JAMAN EDAN
Pengucapan edan maksudnya gila, edan kasmaran seperti gila berahi.
Akhir-akhir ini banyak muncul di media mengenai penangkapan sejumlah calon kepala daerah yang terlibat korupsi. Alih-alih dapat segera menikmati hangatnya kursi jabatan, justru malah duduk tegang di kursi sidang. Tidak hanya itu, sederet kasus besar yang menyeret wakil rakyat dan pejabat negara juga telah menghiasi panggung sandiwara perpolitikan Indonesia.
Korupsi memang seolah telah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi dan perilaku suap-menyuap memang bukanlah sesuatu yang hadir kemarin sore di negeri ini. Bahkan eksistensinya telah ada pada masa penjajahan kolonial. VOC, sebuah perkumpulan dagang Belanda yang berkedudukan di Indonesia pada masa Kolonial juga bangkrut akibat korupsi. Korupsilah yang membuat Belanda jatuh ke dalam "jurang yang paling dalam" menuju kekalahan dan terebutnya aset terbesar mereka oleh Jepang, Hindia Belanda.
Tercatat dalam buku Bangsa Inlander : Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara (2008: 17), Gerrit Demmer seorang anggota Dewan Hindia, bergaji sebulan 160 Golden, ia hidup mewah sebagai anggota Dewan Hindia.
Ketika ia pulang ke negeri Belanda tahun 1652 dapat mengirimkan uang sebanyak 165.750 Golden. VOC yang kala itu adalah singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie, banyak dicibir oleh pribumi dan bangsanya sendiri dengan sebutan Vergaan Order Corrupsi atau kurang lebih Jatuh Karena Korupsi.
Gambaran korupsi di kalangan kolonial agaknya telah menjadi sebuah rahasia umum.
Karena praktek kolonialisme pada dasarnya hanya bagaimana mengambil keuntungan kebanyak-banyaknya dari negeri yang terhisap darah dan keringatnya.
Namun bagaimana penggambaran sebuah negeri yang rusak karena perilaku serakah pemimpinnya yang mementingkan diri sendiri. Raden Ngabehi anggawarsita, seorang pujangga pada masa Paku Buwana IX, seorang anak dari pujangga besar masa Surakarta awal, Raden Tumenggung Sastranegara atau Yasadipura II. Ranggawarsita punya caranya sendiri untuk mengungkapkan bagaimana sebuah negeri dilanda Jaman Edan.
Ungkapan itu tergambar dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, syair ke-7 :
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Noya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Negja begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Terjemahan :
Mengalami masa yang gila
Sulit untuk dimengerti
Ikut gila tidak tahan
Jika tidak ikut melakukan
Tidak dapat bagian (harta)
Akhirnya kelaparan
Atas kehendak Tuhan
Sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa
Lebih bahagia (orang) yang ingat dan waspada.
Secara historis, Ranggawarsita hidup dan mengabdi sebagai pujangga Keraton Surakarta di masa Raja Paku Buwana IX. Pujangga dapat diartikan sebagai orang yang memiliki kewenangan menulis puisi, surat, cerita menurut perintah rajanya. Otomatis apa yang ditulis oleh orang pujangga keraton harus merefleksikan kebesaran dan legitimasi kekuasaan sang raja.
Lain cerita dengan Serat Kalatidha yang ditulis pada tahun 1861. Dalam buku Ranggawarsita,
Apa yang terjadi ? (Andjar, 1980: 78 ) diketahui pada saat itu Ranggawarsita bertentangan dengan sifat Paku Buwana IX dalam memimpin keraton.
Serat Kalatidha merupakan teks yang merefleksikan kritik dan sindiran Ranggawarsita kepada rajanya. Kondisi negara yang berisi pejabat yang selalu menilai segalanya dengan uang dan harta. Ketika ada yang bertentangan, ditekan, ditelantarkan, dan dibiarkan hidup dalam kelaparan.
