KISAH SUNGAI BRANTAS DI MASA KERAJAAN JAWA DAN MASA KINI
Sungai Brantas adalah sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa. Terbesar yang pertama adalah Bengawan Solo. Sebagai sungai yang menyambungkan Kahuripan dengan sumber kemakmuran, baik melalui limpahan air yang mengaliri sawah-sawah untuk mengamankan sandang pangan penduduk kerajaan, ataupun perdagangan yang menyambungkan Kahuripan dengan belahan dunia lain, Airlangga harus memulai pembangunan kerajaan dengan mengatasi banjir yang kerap menimpa akibat luapan Kali Brantas.
Profesor Casparis mencatat, prasasti Jawa Kuno dari periode 1035 hingga 1042 mencatat usaha-usaha Airlangga untuk memajukan kemakmuran rakyat. Beberapa hal dia lakukan seperti pengairan irigasi dan mengatasi bencana banjir adalah hal yang pertama dia lakukan. Kemudian dia membangun kawasan-kawasan bandar persinggahan dan penyeberangan atau dalam bahasa Jawa Kuno disebut sebagai penambangan.
Setelah pembangunan infrastruktur fisik selesai, Prabu Airlangga melanjutkan dengan pembangunan infrastruktur kerohanian masyarakat Kahuripan. Catatan itu tertulis dalam inskripsi prasasti mencatat perlindungannya terhadap tiga agama besar yang hidup pada waktu itu, yakni agama Siwa, Buddha, dan agama Resi atau Brahmin/Budhi.
Dalam prasasti Kamaglyan, dikatakan bahwa untuk mengatasi banjir yg kerap melanda daerah sekitarnya seperti Lasun, Palinjuwan, Sijanatyesan, Panjigantin, Talan, Dasapankah, dan Pankaja, sang prabu memerintahkan pembuatan waduk yg diberi nama Waringin Sapta. Bendungan ini bertujuan utk memecah aliran sungai berantas menjadi 3 anak sungai. Cara ini berhasil dengan gemilang.
Tidak berhenti dgn pembangunan bendungan, ia sadar bendungan harus dirawat. Karena itu ia memerrintahkan para pendudukdan pejabat desa yg tinggal di sekitar bendungan utk merawatnya (prasasti Kamalagyan, tahun 1037 M).
ARTI PENTING SUNGAI BERANTAS UNTUK PARA RAJA JAMAN DULU
Raja Majapahit sejak jaman Raden Wijaya tahun 1293 selalu menjalankan laku spiritual. Kegiatan ini berlanjut pada masa pemerintahan Prabu Jayanegara, Tri Buana Tungga Dewi dan Prabu Hayamwuruk.
Lebih utama lagi pada masa pemerintahan Sinuwun Prabu Brawijaya V. Upacara sesaji malah dilakukan secara rutin sejak tahun 1467 (sejak sinuwun Prabu Brawijaya bertahta di kerajaan Majapahit). Bertempat di Hulu Sungai Brantas, kaki gunung Arjuno. Yakni di daerah Sumber Brantas Bumiaji Malang.
Tiap bulan Suro diadakan tirakatan kerajaan Majapahit. Selaku narasumber yaitu yang mulia Empu Tantular dan Empu Prapanca. Pujangga istana Majapahit mbabar wulangan wejangan wedharan. Sejarah leluhur dibahas secara jelas tegas tuntas.
Tapa ngeli adalah bertapa dengan cara melarungkan diri di rakit menyusuri sungai (sungai Brantas). Tapa ngeli di kali Brantas dilakukan oleh para raja Medang, Kahuripan, Kediri, Jenggala, Daha, Singasari dan Majapahit. Dengan tapa ngeli para leluhur Jawa mendapat kasekten, ilmu kanuragan guna kasantikan.
Raja Jawa memang sakti mandraguna karena menjalankan ilmu laku jangka jangkah. Biasa mahas ing ngasepi, manjing wana wasa, Tumuruning jurang terbis. Lenggah saluku tunggal, amepet babahan hawa sanga, sajuga kang sinidhikara.
Ragam semedi dilakukan. Yaitu tapa ngalong, tapa ngidang, tapa ngrame, tapa ngrowot, tapa pendhem, tapa, mutih. Kegiatan para raja Jawa demi mengasah ketajaman spiritual. Murih padanging sasmita.
Kali Brantas berhulu di Kaki Gunung Arjuno. Letaknya di desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang. Dinamakan Gunung Arjuno, memang untuk menghormati leluhur raja Kediri dan Jenggala.
Raja Majapahit berusaha meneruskan tradisi laku tapa ngeli di Kali Brantas. Daerah aliran sungai Brantas seluas 11.800 km2. Aliran utama Kali Brantas sejauh 320 km yang mengintari Gunung Kelut.
Para Raja Majapahit belajar pada kebijakan para leluhur. Contoh Jembatan yang menghubungkan antar wilayah dibangun oleh Prabu Jaya Amijaya. Sarana prasarana dibangun untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat.
