatara Yama Dipati,
Kunjarakarna pun kemudian menjalani ruwatan atau pembersihan diri di Tegal
Petrabhuwana.
Apa yang dialami atau diperolehnya selama mengikuti
pembersihan diri di Tegal Petrabhuwana itu merupakan balasan atau hukuman dari
apa yang telah dilakukannya selama menjalani kehidupan sebagai raksasa. Dan,
Kunjarakarna menjalani semua proses ‘hukuman’ di Tegal Petrabhuwana itu, demi
niat dan kesungguhan hatinya untuk menjadi manusia yang bersih dan jauh dari
keangkaramurkaan.
KUNJARAKARNA TENTANG SIKSA NERAKA KUNJARAKARNA
Ada delapan tingkatan neraka yang terberat. Itu menurut
kitab Jawa Kuno Kunjarakarna. Konon, seringan apapun, yang namanya neraka tetap
saja neraka. Ikuti ingar-bingar siksa neraka versi kitab itu, seperti
dipahatkan pada dinding beberapa candi.
Tubuh lelaki itu roboh bersimbah darah. Seorang kingkara
atau algojo beringas sekali terus-menerus menghajarnya. Tombak di tangan kiri,
gada di tangan kanan, dijungkirkannya tubuh lelaki itu, sebelum dibanting
terkapar sampai berbusa mulutnya, dan terjulur lidahnya. Lidah itulah memang
pangkal dosa manusia di dunia. Maka pantas kalau kemudian dijepit dan ditusuk
dengan lembing bercabang tiga.
Kejam dan sadis
memang
Tapi apa pula ini ? Ini adalah adegan siksaan neraka bagi
umat bernama manusia yang gemar menggunjing, memfitnah tatkala hidup di dunia.
Di sebelahnya dalam format lebih kecil, ada lagi adegan lima manusia digoreng
dalam periuk berbentuk sapi. Hangus tubuh mereka di tengah jerit kesakitan,
karena mengelupas seluruh kulitnya dan dagingnya meleleh.
Adegan apa ini? Itu hukuman bagi manusia pencabut nyawa
alias pembunuh sesama ketika di dunia dulu. Lantas, apa balasan bagi maling, perampok,
pemerkosa, pezinah, atau koruptor dan manipulator? Setelah mati, jiwa mereka
akan menerima beribu-ribu lipat siksaan, dari yang teringan dipukul atau
ditusuk, sampai yang terberat tak terbatas, direbus dalam kawah berapi.
KUNJARAKARNA TENTANG
Hidup itu Penderitaan
Adegan tadi hanyalah contoh kecil dari belasan panel
relief siksa neraka yang terpahat di tembok Candi Jago, 18 km utara Malang,
Jawa Timur. Kunjarakarna Dharmakatana, begitu rangkaian relief itu dinamai,
karena memang dicukil dari kitab kuno Majapahit berbentuk kakawin (puisi)
bernama Kunjarakarna. Relief lakon Kunjarakarna, ditatah seniman Jawa abad XIV,
tepatnya di bagian kaki kuil agung candi tak ternama itu. Kata Kunjarakarna
Dharmakatana sendiri banyak orang mengetahui artinya, yaitu ajaran suci bagi
pendosa berat bernama Kunjarakarna. Namun, barangkali hanya beberapa gelintir
orang saja yang tahu, betapa dalam makna yang tersirat dalam kakawin ataupun
pada pahatan relief batu tersebut. Sebetulnya, lakon religius ini mengandung
tema ajaran kebatinan dalam usaha manusia mencapai kesempurnaan hidup di dunia
dan akhirat. Ahli Jawa Kuno kenamaan Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan, sempat
menyinggung dan menilai kakawin ini sebagai karya sastra klasik yang lain
daripada yang lain, namun sarat akan ajaran moral-didaktis yang sangat penting
guna memahami sistem kepercayaan masyarakat pada masa lalu (Zoetmulder,
1983).
