SEMAR BODRONOYO DALAM SPERPEKTIF VERSI
Anggapan Ki Semar di jaman sekarang hanyalah mitos atau cerita dongeng masa lalu, dan merupakan pikiran khayalan dari cerita wayang, baik wayang orang maupun wayang kulit.
Namun dalam mitologi wong Jawa, sudah tertanam dari leluhur secara turun temurun, hingga saat ini.
Terutama bagi beberapa golongan spiritual yang menganut budaya kejawen, mengatakan dapat merasakan kehadiran Ki Semar ketika bermeditasi.
Tentang lahirnya, asal-usul Ki Semar bervariai, di beberapa naskah diantaranya ada didalam :
1. SERAT KANDA.
2. PARAMAYOGA
3. PURWAKANDA
4. PURWACARITA
SERAT KANDA
Tokoh Semar dan sejarah Semar.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakimpoi, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang beranlgka tahun 1439
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
SERAT PARAMAYOGA
Jaka Sengkala sudah mati. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya Jaka Sengkala sempat membaca Serat Paramayoga yang ditulis Ronggowarsito. Isi surat itu lebih banyak menceritakan kodrat sepak terjangnya sebagai manusia yang bernama Aji Saka. Padahal dirinya di kampungnya lebih keren dikenal dengan Jaka Sengkala. Ia menanyakan pada Si Empu Ronggowarsito, kenapa sekarang tidak ada guru yang lahir lagi dari seorang ibu?Saat menja wab, Si Empu Ronggowarsito, hanya berkomentar: Manusia sekarang ini sudah memiliki pakaian. Manusia tidak perlu lahir dari rahim ibu!Aneh. Itu yang dirasakan Jaka Sengkala. Pernah suatu ketika dirinya dalam pengembaraan menemukan seorang manusia yang sedang duduk di atas lautan membikin tosan aji,bajra dan berbagai senjata lainnya. Manusia ini membikin senjata tidak menggunakan api dan sejenisnya. Senjata itu dibikin hanya dari tangan dan napasnya. Jaka Sengkala pun tahu itulah ayahnya sejati. Jaka Sengkala tahu yang ia temui tidak lain adalah Empu Anggajali. Pada Si Empu ini dirinya menanyakan , mengapakah sekarang tidak ada lagi guru lahir dari seorang ibu? Ketika menjawab pertanyaan Jaka Sengkala, Si Empu Anggajali hanya mengulangi jawaban Si Empu Ronggowarsito. Mendengar jawaban kedua empu tersebut Jaka Sengkala kian lunglai. Apakah maksud Pakaian? Pertanyaan ini terbawa dalam alam bawah sadarnya. Jaka Sengkala akhirnya tertidur. Maka esok hari ini Jaka Sengkala memutuskan mencoba mencari Ki lurah Semar. Beberapa orang dikampunya menganggap Ki Lurah Semar manusia setengah dewa. Pernah ia mendengar bisikan dari seseorang kalau Ki Lurah Semar punya aji aji yang keren. Kentut. Dari ceritera maupun testimoni orang orang kampung juga, kentut Ki Lurah Semar bisa memadamkam semburan asap bergolak dan amuknya api neraka! Naudzubillahimindalik. Wah keren. Berarti Ki Lurah Semar ini bisa menyelesaikan masalah-masalah rumit dunia. Lha masalah masalah akhirat saja bisa selesai! , gumam Jaka Sengkala dalam hati. Tanpa disangka, jawaban Ki Lurah Semar atas pertanyaan Jaka Sengkala agak sedikit lega. Jawaban yang melegakan. Jawaban yang Branding. Jawaban Ki Lurah Semar berkelabat dengan kecepatan cahaya merangkum ruang yang panjang.Begini Tole, pertanyaan yang kamu ajukan itu sebetulnya hanya dua saja. “Pengalaman” dan “berita”. Sama halnya dengan bedanya malam dan siang. Dalam hal berpakaian misalnya,. Setiap orang berpakaian, kan? Kapan pakaian itu dilepas, hanya soal waktu. Tubuh berfungsi sebagai pakaian, punya ukuran yang hanya pas uuntuk pemiliknya masing-masing. Tak bisa tubuh yang satu dipakai oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya. Jika terjadi yang demikian, muncul kekacauan. Seperti kerasukan. Orang yang kerasukan tak mampu lagi memegang dirinya sendiri. Tak mampu mengenali pakaianya lagi. Kemana-mana, kita memakai pakaian itu sehingga menjadi identitas. Tak tahunya malah menjadi beban. Selama hidup kita hanya disibukkan oleh pakaian itu. Mengapa orang mau berpikir keras perkara pakaian, mengapa orang mau berpikir tidak keras perkara pakaian? Setiap orang punya piliha, padahal tidak ada yang menyuruh memilih. Jaka Sengkala nanar. Betul juga petuah ki Lurah ini. Orang senang karena punya penampilan. Jaka Sengkala pernah direkam saat dirinya menjadi tukang sapu jalanan dengan memakai seragam yang apik, potongan maupun warnanya. Jika tidak suka berpenampilan, dianggap tidak punya selera, padahal orang memilih penampilan karena kebutuhan dan rasa kesadaran. Pakaian memang didudukkan paling depan lebih dari jati diri. Dari sini awalnya kesalahan penilaian. Jaka Sengkala cukup peduli soal pakaian, sedia makanan bervitamin dan kalori tinggi, tetapi Jaka Sengkala tiba-tiba mati dadak karena pakaiannya memberontak. Tahulah sekarang Jaka Sengkala alias Aji Saka siapa guru sebenarnya. Ki Lurah Semar, guru tanpa pernah berpakaian. Sebelum mati Jaka Sengkala mengulang membaca Serat Paramayoga yang ditulis Ronggowarsito. Mengapa tidak ada lagi guru yang lahir dari rahim ibu. Banyaknya para guru yang memiliki pakaian yang bercahaya. Pakaian itu menembus lorong kabut. Pakaian guru saat ini seluruh jejaknya diteranginya, tak mengenal bayangan lagi, tak mengenal gelap. Mereka dilahirkan dari pakaian yang terang benderang dengan warna warni. Jaka Sengkala telah mati. Guru sekarang lahir dari berjuta-juta pakaian. Dibandingkan dirinya dulu saat akan mencari Tirtamarta Kamandadhalu. Sungguh bersyukur Jaka Sengkala setelah memperoleh Tirtamarta Kamandadhalu, jadi insan kamil di Pulau Jawa. Jaka sengkala masih ingat nasehat ayahnya Empu Anggajali. Tole, siro yen wus samubarang anggayuh nglampahi dwijo kamukten, siro pangemuto sapada-pada, (Pada saat ilmu kamu genggam, tetaplah mengikuti ada-istiadat di kampungmu), disi lain dalam nasehat ayahnya, siro lelaku taberi ngati ati kalodangan manah manembah ing gusti murbehing jagat dewananta (tapi untuk urusan batin (iman), kamu janganlah sampai melupakan beribadah kepada Gusti Allah yang sesungguhnya).