Bangunan jempatan terbuat dari kayu jati terpilih. Logam terdiri dari wesi purosani dan mangangkang. Prabu Jaya Amijaya memerintah Kraton Jenggala tahun 423. Garwa prameswari bernama Dewi Pramesthi yang berasal dari negeri Widarba. Sebagai putra Prabu Jayabaya Raja Kediri, dirinya merasa wajib meneruskan cita-cita orang tua. Inilah prinsip mikul dhuwur mendhem jero.
Air kali Brantas dijaga kelestarian. Kerajaan Jenggala yang beribu kota di tepi Kali Mas Sidoarjo tampil sebagai negeri maritim. Pelayaran, perdagangan, pelabuhan berjalan lancar. Armada laut berdiri kokoh. Pelayaran armada laut Jenggala sampai Asia Selatan, Asia Barat dan Afrika.
Hasil pertanian, perkebunan, peternakan, diparahkan sampai antar benua. Rakyat hidup makmur sejahtera. Mereka cukup sandang pangan papan. Pendidikan berlangsung di seluruh negeri. Tua muda sibuk bekerja. Negara Jenggala memberi prioritas yang memadai buat sekalian warga. Sukses gemilang ini, maka kerajaan Jenggala juga mendapat sebutan negeri Jenggala Manik.
Kali Brantas, Gunung Arjuno, gunung Kelut dan gunung Argowayang tetap berguna untuk tapa brata. Urutan raja Jenggala yang pernah memerintah dengan penuh kasih sayang.
Mereka adalah leluhur para raja Majapahit :
1. Prabu Jaya Amijaya 423 – 463
2. Prabu Jayengrana 463 – 492
3. Prabu Amiluhur 492 – 537
4. Prabu Inu Kertapati 537 – 568
5. Prabu Suryawisesa 568 – 589
6. Prabu Panji Asmara Bangun 589 – 614
7. Prabu Priyambada 614 – 635
8. Prabu Kuda Wisrengga 635 – 672
9. Prabu Wanengpati 672 – 697
10. Prabu Kalana Jayengsari 697 – 725
11. Prabu Dhawuk Marma 725 – 753
12. Prabu Maesa Tandreman 753 – 784
13. Prabu Suryo Hamiluhur 784 – 809
14. Prabu Banjaransari 809 – 840
15. Prabu Lembu Pangarsa 840 – 873
16. Prabu Gondo Kusumo 873 – 897
17. Prabu Jaka Saputra 897 – 926
18. Prabu Candra Kusuma 926 – 935
19. Prabu Darma Kusuma 935 – 948
20. Prabu Darmajaya 948 – 988
21. Prabu Darmawangsa 988 – 1010
22. Prabu Airlangga 1010 – 1042
23. Prabu Samara Wijaya 1042 – 1071
24. Prabu Samara Dahana 1071 – 1098
25. Prabu Samara Wangsa 1098 – 1121
26. Prabu Samara Kusuma 1121 – 1140
27. Prabu Kameswara Jaya 1140 – 1168
28. Prabu Kameswara Citra 1168 – 1187
29. Prabu Kameswara Sigit 1187 – 1199
30. Prabu Kameswara Jajar 1199 – 1220.
31. Prabu Kameswara Dhandhang 1220 – 1236.
32. Prabu Kameswara Susuruh 1236 – 1264
33. Prabu Kameswara Kusuma 1264 – 1293.
Tradisi bersemedi di tengah alas yang sepi tetap lestari. Semangat Kerajaan Jenggala terus berlanjut. Kali Brantas untuk tapa ngeli buat sang narapati.
Kali Brantas sarana meditasi demi ketenangan hati. Kali Brantas juga berguna untuk memutar roda ekonomi. Lalulintas berjalan lancar tuntas karena kenyamanan Kali Brantas.
Sandang pangan lancar karena kali Brantas digunakan untuk sarana transportasi.
Tapa ngeli bagi raja Majapahit adalah sebuah keharusan. Berturut-turut narendra agung kerajaan Majapahit yang berbudi luhur. Mereka adalah pemimpin besar, yang berhasil mengangkat harkat martabat rakyat.
1. Raden Wijaya atau Brawijaya I 1293 – 1309.
2. Jayanegara atau Brawijaya II 1309 – 1328.
3. Tri Buana Tungga Dewi 1328 – 1350.
4. Hayamwuruk atau Brawijaya III 1350 – 1389.
5. Kusuma Wardhani Wikrama Wardana 1389 – 1400.
6. Dewi Suhita 1400 – 1427.
7. Kertawijaya atau Brawijaya IV 1427 – 1438
8. Ratu Kencono Wungu 1438 – 1457.
9. Kertabumi atau Brawijaya V 1457 – 1478.
Air kali Brantas dikelola dengan baik. Pada tahun 1298 Raden Wijaya datang di sekitar Gunung Kelut. Bendungan dibangun di daerah Blitar untuk mengairi persawahan. Padi tela jagung tumbuh ngrembuyung.