Namun Ranggawarsita juga memberikan solusi dalam menghadapi pengaruh politik uang yang keji dan telah menjamur di seluruh negeri : ndilalah kersaning Allah, begja begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.
Ada 2 frasa yang mengisyaratkan makna yang ingin disampaikan Ranggawarsita, kersaning Allah dan eling lan waspada.
1. Dalam Budaya Jawa, ada istilah narima. Dalam konteks filsafat budaya narima adalah sebuah sikap Masyarakat Jawa dalam melihat banyaknya kehidupan berjalan. Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia hidup di dunia sebagai wali Tuhan, ada yang menciptakan dan ada yang mematikan. Segala yang telah ada di dunia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. kersaning Allah atau (atas) kehendak Tuhan berarti Ranggawarsita mengajak kita untuk memasrahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Percaya bahwa Tuhan akan selalu menolong hamba-Nya saat kesulitan datang.
2. Eling lan Waspada atau (selalu) ingat dan waspada.
Bagian ini adalah penerapan dari bukti kita sebagai makhluk Tuhan. Semua ajaran agama-agama di dunia pada hakikatnya memupuk rasa percaya kepada Tuhan dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Manusia harus selalu bersikap ingat dan waspada dalam konteks apapun yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Sikap ingat dan waspada akan mengantarkan seseorang agar tidak terseret dengan arus keadaan yang dialaminya.
Segala perbuatan yang didasari dengan sikap ingat dan waspada akan mendatangkan pahala dari Tuhan, dan karenanya akan lebih mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dengan melihat kenyataan bahwa korupsi masih tumbuh subur di negeri ini, kita tidak dapat memungkuri jika perilaku tercela itu masih akan tetap ada selama 1000 tahun lagi, walaupun mungkin berbeda cara dan bentuknya. Namun pada semua generasi muda masih dapat mengubahnya menjadi lebih baik, setidaknya berdiri sejajar dengan Ranggawarsita, menentukan sikap untuk melawan dan mengatakan tidak.
SERAT KALATIDHA
Serat Kalatidha adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.
Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom dan seluruhnya ditulis menggunakan aksara Jawa (Hanacaraka) gagrak Surakarta. Kala tidha secara harafiah artinya adalah "zaman gila" atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau pujangga terakhir. Sebab setelah itu tidak ada pujangga kerajaan lagi.
SYAIR KALATIDHA
Syair Kalatidha bisa dibagi menjadi tiga bagian : bagian pertama adalah bait 1 sampai 6, bagian kedua adalah bait 7 dan bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12.
Bagian pertama adalah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip. Bagian kedua isinya adalah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya adalah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.
PETIKAN
Bait Serat Kalatidha yang paling dikenal adalah bait ke-7.
Sebab bait ini adalah esensi utama syair ini. Amanat syair ini bisa diringkas dalam satu bait ini.
TEKS ASLI (AKSARA JAWA)
Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu édan nora tahan, yén tan milu anglakoni, boya kaduman mélik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lawan waspada.Berada di zaman gila, serba salah dalam bertindak. Ikut-ikutan gila tidak akan tahan, tetapi kalau tidak mengikuti arus, tidak kebagian, (lalu) jatuh miskin pada akhirnya. Tetapi Allah Mahaadil. Sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
SERAT KALATIDHA DI LAIDEN
Serat Kalatidha menjadi salah satu puisi di proyek puisi dinding di Leiden, Belanda. Pandangan sisi depan Pranala luar (Belanda) Situs resmi Serat Kalatidha di Leiden Diarsipkan 2010-04-26 di Wayback Machine.
SERAT KALATIDHA DALAM KONTEKS MASA DEPAN
Amenangi zaman edan,
ewuhaya ing pambudi
melu ngedan nora tahan,
yen tan melu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wakasanipun,
ndilalah kersa allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang eling klawan waspada.