SERAT PURWAKANDA.
Guna Rasaning Pandita.
Raja Kuripan, putra Resi Gentayu ingin menjadi maharaja seluruh tanah Jawa. Keluarganya menyetujui keinginan itu. Ia lalu muncul dengan tanda-tanda kebesaran yang lengkap sebagai raja besar, seperti lancang, bokor, bancak-dalang rusa emas, Ardawalika dan sebagainya. Gajah dan kuda dibawa kepada sang raja. Hal seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Sekalianya ini sudah diadakan oleh Dandang-gendis, karena bakatnya menemukan sesuatu. Akan tetapi musik gamelan lengkap belum ada, musik gamelan itu masih merupakan perangkat bunyi-bunyian menurut tata Seberang, terdiri dari Gong gendang, ketuk dan kecapi. Inilah baru alat-alat bunyi-bunyian yang ada.
Dandang-gendis bersinar sebagai matahari ditengah-tengah lingkungannya. Dia mempunyai pengetahuan dalam segala hal, dalam ilmu bahasa dan sastra, dan juga dalam ilmu kesenian. Ia cocok benar dengan patihnya yang bernama Jaksanagara, yang juga pecinta kesenian. Patih itu lalu berdiri dan mengumumkan kepada rakyat bahwa raja itu sekarang menjadi maharaja seluruh pulau Jawa yang tiada terbagi-bagi. Untuk selanjutnya ia akan memakai nama Resi Gentayu. Jadi nama ayahnya akan dipakainya. Sekalian rakyat menyetujuinya dengan suara yang gegap gempita, sedangkan musik gamelan ditabuh orang sebagai tanda penghormatan. Tembakan penghormatan dilepaskan. Mereka, yang dalam hubungan kekeluargaan lebih tua dari kanjeng sinuwun, memberi hormat kepadanya, yang muda-muda mencium kakiknya. Setelah itu mereka makan brsama-sama, mereka terus bersukaria sampai larut malam. Penobatan ini terjadi dalam tahun 763 M (Guna-Rasaning-pandita).
Akhirnya orang banyak itu bubar. Raja mengundurkan diri dalam keraton. Raja-raja taklukan sudah pulang ke negerinya masing-masing. Dengan cara inilah Gentayu menjadi raja. Putranya yang tertua bernama Dewakusuma yang bersaudara tida orang putri yang sudah dewasa. Dewakusuma sudah kawin dengan putri raja Panubun dari Bagelen bernama Candrawati.
Ketiga putri itu,saudara-saudara Dewakusuma, sudah bersuami pula. Seorang diantaranya bersuamikan putra raja Sandang-garba di Jungmara, seorang lagi putra raja Krungkala dari Bandung dan seorang lagi kawin dengan putra Tunggul-petung raja Prambanan.
Raja Gentayu bangga akan putranya, karena ia banyak mempunyai sifat-sifat yang baik dan terutama ia saangat alim. Ia bermaksud hendak mendirikan sebah keraton baru dan untuk itu dipilihnya rimba jenggala manik yang segera diciptakan sebagai kota.
KISAH PURWACARITA
Serat Purwacarita adalah sebuah bahan kelengkapan naskah yang penting pedoman dalam sebuah pangelaran wayang purwa sebagaimana terdapat dalam pewayangan, pakeliran dan pedalangan, pada awal kisah menceritakan pertualangan Jaka Pendhak dalam perjuangannya bersama Prabu Hểrnawa seorang raja dari Kerajaan Sambawapura yang dikemudian hari mengangkat Jaka Pendhak sebagai Radền Kalabumi karena setelah ia lama kehilangan saudaranya yang bernama Radền Kalabanyu, setelah berhasil menemukan saudaranya ia kembali mengangkat Radền Kalabumi sebagai Raja Malatar dengan gelar Prabu Hểrutala kemudian mengambil cerita legenda Prabu Jayalengkara, seorang raja dari Kerajaan Purwacarita.
Dalam Kisah Purwacarita, dikisahkan Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati, dari perkawinan ini mendapatkan (melahirkan) sebuah mustika sebutir telur yang bercahaya, karena kesal, Sang Hyang Tunggal membanting telur hingga pecah menjadi 3 bagian.
1. Dari cangkang, menjadi Antaga / Togog.
2. Dari putih telor, menjadi Ismaya.
3. Dari kuning telor menjadi Manikmaya.
Suatu hari Antaga, dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris tahta Kahyangan, kemudian keduanya berlomba atau adu seten atau adu kesaktian menelan gunung.
Antaga berusaha menelan gunung tersebut dengan sekali telan, hingga mengakibatkan mulutnya robek, dan matanya melebar.
Ismaya, menggunakan cara lain, dengan memakan gunung sedikit demi sedikit, setelah beberapa hari seluruh bagian gunung sudah berpindah ke tubuhnya, namun tidak berhasil mengeluarkan gunung tersebut, akhirnya dari situ Ismaya mempunyai tubuh bulat.
Mengetahui hal ini Sang Hyang Tunggal murka, karena melihat ambisi kedua Putranya dan di hukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya.
Manikmaya kemudian yang diangkat menjadi raja di Kahyangan, bergelar Bathara Guru.
Antaga dan Ismaya turun ke bumi memakai nama Togog dan Semar.
Semar kemudian mengayomi pertama kali kepada Resi Manumayasya, leluhur Para Pandawa.
Suatu hari Semar di serang 2 (dua) ekor harimau berwarna merah dan putih.
Kemudian Semar memanah kedua Harimau, yang ternyata merupakan penjelmaan dari 2 (dua) bidadari, yang bernama Kanistri dan Kaniraras yang telah di kutuk.
Kanistri kemudian menjadi istri Semar dan biasa dipanggil Kanastren.
Sementara Kaniraras menjadi istri Manumanasa, kemudian berganti menjadi Retnowati, karena Kakak Manumanasa juga bernama Kaniraras.
BETHARA GURU
Bathara Guru adalah salah satu tokoh dalam pewayangan. Ciri khasnya bisa dilihat dari bentuk wayangnya yang memiliki 4 tangan, dan menaiki seekor lembu. Bathara Guru adalah dewanya para dewa. Dikisahkan ia bernama Manikmaya putra bungsu dari Bathara Tunggal, ia memiliki 2 orang kakak yaitu Antaga / Tejamaya dan Ismaya. Pada suatu ketika, Tejamaya dan Ismaya sedang saling mencoba kesaktian mereka hal itu digunakan oleh Manikmaya untuk mengadu ke Bathara Tunggal bahwa Tejamaya dan Ismaya saling berkelahi memperebutkan tahta kahyangan para dewa padahal itu tidak benar. Bathara Tunggal pun marah, ia lalu mengusir keduanya turun ke dunia. Tejamaya diperintahkan agar menjadi pamong para jin, siluman, raksasa di alam Mayaloka/alam bawah dan berganti nama menjadi Togog. Ismaya diperintahkan menjadi pamong bagi para ksatria yang baik dan berbudi luhurnya di Janaloka/bumi dan berganti nama menjadi Semar Badranaya. Sedangkan Manikmaya pun akhirnya diangkat menjadi dewa nya para dewa dengan gelar Sanghyang Bathara Guru penguasa SwargaLoka/alam nya para dewa.
FILOSOFI SEMAR TOGOG MANIKMAYA
Dewi Rekatawati menelurkan sebutir telur yang bersinar. Sang Hyang Tunggal mengubah telur tersebut :
1. Kulitnya menjadi Sang Hyang Maha Punggung (Togog). Togog mengawasi/mengabdikan diri kepada Kurawa. Togog berkarakteristik mengajarkan tentang kesaktian, logika, kulit, watak keras, kuat, banyak omong, licik, sombong, membela Kurawa, keangkara murkaan.
2. Putih telur menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar). Semar mengawasi/mengabdikan diri kepada Pandawa sementara Batara Guru (atau Sang Hyang Manikmaya) memimpin para dewa di kahyangan.
Semar berkarateristik, mengajarkan ilmu tentang kedalaman spritual batin/roso, isi, ketenangan batin kebijaksanaan sekaligus guru para Pandawa.
3. Kuningnya menjadi Sang Hyang Manikmaya (Batara guru).
Kemudian waktu, Sang Hyang Tunggal menunjuk dua saudaranya yang lebih tua untuk mengawasi umat manusia,
Manikmaya (Batara guru) merupakan ajaran tentang cahaya Ketuhanan sifatnya kedewataan. Dewa/malaikat pasukan istana langit.
Dari karakter ketiga putra ini, penggambaran imajiner sisi spritual mana yang lebih dominan dlm diri kita.
MENURUT PEWAYANGAN JAWA
Dalam pewayangan Jawa, Ki Semar selalu disertai oleh anak anaknya :
1. Gareng.
2. Petruk.
3. Bagong.
Namun sesungguhnya ke 3 anak itu bukan merupakan anak Kandung,
Gareng merupakan anak dari seorang Pendeta yang terkena
Kutukkan
Petruk merupakan seorang putra Raja bangsa Gandharwa.
Bagong sendiri merupakan Bayangan Ki Semar berkat Sabda Sakti Resi Manumanasa. Semar memiliki fisik yang sangat unik, seolah-olah merupakan penggambaran jagad raya.
Tubuhnya yang bulat merupakan simbol bumi, wajahnya tua tapi mempunyai kuncung seperti anak kecil, simbol dari tua dan muda.
Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki Payudara permpuan, sebagai simbol Pria dan Wanita.
Ia merupakan penjelmaan dewa, tapi hidup sebagai manusia (rakyat jelata), simbol dari pimpinan dan bawahan.
Semar selalu tersenyum, tapi sering meneteskan air mata, sebagai simbol dari suka dan duka.
Beberapa Fakta bahwa Ki Semar ada dalam perwujudan manusia dan hadir di tengah masyarakat Jawa tepatnya pada Masa Prabu Brawijaya V, beliau menitis kepada seseorang yang bernama Sabda Palon.
Sabda Palon Noyo Genggong menjadi penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, yang memerintah tahun 1453-1478,
Hal ini tidak hanya bisa di jumpai dalam serat Darma Gandul saja, melainkan terdapat dalam bait bait terakhir ramalan Jayabaya (1135-1157).
Telah disebutkan yaitu bait 164 dan 172 yang menggambarkan sosok Putra Bathara Indra sebagai berikut :
1. Mumpuni sekabehaning laku, Nugel tanah Jawa.
2. Kaping pindo, Ngerahke Jin, Setan, Kumara Prewangan, para lelembut ke bawah perintah Saeko proyakinen ambantu manungsa Jawa.
3. Padha asesanti Tri Sula, Weda, Lan
dhepe triniji suci, bener, jejeg, jujur, kandherekake Sabda Palon lan Noyogenggong.
4. Nglurug tanpa bala, yen menang tan ngasorake liyan.
5. Para kawula padha suka-suka, marga adiling pangeran wIs teka, ratune nyembah kawula, angagem Trisula Wedha.
6. Para pandhita hiya padha muja, hiya iku momongane kaki.
7. Sabda palon, sing wis adu wirang nanging kondhang, genaha kacetha kanthi njingglang, ora ana wong gresula kuran hiya iku tandhane Kalabendhu wis minger,
8. Centi wektu jejering Kalamukti, andayani indering jagad raya, pada asung bhekti.
SEMAR DISEBUT ISMAYA
Dalam Kawruh Jawa Spiritual diyakini dengan suara tanpa rupa".dan disebut juga Mencolo putra dan mencolo putri, artinya bisa berwujud manusia biasa dalam wujud berlainan karena ada istilah menitis, Cakra Manggilingan.
SEMAR BODRONOYO
Semar adalah nama tokoh utama dalam punakawan di pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana dari India. Meski demikian, nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut (berbahasa Sanskerta), karena tokoh ini merupakan ciptaan tulen pujangga Jawa.
Semar adalah Tokoh pewayangan Jawa dan Sunda nama lain :
1. Janggan Smarasanta
2. Ki Lurah Badranaya
3. Ki Lurah Nayantaka
KARAKTERISTIK
Tubuh pendek, rambut pendek, wajah putih, bokong besar, perut buncit
Keistimewaan sakti dan bijaksana.
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tetapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tetapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
SEJARAH
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
ASAL USUL
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putri Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, tetapi tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
SILSILAH
Semar dalam Wayang golek
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak yaitu :
1. Batara Wungkuham
2. Batara Surya
3. Batara Candra
4. Batara Tamburu
5. Batara Siwah
6. Batara Kuwera
7. Batara Yamadipati
8. Batara Kamajaya
9. Batara Mahyanti
10. Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
PASANGAN PUNAKAWAN
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
KEISTIMEWAAN SEMAR
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, tetapi keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
MAKNA SIMBOLIK SEMAR
Wayang adalah lambang hidup dan kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak satu pun yang lebih ajaib dari manusia. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang mampu mengenal manusia secara tuntas. Manusia hanya bisa mengetahui serba sedikit tentang dirinya (Sri Mulyono, 1983: 11-12).