Hidup adalah samsara (penderitaan), begitu ajaran
kebatinan lakon aneh itu diawali. Samsara yang ganas mengancam manusia dari
sudut "enam musuh" ialah hawa nafsu. Musuh-musuh itu bisa dikalahkan
manakala setiap noda dilenyapkan dengan manawisesa. Tapi sungguh berat mencapai
pengetahuan mulia itu. Bilamana seseorang telah memutuskan tenggelam di
dalamnya dengan menjadi biku, maka hendaknya jangan membedakan ketiga jalan
aliran pemuja Buddha, Siwa, atau jalan para Resi. Andaikan para biku tadi telah
berupaya mencapai kelepasan namun tak berhasil, ini disebabkan setiap aliran
masih menganggap dewanya paling unggul dari dewa lainnya.
Pada sisa relief yang tertimpa lumut dan jamur itu, lakon
siksa neraka ini masih jelas menampilkan pesan betapa hukum sebab akibat
berlaku. Manusia di bumi memang bisa berbuat sesukanya. Namun kelak di akhirat
akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ngunduh wohing pakarti (suka tidak
suka, menerima risiko atas segala perbuatannya), sebuah konsep sederhana yang
sudah lama ada, bahkan jadi sistem tersendiri sebagai kendali perilaku manusia
leluhur kala lampau, menunjukkan hal itu. Menurut Kitab Kunjarakarna, ada 20
kelompok kejahatan yang menyebabkan sukma manusia masuk neraka dan disiksa.
Kelompok kejahatan yang disebut anidya paradrwya misalnya, dilakukan oleh
mereka semasa di dunia yang selalu dipenuhi nafsu untuk memiliki harta yang
bukan miliknya. Mereka adalah pencuri, perampok termasuk koruptor dan
manipulator. Lumayan berat hukuman buat kelompok manusia macam ini. Katanya,
tubuh itu nanti akan dipotong-potong dengan gergaji besi panas membara. Jiwa
pendosa itu banyak yang tak sadar memohon ampun dan berteriak kesakitan
menyebut bapak-ibunya. Tapi raksasa penjemput maut itu sepertinya buta dan
tuli. Malah potongan tubuh-tubuh itu disatukan kembali sebelum digergaji lagi.
Begitu seterusnya, setimpal dengan dosa hasil perbuatannya dulu.
Ada lagi kelompok kejahatan bernama anidra parawadha atau
paradara, yaitu dilakoni orang yang jiwanya dikuasai nafsu seksual, dalam
artian gemar mengganggu, mengajak serong dara, istri atau suami orang lain.
Kelak sesudah mati, katanya, akan dihimpit bukit berkepala hantu dan ditusuk
tombak api, serta digulung lempengan tembaga panas.
Siksaan 1,8 Miliar
Tahun
Ini memang kisah neraka, dari kitab kuno aneh dan langka.
Kematian itu sendiri, menurut Kitab Kunjarakarna, bukan tidur panjang yang tak
terbangunkan sebagaimana didefinisikan oleh berbagai sastra picisan modern.
Kematian hanyalah suatu perubahan keadaan, dari dunia ke alam baka. Di alam ini
roh mendapat balasan sesuai perbuatannya. Yang baik di surga, yang jahat masuk
neraka. Menurut kakawin Kunjarakarna neraka itu bertingkat-tingkat, namun yang
terberat ada delapan buah. Dari delapan neraka besar tersebut, paling ringan
adalah neraka yang disebut tapana. Konon di sini para pendosa beramai-ramai
disekap dala ruang tertutup berbau amis bercampur sengak oleh uap yang
menyembur dari ketel panas. Setingkat di atas neraka tapana, ada neraka yang
disebut raurawa, artinya tangis dan jeritan panjang. Betul memang, ada uraian
mengerikan. Siksa neraka di sini khusus buat manusia pengobral janji, berkata
kasar atau besar mulut dan terutama pembohong. Mereka, jiwa pendosa itu, dicor
mulutnya dengan timah membara dan dituangi lelehan besi panas. Suara lolongan
panjang mereka mirip setan kebingungan.
Yang terberat
adalah neraka awici
Katanya, neraka ini diperuntukkan buat manusia yang
berani kepada orang tua, membunuh guru dan menghina agama. Mereka akan
diceburkan berbarengan ke dalam kawah api, mereka pun merintih, menangis, mohon
selaksa ampun dan kesempatan sekali saja untuk bertobat. Sementara panas
membakar mereka, seekor burung raksasa menyambar 100 pendosa dan membawanya ke
puncak pohon besi. Di sini tubuh-tubuh hangus kehitaman itu dicampakkan ke atas
permadani berbulu belati. Belum cukup, lalu satu demi satu raksasa neraka
mengangkat tubuh mereka untuk digantung kakinya di pucuk bambu betung,
sementara di bawahnya api menyala menjilati badannya. Konon di neraka awici
ini, pendosa akan disiksa selama 100.000 tahun ukuran neraka. Padahal satu
harinya neraka, katanya sama dengan 50 tahun di bumi. Jadi total neraka awici
akan menyiksa tubuh pendosa selama 1,8 miliar tahun menurut perhitungan bumi.
Lumayan juga, dibandingkan dengan siksa abadi yang tak tahu kapan berhentinya.
Adegan siksa neraka, di samping diabadikan di dinding
Candi Jago, juga dipahat apik di Candi Borobudur dari sumber yang berbeda.
Rangkaian relief yang masyhur disebut Karmawibhangga itu, memang berpangkal
darihukum karma manusia. Sayang sekali, relief tersebut tak bisa dinikmati
pengunjung, karena terpahat di kaki candi yang tertutup timbunan tanah, yang
disebut kamadhatu. Adegan siksa neraka di panel Candi Borobudur, sebetulnya
jelas sekali melukiskan hukum sebab-akibat manusia, seperti kuda harus diikuti
keretanya. Ada manusia digodok, ada juga yang diikat tangannya dan dihajar tiga
raksasa, digada, dan dipedang. Katanya, ini hukuman buat mereka yang dulu suka
membunuh binatang.
Jagad Arwah
Kitab kuno Kunjarakarna memang lain dari yang lain.
Neraka yang pengarangnya sendiri jelas belum pernah menengoknya, dijadikan
fokus media untuk menhajar sekaligus membangun moral manusia. Seperti apa
neraka itu sebenarnya, menurut kitab itu? Dalam lakon Kunjarakarna berbentuk
prosa, lengkap sekali dilukiskan neraka sebagai tempat setan-setan gentayangan
mengerikan, gelap penuh penderitaan yang tiada bandingannya. Neraka yang
disebut petrabhawana (jagad arwah), katanya mirip lautan manusia yang
dikelilingi tanggul api membara. Di sini ribuan roh jahat disiksa dengan
berbagai senjata maut, dari rantai besi sampai gada api sebesar pohon pinang.
Ada yang diborgol tangan dan kakinya, ada yang disumbat timah panas mulutnya,
ada yang cuma disayat pisau kulitnya. Tapi ada juga yang dijepit catut
lehernya. Semua tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuatnya
Sementara ratap tangis memilukan bagai kumbang kesakitan,
datanglah sisantama, burung raksasa berkepala setan yang galak menyeruak,
melumat ribuan pendosa sekaligus hancur luluh dengan cakarnya. Tapi para
pendosa itu tak mati, meski secara fisik sudah. Malah katanya, dengan tubuh
lemah sempoyongan banyak di antara mereka malang-melintang berlari saling
mendahului, saling berpegang pundak, ada yang terjatuh dan terinjak-injak.
Adalah serigala berkepala hantu, tiba-tiba muncul mengejar mereka. Yang
tertangkap dikoyak-koyak tubuhnya, hingga menyembul isi perutnya. Sementara
dari arah berbeda, muncul raksasa
berkepala dan bertangan api, terus memburu. Yang tertangkap bakal
hangus, meringis mulutnya, melotot matanya, menangis dan mengaduh, menggelepar
kesakitan karena napas tersengal mendekati ajal. Tapi sekali lagi, mereka tak
mati. Begitulah gambaran keadaan neraka dalam kitab Kunjarakarna ciptaan
pujangga tak dikenal empat belas abad silam.