Tahun 1318 Prabu Jayanegara raja Majapahit datang di Kediri. Beliau meresmikan jembatan daha. Jembatan ini memperlancar sistem transportasi dari daerah Kediri ke daerah Tulungagung.
Jembatan Kali Brantas Kertosono dibangun tahun 1342 oleh Prabu Putri Tri Buana Tungga Dewi Jaya Wisnu Murti. Raja Majapahit ini peduli pada kebutuhan warga Nganjuk dan Jombang. Maka ada humor Pak Kerto tuku kertu lewat kertek mudhun Kertosono.
Prabu Hayamwuruk membangun sarana irigasi untuk daerah Mojokerto tahun 1357. Pengairan Kali Brantas diatur dengan rapi. Maka raja Majapahit mengangkat pejabat Jogotirto.
Demikian pula Prabu Brawijaya V amat perhatian pada daerah aliran sungai Brantas. Pada tahun 1468 Kerajaan Majapahit membangun sendang patirtan. Air kali Brantas untuk budidaya perikanan darat.
Ikan mujahir, nila, tawes, tumbra, bader, lele, kocolan, welut, tengiri, gabus dipelihara rakyat Majapahit. Penghasilan masyarakat maju berlipat ganda. Kali Brantas dikelola oleh Kerajaan Majapahit untuk meningkatkan kesejahteraan. Ini tercatat di kitab Negarakertagama.
KALI BRANTAS DAN TAPA NGELI RAJA MAJAPAHIT
Tapa Ngeli di Aliran Kali Brantas.
Raja Majapahit sejak jaman Raden Wijaya tahun 1293 selalu menjalankan laku spiritual. Kegiatan ini berlanjut pada masa pemerintahan Prabu Jayanegara, Tri Buana Tungga Dewi dan Prabu Hayamwuruk.
Lebih utama lagi pada masa pemerintahan Sinuwun Prabu Brawijaya V. Upacara sesaji malah dilakukan secara rutin sejak tahun 1467. Bertempat di Hulu Sungai Brantas, kaki gunung Arjuno. Yakni di daerah Sumber Brantas Bumiaji Malang.
Tiap bulan Suro diadakan tirakatan kerajaan Majapahit. Selaku narasumber yaitu yang mulia Empu Tantular dan Empu Prapanca. Pujangga istana Majapahit mbabar wulangan wejangan wedharan. Sejarah leluhur dibahas secara jelas tegas tuntas.
Misalnya tema tentang tata cara meditasi di daerah aliran sungai Brantas. Tapa ngeli di kali Brantas dilakukan oleh para raja Medang, Kahuripan, Kediri, Jenggala, Daha, Singasari dan Majapahit. Dengan tapa ngeli para leluhur Jawa mendapat kasekten, ilmu kanuragan guna kasantikan.
Raja Jawa memang sakti mandraguna karena menjalankan ilmu laku jangka jangkah. Biasa mahas ing ngasepi, manjing wana wasa, Tumuruning jurang terbis. Lenggah saluku tunggal, amepet babahan hawa sanga, sajuga kang sinidhikara.
Ragam semedi dilakukan. Yaitu tapa ngalong, tapa ngidang, tapa ngrame, tapa ngrowot, tapa pendhem, tapa, mutih. Kegiatan para raja Jawa demi mengasah ketajaman spiritual. Murih padanging sasmita.
Kali Brantas berhulu di Kaki Gunung Arjuno. Letaknya di desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang. Dinamakan Gunung Arjuno, memang untuk menghormati leluhur raja Kediri dan Jenggala.
Lakon Begawan Mayangkara memberi kisah Begawan Anoman di Pertapan Kendali Sada. Anoman bisa menyusul Prabu Rama Wijaya setelah menikahkan wareng Arjuno.
Anoman pada tahun 324 bisa menikahkan tiga cucu wareng Arjuno. Putra Prabu Jayabaya ada tiga. Yaitu Raden Jaya Amijaya raja Jenggala menikah dengan Dewi Pramesthi. Raden Jaya Amisena raja Daha menikah dengan Dewi Pramoni. Raden Jaya Aminata atau Prabu KesumaWicitra raja Pengging menikah dengan Dewi Sesanti.
Tapa Ngeli di Aliran Kali Brantas.
Raja Majapahit sejak jaman Raden Wijaya tahun 1293 selalu menjalankan laku spiritual. Kegiatan ini berlanjut pada masa pemerintahan Prabu Jayanegara, Tri Buana Tungga Dewi dan Prabu Hayamwuruk.
Lebih utama lagi pada masa pemerintahan Sinuwun Prabu Brawijaya V. Upacara sesaji malah dilakukan secara rutin sejak tahun 1467. Bertempat di Hulu Sungai Brantas, kaki gunung Arjuno. Yakni di daerah Sumber Brantas Bumiaji Malang.
Tiap bulan Suro diadakan tirakatan kerajaan Majapahit. Selaku narasumber yaitu yang mulia Empu Tantular dan Empu Prapanca. Pujangga istana Majapahit mbabar wulangan wejangan wedharan. Sejarah leluhur dibahas secara jelas tegas tuntas.
Misalnya tema tentang tata cara meditasi di daerah aliran sungai Brantas. Tapa ngeli di kali Brantas dilakukan oleh para raja Medang, Kahuripan, Kediri, Jenggala, Daha, Singasari dan Majapahit. Dengan tapa ngeli para leluhur Jawa mendapat kasekten, ilmu kanuragan guna kasantikan.
Sejarah Kali Brantas Untuk Tapa Ngeli Raja Majapahit
Tradisi bersemedi di tengah alas yang sepi tetap lestari. Semangat Kerajaan Jenggala terus berlanjut. Kali Brantas untuk tapa ngeli buat sang narapati.
Kali Brantas sarana meditasi demi ketenangan hati. Kali Brantas juga berguna untuk memutar roda ekonomi. Lalulintas berjalan lancar tuntas karena kenyamanan Kali Brantas.
Sandang pangan lancar karena kali Brantas digunakan untuk sarana transportasi.
Kerajaan Jenggala memang hebat. Putra Prabu Kameswara Kusuma bernama Raden Wijaya. Sejak tahun 1293 mendirikan kerajaan Majapahit. Dari Jenggala berubah menjadi Majapahit. Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit tahun 1293 – 1309. Penerus kerajaan Jenggala ini bergelar Prabu Kertarajasa atau Sinuwun Prabu Brawijaya I.
Tapa ngeli bagi raja Majapahit adalah sebuah keharusan. Berturut-turut narendra agung kerajaan Majapahit yang berbudi luhur. Mereka adalah pemimpin besar, yang berhasil mengangkat harkat martabat rakyat.
1. Raden Wijaya atau Brawijaya I 1293 – 1309.
2. Jayanegara atau Brawijaya II 1309 – 1328.
3. Tri Buana Tungga Dewi 1328 – 1350.
4. Hayamwuruk atau Brawijaya III 1350 – 1389.
5. Kusuma Wardhani Wikrama Wardana 1389 – 1400.
6. Dewi Suhita 1400 – 1427.
7. Kertawijaya atau Brawijaya IV 1427 – 1438 .
8. Ratu Kencono Wungu 1438 – 1457.
9. Kertabumi atau Brawijaya V 1457 – 1478.
10. Prabu Kalana Jayengsari 697 – 725
11. Prabu Dhawuk Marma 725 – 753
12. Prabu Maesa Tandreman 753 – 784
13. Prabu Suryo Hamiluhur 784 – 809
14. Prabu Banjaransari 809 – 840
15. Prabu Lembu Pangarsa 840 – 873
16. Prabu Gondo Kusumo 873 – 897
17. Prabu Jaka Saputra 897 – 926
18. Prabu Candra Kusuma 926 – 935
19. Prabu Darma Kusuma 935 – 948
20. Prabu Darmajaya 948 – 988
21. Prabu Darmawangsa 988 – 1010
22. Prabu Airlangga 1010 – 1042
23. Prabu Samara Wijaya 1042 – 1071
24. Prabu Samara Dahana 1071 – 1098
25. Prabu Samara Wangsa 1098 – 1121
26. Prabu Samara Kusuma 1121 – 1140
27. Prabu Kameswara Jaya 1140 – 1168
28. Prabu Kameswara Citra 1168 – 1187
29. Prabu Kameswara Sigit 1187 – 1199
30. Prabu Kameswara Jajar 1199 – 1220.
31. Prabu Kameswara Dhandhang 1220 – 1236.
32. Prabu Kameswara Susuruh 1236 – 1264
33. Prabu Kameswara Kusuma 1264 – 1293.
Kesadaran mengelola daerah aliran sungai Brantas ini diwariskan untuk mengelola bengawan Solo. Saat Demak, Pajang Mataram berkuasa ilmu kali Brantas ternyata sangat berguna.
Sinuwun Prabu Brawijaya V raja yang sakti mandraguna. Putranya adalah para penguasa kerajaan di Jawa selanjutnya. Permaisuri berjumlah 3 orang yakni Ratu Cempa, Ratu Dworowati dan Ratu Wandan Kuning.
Ratu Cempa melahirkan Raden Patah yang menjadi raja Demak Bintara. Ratu Dworowati nanti menurunkan Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Ratu Wandan Kuning kelak memunculkan Panembahan Senapati raja Mataram. Ketiga garwa prameswari Prabu Brawijaya V memang trahing kusuma rembesing madu.
Kraton Jenggala menurunkan raja-raja Jawa. Dari Majapahit ke Demak, Pajang, Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dinasti kerajaan membawa visi misi peradaban. Kraton Jenggala Manik mengalirkan nilai keutamaan, keteladanan, keluhuran, kebajikan, kepahlawanan, keagungan, kebangsaan.
Dalam sejarahnya Karaton Jenggala memberi inspirasi bagi para raja Jawa. Agar selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Yakni ber budi bawa laksana, memayu hayuning bawana.
Air kali Brantas dikelola dengan baik. Pada tahun 1298 Raden Wijaya datang di sekitar Gunung Kelud. Bendungan dibangun di daerah Blitar untuk mengairi persawahan. Padi tela jagung tumbuh ngrembuyung.
Tahun 1318 Prabu Jayanegara raja Majapahit datang di Kediri. Beliau meresmikan jembatan daha. Jembatan ini memperlancar sistem transportasi dari daerah Kediri ke daerah Tulungagung.
Jembatan Kali Brantas Kertosono dibangun tahun 1342 oleh Prabu Putri Tri Buana Tungga Dewi Jaya Wisnu Murti. Raja Majapahit ini peduli pada kebutuhan warga Nganjuk dan Jombang. Maka ada humor Pak Kerto tuku kertu lewat kertek mudhun Kertosono.
Prabu Hayam Wuruk membangun sarana irigasi untuk daerah Mojokerto tahun 1357. Pengairan Kali Brantas diatur dengan rapi. Maka raja Majapahit mengangkat pejabat Jogotirto.
Demikian pula Prabu Brawijaya V amat perhatian pada daerah aliran sungai Brantas. Pada tahun 1468 Kerajaan Majapahit membangun sendang patirtan. Air kali Brantas untuk budidaya perikanan darat.
Ikan mujahir, nila, tawes, tumbra, bader, lele, kocolan, welut, tengiri, gabus dipelihara rakyat Majapahit. Penghasilan masyarakat maju berlipat ganda. Kali Brantas dikelola oleh Kerajaan Majapahit untuk meningkatkan kesejahteraan.
SUNGAI BRANTAS DI BELAH (VERSI DONGENG)
Sungai Brantas di Jawa Timur menyimpan banyak misteri. Konon sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo ini ditunggui oleh buaya putih. Cerita tentang buaya putih ini telah terjadi turun temurun.
Bahkan konon, cerita tentang keberadaan buaya putih di aliran Sungai Brantas sudah ada sejak zaman kerajaan kuno. Selain itu juga diceritakan di catatan Belanda ketika awal-awal pembangunan proyek jembatan lama Kediri sekitar tahun 1836-1876 yang sampai sekarang masih menjadi misteri.
Dahulu kala di Jawa ada sebuah kerajaan besar, Kahuripan namanya. Rajanya bernama Prabu Airlangga, Airlangga ini adalah seorang putra raja di Bali. Saat usia Prabu Airlangga sudah tua, ia ingin menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Kahuripan akan diserahkan pada Putri Permaisurinya, Sanggramawijaya, ia putri yang cantik jelita.
Namun Sanggramawijaya menolak, ia memilih menjadi pertapa ketimbang menjadi raja. Sanggramawijaya pun meminta restu pada ayahandanya untuk pertapa di Goa Selomangleng yang berada di Kaki Gunung Klotok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Sanggramawijaya kemudian mengubah namanya menjadi Dewi Kilisuci.
Prabu Airlangga pun berkeinginan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari selir, ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Airlangga kebingungan untuk memilih salah satu yang akan diberi tahta Kerajaan Kahuripan.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha untuk pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali untuk salah satu putranya. Namun, tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga.
Untuk melaksanakan perintah itu, Empu Baradha terbang sambil membawa Kendi (teko dari tanah liat) berisi air. Dari angkasa, ia tumpahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Kahuripan.
Anehnya, tanah yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan airnya deras. Sungai itu sekarang bernama Sungai Brantas.
Kerajaan Kahuripan kemudian terbagi menjadi dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu Baradha. Prabu Airlangga pun menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Kahuripan itu kepada Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Bagian Kerajaan Kahuripan sebelah timur sungai diserahkan kepada Mapanji Garasakan, yang diberi nama Kerajaan Jenggala. Sedangkan bagian barat sungai diserahkan kepada Sri Samarawijaya dan kerajaannya diberi nama Kerajaan Panjalu Kadiri yang sekarang Kota Kediri.
Kini tentramlah hati Prabu Airlangga. Ia dengan tenang pergi dari Kerajaan Kahuripan (sebelum terbelah) untuk menjadi seorang pertapa. Prabu Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia mengganti namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika meninggal dunia, jenazah Prabu Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah timur.
LEGENDA SUNGAI BRANTAS
Air kendi Empu Baradha.
Bagi masyarakat Jawa Timur, Sungai Brantas adalah berkah. Dari kaki Gunung Arjuna di Malang, sungai besar (bengawan) Brantas bersama 39 anak sungainya menggeliat dan membentang di 15 kabupaten di Jawa Timur.
Legenda Sungai Brantas tak bisa dilepaskan dari Kediri.