Masyarakat belum banyak mengetahui tentang makna simbolik wayang. Padahal tokoh-tokoh wayang, tidak terkecuali Panakawan sarat dengan makna simbolik yang terkait dengan kehidupan manusia. Di antara Panakawan yang paling terkenal adalah Semar. Oleh karena itu gagasan atau pandangan-pandangan tentang manusia di balik makna simbolik Semar perlu dikaji lebih lanjut, sebagai bagian dari usaha manusia Indonesia untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Menurut Carrel (1987: 11) umat manusia belum bisa memahami manusia sebagai suatu keseluruhan. Bahkan peradaban yang dibangun manusia tanpa sedikitpun pengetahuan tentang hakikat manusia yang sesungguhnya. Maka kajian makna simbolik Semar dalam kaitannya dengan kehidupan manusia menjadi penting.
Mengingat Semar mengandung makna simbolik, maka perlu adanya pemaknaan terhadap Semar. Dalam kaitannya dengan pemaknaan yang harus terus-menerus dikembangkan adalah upaya reaktualisasi, revitalisasi, dan rekonstruksi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini diharapkan agar dapat menghadapi tantangan perubahan kehidupan masyarakat. Jika tidak dilakukan pemaknaan simbolik tersebut maka cepat atau lambat wayang akan ditinggalkan oleh generasi muda (Musa Asy’arie, 2012: 1).
SEMAR DAN KEHIDUPAN MANUSIA
Alkisah dalam seni wayang, yang merupakan mula pertama menjadi bapak-ibu segala tokoh wayang ialah Hyang Manik Maya (Betara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Manik Maya dan Ismaya adalah putra Hyang Tunggal yang tidak diwujudkan wayang. Pada mulanya kedua putra tersebut berupa cahaya yang terjadi bersamaan waktu. Manik Maya berupa cahaya kemilau dan Ismaya berupa cahaya kehitaman. Kedua cahaya itu berebut lebih tua. Menurut Hyang Tunggal, cahaya kehitaman yang lebih tua dan diberi sifat-sifat manusia serta dititahkan untuk tinggal di dunia guna mengasuh keturunan Dewa yang berdarah Pandawa, kemudian diberi nama Semar.
Mengenai cahaya yang kemilau diberi nama Manik Maya dan tetap tinggal di Suralaya, kerajaan Dewa. Sesungguhnya kedua tokoh tersebut melambangkan tentang manusia. Ismaya melambangkan tubuh manusia dan Manik Maya melambangkan halusnya batin manusia. Kasarnya tubuh manusia (Semar) senantiasa melindungi Pandawa Lima yang sebetulnya berupa panca indera. Maka ia senatiasa menjaga keselamatan Panca indera (Pandawa), yakni indera hidung (Yudistira), indera telinga (Wrekodara), indera mata (Arjuna), indera mulut (Nakula), dan indera perasa untuk meraba (Sadewa) yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh dalam Pandawa Lima (Hardjowirogo, 1982: 11-12).
Para tokoh Pandawa lima yang terdiri dari Yudistira, Wrekodara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mengandung makna simbolik perjuangan manusia yang ingin mencapai kebahagian harus menjaga kelima panca indera jangan sampai menempuh jalan yang salah. Demikianlah penjagaan Semar demi kesejahteraan Pandawa Lima, yakni supaya mereka menjauhkan diri dari permusuhan dengan Korawa. Makna simboliknya supaya dapat memerangi dan menjauhkan diri dari amarah. Akan tetapi Hyang Guru (indera batin) selalu datang menggoda dan mudah menggerakkan indera menuju pada perbuatan yang salah. Maka Pandawa Lima dan Korawa pun tidak henti-hentinya berperang, sehingga pada peperangan penghabisan, Baratayuda, Pandawalah yang jaya dan mendapatkan kemenangan. Makna simbolik yang terkandung di dalamnya, bahwa kebenaran dan kesalahan selalu berebut pengaruh dalam kehidupan manusia, hanya dengan pengendalian dan penjagaan panca indera yang terus menerus maka kebenaran akan menang. Pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang, dan kesalahan akan kalah.
Para tokoh Pandawa Lima selalu dikawal oleh Semar. Menut Poedjosoebroto (1978: 137-138) kesemuanya itu mempunyai makna simbolik dalam perjuangan hidup manusia. Berikut ini akan diuraikan makna simbolik Semar tersebut.
Semar sebagai bagian dari seni wayang tentunya ada makna simboliknya yang berkaitan dengan perjalanan hidup manusia di dunia ini. hal inilah yang perlu dikupas dan dicari. Bagaimana makna simbolik dalam adegan terakhir dari seluruh pagelaran wayang yakni joged golek. Dalam joget golek tersebut dalang memainkan boneka dari kayu yang disebut golek. Adegan ini mengandung makna simbolik, bahwa penikmat wayang diharapkan mencari (bahasa Jawa: golek) makna dibalik wayang baik berkaitan dengan lakon atau tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Tanpa dikupas makna simboliknya, wayang akan sekedar menjadi tontonan saja tidak bisa menjadi tuntunan. Maka perlu dikupas makna simboliknya supaya wayang bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan dalam kehidupan manusia.
Semar sering disebut dengan nama Ismaya atau Asma-Ku yang merupakan lambang ibadat, mengabdi kepada Allah. Semar selalu ngemong (sebagai pemomong) Pandawa Lima, maknanya untuk mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat, semua panca indera (Pandawa: Yudistira (indera hidung), Wrekodara (indera telinga), Arjuna (indera mata), Nakula (indera mulut), dan Sadewa (indera perasa)) penggunaannya harus dilandasi ibadat. Panca indera harus selalu digunakan, dilandasi, dan dikendalikan dengan niat ibadat. Semua hal apabila dilandasi dengan niat ibadat maka akan mencapai kebahagiaan, memiliki nilai ibadat yang tinggi.
Semar selalu mengadah ke atas, mendongak. Maknanya bahwa dalam beribadat hanyalah untuk keridhoan Gusti Pengeran Kang Akaryo Djagad. Di dalam beribadat seharusnya ikhlas hanya demi Gusti Pengeran Kang Akaryo Djagad.
