WAJAH PATIH GAJAH MADA
Ada sebuah Arca yang berada di Museum Nasional bernama Kertala atau disebut juga Arca Brajanata. Museum Nasional memberi nomor inventaris 310d dan disebut berasal dari Gunung Penanggungan. Arca Kertala atau Arca Brajanata oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin dikatakan merupakan perwujudan lain dari Mahapatih dari Kerajaan Majapahit, yaitu : Mahapatih Gajah Mada. Pada suatu hari Prof. Dr. Muhammad Yamin pernah mengunjungi Trowulan untuk melihat jejak-jejak Kerajaan Majapahit. Saat itulah Prof. Dr. Muhammad Yamin menemukan pecahan terakota berupa kepala pria berwajah gempal dan berambut ikal. Menurut pendapatnya Arca Kertala atau Arca Bratanala ini digali dekat puri Gajah Mada di Trowulan, Majapahit.
Prof. Dr. Muhammad Yamin mengidentifikasi bahwa wajah itu sebagai wajah Gajah Mada. Menurutnya dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, air muka arca itu penuh dengan kegiatan yang mahatangkas. Wajahnya menyinarkan keberanian seorang ahli politikus yang berpandangan jauh.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Arkeolog dari Universitas Indonesia, bernama Agus Aris Munandar berpendapat lain soal wajah Gajah Mada. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, ia menjelaskan arca Brajanata dan Bima sebagai dua perkembangan dari penggambaran Gajah Mada.
Mahapatih Gajah Mada atau Mpu Mada sudah meninggal dunia 1364 Masehi, dal versi yang lain dianggap mokhsa namun tetap dikenang dan pada masa Majapahit dianggap sebagai titisan Dewa. Menurut pendapat dari Agus Aris Munandar :
" Gajahmada dipandang sebagai dewata yang dapat dimintai pertolongan masyarakat yang sengsara akibat peperangan,”
Selepas Hayam Wuruk, perang terus terjadi di Majapahit. Pada masa itu pula arca-arca perwujudan Gajah Mada terus diciptakan. Nampaknya masyarakat ingin mendatangkan kembali masa gemilang pemerintahan raja dan patihnya itu.
GAJAH MADA
(perdana mentri Majapahit)
Gajah Mada (lahir ca. 1290, wafat ca. 1364), dikenal dengan nama lain Jirnnodhara adalah seorang panglima perang dan mahapatih yang merupakan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Gajah Mada menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Gajah Mada menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia dan persatuan Nusantara.
Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi dari Mohammad Yamin, di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara", terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin mengunjungi Trowulan untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan pecahan terakota, salah satunya celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasar air muka wajah celengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada sang pemersatu Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang menentang pendapat Yamin, karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Hal semacam itu adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman Hindu Buddha, termasuk Majapahit, diarcakan. Beberapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang disangka Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri.
Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin, yakni hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Dia mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang. Dalam media populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa keris. Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan (lapis logam di depan dada breastplate) berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.
Menurut Munandar, pada awalnya Gajah Mada diarcakan sebagai tokoh Brajanata dalam cerita panji, dan sebagai Bima dalam cerita Mahabharata pada masa kemudian. Pada awalnya Gajah Mada tidak langsung diarcakan sebagai tokoh Bima, ia diarcakan sebagai tokoh Brajanata karena kisah Panji lebih dulu dikenal daripada kegiatan pembuatan arca-arca Bima yang agaknya mulai berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Pemuliaan Gajah Mada pada tahap pertama bersifat profan adalah dalam bentuk pengarcaannya sebagai Brajanata, namun selanjutnya terjadi pemuliaan Gajah Mada dalam tahap kedua yang lebih bersifat sakral, yaitu disetarakan dengan Bima sebagai salah satu aspek Siva. Pada arca yang terdapat di Museum Nasional, arca tersebut digambarkan berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk seperti topi tekes. Ia mengenakan busana dan perhiasan gelang dan kelat lengan atas berupa ular sebagaimana Bima.