(Pupuh 7 Serat Kalatidha)
Raden Ngabei Ranggawarsita, pujangga Karaton Surakarta dikenal dengan karya sastranya pada abad ke-19. Kalatidha adalah salah satu karya sastra yang dikenal hingga saat ini seperti sebuah ramalan dari sang pujangga. Jaman edan, yang ia tulis dalam syairnya merujuk pada penggambaran keadaan zaman yang rusak. Edan dalam bahasa Indonesia berarti gila, oleh Ranggawarsita digunakan untuk menggambarkan keadaan dengan pelanggaran aturan dan norma yang parah dan sistematis. Persis seperti kondisi bangsa Indonesia saat ini.
JAMAN EDAN
ELING LAN WASPADA
1. Panjenengan mboten emut kulo aturi emut ngih.
2. Sliramu ora ngenah ndang sadar.
3. Spean njaluk ditambakno
Kowe setrip.
3. Awakmu rodhok miring
4. Kowe nyleneh yo.
5. Awakmu kok dleming.
6. Lu gile jangan ngajak gue gile sendiri lu.
7. Anda gila terserah gila sendiri lah ?
8. Awakmu nek edan yo edanno dewe.
9. Peno nek gendheng yo gendhengo dewe.
10. Kon loro pikir yo loro pikir awakmu dewe.
11. Kowe nek pekhok yo ojo ajak-ajak pekhoko dewe.
12. Sliramu nek koplak yo koplako dewe.
13. Ndiko nek enyeng yo enyengo dewe.
14. Wong ora satus kok ajak-ajak yo budhalo dewe.
15. Spean menawi owah, ngih owah kiyambak.
16. Panjenengan menawi radhi sayah polo lan penggalih, ngih sayah polo lan penggalih kiyambak.
Supana melalui makalahnya menjelaskan jaman edan yang dituliskan Ranggawarsita merujuk pada zaman ketika terjadi pelecehan aturan, disebut juga dengan kalabendu atau kalatidha. Supana menambahkan penulisan Kalatidha tidak lepas dari pengalaman pahit Ranggawarsita. Sang Pujangga tidak ingin merasakan kepedihan yang berlarut-larut akibat fitnah yang dideritanya.
ZAMAN EDAN VERSI / PENDAPAT
Menurut Suwardi Endraswara menyebut perlu adanya penafsiran ulang terhadap tanda-tanda jaman edan. Melalui perspektif fenomenologis jaman edan diartikan sebagai hal yang serba tidak jelas, serba remang-remang. Sementara dari perspektif hermeneutic diartikan sebagai zaman yang serba jauh dari nalar. Banyak yang tidak jelas, kabur, di jagad jaman edan. Inti potret jaman edan masa kini adalah kondisi serba bolak balik. Yakni jaman yang tidak pernah sejalan dengan nalar jernih.
Sementara itu, GPH Dipokusumo menuturkan beberapa ramalan dalam karya Ranggawarsita yang sudah terjadi pada bangsa Indonesia seperti kemerdekaan dan dan bentuk tata kenegaraan. Ranggawarsita juga menulis Pedah apa amituhu(apa gunanya kita percaya)/pawarta lara wara(pada berita kosong)/ mundha kang roro ati (justru membuat sakit hati)//.
Karya tersebut seperti menggambarkan kondisi saat ini, yaitu banjir informasi dan banyak berita bohong.
Tak hanya ramalan yang terbukti, Ranggawarsita juga menulis solusi dan cara menghadapi jaman edan tersebut. Supana memaparkan solusi yang ditulis Ranggawarsita antara lain eling lan waspada. “Solusinya yakni, eling dan waspada, eling dalam budaya Jawa memiliki makna yang mendalam dan berkekuatan, selalu ingat, singkatnya, terang Supana. Sementara waspada diartikan sebagai sikap awas terhadap ancaman dari tindakan yang menyimpang dari norma-norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Konser Karawitan Gadhon.
Berbarengan dengan seminar nasional yang diselenggarakan di Auditorium UNS, Konser Karawitan Gadhon digelar. Konser menampilkan Laras Pandawa, kelompok musik karawitan mahasiswa Prodi Sastra Daerah.
Konser karawitan gadhon ini digelar dengan tujuan yaitu sebagai bentuk perhatian dan keikutsertaan aktif terhadap upaya pelestarian kesenian Jawa khususnya karawitan gadhon. Selain itu konser karawitan gadhon menjadi bagian program promosi UNS menuju world class university.
Penampilan apik kelompok karawitan Laras Pandawa sebelum seminar nasional dimulai.
Rektor UNS melalui sambutan yang dibacakan oleh Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UNS, Warto, menyebut UNS sangat peduli dengan pengembangan kebudayaan.
UNS berada di pusat kebudayaan Jawa menjadi lembaga pendidikan yang memang sudah sepatutnya nguri-nguri budaya luhur dan kemudian dikembangkan dalam konteks masa depan.
Tentang Serat Kalatidha Ronggowarsito yang Dikutip HB X Saat Sapa Aruh soal Virus Corona
Pesan tersebut sejatinya ingin disampaikan HB X di keraton karena menyangkut pribadinya sebagai Raja Yogyakarta.
Namun akhirnya pesan Sapa Aruh Sultan HB X itu disampaikan di Kepatihan, mengingat dirinya juga Gubernur DIY yang masih harus mengontrol jalannya tanggap darurat virus corona di DIY.
HB X berpesan agar masyarakat Yogyakarta menjaga kesehatan, menghindari keramaian, dan mengisolasi diri selama 14 hari serta menjaga keluarga.
Dalam pengumuman itu, pihaknya menyebut Yogyakarta tidak melakukan lockdown namun slow-down atau berupaya memperlambat pandemi virus corona.
Sehingga HB X memohon kepada warga Yogyakarta bersabar, tawakal, pasrah, ikhtiar dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di awal pesannya, HB X menyebut pujangga Ronggowarsito dan sajak Serat Kalatidha untuk konteks hari-hari yang penuh ketidakpastian virus corona atau tidha-tidha dalam ungkapan Jawa.
SAYA, Hamengku Buwono, pada hari-hari ini yang syarat akan ketidakpastian, yang digambarkan oleh Pujangga Wekasan, Ranggawarsito dalam serat Kalatidha, suasana tidha-tidha yang sulit diramal, penuh rasa was-was. Saya mohon para warga agar bersama-sama memanjatkan doa ke haribaan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, agar Kita diberi petunjuk di jalan lurus-NYA kembali pada ketenteraman lahir dan batin.
Apa itu Serat Kalatidha dan siapa Ronggowarsito ?
Mengutip Serat Kalathida adalah salah satu karya pujangga Jawa Ronggowarsito yang menonjol.
Karya terkenal Ronggowarsito lainnya selain Serat Kalatidha adalah Serat Centhini, Joko Lodhang, Sabda Jati, atau Sabda Tama.
Naskah yang seluruhnya terdiri dari 12 bait itu berbentuk serat (puisi klasik) pada zamannya sering dianggap sebagai ramalan tentang suatu keadaan di masa mendatang.
Prof Drs Sunarjo Wreksosuhardjo saat pidato pengukuhan guru besar Universitas Sebelas Maret di kampus UNS menyebutkan, Serat Kalatidha mengandung derajat kesempurnaan di dalam filsafat Timur.
Sementara bait yang juga sering dikutip orang dari Serat Kalatidha adalah bait ketujuh, yang di dalamnya mengingatkan orang Jawa untuk selalu ingat dan waspada.
RNg Ronggowarsito (1802-1873) adalah pujangga besar Jawa yang hidup di kalangan Keraton Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwono IV hingga V.