Semar juga sering disebut Badranaya. Badra artinya kebahagiaan atau kesejahteraan. Sedangkan Naya artinya kebijaksanaan atau politik. Badranaya artinya politik kebijaksanaan, ialah kebijaksanaan yang menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Pemerintah yang memimpin rakyatnya seharusnya selalu dilandasi dan menjalankan ibadat agar mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan sejati di dunia dan di akhirat (Poedjosoebroto, 1978: 51).
Badra dapat berarti pula bulan yang membawakan kebahagiaan. Badra dapat pula berarti usaha yang dapat membawakan kebahagiaan, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran.
Semar dapat diartikan sebagai Panakawan yang maknanya abdi. Pana = tahu, kawan = teman. Panakawan berarti tahu akan kepentingan teman, tahu akan kepentingan umum. Menjadi Panakawan artinya mengabdi akan kepentingan umum, mengabdi kepada masyarakat. Harus memiliki jiwa sosial yang penuh pengabdian dan kebaktian, tidak mementingkan diri sendiri.
Lebih tinggi ilmu dan kedudukannya, manusia harus lebih tinggi pengabdiannya kepada masyarakat yang selalu dilandasi dengan ibadat. Seorang pemimpin terlebih para pemimpin negara harus bisa menyadari dan mengamalkan pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Sebaliknya rakyat juga harus menyadari pula mengabdi kepada sesama rakyat dan dilandasi dengan niat ibadat.
Jadi politik bijaksana menuju kepada kebahagiaan, yaitu selalu memberi contoh dan memimpinn rakyat untuk selalu beribadat. Dengan demikian Negara akan stabil. Dalam suatu cerita pewayangan, jika Semar berwujud ksatria ia bersemayam dipertapaan Kandang Penyu. Hal ini mengandung makna bahwa ibadat adalah wadah atau sarana untuk mengadakan penyuwunan (permohonan).
Semar dalam kaitannya dengan kehidupan manusia mengandung makna simbolik yang menggambarkan pengendalian diri panca indera (Pandawa) manusia melalui ibadat, serta pengabdian kepada masyarakat mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Semar bukanlah semata-mata tokoh dalam seni pewayangan saja, tetapi mengandung ajaran luhur yang bisa dijadikan tontonan sekaligus tuntunan bagi perjalanan dan perjuangan hidup manusia. Maka Semar selalu mengikuti Janaka. Janaka dapat dilacak dari kata janna + ka = sorga + mu (Swargamu). Maknanya pengendalian diri manusia dengan ibadat dan pengendalian diri kepada masyarakat itulah yang dapat mengantarkan manusia mencapai sorga-kejayaan, kebahagaiaan dunia dan akhirat.
Makna simbolik Semar tersebut menunjukkan salah satu segi dari sifat kelenturan wayang. Hal ini merupakan salah satu penyebab wayang tetap bisa eksis dan diterima dalam berbagai zaman. Sebagaimana dikemukakan oleh Sri Tedy Rusdy (2012: 2) bahwa dibalik keketatan dan kesetiaan wayang kepada sumber pokok yakni cerita Mahabarata dan Ramayana, wayang sesungguhnya begitu lentur mengikuti selera zaman. Sifat lentur dan elastis wayang inilah yang menjadi salah satu aspek penting sehingga wayang tetap bertahan di tengah-tengah budaya kontemporer. Maka dengan sifat lentur melalui daya simboliknya inilah Semar yang merupakan bagian dari seni wayang menemukann maknanya dalam kehidupan manusia.
MAKNA FILOSOFI PUNOKAWAN
Semae secara harafiah berarti : Sang Penuntun Makna Kehidupan. Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya. Dari kata Bebadra ( Membangun sarana dari dasar ) dan Naya atau Nayaka ( Utusan mangrasul ). Arti Badranaya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Tentang Semar.
1. Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya
kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".
2. Rambut semar kuncung (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan :
akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
3. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar :
1. Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
2. Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan.
3. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
4. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok.
5. Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang Keesaan, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan ekspresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
GARENG
Gareng adalah punakawan kedua setelah Semar. Gareng adalah anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diambil anak angkat pertama oleh Semar. Nama lain gareng adalah : Pancalpamor ( artinya menolak godaan duniawi ). Pegatwaja ( artinya gigi sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang penyakit). Nala Gareng (artinya hati yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik).
Ciri fisik Gareng :
1. Mata juling artinya tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan/ tidak baik.
2. Tangan ceko (melengkung) artinya tidak mau mengambil/ merampas hak orang lain.
3. Sikil gejik (seperti pincang) artinya selalu penuh kewaspadaan dalam segala perilaku.
Gareng senang bercanda, setia kepada tuannya, dan gemar menolong. Dalam pengembaraannya pernah menjadi raja bernama Prabu Pandu Bergola di kerajaan Parang Gumiwang. Ia sakti mandraguna, semua raja ditaklukkannya. Tetapi ia ingin mencoba kerajaan Amarta ( tempat ia mengabdi ketika menjadi punakawan). Semua satria pandawapun dikalahkannya. Sementara itu Semar, Petruk dan Bagong sangat kebingungan karena kepergian Gareng.
Untunglah Pandawa mempunyai penasehat yang ulung, yaitu Prabu Kresna. Ia menyarankan kepada Semar, jika ia ingin bertemu dengan Gareng relakanlah Petruk untuk untuk menghadapi Pandu Bergola. Semar tanggap dengan ucapan Krena, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir Semua raja juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya. Melihat kegamangan Petruk, Semar mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu petruk menjadi semangat dan girang, kemudian ia berangkat menghadapi Pandu Bergola.
Saat Pandu Bergola sudah berhadapan dengan Petruk, ia selalu membelakangi ( tidak mau bertatap muka), jika terpaksa bertatap muka ia selalu menunduk. Tetapi Petruk senantiasa mendesak untuk bertanding. Akhirnya terjadilah perang tanding yang sangat ramai, penuh kelucuan dan juga kesaktian. Saat pergumulan terjadi Pandu Bergola berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk belum menyadarinya. Pergumulan terus berlanjut ........ sampai pada akhirnya Semar memisahkan keduanya. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola ...... Petruk memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh girang. semua keluarga Pandawa ikut bersuka cita karena abdinya telah kembali.
Gareng ditanya oleh Kresna, mengapa melakukan seperti itu. ia menjawab bahwa dia ingin mengingatkan tuan-tuannya (Pandawa), jangan lupa karena sudah makmur sehingga kurang/ hilang kehati-hatian serta kewaspadaannya. Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh dengan tiba-tiba? negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada rajanya. Pandawa merasa gembira dan beruntung punya abdi seperti Gareng.
