Siu Ban Ci
(Garwo Selir Brawijaya V)
Kisah Seorang Wanita Cina Buah Perjalanan Cheng Ho
Tahun 1416 M, angkatan laut negeri Cina mengadakan perjalanan keliling untuk kesekian kalinya atas perintah kaisar Yunglo, raja ketiga Dinasti Ming. Armada tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Thaykam dengan jurumudinya yang bernama Ma Hua
Armada Cina tersebut terdiri dari 63 kapal dengan awak sebanyak 27.800 orang. Tujuan perjalanannya adalah mengadakan persahabatan dengan berbagai kerajaan di luar daratan Cina karena citra negeri itu sebelumnya sempat buruk akibat Dinasti Mongol – sebelum Dinasti Ming berkuasa- melakukan ekspansi ke mana-mana.
Di Jawa Barat, Cheng Ho singgah di Karawang. Dalam rombongan yang singgah tersebut terdapat seorang ulama yang bernama Syeh Hasanudin -bermazhab Hanafi dan berasal dari Campa - yang bermaksud menyebarkan agama (Islam) di Jawa. Syekh Hasanudin dan beberapa anggota rombongannya turun dan kemudian bermukim di Karawang.
Setelah singgah di Karawang, armada Cheng Ho melanjutkan perjalanan ke timur. Mereka singgah seminggu di Muara Jati di Cirebon, sebuah pelabuhan dalam wilayah kerajaan Galuh yang waktu itu dikepalai oleh Ki Gedeng Jumajan Jati alias Ki Gedeng Tapa. Ia adalah putera bungsu Raja Sunda Wastu Kancana dari isterinya yang bernama Mayangsari. Ki Gedeng Tapa menjadi penguasa pelabuhan merangkap sebagai raja di daerah Singapura[3].
Sementara itu di antara rombongan Syekh Hasanudin terdapat anaknya yang bernama Tan Go Wat alias Syekh Bantong yang di kemudian hari bermukim di Gresik. Saat tinggal di Gresik itulah Syekh Bantong kemudian menjadi saudagar besar dan guru agama. Dari isterinya Siu-te-yo, Syekh Bantong mempunyai anak perempuan yang bernama Siu- ban-ci, atau Dewi Kian.
Gresik waktu itu sudah cukup ramai. Beberapa catatan sejarah mengenai keadaan Gresik pada tahun-tahun saat keluarga Syeh Bantong tiba dan kemudian bermukim di sana antara lain adalah :
· Lurah Gresik, sewaktu Cheng Ho dan armadanya mampir pada tahun 1410, adalah seorang perantau Cina yang berasal dari Provinsi Guangdong. Waktu itu jumlah penduduk Gresik sudah lebih dari 1.000 keluarga yang rata-rata kaya raya. Memang pada waktu itu banyak orang datang ke Gresik untuk berdagang. Menurut berita, Gresik dapat dicapai dari Tuban melalui laut dengan berlayar ke arah timur selama setengah hari. Di tempat itu sudah banyak bangunan masjid.
· Di Gresik pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H / 9 April 1419, Maulana Malik Ibrahim, yang disebut-sebut sebagai wali agama pertama di Jawa, wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik. Perkiraan mengenai kedatangan Maulana Malik Ibrahim bersama rombongan di Gresik adalah tahun 1404 M. Daerah yang ditujunya pertama kali adalah Desa Sembalo, yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran di kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Menurut sejarah, Maulana Malik Ibrahim sebelumnya pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia menikahi puteri raja Campa, yang membuahkan dua anak laki-laki. Kedua anak itu adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Karena telah merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri Campa, maka pada tahun 1392 Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Tidak ada catatan mengenai tempat Maulana Malik Ibrahim berada antara tahun 1392 sampai dengan 1404 M. Yang hampir pasti setelah tahun 1404 itu Maulana Malik Ibrahim bermukim di Gresik sampai wafatnya.
· Menurut catatan selama muhibah Cheng Ho tahun 1414, bilamana hendak ke Majapahit, lebih dulu kapal berlabuh di Tuban lalu berlayar dan berlabuh lagi di Gresik, yang penduduknya banyak orang Tionghoa. Dari Gresik, kapal kemudian masuk ke Surabaya dan berlabuh di sana. Di Surabaya, pindah ke perahu lebih kecil, lalu berlayar ke Canggu. Dengan jalan darat dari Canggu, barulah sampai di ibukota Majapahit yang waktu itu diberitakan berpenduduk sekitar 300.000 orang.