Arca Bima dibuat pada masa akhir Majapahit dalam pertengahan abad ke-15. Ciri-cirinya adalah :
1. Memakai mahkota supit urang (rambutnya dibentuk 2 lengkungan di puncak kepala seperti jepitan udang).
2. Berkumis melintang.
3. Berbadan tegap.
4. Memakai kain poleng (hitam-putih).
5. Lingganya selalu digambarkan menonjol. Pada arca Bima yang tersimpan di Museum Nasional, beliau digambarkan berdiri tegak dengan kedua tangan disamping tubuhnya, tangan kanan memegang gadha, lingganya digambarkan menonjol menyingkan selendang yang menjuntai di antara 2 kaki, memakai upawita ular, mahkota supit urang, wajah sangar, kumis tebal melintang, rambut di atas dahinya digambarkan ikal membentuk seperti jamang (hiasan dahi). Adanya kesamaan antara arca Brajanata sebagai perwujudan Gajah Mada dengan arca Bima bukanlah suatu kebetulan, melainkan terdapat konsepsi yang mendasarinya: Konsepsi itu berkembang seiring dengan semakin jauhnya jarak peristiwa sejarah dengan para pemujanya pada masa yang lebih kemudian.
Kata Gajah mengacu kepada hewan yang besar yang disegani hewan lainnya, dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai wahana (hewan tunggangan) dari dewa Indra. Gajah juga dihubungkan dengan Ganesa, dewa berkepala gajah berbadan manusia, putra Siwa dan Parwati. Adapun kata Mada dalam bahasa Jawa kuno artinya mabuk, bisa dibayangkan jika seekor gajah sedang mabuk, Gajah Mada akan berjalan seenaknya, beringas, menerabas segala rintangan. Maka apabila dihubungkan dengan tokoh Gajah Mada, nama itu dapat ditafsirkan dalam 2 sifat yaitu :
1. Gajah Mada menganggap dirinya sebagai wahana raja, pelaksana perintah-perintah raja, sebagaimana gajah Airawata menjadi wahana dewa Indra.
2. Gajah Mada adalah orang yang seakan-akan mabuk dan beringas apabila menghadapi berbagai rintangan yang akan menghambat kemajuan kerajaan. Sungguh merupakan pilihan nama yang tepat dan agaknya nama itu telah dipikirkan masak-masak maknanya sebelum dipakai untuk nama dirinya.
Dalam prasasti Gajah Mada diketahui julukan lain yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara. Mungkin nama itu hanya sekadar gelaran bagi Gajah Mada, tetapi dapat pula dipandang sebagai nama resminya. Arti kata Jirnnodhara adalah pembangun sesuatu yang baru atau pemugar sesuatu yang telah runtuh/rusak. Dalam pengertian harfiah Gajah Mada adalah pembangun caitya bagi Kertanegara yang semula belum ada. Dalam pengertian kiasan ia dapat dipandang sebagai pemugar dan penerus gagasan Kertanegara dalam konsep Dwipantara Mandala.
Lahirnya Gajah Mada pada tahun saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.
Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak memberi titah membangun bangunan suci (caitya) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kediri.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari. Berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya. Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Dengan demikian Gajah Mada seakan meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh Kertanegara.
Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pendharmaan tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih punya hubungan darah dengan Kertanagara.
Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa, bahkan sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara karena dalam kitab Pararaton, nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa Pandakan. Menurutnya, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi pada Majapahit.
Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara. Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunan Kertanegara saja yang akan dengan senang hati membangun caitya berupa Candi Singasari untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi Dwipantra Mandala dari Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa.
Sebuah arca dari Museum Trowulan. Mohammad Yamin menggunakan arca tanah liat ini sebagai dasaran penggambaran rupa Gajah Mada.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang kariernya naik saat menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (pengawal Raja) pada masa Prabu Jayanagara (1309–1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada, sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309–1328) ke desa Badander dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti (salah seorang Dharmaputra, pegawai istana yang diistimewakan sejak masa Raden Wijaya). Sebagai balas jasa, dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca disebutkan bahwa Jayanagara mengangkat Gajah Mada menjadi patih Kahuripan (1319). Dua tahun kemudian, dia menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai patih di Daha / Kediri. Pengangkatan ini membuatnya kemudian masuk ke strata sosial elitis istana Majapahit pada saat itu. Selain itu, Gajah Mada digambarkan pula sebagai seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat.
Pasca Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan Mahapatih Amangkubhumi mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Ibusuri Gayatri yang menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Daha/Kediri. Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung menyetujuinya, tetapi ia ingin membuat jasa terlebih dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak.
Tribuwana Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan menjadi pelaksana tugas pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari kerajaan Majapahit. Setelah Keta dan Sadeng dapat ditaklukan oleh Gajah Mada, barulah pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi secara resmi menggantikan Arya Tadah (Mpu Krewes) yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan meminta pensiun sejak tahun 1329.
SUMPAH PALAPA
Ketika pengangkatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia tidak akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) sebelum berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut :
Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.
Mempunyai arti :
Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Tindakan mereka membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini diperkuat juga oleh Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Gajah Mada pun meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga.
Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya Tadah sebenarnya juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu karena pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman. Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dibantu oleh Laksamana Nala, Gajah Mada memulai kampanye penaklukannya dengan menggunakan pasukan laut ke daerah Swarnnabhumi (Sumatra) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur sampai tahun 1357 seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Nararya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (terpahat di Prasasti Kudadu 1294 dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.
PERANG BUBAT
Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh Madakaripura yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Tersebut pada tahun saka angin 8 utama (1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran ke Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.
Begitulah bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 70 bait 1–3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke Simping (Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibu kota Majapahit.
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka (1364 M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Namun, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibu kota Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.
Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Mahapatih Amangkubhumi. Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71 bait 3.
Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Mahapatih Amangkubhumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan bukti bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
GAJAH MADA BERWUJUD BRAJANATA
Kisah Panji, menurut Agus Aris Munandar juga
menyimpan metafora kehidupan Raja Hayam Wuruk. Penggambaran Kisah Panji pertama kali terdapat di Candi Miri Gambar, Blitar.
Candi ini didirikan setelah Hayam Wuruk wafat dan saat menantunya, Raja Wikramawarddhana berkuasa. Kisah ini dihiasi dengan tokoh Panji dan Brajanata, dua tokoh yang paling dominan dalam beberapa kisah panji paling awal.
Tokoh-tokoh utama dalam Kisah Panji bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah pada masa Majapahit. Misalnya Raden Panji adalah Raja Hayam Wuruk. Ayahanda Panji, Raja Keling atau Raja Jenggala atau Raja Kahuripan adalah Kertawarddhana alias Raden Cakradhara. Ibunda Panji adalah permaisuri dari Raja Keling yaitu : Tribhuwana Wijayottunggadewi karena Ibu Hayam Wuruk ini juga memiliki gelar Bhre Kahuripan. Sedangkan Raja Daha adalah paman Panji. Kenyataannya, Raja Daha juga paman Hayam Wuruk dan Permaisuri Raja Daha atau bibi dari Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Daha.
Dewi Sekar Taji, putri dari Raja Daha adalah permaisuri Raden Panji. Dalam sejarah Majapahit, permaisuri Raja Hayam Wuruk adalah sepupunya sendiri, yaitu putri dari Bhre Daha. Dalam Kitab Pararaton namanya disebut Paduka Sori. Lalu kekasih Raden Panji, yaitu : Dewi Angreni bisa dipadankan dengan putri dari Sunda yang bunuh diri dalam peristiwa Bubat yaitu : Dyah Pitaloka.
Dengan banyaknya kesamaan penokohan itu, rasanya tidak berlebihan jika menyamakan Raden Brajanata sebagai Gajah Mada.
Raden Brajanata adalah kakak Raden Panji yang berbeda ibu. Namanya disebut dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dan Hikayat Panji Angreni dari Palembang.
Peranan Brajanata mirip dengan Gajah Mada. Brajanata juga selalu mengawal Raden Panji, sebagaimana Gajah Mada dengan Hayam Wuruk.
" Brajanata dalam kisahnya disuruh ayah dan ibu dari Raden Panji untuk menghabisi Dewi Angreni. Brajanata digambarkan tinggi besar, badan tegap, berkumis tebal, berambut ikal dan mungkin merupakan ikon dari Gajah Mada. Itu sesuai dengan pendapat Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan mengenai relief Panji Gambyok di Kediri. Tokoh berambut ikal dan berbadan tegap itu adalah Brajanata.
ARCA BRAJANATA
Dengan demikian, menurut Agus, arca koleksi Museum Nasional bernomor inventaris 310d dari Gunung Penanggungan yang dinamai Kertala lebih tepat jika diidentifikasi sebagai Brajanata. Arca itu sangat mirip dengan figur pria tegap berambut keriting yang digambarkan di kanan kiri pipi tangga Candi Miri.
Apalagi tokoh Kertala dalam Cerita Panji hanya berperan sedikit jika dibandingkan dengan pengiring Raden Panji yang lainnya, seperti Brajanata, Carang Waspa, atau Prasanta. Tokoh yang diarcakan tentunya tokoh yang mengesankan, tidak cukup hanya dalam relief, melainkan perlu sosok arcanya.