Relief adegan melewati jembatan goyang neraka di Candi Jago Tersimpan di Leiden
Kitab Kunjarakarna mungkin satu-satunya kitab Jawa Kuno
yang membahas dan merinci ngerinya keadaan neraka. Katanya, siksa neraka paling
ringan itu 500 tahun lamanya, atau sama dengan 9 juta tahun menurut perhitungan
bumi. Padahal kita tahu, keberadaan neraka itu misterius. Karena termasuk
perkara gaib, dari dulu hingga kini belim seorang pun mengalaminya. Maka justru
dari sinilah kitab ini menghardik moral manusia untuk terus berperilaku
ugahari. Sayangnya, kitab maha menarik ini anonim, tidak diketahui siapa
pengarangnya.
Dalam pupuh (bait) terakhir 41:15, secara sengaja
pengarang karya agung ini mengidentikkan dirinya sebagai seorang pujangga
kampung, kadi ngwang adusun, yang merasa terlalu berani mempersembahkan karya
yang tidak bagus. Sikap merendahkan diri itu memang ungkapan klasik pujangga
Jawa Kuno yang tersohor. Bahkan kepopuleran nama, baginya tak perlu
dikoar-koarkan. Mayarakat sekarang perlu tahu isi kitab tersebut, karena di
sana ada pengetahuan kehidupan setelah kematian versi Jawa Kuno.
Mungkin betul, cuma untuk membaca kitab aslinya orang
harus paham benar bahasa dan huruf Jawa Kuno. Lagi pula kabarnya kitab ini
tidak ada di Indonesia, melainkan sudah seabad lebih disimpan aman di Museum
Leiden, Belanda, dan belum diurus untuk dikembalikan kepada ahli warisnya. Paling
baik, memang menyaksikan ukiran relief di Candi Jago, Malang, itu sendiri.
Kunjarakarna
Dharmakatana
Kunjarakarna Dharmakatana merupakan ajaran suci bagi
pendosa berat sebagai ilmu kebatinan dalam usaha manusia untuk dapat mencapai kesempurnaan
hidup di dunia dan akhirat.
Salah satu kitab Jawa kuno yang membahas dan merinci
ngerinya keadaan neraka.
Hidup adalah penderitaan, begitu ajaran kebatinan lakon
itu diawali.
Manusia di bumi memang bisa berbuat sesukanya. Namun
kelak di akhirat akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ngunduh wohing pakarti (suka tidak suka, menerima risiko
atas segala perbuatannya), sebuah konsep sederhana yang sudah lama ada, bahkan
jadi sistem tersendiri sebagai kendali perilaku manusia leluhur kala lampau,
menunjukkan hal itu.
Menurut Kitab Kunjarakarna, disebutkan ada 2 kelompok
kejahatan yang menyebabkan sukma manusia masuk neraka dan disiksa yaitu :
Anidya paradrwya misalnya, dilakukan oleh mereka semasa
di dunia yang selalu dipenuhi nafsu untuk memiliki harta yang bukan miliknya.
Anidra parawadha atau paradara, yakni dilakoni orang yang
jiwanya dikuasai nafsu seksual, dalam artian gemar mengganggu, mengajak serong
dara, istri, atau suami orang lain.
Dalam beberapa tingkatan neraka disebutkan dalam kitab
ini yaitu :
1. Neraka
Tapana | ruang tertutup berbau amis bercampur sengak oleh uap yang menyembur
dari ketel panas.
2. Neraka
Raurawa | tangis dan jeritan panjang yang khusus digunakan buat manusia
pengobral janji, berkata kasar, atau besar mulut dan terutama pembohong.
3. Neraka
Awici. diperuntukan buat manusia yang berani kepada orang tua, membunuh guru,
dan menghina agama.
Dalam lakon Kunjarakarna berbentuk prosa, lengkap sekali
dilukiskan neraka sebagai tempat setan-setan gentayangan mengerikan, gelap
penuh penderitaan yang tiada bandingannya.
Neraka yang disebut petrabhawana (jagat arwah), katanya
mirip lautan manusia yang dikelilingi tanggul api membara.
Di sini ribuan roh jahat disiksa dengan berbagai senjata
maut, dari rantai besi sampai gada api sebesar pohon pinang.