· Dalam laporannya yang berjudul ing ing ai Sheng Lan (Laporan Umum Tentang Pantai-Pantai Samudera), Ma Huan menyatakan bahwa saat berada di Tuban ia menjumpai orang-orang dari Kanton dan Fukien yang menetap di sana. Sementara itu Gresik (nama semulanya adalah Tsetsun kemudian menjadi Sin Tsun atau desa baru) yang semula gundul juga telah berubah menjadi pemukiman dan orang Tionghoa banyak tinggal di sana sebagai pedagang. Bahkan kepala daerahnya adalah orang Tionghoa. Demikian pula di Surabaya juga terdapat kampung orang Tionghoa.
· Shi Jin Qing penguasa Palembang bawahan Majapahit meninggal di Palembang pada tahun 1421. Puteri sulung Shi Jin-qing adalah Nyai Gede Pinatih. Puteri tersebut terpaksa meninggalkan Palembang menuju Majapahit akibat tekanan saudara-saudaranya yang berebut kekuasaan setelah ayahnya meninggal. Selanjutnya setelah tiba di Jawa, Nyai Gede Pinatih memohon bantuan kepada Raja Majapahit. Nyai Gede Pinatih - orang tua angkat Sunan Giri/ Raden Paku – lalu diangkat sebagai syahbandar Gresik. Peristiwanya mungkin sekitar tahun 1421 atau sesudahnya.
· Sunan Ampel / Raden Rahmat mulai menetap di Ampel, Surabaya (tidak jauh dari Gresik) sekitar tahun 1431 setelah pulang dari Haji.
Demikianlah keadaan Gresik saat itu, di mana Siu-ban-ci kemungkinan besar dilahirkan di sana. Wanita ini kemudian diperisteri oleh Kertabumi (Raja Majapahit 1568-1578 M). Tidak jelas kapan Siu-ban-ci lahir dan kawin dengan Kertabumi.
Rupanya di istana Majapahit sedang terjadi intrik-intrik. Karena intrik itulah Siu-ban-ci -dalam keadaan mengandung -diceraikan oleh Kertabumi. Menurut berita lain, Siu-ban-ci dan 80 wanita lainnya diceraikan karena Kertabumi mengawini perempuan lain yang berasal dari Campa.
Beberapa hal yang tercatat dalam sejarah berkaitan dengan perkawinan Raja Majapahit dengan perempuan dari Campa itu antara lain adalah :
· Sehubungan dengan wafatnya Maulana Malik Ibrahim, pendakwah Islam, pada tahun 1419, para penyiar Islam (wali) - berdasarkan ide Maulana Ishaq - berunding dan kemudian menyepakati bahwa harus ada pengganti Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Campa (Thailand). Maulana Ishaq lalu diutus ke Campa untuk maksud tersebut. Di sana, usulnya disetujui oleh Raja Campa dan cucu raja Campa yang bernama Ali Rahmatullah diutus ke Jawa bersama seorang puteri Campa. Setiba di Jawa, Puteri Campa dan rombongannya menghadap Raja Majapahit. Raja Majapahit memperisteri Puteri Campa tersebut dan menceraikan 80 isteri lainnya lalu menyerahkannya ke para adipati / pembantunya untuk diperisteri. Kedatangan Ali Rahmatullah ke Majapahit dikabarkan tahun 1445 M.
· Puteri Campa meminta Raja Majapahit untuk memperbaiki moral masyarakat. Usul sang puteri untuk menjadikan Ali Rahmatullah sebagai guru agama disetujui oleh Raja. Ali Rahmatullah lalu diizinkan mendirikan padepokan di Ampel, Surabaya.
· Puteri Campa, permaisuri Majapahit yang Muslim, wafat tahun 1448 dan dimakamkan di ibukota Majapahit (berdasarkan tahun yang tercantum dimakamnya). Puteri Campa tersebut konon telah diperisteri oleh Raja Majapahit ketika raja tersebut masih menjadi putera mahkota. Setelah menjadi isteri raja namanya mungkin menjadi Darawati atau Andarawati. Sebagai emas kawin, konon ia telah membawa barang yang sangat berharga dari Campa yang kelak menjadi barang kebesaran Keraton Mataram, yakni:gong (Kiai Sekar Delima), kereta kuda tertutup (Kiai Bale Lumur) dan pedati sapi (Kiai Jebat Betri). Barang-barang tersebut diperoleh sewaktu Mataram menduduki Demak.
· Puteri Campa, isteri Raja Majapahit, mempunyai saudara perempuan yang masih tinggal di Campa. Saudara perempuan tersebut kawin dengan seorang Arab (mungkin dialah yang dinamakan Makdum Ibrahim Asmara) dan berputera 2 orang yakni : Raja Pandita / Raden Santri / Sayid Ngali Murtala dan Raden Rakhmat / Sunan Ngampel Denta./ Sayid Ngali Rahmat.
· Raja Pandita dan Raden Rakhmat bersama seorang sepupu mereka (Abu Hurerah/seorang sarjana yang konon adalah putera raja Campa) pernah mengunjungi bibi mereka (Puteri Campa) di istana Majapahit. Namun bibi mereka tersebut ternyata telah wafat.
· Sunan Bonang (anak Sunan Ampel), menurut cerita, telah memindahkan makam Puteri Campa dari Citra Wulan ke Karang Kemuning, Bonang.
· Candi Pari (Jatim) bertahun 1371 menunjukkan adanya hubungan Majapahit dengan Campa.
· Pada saat Puteri Campa wafat pada tahun 1448, Majapahit sedang diperintah oleh Bhre Tumapel Dyah Kartawijaya (Brawijaya I), anak Wikramawardhana, yang memerintah tahun 1447 sampai dengan 1451 M.
Dalam situasi seperti itulah Siu-ban-ci yang diceraikan oleh Kertabumi tersebut diserahkan kepada Ario Damar, seorang adipati/raja bawahan Majapahit yang ditempatkan di Palembang (1455-1486). Arya Damar / Jaka Dilah diberitakan adalah anak dari Wikramawardhana (dengan isteri bukan permaisuri). Namun ada yang menyatakan bahwa sebenarnya ia adalah anak dari Raja Majapahit yang bernama Kartawijaya (1447-1451)
Di Palembang, Siu-ban-ci melahirkan anaknya dengan Kertabumi yang dinamakan Raden Praba alias Jin-bun atau Raden Hasan yang kelak oleh Sunan Ampel diberi nama Abdul Fatah / Raden Patah.
Setelah melahirkan Jin-bun, Siu-ban-ci menikah dengan Aria Damar. Dari perkawinan itu lahirlah anak yang diberi nama Raden Kusen / Raden Husain yang kelak menjadi Pecat Tondo atau Adipati Majapahit di Terung dekat Gresik Surabaya.
Di Palembang ini Siu-ban-ci dan keluarganya mendapat pendidikan agama. Diberitakan bahwa yang sangat berperan dalam pendidikan keagamaan keluarga penguasa Palembang ini adalah Sunan Ampel. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat ulama – yang lahir di Campa tahun 1401 dan wafat tahun 1481 di Surabaya yang bermazhab Hanafi tersebut mempunyai wilayah dakwah yang cukup luas, dari Aceh sampai Jawa Timur.
Selanjutnya setelah cukup umur, kedua anak Siu-ban-ci, Raden Kusen dan Raden Patah, berangkat ke Jawa dengan maksud untuk mengabdi di Majapahit. Ada kemungkinan bahwa keberangkatan ke Jawa itu berkaitan dengan peristiwa naik tahtanya ayah Raden Patah, Kertabumi, sebagai raja Majapahit, pada tahun 1468, yang prosesnya penuh dengan ‘sikut-sikutan’ di antara keluarga sendiri. Beberapa peristiwa sebelum kenaikan tahta yang patut diketahui karena sangat berkaitan dengan kenaikan tahta itu sendiri adalah sebagai berikut :
· Kartawijaya (Brawijaya I) – pengganti Suhita sejak 1449 - mangkat pada tahun 1451 dan diperabukan di Kertawijayapura. Ia digantikan oleh Bhre Pamotan dengan gelar Sri Rajasawardhana / Sang Sinagara (Brawijaya II), yang memerintah sampai dengan wafatnya pada tahun 1453. Menurut Pararaton, sebelumnya Bhre Pamotan berkedudukan di Kahuripan dan entah apa alasannya, ibukota Majapahit dipindahkan dari Trowulan ke Keling di wilayah Kahuripan. Kemungkinan besar karena di Trowulan penuh dengan intrik-intrik politik yang mengarah pada perebutan kekuasaan.
· Sesaat setelah Rajasawardhana Sang Sinagara/Bhre Pamotan /Brawijaya II mangkat pada tahun 1453, terjadi perang perebutan kekuasaan di Majapahit antara anak-anak Sinagara / Brawijaya II dengan paman mereka (kemungkinan Girisawardhana dan Suraprabhawa). Terjadi kekosongan tahta selama 3 tahun (1453-1456). Kemungkinan besar anak-anak Sinagara diusir dari dari istana.
· Perang saudara di Majapahit antara anak-anak Sinagara dengan paman mereka, selesai pada tahun 1456. Bhre Wengker menjadi Raja Majapahit (bergelar Girisawardhana atau Purwawisesa / Brawijaya III, yang memerintah tahun 1456-1466 M). Girisawardhana / Girindrawardhana (nama kecilnya Dyah Suryawikrama sehingga disebut Girisawardhana Dyah Suryawikrama) adalah anak kedua Bhre Kartawijaya. Dia memindahkan kembali ibukota dari Kahuripan ke Trowulan. Sebagai putera mahkota adalah Samarawijaya (kemungkinan kemenakan Girisawardhana)
· Pada tahun 1466 Girisawardhana/ Dyah Suryawikrama/Brawijaya III wafat. Tahta "dirampas" oleh Dyah Suraprabhawa / Bhre Pandan Salas yang lalu menjadi Raja Majapahit dengan gelar Sri Singhawikrama-wardhana / Brawijaya IV (memerintah 1466-1468). Dalam prasastinya, Bhre Pandan Salas menyebut dirinya turunan Raja Gunung (Sri Giripatiprasutabhupati) dan merupakan penguasa tunggal Jawa, yakni Janggala dan Kadiri. Sebelumnya ia berkuasa di Tumapel dengan gelar Bhatara i Tumapel
· Tahun 1468, Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa / Singhawikra-mawardhana /Brawijaya IV diusir dari ibukota (Tumapel) oleh Bhre Kertabumi Ranawijaya/Brawijaya V (anak bungsu Sang Sinagara / Bhre Pamotan). Brawijaya IV menyingkir ke Daha dan bertahta di sana (sampai dengan mangkatnya tahun 1474). Kelak setelah mangkat, Daha diperintah oleh anaknya yang bergelar Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Sebelum menjadi raja, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya berkedudukan sebagai Bhatara i Kling. Patihnya bernama Pu Tahan / Pu Wahan.
Demikianlah urutan waktu sejarah yang membawa Kertabumi / Brawijaya V – ayah Raden Patah - naik ke atas tahta Majapahit. Selanjutnya di masa pemerintahannya, kemungkinan besar Raden Patah dan Raden Kusen berangkat ke Jawa sebagai pemuda yang masih segar yang bermaksud mengabdi di Majapahit. Setibanya di Surabaya, Raden Patah dan Raden Kusen singgah dan belajar pada Sunan Ampel.
Oleh Sunan Ampel Raden Patah disarankan untuk membuka hutan Glagah Wangi, di sebelah timur Semarang, sebagai tempat tinggalnya. Sementara itu Raden Kusen meneruskan perjalanan ke Majapahit dan diterima sebagai pegawai di istana. Akhirnya , karena dianggap pantas, ia dianugerahi jabatan sebagai Adipati di Terung (sebuah tempat yang berada tidak jauh dari Gresik/Surabaya).
Rupanya sepak terjang Raden Patah di Glagah Wangi diketahui oleh Raja Brawijaya V. Pada suatu kesempatan, Raja tersebut bertanya kepada Raden Kusen, yang sudah menjadi pejabat pemerintahan Majapahit itu, tentang siapa yang membuka hutan Glagah Wangi. Raden Kusen menjawab bahwa yang berada di tempat tersebut adalah Raden Patah, anak kandung Raja sendiri.
Mendengar hal ini, Raja mengutus Raden Kusen untuk membawa Raden Patah ke Majapahit. Semula Raden Patah tidak mau, namun akhirnya bersedia menghadap. Pertemuan kedua bapak-anak itu tentunya mengharukan setelah lama tidak bersua.
Raden Patah kemudian dianugerahi tanah Bintoro (Glagah Wangi) dan diangkat sebagai Adipati di tempat itu. Sebelum kembali ke Bintoro, Brawijaya V berpesan agar setiap tahun Raden Patah menghadapnya di Majapahit. Sejak itulah Bintoro meningkat statusnya menjadi Kadipaten dalam wilayah Majapahit.
Pada tahun 1478 Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menyerang Bhre Kertabhumi/Brawijaya V. Ayah Raden Patah tersebut diperkirakan tewas atau menurut versi lain mengungsi ke gunung Lawu. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya kemudian naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunata/ Brawijaya VI. Ibukotanya terletak di Keling (timur laut Kediri).
Melihat kondisi Majapahit yang makin parah sepeninggal Brawijaya V, para wali mengadakan musyawarah pada tahun 1478. Raden Patah diangkat oleh para wali menjadi Raja Demak (kemungkinan sebagai tandingan Girindrawardhana di Kediri). Sunan Ampel, yang mendapat tugas melantik, menetapkan Raden Patah sebagai Sultan Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah.
Tidak ada berita yang jelas mengenai di mana Siu-ban-ci – ibu Raden Patah dan Raden Husen/Kusen - meninggal dan dikebumikan. Apakah di Demak ataukah di Palembang. Aria Damar sendiri baru wafat tahun 1486. Menurut sebuah informasi, kekuasaannya di Palembang digantikan oleh Karang Widura.
Pemerintahan Demak di bawah Raden Patah berlangsung cukup lama, lebih kurang 40 tahun. Saat wafat tahun 1518 (10,35,66), ia digantikan oleh puteranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518-1521) (35,53,66). Setelah Pati Unus meninggal, ia digantikan oleh adiknya yang bernama Trenggana.
Sementara itu anak Siu-ban-ci dengan Aria Damar yang bernama Raden Kusen yang semula menjadi Adipati Majapahit di Terung, tidak diketahui lagi dengan jelas mengenai jabatannya pasca kehancuran Majapahit. Namun ia menjadi leluhur raja-raja di Madura, dan banyak penguasa daerah, misalnya bupati-bupati Gresik dan Lamongan.
Demikianlah kisah Siu-ban-ci dan keturunannya, yang beberapa hikmahnya antara lain adalah :
· Siu-ban-ci yang hidupnya merana karena terusir dari istana Majapahit akhirnya ditakdirkan menjadi ibu dari raja besar R Patah.
· Banyak keturunan Siu-ban-ci – melalui kedua anaknya, Raden Patah dan Raten Kusen - di Nusantara ini yang tercatat dalam sejarah. Melalui kedua orang anaknya itu lahirlah raja-raja Demak yang menjadi leluhur raja-raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Kedua anak Siu-ban-ci tersebut juga menurunkan penguasa-penguasa di Gresik (Keluarga Poesponegoro) dan Semarang (Sunan Pandanaran/Sunan Tembayat).
Sumber referensi :
· Tim Penulis Sejarah, 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat
· Winarsih Partaningrat Arifin, 1995. Babad Balambangan. Yayasan Bentang Budaya, Jogyakarta
· Liem Twan Djie, 1995. Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta
· Slamet Mulyana, 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Yayasan Idayu, Jakarta.
· Natsir Arsyad, 1993. Seputar Sejarah & Muamalah. Penerbit Al Bayan, Bandung.
· Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat, 1984. Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Bandung
· Widji Saksono, 1995. Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Mizan, Bandung
· DGE Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara.. Usaha Nasional, Surabaya.
· HJ De Graaf, dan TH G TH Pigeaud; 1989. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafitipers, Jakarta
· Umar Hasyim, 1981. Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Penerbit Menara Kudus, Kudus.
· Hasan Basyari, 1989. Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati Dan Sekilas Riwayatnya. Penerbit Zul Fana, Cirebon
· Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, 1996. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Penebit Lentera, Jakarta.
· Mohammad Zaini ZA dan Abdul Rochim Kafanjani, 1997. Kisah Wali Songo. Penerbit Bintang Terang 99, Surabaya
· Kompas Minggu, 25 Januari 1998
· Soekmono.; 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Penerbit Kanisius, Jakarta
· Sri Wanto AW, 1996. Pegangan Belajar Sejarah I Untuk SLTP Kelas 1. PT Galaxi Puspa Mega, Jakarta.
· Daljoeni, 1992. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung
· Djohan Hanafiah, 1996. Perang Palembang Melawan VOC. Pemda Kodya Palembang. Palembang.
· Kong Yuan Zhi, 1992. Sam Po Kong Dan Indonesia (Editor HM Hembing Wijayakusuma). Penerbit CV Haji Masagung. Jakarta.
· Solichin Salam,1960. Sekitar Walisanga. Penerbit Menara Kudus, Kudus.
· Achadiati, 1992. Sejarah Peradaban Manusia Zaman Banten. Penerbit CV Multiguna Jakarta
· Husni Rahim, 1993. Kesultanan Palembang Menghadapi Belanda Serta Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Daerah Palembang di dalamSejarah-3 Tahun 1993. Gramedia, Jakarta.
· Slamet Mulyana, 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu dilarang oleh Kejaksaan Agung
Imajiner Nuswantoro