Maka jika Brajanata adalah ikon Gajah Mada, Arca Brajanata itu dapat ditafsirkan sebagai penggambaran dari Gajah Mada. Arca itu menampilkan sosok berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk topi tekes. Ia mengenakan busana, gelang dan kelat lengan atas berupa ular. Lingga atau bagian kemaluannya diukir menonjol.
Namun seiring waktu pandangan masyarakat berubah. Gajah Mada kemudian lebih banyak digambarkan sebagai Bima. Pada masa akhir Majapahit, pertengahan abad ke-15, banyak dibuat arca Bima yang cirinya mirip dengan arca tokoh Brajanata. Hal itu bukanlah kebetulan belaka.
GAJAH MADA SEBAGAI BIMA/WERKUDARA
Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Triwurjani juga menjelaskan dalam Bima sebagai Tokoh yang Dikultuskan” termuat di Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, bahwa kurang lebih pada awal abad ke-15 muncul kultus terhadap tokoh Bima yang dikenal dari kisah Mahabharata. Arca Bima beberapa kali ditemukan pada bangunan suci yang terdapat di beberapa daerah di Jawa Timur. Misalnya Arca Bima dari Trenggalek, Jawa Timur. Di bagian belakang Arca Bima itu terdapat inskripsi. Model tulisannya sejaman dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada pada tahun 1357.
“…Pada waktu itu… pendeta Mpu Wirata… memberikan pratistha kepada telapak…,”
Kata pratistha dapat berarti bahwa arca itu adalah arca perwujudan. Arca itu sesuai dengan ciri arca perwujudan masa Majapahit. Sikap arca tidak memperlihatkan gerak tubuh. Kedua tangan terjulur di samping tubuh. Mata digambarkan setengah terpejam seperti sikap meditasi. Bisa dalam keilmuan dan sumber naskah mengaitkan tokoh itu sebagai perwujudan Gajah Mada.
Secara fisik Arca Bima berkumis, berbadan tegap, kemaluannya menonjol dari balik kain. Dan hal ini mirip dengan arca Brajanata. Bedanya hanya pada tata rambut. Brajanata rambutnya menyerupai tutup kepala tekes. Arca Bima rambutnya berbentuk supit urang. Dalam Arca Bima dari Trenggalek ini Bima juga digambarkan memiliki kuku yang panjang dan disebut Pancanaka. Gejala itu juga menunjukkan ada pergeseran penggambaran dari Gajah Mada sebagai Brajanata ke dalam penggambarannya sebagai tokoh Bima.
Para pemuja dan pengagum Gajah Mada mulai pertengahan abad ke-15 lebih menyukai mengarcakan Gajah Mada sebagai Arca Bima daripada sebagai Arca Brajanata.
Alasannya, tokoh Bima lebih terkenal dibanding Brajanata. Tokoh Brajanata baru dikenal dalam karya sastra muda, yaitu Kisah Panji. Kisah ini baru berkembang pada era Majapahit akhir. Sementara tokoh Bima sudah dikenal sejak masuknya pengaruh India dan Hindu ke Jawa. Tokoh Bima terkesan lebih sakral dibanding Brajanata. Bila Brajanata adalah manusia biasa maka Bima adalah aspek Siwa yang berwujud manusia. Karenanya pengagum Gajah Mada lebih senang menyetarakannya dengan Bima. Menurut beberapa pengiat sejarah, tokoh Bima punya kesamaan dengan Gajah Mada. Berdasarkan namanya, Gajah Mada, bisa dibayangkan orangnya tinggi besar dan bertenaga besar seperti Gajah. Bima kebetulan mempunyai kemiripan perawakan dengan Gajah Mada. Sebenarnya banyak juga tokoh yang bercirikan seperti itu dalam kisah epos Mahabharata. Namun Bima lebih punya banyak peran. Tokoh Bima juga ditempatkan sebagai tokoh protagonis dalam kisah epos Mahabharata.
Dalam konsep agama, Bima juga disetarakan dengan Gajah Mada. Dalam Kitab Jawa Kuno, Brahmanda Purana, menyebut Bima sebagai aspek Siwa. Sedangkan raja-raja Majapahit seringkali disetarakan sebagai Siwa. Maka, Patih Amangkubhumi-nya sebagai aspek dari Sang Dewa. Selama ini Arca Bima banyak ditemukan dari masa Kerajaan Majapahit. Pertanyaannya : Siapakah yang hendak diwujudkan oleh arca itu..?
Dan diyakini, tokoh yang dimaksud adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.
Ada sebuah Arca yang berada di Museum Nasional bernama Kertala atau disebut juga Arca Brajanata. Museum Nasional memberi nomor inventaris 310d dan disebut berasal dari Gunung Penanggungan. Arca Kertala atau Arca Brajanata oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin dikatakan merupakan perwujudan lain dari Mahapatih dari Kerajaan Majapahit, yaitu : Mahapatih Gajah Mada. Pada suatu hari Prof. Dr. Muhammad Yamin pernah mengunjungi Trowulan untuk melihat jejak-jejak Kerajaan Majapahit. Saat itulah Prof. Dr. Muhammad Yamin menemukan pecahan terakota berupa kepala pria berwajah gempal dan berambut ikal. Menurut pendapatnya Arca Kertala atau Arca Bratanala ini digali dekat puri Gajah Mada di Trowulan, Majapahit.
Prof. Dr. Muhammad Yamin mengidentifikasi bahwa wajah itu sebagai wajah Gajah Mada. Menurutnya dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, air muka arca itu penuh dengan kegiatan yang mahatangkas. Wajahnya menyinarkan keberanian seorang ahli politikus yang berpandangan jauh.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Arkeolog dari Universitas Indonesia, bernama Agus Aris Munandar berpendapat lain soal wajah Gajah Mada. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, ia menjelaskan arca Brajanata dan Bima sebagai dua perkembangan dari penggambaran Gajah Mada.
Mahapatih Gajah Mada atau Mpu Mada sudah meninggal dunia 1364 Masehi, dal versi yang lain dianggap mokhsa namun tetap dikenang dan pada masa Majapahit dianggap sebagai titisan Dewa. Menurut pendapat dari Agus Aris Munandar :
" Gajahmada dipandang sebagai dewata yang dapat dimintai pertolongan masyarakat yang sengsara akibat peperangan,”
Selepas Hayam Wuruk, perang terus terjadi di Majapahit. Pada masa itu pula arca-arca perwujudan Gajah Mada terus diciptakan. Nampaknya masyarakat ingin mendatangkan kembali masa gemilang pemerintahan raja dan patihnya itu.
GAJAH MADA
(perdana mentri Majapahit)
Gajah Mada (lahir ca. 1290, wafat ca. 1364), dikenal dengan nama lain Jirnnodhara adalah seorang panglima perang dan mahapatih yang merupakan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Gajah Mada menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Gajah Mada menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia dan persatuan Nusantara.
Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi dari Mohammad Yamin, di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara", terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin mengunjungi Trowulan untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan pecahan terakota, salah satunya celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasar air muka wajah celengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada sang pemersatu Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang menentang pendapat Yamin, karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Hal semacam itu adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman Hindu Buddha, termasuk Majapahit, diarcakan. Beberapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang disangka Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri.
Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin, yakni hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Dia mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang. Dalam media populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa keris. Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan (lapis logam di depan dada breastplate) berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.
Menurut Munandar, pada awalnya Gajah Mada diarcakan sebagai tokoh Brajanata dalam cerita panji, dan sebagai Bima dalam cerita Mahabharata pada masa kemudian. Pada awalnya Gajah Mada tidak langsung diarcakan sebagai tokoh Bima, ia diarcakan sebagai tokoh Brajanata karena kisah Panji lebih dulu dikenal daripada kegiatan pembuatan arca-arca Bima yang agaknya mulai berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Pemuliaan Gajah Mada pada tahap pertama bersifat profan adalah dalam bentuk pengarcaannya sebagai Brajanata, namun selanjutnya terjadi pemuliaan Gajah Mada dalam tahap kedua yang lebih bersifat sakral, yaitu disetarakan dengan Bima sebagai salah satu aspek Siva. Pada arca yang terdapat di Museum Nasional, arca tersebut digambarkan berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk seperti topi tekes. Ia mengenakan busana dan perhiasan gelang dan kelat lengan atas berupa ular sebagaimana Bima.
Arca Bima dibuat pada masa akhir Majapahit dalam pertengahan abad ke-15. Ciri-cirinya adalah :
1. Memakai mahkota supit urang (rambutnya dibentuk 2 lengkungan di puncak kepala seperti jepitan udang).
2. Berkumis melintang.
3. Berbadan tegap.
4. Memakai kain poleng (hitam-putih).
5. Lingganya selalu digambarkan menonjol. Pada arca Bima yang tersimpan di Museum Nasional, beliau digambarkan berdiri tegak dengan kedua tangan disamping tubuhnya, tangan kanan memegang gadha, lingganya digambarkan menonjol menyingkan selendang yang menjuntai di antara 2 kaki, memakai upawita ular, mahkota supit urang, wajah sangar, kumis tebal melintang, rambut di atas dahinya digambarkan ikal membentuk seperti jamang (hiasan dahi). Adanya kesamaan antara arca Brajanata sebagai perwujudan Gajah Mada dengan arca Bima bukanlah suatu kebetulan, melainkan terdapat konsepsi yang mendasarinya: Konsepsi itu berkembang seiring dengan semakin jauhnya jarak peristiwa sejarah dengan para pemujanya pada masa yang lebih kemudian.
Kata Gajah mengacu kepada hewan yang besar yang disegani hewan lainnya, dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai wahana (hewan tunggangan) dari dewa Indra. Gajah juga dihubungkan dengan Ganesa, dewa berkepala gajah berbadan manusia, putra Siwa dan Parwati. Adapun kata Mada dalam bahasa Jawa kuno artinya mabuk, bisa dibayangkan jika seekor gajah sedang mabuk, Gajah Mada akan berjalan seenaknya, beringas, menerabas segala rintangan. Maka apabila dihubungkan dengan tokoh Gajah Mada, nama itu dapat ditafsirkan dalam 2 sifat yaitu :
1. Gajah Mada menganggap dirinya sebagai wahana raja, pelaksana perintah-perintah raja, sebagaimana gajah Airawata menjadi wahana dewa Indra.
2. Gajah Mada adalah orang yang seakan-akan mabuk dan beringas apabila menghadapi berbagai rintangan yang akan menghambat kemajuan kerajaan. Sungguh merupakan pilihan nama yang tepat dan agaknya nama itu telah dipikirkan masak-masak maknanya sebelum dipakai untuk nama dirinya.
Dalam prasasti Gajah Mada diketahui julukan lain yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara. Mungkin nama itu hanya sekadar gelaran bagi Gajah Mada, tetapi dapat pula dipandang sebagai nama resminya. Arti kata Jirnnodhara adalah pembangun sesuatu yang baru atau pemugar sesuatu yang telah runtuh/rusak. Dalam pengertian harfiah Gajah Mada adalah pembangun caitya bagi Kertanegara yang semula belum ada. Dalam pengertian kiasan ia dapat dipandang sebagai pemugar dan penerus gagasan Kertanegara dalam konsep Dwipantara Mandala.
Lahirnya Gajah Mada pada tahun saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.
Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak memberi titah membangun bangunan suci (caitya) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kediri.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari. Berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya. Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Dengan demikian Gajah Mada seakan meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh Kertanegara.
Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pendharmaan tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih punya hubungan darah dengan Kertanagara.
Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa, bahkan sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara karena dalam kitab Pararaton, nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa Pandakan. Menurutnya, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi pada Majapahit.
Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara. Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunan Kertanegara saja yang akan dengan senang hati membangun caitya berupa Candi Singasari untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi Dwipantra Mandala dari Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa.
Sebuah arca dari Museum Trowulan. Mohammad Yamin menggunakan arca tanah liat ini sebagai dasaran penggambaran rupa Gajah Mada.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang kariernya naik saat menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (pengawal Raja) pada masa Prabu Jayanagara (1309–1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada, sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309–1328) ke desa Badander dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti (salah seorang Dharmaputra, pegawai istana yang diistimewakan sejak masa Raden Wijaya). Sebagai balas jasa, dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca disebutkan bahwa Jayanagara mengangkat Gajah Mada menjadi patih Kahuripan (1319). Dua tahun kemudian, dia menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai patih di Daha / Kediri. Pengangkatan ini membuatnya kemudian masuk ke strata sosial elitis istana Majapahit pada saat itu. Selain itu, Gajah Mada digambarkan pula sebagai seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat.
Pasca Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan Mahapatih Amangkubhumi mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Ibusuri Gayatri yang menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Daha/Kediri. Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung menyetujuinya, tetapi ia ingin membuat jasa terlebih dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak.
Tribuwana Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan menjadi pelaksana tugas pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari kerajaan Majapahit. Setelah Keta dan Sadeng dapat ditaklukan oleh Gajah Mada, barulah pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi secara resmi menggantikan Arya Tadah (Mpu Krewes) yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan meminta pensiun sejak tahun 1329.
SUMPAH PALAPA
Ketika pengangkatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia tidak akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) sebelum berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut :
Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.
Mempunyai arti :
Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Tindakan mereka membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini diperkuat juga oleh Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Gajah Mada pun meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga.
Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya Tadah sebenarnya juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu karena pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman. Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dibantu oleh Laksamana Nala, Gajah Mada memulai kampanye penaklukannya dengan menggunakan pasukan laut ke daerah Swarnnabhumi (Sumatra) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur sampai tahun 1357 seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Nararya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (terpahat di Prasasti Kudadu 1294 dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.
PERANG BUBAT
Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh Madakaripura yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Tersebut pada tahun saka angin 8 utama (1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran ke Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.
Begitulah bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 70 bait 1–3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke Simping (Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibu kota Majapahit.
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka (1364 M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Namun, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibu kota Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.
Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Mahapatih Amangkubhumi. Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71 bait 3.
Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Mahapatih Amangkubhumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan bukti bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
GAJAH MADA BERWUJUD BRAJANATA
Kisah Panji, menurut Agus Aris Munandar juga
menyimpan metafora kehidupan Raja Hayam Wuruk. Penggambaran Kisah Panji pertama kali terdapat di Candi Miri Gambar, Blitar.
Candi ini didirikan setelah Hayam Wuruk wafat dan saat menantunya, Raja Wikramawarddhana berkuasa. Kisah ini dihiasi dengan tokoh Panji dan Brajanata, dua tokoh yang paling dominan dalam beberapa kisah panji paling awal.
Tokoh-tokoh utama dalam Kisah Panji bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah pada masa Majapahit. Misalnya Raden Panji adalah Raja Hayam Wuruk. Ayahanda Panji, Raja Keling atau Raja Jenggala atau Raja Kahuripan adalah Kertawarddhana alias Raden Cakradhara. Ibunda Panji adalah permaisuri dari Raja Keling yaitu : Tribhuwana Wijayottunggadewi karena Ibu Hayam Wuruk ini juga memiliki gelar Bhre Kahuripan. Sedangkan Raja Daha adalah paman Panji. Kenyataannya, Raja Daha juga paman Hayam Wuruk dan Permaisuri Raja Daha atau bibi dari Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Daha.
Dewi Sekar Taji, putri dari Raja Daha adalah permaisuri Raden Panji. Dalam sejarah Majapahit, permaisuri Raja Hayam Wuruk adalah sepupunya sendiri, yaitu putri dari Bhre Daha. Dalam Kitab Pararaton namanya disebut Paduka Sori. Lalu kekasih Raden Panji, yaitu : Dewi Angreni bisa dipadankan dengan putri dari Sunda yang bunuh diri dalam peristiwa Bubat yaitu : Dyah Pitaloka.
Dengan banyaknya kesamaan penokohan itu, rasanya tidak berlebihan jika menyamakan Raden Brajanata sebagai Gajah Mada.
Raden Brajanata adalah kakak Raden Panji yang berbeda ibu. Namanya disebut dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dan Hikayat Panji Angreni dari Palembang.
Peranan Brajanata mirip dengan Gajah Mada. Brajanata juga selalu mengawal Raden Panji, sebagaimana Gajah Mada dengan Hayam Wuruk.
" Brajanata dalam kisahnya disuruh ayah dan ibu dari Raden Panji untuk menghabisi Dewi Angreni. Brajanata digambarkan tinggi besar, badan tegap, berkumis tebal, berambut ikal dan mungkin merupakan ikon dari Gajah Mada. Itu sesuai dengan pendapat Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan mengenai relief Panji Gambyok di Kediri. Tokoh berambut ikal dan berbadan tegap itu adalah Brajanata.
ARCA BRAJANATA
Dengan demikian, menurut Agus, arca koleksi Museum Nasional bernomor inventaris 310d dari Gunung Penanggungan yang dinamai Kertala lebih tepat jika diidentifikasi sebagai Brajanata. Arca itu sangat mirip dengan figur pria tegap berambut keriting yang digambarkan di kanan kiri pipi tangga Candi Miri.
Apalagi tokoh Kertala dalam Cerita Panji hanya berperan sedikit jika dibandingkan dengan pengiring Raden Panji yang lainnya, seperti Brajanata, Carang Waspa, atau Prasanta. Tokoh yang diarcakan tentunya tokoh yang mengesankan, tidak cukup hanya dalam relief, melainkan perlu sosok arcanya.