Ada yang diborgol tangan dan kakinya, ada yang disumbat
timah panas mulutnya, ada yang cuma disayat pisau kulitnya.
Tapi ada juga yang dijepit catut lehernya. Semua
tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuatnya.
Sementara ratap tangis memilukan bagai kumbang kesakitan,
datanglah sisantama, burung raksasa berkepala setan yang galak menyeruak,
melumat ribuan pendosa sekaligus hancur luluh dengan cakarnya.
Tapi para pendosa itu tak mati, meski secara fisik sudah.
Malah katanya, dengan tubuh lemah sempoyongan banyak di antara mereka
malang-melintang berlari saling mendahului, saling berpegang pundak, ada yang
terjatuh dan terinjak-injak.
Ada juga serigala berkepala hantu, tiba-tiba muncul
mengejar mereka. Yang tertangkap dikoyak-koyak tubuhnya, hingga menyembul isi
perutnya.
Sementara dari arah berbeda, muncul raksasa berkepala dan
bertangan api, terus memburu. Yang tertangkap bakal hangus, meringis mulutnya,
melotot matanya, menangis, dan mengaduh, menggelepar kesakitan karena napas
tersengal mendekati ajal. Tapi sekali lagi, mereka tak mati..
Begitulah gambaran keadaan neraka dalam Kitab
Kunjarakarna yang diciptakan empat belas abad silam bagi sang pendosa
sebagaimana, dalam usaha manusia mencapai untuk dapat mencapai kesempurnaan
hidup di dunia dan akhirat kelak.
Makna Lakon
Kunjarakarna Sajian Ki Ripta Carita
Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat dua fokus
penelitian, yaitu:
1. Apa
makna yang terkandung dalam lakon Kunjarakarna sajian Ki Ripta Carita.
2. Bagaimanakah hubungan makna lakon Kunjarakarna
sajian Ki Ripta Carita dengan upacara sadranan di Dusun Paladan Desa Tegalsari
Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung.
Untuk menjawab fokus penelitian di atas, peneliti
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Kemudian data yang sudah
diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis data model hermeneutika Paul
Ricouer.
Adapun hasil penelitiannya, Pertama, Pertapaan Budisita
merupakan perwujudan dari Bodhicitta yaitu benih ke-Buddhaan sebagai modal
utama untuk mewujudkan tekad yang luhur, yaitu untuk mencapai penerangan
sempurna yang dilandasi dengan rasa welas asih demi kebahagiaan semua makhluk.
Kedua, Kunjarakarna adalah makhluk yang berwujud raksasa. Sedangkan raksasa
merupakan makhluk yang berdiam dalam alam Asurakaya Bhumi yaitu alam raksasa
asura. Makhluk yang berada pada alam ini adalah makhluk yang melekat pada lima
kelompok kemelekatan. Yaitu kelompok kemelekatan jasmani, kelompok kemelekatan
perasaan, kelompok kemelekatan persepsi, kelompok kemelekatan bentuk-bentuk
pikiran dan kelompok kemelekatan kesadaran. Ketiga, Cakra Bhaswara merupakan
pengetahuan (mencapai penerangan) terhadap hidup dan kehidupan berdasarkan
Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan. Keempat, Begawan Buda Wilucana
yang pada hakikatnya adalah Bathara Kresna merupakan bagian dari Lima Buddha
Kebijaksanaan atau Dhyani Buddha sebagai sumber cahaya. Sehingga semua
perbuatan dari pikirannya, semua perbuatan dari ucapannya dan semua perbuatan
dari tubuhnya memancar ke segala penjuru. Dengan demikian, dia adalah guru bagi
semua makhluk yang mengajarkan kebenaran tentang hidup dan kehidupan. Kelima,
Sadranan merupakan upaya untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dengan
keyakinan yang berdasarkan pada pandangan mengenai hakikat kehidupan atau
pemahaman terhadap kenyataan dari segala sesuatu dengan memberikan penghormatan
kepada leluhur yang menjaga maupun mengajarkan tentang hakikat dari hidup dan
kehidupan tersebut.