Makna yang terkandung dalam kisah Gareng adalah :
1. Jangan menilai seseorang dari wujud fisiknya. Budi itu terletak di hati, watak tidak tampak pada wujud fisik tetapi pada tingkah dan perilaku. Belum tentu fisiknya cacat hatinya jahat.
4. Manusia wajib saling mengingatkan.
3. Jangan suka merampas hak orang lain.
5. Cintailah saudaramu dengan setulus hati.
6. Kalau bertindak harus dengan penuh perhitungan dan hati-hati.
PETRUK
Petruk adalah anak Gandarwa (sebangsa jin), menjadi anak angkat kedua Semar setelah Gareng.Nama lain Petruk adalah Kanthong Bolong, artinya suka berdema. Petruk paling pandai dan pintar bicara daripada 2 saudaranya (Gareng dan Bagong).
Petruk tinggal di Pecuk Pecukilan. Ia mempunyai satu anak yaitu Bambang Lengkung Kusuma (seorang yang tampan). Sedangkan istrinya bernama Dewi Undanawati.
Sebagai punakawan Petruk selalu menghibur tuannya ketika dalam kesusahaan menerima cobaan, mengingatkan ketika lupa, membela ketika teraniaya. Intinya bisa momong (bisa mengasuh), momot (dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah.), momor (tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung.),mursid (pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya) dan murakabi (bermanfaat bagi sesama).
Tentang Petruk.
Pada suatu waktu Pandawa kehilangan jimat Kalimasada. kehilangan jimat ini artinya Pandawa lumpuh karena hilang kebijaksanaan dan kemakmuran, keangkaramurkaan timbul dimana-mana. Jimat ini dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak Arjuna) dengan disertai Petruk berusaha merebut jimat tersebut dari tangan Mustakaweni. Akhirnya jimat tersebut berhasil direbut dan dititipkan kepada Petruk.
Sementara itu ternyata Adipati Karna juga berhasrat memiliki jimat tersebut. petruk ditusuk dengan keris pusaka yang ampuh yaitu Kyai Jalak, Petrukpun mati seketika. Atas kesaktian ayahnya (Gandarwa) Petruk dihidupkan lagi. Kemudian ayahnya tersebut ingin menolong Petruk dengan berubah wujud menjadi Duryudana. ketika Karna bertemu Duryudana jimat kalimasada diserahkan kepadanya. Betapa terkejutnya Karna mengetahui telah diperdaya oleh Gandarwa. Akhirnya jimat tersebut oleh Gandarwa diserahkan kembali kepada Petruk, dan dia menasehati kalau menghadapi musuh Petruk harus hati-hati dan jimat tersebut diminta untuk diletakkan di atas kepalanya. Ternyata setelah jimat tersebut diterapkan sesuai anjuran ayahnya Petruk menjadi sangat sakti, tidak mempan senjata apapun. Karna-pun dapat dikalahkannya.Tak terasa akhirnya Petruk terpisah dengan tuannya Bambang Irawan. Petrukpun mengembara, semua negara ditakhlukkannya termasuk negara Ngrancang Kencana. Petruk menjadi raja disana dan bergelar Prabu Wel Keduwelbeh. Sedangkan raja yang asli menjadi bawahannya. Begitulah ketika Punakawan kalau sudah mengeluarkan kesaktiannya tidak ada manusiapun yang dapat menandinginya.
Ketika akan mewisuda dirinya, semua raja negara bawahan yang ditaklukkannya hadir termasuk Astina. Yang belum hanya Pandawa, Dwarawati, dan Mandura. Semula ketiga raja negar tersebut tidak mau hadir, tetapi setelah Pandawa dan Mandura dikalahkan akhirnya Raja Dwarawati (Prabu Kresna) menyerahkan hal ini kepada Semar. Oleh Semar Gareng dan Bagong diajukan sebagai wakil dari Dwarawati. Terjadilah peperangan yang sangat ramai antara Prabu Wel Keduwelbeh dengan Gareng dan Bagong, peperangan tidak segera berakhir karena belum ada yang menang dan belum ada yang kalah, sampai ketiganya berkeringat. Gareng dan Bagong akhirnya bisa mengenali bau keringat saudaranya Petruk dan yakin bahwa orang yang mengajak bertarung itu sesungguhnya adalah Petruk, maka mereka tidak lagi bertarung kesaktian tetapi malah diajak bercanda, berjoged bersama, dengan berbagai lagu dan tari. Wel Geduwelbeh merasa dirinya kembali ke habitatnya, lupa bahwa dia memakai pakaian kerajaan. Setelah ingat .... ia segera lari meninggalkan Gareng dan Petruk. Wel Geduwlbeh dikejar oleh Gareng dan Bagong setelah tertangkap, sang prabu dipeluk dan digelitik oleh Bagong sampai Petruk kembali ke wujud aslinya.
Setelah terbuka semua Petruk ditanya oleh Kresna mengapa ia bertindak seperti itu. ia beralasan bahwa tindakan itu untuk mengingatkan tuannya bahwa segala perilaku harus diperhitungkan terlebih dahulu. Contohnya saat membangun candi Sapta Arga, kerajaan ditinggal kosong sehingga kehilangan jimat Kalimasada. Bambang Irawan jangan mudah percaya kepada siapa saja. Kalau diberi tugas sampai tuntas jangan dititipkan kepada siapapun. Setelah menjadi raja jangan sombong dan meremehkan rakyat kecil, karena rakyat kecil kalau sudah marah/ memberontak pimpinan bisa berantakan. Dengan cara inilah Petruk ingin menyadarkan tuannya, karena kalau secara terang-terangan pasti tidak dipercaya bahkan mungkin dimarahi.
Bagaimanapun Petruk merasa bersalah, kemudian ia minta maaf. Pandawapun akhirnya memaafkan Petruk dan dengan senang hati menerima nasihat Petruk.
Inti pendidikan budi pekerti yang bisa diambil dari cerita diatas :
1. Budi dan watak tidak dapat diukur dari penampilan/ fisik, tetapi dengan perilaku nyata.
2. Bawahan harus setia pada atasan
3. Mengerjakan tugas hingga tuntas dan diusahakan berhasil dengan baik
4. Jangan merebut hak dan milik orang lain
5. Semua tindakan harus dengan penuh perhitungan, jangan ceroboh dan tergesa-gesa mengambil keputusan.
6. milikilah watak momong, momot, momor,mursid, dan murakabi
7. Kalau sudah mulia jangan terlena
8. Kalau salah harus berani mengakui dan meminta maaf
BAGONG
Bagong adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk. Diceritakan ketika itu Gareng dan Petruk minta dicarikan teman, sanghyang Tunggal bersabda : Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri. Seketika itu bayangan berubah menjadi manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.
Tentang Bagong
Ciri-ciri Bagong :
1. Bagong berbadan pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut lebar.
2. Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan.
3. Beradat lancang, tetapi jujur, dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas terkadang tergesa-gesa kurang perhitungan.
4. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor di leher.
Ada yang mengatakan kalau Bagong berasal dari kata Baghoo (bahasa Arab) yang artinya senang membangkang/ menentang, tidak mudah menurut atau percaya pada nasihat orang lain. Ini juga menjadi nasihat pada tuannya bahwa manusia didunia ini mempunyai watak yang bermacam-macam dan perlu diperhatikan dan diwaspadai dari watak dan karakter masing - masing watak tersebut.
Inti pendidikan dan budi pekerti :
1. Hidup ini perlu hiburan
2. Setiap tindakan jangan tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, harus diperhitungkan terlebih dahulu, minimal dampak negatif dan positif yang akan timbul akibat dari perbuatan kita.
3. Pelajari berbagai macam watak/ karakter manusia agar kita bisa hidup bermasyarakat dengan baik.
4. kejujuran modal utama dalam bermasyarakat, tanpa itu kita akan dijauhi oleh orang lain.
MAKNA FILOSOFI SEMAR
Semar dalam paham Filosofi Jawa disebut juga Badranaya
Badra = Bebadra = Membangun Sarana Dari Dasar.
Naya = Nayaka = Utusan Mangrasul
Maknanya :
Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia.
SEMAR VERSI JAWA
Semar = Haseming Samar-samar (tidak tersenyum dan juga tidak tertawa, tampak samar-samar), makna kehidupan dari Sang Penuntun.
Semar itu bukan lelaki atau pun perempuan. Tangan kanannya selalu mengarah ke atas dan tangan kirinya ke belakang.
Semar Haseming Samar-samar.
(Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun)
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya bermakna berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar kuncung (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar berjalan menghadap keatas maknanya : dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di muka bumi.
(SEMAR VERSI BUDAYA)
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, salah satunya yang kali ini akan kita bahas disini yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa, tokoh wayang Semar, ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang Keesaan yaitu Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual.
Pengertian ini merupakan suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh wayang Semar ini akan dapat dikupas dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa.
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya.
Bebadra = Membangun sarana dari dasar.
Naya = Nayaka = Utusan yang mangrasul.
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.
Arti nama Semar (Javanologi) = Haseming samar-samar
Arti Harafiahnya : Sang Penuntun Makna Kehidupan.
Semar bukan lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas maknanya : Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal dan tangan kirinya kebelakang, bermakna kepasrahan total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.
Ciri sosok Semar adalah :
1. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa.
2. Semar tertawanya selalu diakhiri nada tangisan. Menggambarkan kehidupan dunia yang berubah-ubah. Kebahagiaan / kesenangan dan kesusahan / kesedihan.
3. Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Makna Rambut semar berkuncung (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) adalah hendak mengatakan bahwa : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
4. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok. Ini menggambarkan tingkatan tinggi & rendah serta kesombongan dan kerendahan hati dalm kehidupan duniawi.
5. Jabatan Semar sesuai domisilinys adalah sebagai lurah kampung karangdempel / (karang berarti = gersang dan dempel berarti = keteguhan jiwa.)
6. Semar dalam kisah pewayangan tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
7. Semar berjalan menghadap keatas, maknanya : dengan perwujudannya ini ia memberikan teladan bahwa dalam perjalanan anak manusia agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat.
Kain semar Parangkusumorojo perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono (menegakan keadilan dan kebenaran di bumi).
Semar (sebagai pralambang dalam ngelmu gaib) adalah kasampurnaning pati (menuju kematian yang sempurna). Gambar Semar dalam bentuk kaligrafi Jawa tersebut disini bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur kamurkan Mardika artinya merdekanya jiwa dan sukma, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa.
Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup.
SEMAR DALAM BAHASA ARAB
Tokoh Semar diambil dari bahasa Arab yaitu Sinar yg artinya paku.
Pesan yg terkandung didalamnya adalah agar seorang muslim memiliki pendirian dan iman yg kokoh bagai paku yang tertancap.
Namun dlm filosofi Jawa, Semar yg nama lainnya adalah Badranaya, berasal dari kata Bebadra, yang memiliki arti membangun sarana dari dasar, sedangkan Naya, berasal dari kata Nayaka, yang artinya utusan mangrasul. Sehingga secara filosofis, Semar memiliki arti mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Gusti Allah demi kesejahteraan manusia.
Menurut Javalogi : Semar, haseming samar-samar, yang dlm pengertian harafiah Sang Penuntutan makna Kehidupan.
MAKNA LAIN
Tangan kanan ke atas Semar adalah simbol dari Sang Hyang Akarya Jagad. Sedangkan tangan kirinya ke belakang mengartikan berserah diri total dan mutlak, serta simbol keilmuan sejati.
Semar sebagai Lurah Karang Dempel, bermakna; Karang = kokoh, Dempel = keteguhan jiwa.
Rambut Semar berbentuk kuncung putih, maknanya Akuning Sang Kuncung Sejati, sebagai pribadi pelayan suci, mengabdi sepenuh hati.
Semar sebagai pelayan mengejawantah dan melayani tanpa pamrih, melaksanakan tuntunan sesuai dengan Sabda Sang Hyang Wenang, Gusti Kang Murbeng Dumadi. Semar berjalan menghadap ke atas, maknanya memberikan teladan agar manusia selalu memandang ke atas, ke Gusti Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kain Semar adalah bercorak Parangkusumaraja, sebagai perwujudan Dewanggawantah, untuk menuntun manusia agar Memayu Hayuning Bhawana, mengadakan keadilan dan kebenaran di muka bumi.
CIRI KHAS SEMAR
1. Semar berkuncung seperti kanak-kanak, namun berwajah sangat tua.
2. Semar tertawanya selalu diakhiri dengan suara nada tangisan.
3. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa.
4. Semar berperawakan berdiri sekaligus seperti berjongkok.
5. Semar tidak pernah menyuruh, namun bertanggung jawab atas konsekuensi dari nasehatnya.
Budaya Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya tokoh Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan impor dari Hindu, Budha dan Islam di Tanah Jawa.
Di dunia spiritual Jawa, tokoh Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan simbolis tentang Keesaan Tuhan, sebagai perlambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Tuhan, menunjukkan konsepsi spiritual Jawa.
Pengertian ini suatu bukti kuat bahwa orang Jawa sejak jaman dahulu adalah Orang Religius dan berkeTuhanan Yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar ini, dapat dikupas, dimengerti, dan dihayati, wujud religi yang telah dilahirkan oleh Kebudayaan Jawa.
Gambaran tokoh Semar merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek dan sifat Tuhan. Semar dianggap sebagai pralambang ngelmu gaib, dan kasampurnaning urip lan pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur kamurkan mardika. Ini bermakna bahwa merdeka jiwa dan sukma, tidak dijajah oleh hawa nafsu keduniawian, sehingga menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa.
Manusia Jawa sejati, dalam membersihkan jiwa dan sukmanya itu Ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna dur kamurkane. Artinya, dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup.
MAKNA FILSAFAT HA-NA--CA-RA-KA
DALAM LAKON SEMAR MBABAR JATI DIRI
Dalam Etika Jawa (Sesuno, 1988 : 188) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan Jawa adalah punakawan "Abdi Pamomong" yang paling dicintai. Apabila dia muncul selalu disambut oleh simpati para penonton. Seakan para penonton itu merasa berada di bawah pengayomannya.
Mitologi Jawa, menganggap Semar merupakan tokoh sakti berasal dari Jawa (Hazeu dalam Mulyono 1978:25 ). Ia merupakan Dewa Asli Jawa yang paling berkuasa (Brandon dalam Suseno, 1988 : 188).
Meskipun berpenampilan sederhana sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah Dewa di atas semua dewa. Ia adalah Dewa yang menjelma menjadi manusia, kemudian menjadi Pamong para Pandawa ksatria utama, yang tidak terkalahkan.
Para Pandawa diyakini merupakan nenek moyang Raja-raja Jawa (Poedjowijatno, 1975 : 49), dan SEMAR diyakini sebagai PAMONG dan DANYANG Pulau Jawa, bahkan seluruh dunia (Geertz 1969 : 264).
Semar merupakan pribadi bernilai paling bijaksana, berkat sikap batinnya dan bukan karena sikap lahir atau pun keterdidikannya (Suseno 1988:190). Ia merupakan pamong sepi ing pamrih, rame ing ngawe, sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bhawana, menjaga kedamaian dunia (Mulyono, 1978:119 dan Suseno 1988:193).
Dari segi Etimologi (Mulyono 1978:28), Semar berasal dari sar yang berarti sinar cahaya. Jadi, Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau Dewa Cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrahsa (Mulyono 1978:18), yang di dalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau Sifat Ilahiah.
Semar memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan kesaktian, ini juga merupakan simbol bersifat ilahiyah. (Mulyono 1978:118 – Suseno 1988:191).
Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto (1969:31) berpendapat dan menggambarkannya dalam bentuk Kaligrafi, Tubuh Semar penuh dengan Kalimat Ilahiyah.
Sifat ilahiyah itu ditunjukkan pula dengan sebutan Badranaya yang juga berarti pimpinan Rahmani yakni Pimpinan yang penuh dengan belas kasih. Semar juga dijadikan simbol rasa eling, rasa ingat (Timoer 1994:4), yakni ingat kepada Sang Hyang Widhi, Sang Maha Pencipta dan segala ciptaanNya sekalian alam semesta.
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiyah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pewayangan disuguhkan lakon Semar Mbabar Jati Diri. Gagasan tersebut muncul dari Presiden Soeharto di hadapan para Dalang, saat mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta, pada 20-23 Januari 1995. Tujuannya agar para Dalang ikut serta menyukseskan program pemerintah dalam Pembangunan Manusia Seutuhnya, termasuk Pembudayaan P4 (Cermomanggolo 1995:5) dalam hal ini kita bisa mengambil hikmah yang baiknya dan sesuai dengan norma-norma di peradaban bangsa kita.
Gagasan itu disambut hangat oleh para Dalang dengan menggelar lakon Semar Mbabar Jati Diri tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan Manteb Soedarsono (Cermomanggolo 1995:5 – Arum 1995:10).
Dikemukan oleh Arum (1995:10) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon Semar Mbabar Jadi Diri, diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh Sangkan Paraning Dumadi, ilmu asal muasal dan tujuan hidup, yang digali dari Filsafat Aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
Pemahaman dan penghayatan kawruh Sangkan Paraning Dumadi itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer (1994:4), bahwa Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai Sumber Daya Hidup, yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup.
Sumber Daya Hidup itu disimbolkan dengan Semar sebagai Sastra Dentawyanjana. Dan mengacu pada pendapat Warsito (Ciptoprawiro 1991:46) bahwa Aksara Jawa itu diciptakan oleh Semar, maka tepatlah jika pemahaman dan penghayatan kawruh Sangkan Paraning Dumadi tersebut bersumber dari Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
SEMAR BANGUN KAHYANGAN & SEMAR DADI RATU.
Semar merupakan tokoh pamomong yang memiliki berbagai makna dan filosofi pitutur ilmunya orang Jawa dia juga sebagai dahhyang utusan Tuhan untuk ngemong smesta maupun sebagai simbol filosofi spritual pitutur pakerti.
Wahyu semar turun bangun kahyangan yg artinya adlh sebagai simbol untuk mnata khidupan didunia,baik mnata diri pribadi, keluarga, lingkungan & negara. Wahyu/pulung ini akan turun di setiap jaman ketika jaman itu sudah mulai mngalami kmunduran kerusakan mental merajalela dimana-mana khancuran dimana-mana.
Semar ini juga sebagai simbol semesta raya maupun manusia itu sendiri singgah sana semar bertempat di desa karang kadempel di klampis ireng yang artinya desa karang kadempel adalah hati kita yg samar tidak dapat dilihat mata fisik Semar ini sebagai simbol hati nurani kita ketika hati nurani kita mulai bangkit bergerak memunculkan rasa kasih terhadap sesama dan alam itulah dinamakan Semar ketika hati nurani kita muncul mka ksadaran fikiran kita akan di banjiri oleh energy kasih kebaikan yang muncul dari hati nurani sehingga dapat menata fikiran kita itulah dinamakan semar bangun kahyangan. Kahyangan ini adalah simbol fikiran angan-angan kita.
Ketika manusia mau menyadari ksadaran hati nuraninya yang paling dalam maka fikiranya akan terkontrol terbangun untuk bergerak menata khidupan yang lebih baik,baik di keluarga lingkungan maupun negara.
Setelah itu lalu muncul wahyu Semar jadi ratu adalah simbol turunya wahyu/pulung sebuah pemimpin yg adil arif berwibawa bijak sana itulah yang di sebut turunnya wahyu semar jadi ratu inilah yang di sebut ratu adil sebuah pemimpin yang adil arif bijak sana berbudi pakerti luhur yang mampu mnata khidupan berbangsa dan bernegara memberikan keadilan itulah yang di sebut kesatria piningit yg bergelar nama ratu adil.