Dikisahkan di masa lalu, kawasan Kediri adalah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Medang yang saat itu dipimpin oleh Prabu Airlangga.
Sang Prabu berasal dari Bali dan menjadi Raja Medang setelah menikahi seorang putri Raja medang.
Prabu Airlangga dikenal sebagai sosok yang religius.
Saat usianya sudah senja, ia memilih menjadi seorang pertapa. Ia pun menyerahkan tahta kerajaan kepada putri permaisuri yang berama Dyah Sangmawijaya.
Namun Dyah menolak karena juga memilih menjadi pertapa seperti ayahnya.
Prabu Airlangga akhirnya memberikan tahta kepada putra dari selirnya. Dari selirnya, ia memiliki dua putra yaitu Raden Jayanagara dan Raden Jayengrana.
Prabu merasa bingung dan agar adil, ia meminta batuan Empu Baradha untuk membagi Kerajaan Medang menjadi dua bagian untuk kedua putranya.
Dengan kesaktiannya Empu Baradha pun terbang dengan membawa kendi yang berisi air. Ia kemudian menumpahkan air kendi itu dari angkasa persis di tengah-tengah Kerajaa Medang.
Ajaibnya, tanah yang terkena air dari kendi tersebut berubah menjadi sungai yang kini dikenal dengan Sungai Brantas.
Kerajaan Medang pun kini terbagi menjadi dua wilayah yang dibatasi Sungai Brantas.
Bagian sebelah timur diserahkan kepada Raden Jayengrana yang diberi nama Kerajaan Jenggala.
Sedangkan bagian barat sungai diberikan kepada Raden Jayanagara yang diberi nama Kerajaan Kadiri atau yang kini dikenal dengan nama Kediri.
SEBAGAI PUSAT PERADABAN
Dikutip dari buku Sungai sebagai Pusat Peradaban, ditemukan kehidupan Homo Wajakensis wilayah Wajak, suatu lembah di Brantas Hulu yang sangat subur yang letaknya di dekat Tulungangung.
Hal itu menujukkan bahwa Sungai Brantas memiliki sejarah yang sangat panjang baik secara sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan militer.
Bahkan Sungai Brantas menjadi saksi era kerajaan yang muncul silih berganti, mulai dari Kerajaan Mataram Mpu Sindok (akhir abad ke-9 Masehi) hingga masa akhir Kerajaan Majapahit di abad ke-16 Masehi.
Di masa Kerajaan Mapapahit, Sang Raja Hayam Wuruk mengeluarkan Prasasti Canggu (1358 Masehi). Prasasti tersebut menyebutkan hak-hak istimewa pada penjaga tempat penyebarangan di Sungai Brantas.
Saat ini Canggu berada di Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto yang terletak di sepanjang aliran Sungai Kalimas (cabang dari Sungai Brantas).
Di masa lalu, desa-desa di pinggir sungai (nitipradesa) yang menjadi lokasi panambangan adalah daerah perdikan sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma.
Dengan cara itu, warga dilibatkan untuk menjaga fasilitas penyeberangan.
Dalam prasasti tersebut tercatat ada 34 desa panambangan di Sungai Brantas dan 44 desa panambangan di Bengawan Solo.
Kepustakaan Inggris menyebut prasasti itu dengan istilah ferry charter.
Yakni titik-titik panambangan yang menjadi semacam pelabuhan transit bagi perahu-perahu yang berlayar dari Pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) ke ibu kota Majapahit.
Berdasarkan berita China dari Dinasti Ming (abad ke-14 Masehi), setiap kapal asing yang hendak menuju Majapahit pertama kali singgah di Pelabuhan Tuban, Gresik, lalu Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit.
Dari Surabaya, jung (kapal) asing tidak bisa masuk ke pedalaman.
Mereka menggunakan perahu yang lebih kecil dan berlayar ke Canggu yang berjarak sekitar 40 kilometer. Canggu kala itu pelabuhan dengan pasar yang ramai dikunjungi para pedagang.
Sekitar tahun 1942, penduduk Desa Canggu menemukan perahu pecah dan dari cerita tutur, perahu tersebut adalah milik Dampu Awang yang pecah saat meninggalkan Pelabuhan Canggu.
Selain itu di Desa Canggu ditemukan makam tua di pemakaman Dusung Kedung Sumur.
Makam itu dipercaya milik Cheng Hwie atau Shang Hwie, saudagar asal China. Sisa-sisa makam tua itu masih bisa dikenali dengan melihat batu nisannya yang terbuat dari batu bata merah dengan tebal 6 sentimeter, lebar 20 sentimeter, dan panjang 30 sentimeter.
Menurut Mbah Misno (59), juru kunci Makam Kedung Sumur, meyakini bahwa Pelabuhan Canggu yang dibangun pada 1271 oleh Raja Singasari Wisnuwardhana terletak di desanya.
Pada 1960-an, di Kedung Sumur sempat muncul bangkai perahu kayu jati tengkurap saat seorang warga menggali tanah untuk tempat buangan sampah.
Raja Wisnuwardhana membangun pelabuhan di Canggu karena lokasinya berada di ujung percabangan Sungai Brantas sebelum pecah menjadi Sungai Kalimas dan Sungai Porong.
”Lokasinya strategis. Di situ mereka membangun benteng untuk menjaga pertahanan sekaligus untuk menarik cukai.
Raja-raja sesudah Wisnuwardhana tinggal meneruskan kebijakan itu.
Puncaknya tentu terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Kala itu Canggu menjadi pelabuhan pedalaman yang ramai dikunjungi pedagang dari banyak bangsa.
Kejayaan transportasi sungai itu menunjukkan pemahaman raja-raja pada era tersebut terhadap pentingnya laut dan sungai.
SEKILAS SUNGAI BRANTAS
Sungai Brantas adalah sebuah sungai yang mengalir di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Sungai ini merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa, setelah Bengawan Solo. Penduduk yang tinggal di wilayah Sungai Brantas mencapai 15,2 juta orang (1999) atau 43% dari penduduk Jatim, dan mempunyai kepadatan rata-rata 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata Jatim. Adapun Sungai Brantas mempunyai peran yang cukup besar dalam menunjang Provinsi Jatim sebagai lumbung pangan nasional. Antara tahun 1994–1997, Provinsi Jatim rata-rata berkontribusi 470.000 ton beras/tahun atau sebesar 25% dari stok pangan nasional.
Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno, lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Sungai Brantas mempunyai Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim hujan. Potensi air permukaan pertahun rata-rata 12 miliar m³. Potensi yang termanfaatkan sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per-tahun.
Sejak abad ke-8, di DAS Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak Sungai Konto, yakni Sungai Harinjing (Lombard, 2000).
Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.
Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik.
Sungai ini mengalir di wilayah timur pulau Jawa yang beriklim muson tropis (kode: Am menurut klasifikasi iklim Köppen-Geiger).[4] Suhu rata-rata setahun sekitar 26 °C. Bulan terpanas adalah Oktober, dengan suhu rata-rata 30 °C, and terdingin Juni, sekitar 24 °C. Curah hujan rata-rata tahunan adalah 2982 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah Maret, dengan rata-rata 496 mm, dan yang terendah Agustus, rata-rata 28 mm.
Hingga dekade 1960-an, masalah utama di DAS Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua peristiwa, yakni kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Terjadi kegagalan panen dan kelaparan akibat kekurangan air di musim kemarau, sementara di musim hujan terjadi banjir yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa. Selain itu, kondisi aliran air Sungai Brantas juga terhambat endapan sedimen yang dihasilkan oleh letusan Gunung Kelud (+1.781 mdpl). Setiap 10 hingga 15 tahun, Gunung Kelud meletus dan melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Brantas, yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fluvial pada aliran air Sungai Brantas.
Pengembangan DAS Brantas dengan pendekatan modern dimulai sejak 1961 berlandaskan prinsip "satu sungai, satu rencana, dan satu manajemen terpadu" yang dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu. Pengembangan dilakukan melalui 4 (empat) rencana induk pengembangan DAS. Sasaran utama rencana induk berturut-turut adalah pengendalian banjir (1961), penyediaan air irigasi (1973), penyediaan air baku (1985) dan konservasi dan manajemen sumberdaya air (1998). Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut:
Rencana induk pertama memiliki sasaran pengendalian banjir, hal ini dikarenakan jika pengembangan DAS Sungai Brantas tanpa adanya pengendalian maka pengembangan yang lain tidak bisa dilakukan. Pengendalian banjir dilakukan dengan membangun sejumlah bendungan untuk menampung kelebihan air, perbaikan alur sungai di bagian tengah DAS dan pembuatan jalur pelepas banjir (flood way). Selain itu disiapkan pula sistem peringatan dini banjir dan jejaring pemantauan hidrologi.
Rencana induk kedua memiliki sasaran penyediaan air irigasi, seiring kebijakan Pemerintah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional dengan memperluas pertanian berbasis irigasi teknis. Sejumlah bendung dan bangunan pengambilan air dibangun dalam tahapan rencana induk ini.
Rencana induk ketiga memiliki sasaran penyediaan air baku, khususnya pelayanan air di daerah tengah dan hilir dari DAS Sungai Brantas. Sejumlah bendung, sistem suplesi (penambahan debit) dan infrastruktur lain yang dapat dipakai melayani air baku dibangun dalam tahapan rencana induk ini.
Rencana induk ke empat ditekankan pada konservasi dan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan air tidak saja mencakup aspek kuantitas namun juga ke arah pengendalian kualitas walaupun masih bersifat terbatas. Dalam tahap ini dikembangkan sistem pengelolaan informasi hidrologi.
