Sejarah Kawitane Wong Jawa lan wong Kanung
(Buku Sejarah Lasem)
Buku Sejarah Lasem (1)
Sejarah Kawitane Wong Jawa lan wong Kanung
Sejarah tentang Jawa Yang Belum Terungkap
Dalam pembukaan buku ini diterangkan bahwa penulisan buku ini dimulai pada tahun 1931 dengan sumber penuturan dari Eyang Buyut canggah Guru-Desa, dan Eyang Pandhit Kanung di Paredèn Kendheng Ngargapura, Pomahan, Sukalila dan Prawata.
Di bagian pembuka ini pula dituliskan peringatan dari Para Swargi Eyang Panembahan Kanung untuk menjaga agar sejarah tentang ajaran Kanung ini jangan sampai terdengar oleh orang-orang dari atas-angin Maghribi karena pasti akan dipersoalkan dan penganut Kanung bisa saja dibuang ke Sawahlunta.
Peringatan ini diakhiri dengan wejangan “mBesuk yen wong Kebo Bule wis mulih ring kandhange, crita Sejarahe Leluhur Kanung iki bakal dilari digoleki dening Priagung JAWA kang mametri ngleluri Kabudayan Jawa. Lhah ing kono Anak-putu tedhake wong Kanung, aja tidha-tidha supaya Mangastuti medhar mbabar Sejarahe Leluhure dhewe iki: Sura Dira Jaya-ning Rat bakal lebur dening Pangastuti!!!” (maaf tak ada terjemahan bahasa Indonesianya:-p).
Bab selanjutnya menggambarkan bagaimana kondisi pulau Jawa pada saat zaman Jumajuja (puluhan ribu tahun lalu). Pada zaman ini terdapat dua Pegunungan Kendheng, Pegunungan Kendheng Selatan yang disebut Pegunungan Kendheng Tua dan Pegunungan Kendheng Utara yang disebut dengan sebutan Nusa Kendheng.
Pegunungan Kendheng Selatan merupakan rangkaian dari Pegunungan Kabuh di Kabupaten Jombang dan membujur ke barat hingga Pegunungan Masaran Kabupatenn Sragen.
Buku Sejarah Lasem (2)
Sejarah Kawitane Wong Jawa lan wong Kanung
Sejarah tentang Jawa Yang Belum Terungkap
Pegunungan Kendheng Selatan dulu berasal dari Pegunungan Watujago yang terbelah akibat gempa besar yang disertai meletusnya Gunung Lawu pada 9.000 tahun yang lalu. Letusan ii mengakibatkan terbentuknya lembah Ngawi yang sekarang ini menjadi jalur aliran Bengawan Solo.
Sebelum terjadi gempa, Pegunungan Watujago telah dihuni oleh manusia yang masih telanjang dan berupa kera besar yang memakan hewan-hewan kecil dan buah-buahan yang bisa didapat dengan mudah di Pegunungan ini. Oleh orang lain yang lebih memiliki kebudayaan, orang-orang seperti ini disebut dengan “Wong Legena”, Gandaruwo atau “Monyet Limuri”. Pada waktu itu orang-orang ini belum berani tidur di goa karena masih dihuni oleh binatang buas.
Mereka lebih memilih untuk tidur di celah-celah tebing atau dahan pohon yang tinggi. Pegunungan Kendheng Utara (Nusa Kendheng) pada 5.000 tahun yang lalu, yang saat itu masih berupa pulau dengan tiga semenanjung, telah dihuni oleh “wong-suku Lingga” yang lebih maju daripada “Wong Legena” karena telah bisa membuat senjata dari batu yang diasah.
Nusa Kendheng saat itu dikelilingi oleh teluk dan laut (segara). Di sebelah selatang terdapat Teluk Lodhan yang bersambungan dengan Segara Kening di sebelah Timur.
Di sebelah selatan terdapat Segara selat Kendheng-Kidul dan Segara Teluk Lusi. Sedngkan di sebelah utara terdapat Teluk Juwana dan Samodra JAWA yang sangat luas. Di sebelah barat terdapat Segara teluk Serang yang bertemu dengan Segara Selat Murya yang memisahkan Nusa Kendheng dengan Gunung Murya yang saat itu masih berupa gunung berapi yang sangat besar.
Di Nusa Kendheng tidak terdapat lembah yang bisa menampung air dan menumbuhkan padi karena hanya berupa batu kapur dengan banyak jurang dan tebing. Di bumi Nusa Kendheng hanya terdapat tumbuhan jalinthing, canthel dan jagung-kodhok yang tumbuh di antara rekahan tanah yang menampung air hujan. Hutan yang ada ditumbuhi pepohonan semacam jati, trenggulun, sawo-kecik, jambu monyet, klethuk dan mulwa.