Maka jika Brajanata adalah ikon Gajah Mada, Arca Brajanata itu dapat ditafsirkan sebagai penggambaran dari Gajah Mada. Arca itu menampilkan sosok berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk topi tekes. Ia mengenakan busana, gelang dan kelat lengan atas berupa ular. Lingga atau bagian kemaluannya diukir menonjol.
Namun seiring waktu pandangan masyarakat berubah. Gajah Mada kemudian lebih banyak digambarkan sebagai Bima. Pada masa akhir Majapahit, pertengahan abad ke-15, banyak dibuat arca Bima yang cirinya mirip dengan arca tokoh Brajanata. Hal itu bukanlah kebetulan belaka.
GAJAH MADA SEBAGAI BIMA/WERKUDARA
Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Triwurjani juga menjelaskan dalam Bima sebagai Tokoh yang Dikultuskan” termuat di Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, bahwa kurang lebih pada awal abad ke-15 muncul kultus terhadap tokoh Bima yang dikenal dari kisah Mahabharata. Arca Bima beberapa kali ditemukan pada bangunan suci yang terdapat di beberapa daerah di Jawa Timur. Misalnya Arca Bima dari Trenggalek, Jawa Timur. Di bagian belakang Arca Bima itu terdapat inskripsi. Model tulisannya sejaman dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada pada tahun 1357.
“…Pada waktu itu… pendeta Mpu Wirata… memberikan pratistha kepada telapak…,”
Kata pratistha dapat berarti bahwa arca itu adalah arca perwujudan. Arca itu sesuai dengan ciri arca perwujudan masa Majapahit. Sikap arca tidak memperlihatkan gerak tubuh. Kedua tangan terjulur di samping tubuh. Mata digambarkan setengah terpejam seperti sikap meditasi. Bisa dalam keilmuan dan sumber naskah mengaitkan tokoh itu sebagai perwujudan Gajah Mada.
Secara fisik Arca Bima berkumis, berbadan tegap, kemaluannya menonjol dari balik kain. Dan hal ini mirip dengan arca Brajanata. Bedanya hanya pada tata rambut. Brajanata rambutnya menyerupai tutup kepala tekes. Arca Bima rambutnya berbentuk supit urang. Dalam Arca Bima dari Trenggalek ini Bima juga digambarkan memiliki kuku yang panjang dan disebut Pancanaka. Gejala itu juga menunjukkan ada pergeseran penggambaran dari Gajah Mada sebagai Brajanata ke dalam penggambarannya sebagai tokoh Bima.
Para pemuja dan pengagum Gajah Mada mulai pertengahan abad ke-15 lebih menyukai mengarcakan Gajah Mada sebagai Arca Bima daripada sebagai Arca Brajanata.
Alasannya, tokoh Bima lebih terkenal dibanding Brajanata. Tokoh Brajanata baru dikenal dalam karya sastra muda, yaitu Kisah Panji. Kisah ini baru berkembang pada era Majapahit akhir. Sementara tokoh Bima sudah dikenal sejak masuknya pengaruh India dan Hindu ke Jawa. Tokoh Bima terkesan lebih sakral dibanding Brajanata. Bila Brajanata adalah manusia biasa maka Bima adalah aspek Siwa yang berwujud manusia. Karenanya pengagum Gajah Mada lebih senang menyetarakannya dengan Bima. Menurut beberapa pengiat sejarah, tokoh Bima punya kesamaan dengan Gajah Mada. Berdasarkan namanya, Gajah Mada, bisa dibayangkan orangnya tinggi besar dan bertenaga besar seperti Gajah. Bima kebetulan mempunyai kemiripan perawakan dengan Gajah Mada. Sebenarnya banyak juga tokoh yang bercirikan seperti itu dalam kisah epos Mahabharata. Namun Bima lebih punya banyak peran. Tokoh Bima juga ditempatkan sebagai tokoh protagonis dalam kisah epos Mahabharata.
Dalam konsep agama, Bima juga disetarakan dengan Gajah Mada. Dalam Kitab Jawa Kuno, Brahmanda Purana, menyebut Bima sebagai aspek Siwa. Sedangkan raja-raja Majapahit seringkali disetarakan sebagai Siwa. Maka, Patih Amangkubhumi-nya sebagai aspek dari Sang Dewa. Selama ini Arca Bima banyak ditemukan dari masa Kerajaan Majapahit. Pertanyaannya : Siapakah yang hendak diwujudkan oleh arca itu..?
Dan diyakini, tokoh yang dimaksud adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.