PUASA, POSO, PASA, UPAWASA DAN UPAVHASA
Kata puasa dari bahasa dari bahasa Jawa yakni poso. Sementara poso berasal dari bahasa Kawi pasa (beberapa daerah dijawa masih tetap menggunakan kata Pasa).
Sedangkan pasa berasal dari kata upawasa yakni kata serapan dari bahasa Sanskerta Upavasha yang secara harfiah berarti pengekangan dan pengendalian diri, nafsu angkara murka pada diri, hasrat, dan keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Hyang Maha Tunggal (Tuhan YME / Allah SWT).
Pasa adalah satu bagian dari Brata. Brata adalah upaya mengendalikan diri terhadap tindakan atau perilaku untuk tetap dijalan dharma (kebaikan).
Secara umum, upawasa merupakan sebuah upaya untuk tidak menikmati makanan atau minuman selama satu hari atau lebih dan dijadikan pelengkap dari brata.
Puasa atau pasa dalam bentuknya ketika itu bisa dilakukan dalam bentuk tapa. Ini digambarkan dalam sumber tekstual berupa prasasti dan relief sebagai jejak awal konsep pengendalian atau pengekangan diri.
Pada Kakawin Ramayana, kisah Ramayana versi Jawa kuno yang berasal dari masa sebelum pemerintahan Mpu Sindok di Medang abad 10. Ditemukan istilah pasa-brata yang berarti aktivitas pasa.
Pada Prasasti Pucangan (1042 Masehi), menggambarkan kisah Airlangga yang memulai karir politiknya setelah lebih dahulu menjalani hidup sebagai pertapa , melaksanakan tapa brata dan pasa brata.Sebelum dinobatkan sebagai raja pada 1009, dirinya melakukan latihan rohani dua tahun di Gunung Pucangan.
Ketika masa akhir pemerintahannya, kemudian beliau membagi kerajaannya menjadi dua, Jenggala dan Panjalu selanjutnya beliau juga kembali menjalani tapa brata di pertapaan sekitar Gunung Pawitra (sekarang Gunung Penanggungan).
Aktivitas tapa brata dan pasa bratapun kemudian makin subur mendekati pada era akhir Majapahit. Pusat-pusat keagamaan banyak bermunculan di lereng gunung yang terpencil. Misalnya dalam sebuah prasasti pendek dari Gunung Nyamil yang berasal dari masa Majapahit akhir.
Di dalamnya disebutkan berbagai jenis bentuk tapa. Salah satunya disebutkan kata-kata hatapa racut. yang berkaitan dengan usaha pelepasan diri dari segala keburukan dalam diri.
Lelaku spiritual ini juga ada dalam relief di Candi Gambar Wetan, Blitar.
Laku spiritual tapa dan pasa brata sangat beragam, diantaranya pasa pati geni, pati karya, pati lelungan, pasa mutih, kungkum, wicara, ngrowot, pasa ngrame, pasa ngebleng dll.
Para leluhur Nusantara sudah mengerti betul hakikat puasa alias pasa dan tapa brata, sebelum ajaran-ajaran luar masuk Nusantara.
Maka dengan puasa dan tapa brata ini, orang Jawa tidak hanya memperoleh kedamaian hati, rasa ikhlas menerima kenyataan hidupnya.
Dengan laku puasa dan tapa brata sebagai makhluk sosial (homo socius) maka setiap individu diharapkan tidak hanya mendatangkan kebahagian dan kedamaian bathin bagi diri sendiri namun juga mewujudkan kebahagiaan dan kedamaian bagi sesama dan alam semesta dalam upaya HAMEMAYU HAYUNING BAWANA, JAGAD AGUNG JAGAT ALIT (Mengupayakan kedamaian dan kebahagiaan serta ketentraman alam semesta).
KEMENANGAN SEJATI
Kemenangan sejati adalah kemampuan untuk melawan nafsu angkara murka pada diri sendiri dan mewujudkan pribadi yang baik dengan keluhuran budi pekerti, tepa selira dan welas asih terhadap sesama serta lingkungan hidup, untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Untuk itulah kita berpuasa alias pasa brata dan tapa brata.