Hasil pengembangan menghasilkan sejumlah prasarana pengairan. Manfaat pembangunan antara lain pengendalian banjir 50 tahunan di sungai utama yang mengurangi luas genangan seluas 80.000 ha; irigasi untuk sawah seluas 345.000 ha, yang mana 83.000 ha berupa irigasi teknis langsung dari sungai induk (2,5 miliar m³ per-tahun); energi listrik 1.000 GWh per tahun; serta suplai air baku untuk industri 130 juta m³ per-tahun dan air baku untuk rumah tangga 240 juta m³ per tahun.
Tahap pertama.
Berbeda dengan pengembangan infrastruktur di Sungai Citarum yang dilakukan pada saat yang hampir bersamaan, untuk pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas, pemerintah sengaja tidak menggunakan jasa kontraktor asing, sehingga hanya menggunakan jasa konsultan pengawas asing. Oleh karena itu, selama proses pembangunan, juga dilakukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan agar para pekerja dapat menyelesaikan pembangunan. Sehingga setelah pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas selesai, para pekerja tersebut diharapkan mampu mengerjakan proyek-proyek lain yang serupa di seluruh Indonesia. Tahap ini bertujuan untuk mengurangi pasir yang mengendap di Sungai Brantas dengan cara "push the top and pull the toe" (mendorong di hulu dan menarik di hilir). Di bagian hulu, dilakukan pembangunan Bendungan Karangkates dan Bendungan Selorejo, sementara di bagian hilir dilakukan pembangunan Bendung Lengkong Baru, perbaikan delta Sungai Brantas, dan perbaikan saluran irigasi di delta Sungai Brantas. Dengan adanya Bendungan Karangkates dan Bendungan Selorejo, tersedia air yang cukup banyak sepanjang tahun untuk menggelontor pasir yang mengendap di sepanjang Sungai Brantas. Selain berfungsi sebagai pengendali banjir di bagian hulu, kedua bendungan tersebut juga dapat difungsikan sebagai sumber air irigasi, pembangkit listrik, dan obyek pariwisata. Sementara itu, Bendung Lengkong Baru dibangun di bagian hilir untuk menggantikan Bendung Lengkong yang sudah sangat tua dan menghambat penggelontoran pasir yang mengendap di Sungai Brantas. Sedangkan perbaikan delta Sungai Brantas dan saluran irigasi di delta Sungai Brantas dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan air Sungai Brantas, sehingga selain meningkatkan hasil pertanian, diharapkan juga dapat mengurangi banjir di bagian hilir.
Tahap selanjutnya.
Tahap ini terutama berupa pembangunan Bendung Wlingi Raya yang awalnya ditujukan untuk "central load relieving" (mengurangi beban di tengah), yakni membuang pasir yang mengendap di Sungai Brantas ke Samudra Hindia. Selain itu, juga dilakukan pembangunan saluran irigasi Lodoyo untuk memanfaatkan air yang terbendung. Pada perkembangannya, pembangunan saluran pembuangan pasir ke Samudera Hindia akhirnya ditunda, dan digantikan dengan pembangunan pengganti Terowongan Neyama di Tulungagung, untuk difungsikan sebagai pengendali banjir dan pembangkit listrik. Pada tahap ini pula, dilakukan pembangunan Bendungan Widas di Madiun dan Bendungan Lahor di dekat Bendungan Karangkates.
Pengelolaan infrastruktur.
Pada pertengahan tahun 1980-an, mulai timbul masalah mengenai siapa yang diberi tugas untuk mengelola bangunan prasarana pengairan pasca proyek selesai, agar bangunan di Sungai Brantas dengan total investasi sebesar Rp 7,38 triliun (nilai tahun 2000), dapat berfungsi sesuai yang direncanakan. Persoalan pengelolaan pasca pembangunan tersebut, terutama dalam hal institusi, sumber daya manusia, dan pendanaan. Mengacu pada pengalaman negara maju dan berdasar peraturan-perundangan yang ada, serta untuk menjaga keberlanjutan fungsi prasarana pengairan, maka pada tahun 1990, pemerintah resmi membentuk Perum Jasa Tirta I sebagai BUMN pengelola Sungai Brantas.
Terdapat sejumlah bendungan besar di sepanjang aliran sungai ini maupun di anak-anak sungainya, antara lain :
1. Bendungan Sengguruh.
2. Bendungan Sutami (atau yang disebut juga Waduk Ir. Sutami)
3. Bendungan Lahor
4. Bendungan Selorejo
5 Bendungan Wlingi
6. Bendungan Bening
7. Bendungan Serut
(Semua bendungan di atas dikelola oleh Perum Jasa Tirta I)
Lumpur Lapindo.
Terkait dengan luapan lumpur hidrokarbon dari Desa Siring Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo yang dikenal dengan Lumpur Lapindo, aliran sungai ini dipergunakan untuk menggelontor sebagian semburan lumpur ke selat Madura. Sebagian lumpur ini dipompa masuk ke salah satu anak sungai di hilir, yakni Kali Porong.