Di pucukBuku Sejarah Lasem (3)
Sejarah Kawitane Wong Jawa lan wong Kanung”
Sejarah tentang Jawa Yang Belum Terungkap
Pegunungan ini terdapat padang rumput yang subur dengan tumbuhan seperti rumput kalajana dan alang-alang yang ditinggali kawanan banteng ; banteng betina disebut JAWI yang sangat perhatian smile emotikon jawa banget) pada anak-anaknya. Sedangkan di pesisir pulau ini terdapat pohon kelapa, bogor dan jambe.
Saat itu Pegunungan Kendheng Utara telah ditempati oleh manusai pribumi yang berperawakan kecil dengan kulit nembaga (hitam (?). Dbandingkan dengan wong Legena, mereka terhitung lebih maju karena sudah menggunakan cawat (penutup) yang terbuat dari anyaman lulup (kulit ( ? ) pohon waru yang dianyam atau berupa kulit hewan.
Orang-orang ini tinggal di goa-goa kapur secara berkelompok dengan ditemani anjing-anjing liar yang biasa menemani mereka saat berburu. Mereka biasa berburu dengan menggunakan panah, bedhor dan payal yang dibuat dari batu yang diasah.
Hasil buruan yang mereka dapat dimasak dengan cara dibakar kemudian ditaburi abu kayu-kayu yang tumbuh di pinggir pantai sehingga terasa asin. Setelah hidangan siap disajikan, hidangaan tersebut disantap bersama-sama anggota kelompok, termasuk anjing peliharaan yang menemani saat berburu.
“Wong-suku Lingga” mendapatkan bara api dari pohon yang tersambar petir atau bara api dari pohon yang bergesekan di saat musim kemarau. “Api unggun” bias dibuat di sekitar goa tempat tinggal mereka untuk menghangatkan badan dan mengusir hewan buas yang masih berkeliaran.
Suasana berbeda terjadi pada saat terang bulan karena pada saat itu “wong-suku Lingga” menggelar semacam pesta dengan berjoget dan berteriak-teriak senang sambil bertepuk tangan dan bersiul. Tak lupa mereka memainkan “alat-alat musik perkusi” dengan memukul kayu yang berlobang.
Buku Sejarah Lasem (4)
Sejarah Kawitane Wong Jawa lan wong Kanung.
Sejarah tentang Jawa Yang Belum Terungkap
Koloni awal manusia jawa yang diceritakan Mbah Guru merupakan manusia pendatang dari Sampit, jika ditelusur ke belakang maka nenek moyang mereka berasal dari bangsa Chauw yang bermukim di hulu sungai Yang Tse (China) yang melakukan migrasi ke selatan sampai ke pegunungan Yunan, Hainan (taiwan) kemudian menusuri kamboja hingga ke Kalimantan.
Koloni pendatang yang menetap di Nusa Kendeng kemudian menamakan diri sebagai orang jawa, tanah mereka disebut sebagai tanah jawi. Mereka meggunakan nama jawa yang berasal dari kata jawi (banteng betina) yang sangat perhatian menjaga anak-anaknya ketika di malam hari mereka tidur bergerombol beradu punggung membentuk lingkaran dengan anak-naknya berada ditengah.
Sementara itu beberapa banteng lainnya tetap siaga berkeliling diantara kawanan banteng tersebut untuk berjaga dari serangat binatang buas.
Secara sederhana makna yang melekat pada kata jawa mengandung tiga unsur yaitu gemati, ngerti dan wigati. Lebih lanjut, gemati dapat diartikan sebagai perhatian atau menjaga dan merawat dengan baik, sedangkan ngerti diartikan sebagai pengertian dan mengetahui hal-hal yang terbaik, selanjutnya wigati berarti penting atau memberikan sesuatu dengan sepenuhnya.
Dengan kata lain, jawa berarti manusia yang memiliki perhatian sepenuhnya terhadap segala hal, mengerti cara dan mau melakukan sesuatu untuk menjaga, merawat dengan baik agar mendapatkan hasil yang terbaik bagi kelestarian komunitasnya.
Berdasarkan pemaknaan tersebut di atas, maka masyaratakat Jawa tidak perlu besar kepala karena seiring dengan berkembangnya jaman semakin banyak masyarakat Jawa kehilangan identitasnya. Di lain pihak ada sebagian juga orang-orang yang bukan merupakan suku Jawa justru lebih njawani dari orang Jawa itu sendiri.
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro