Kisah Shani, Hakim Para Dewa
Kisah kali ini menceritakan tentang keluarga Batara Surya dan anak-anaknya. Kisah diawali dengan Dewi Sangya yang mengeluh kesakitan dan menciptakan kembarannya, Chayya. Kisah berlanjut pada kelahiran, pengasingan, dan terungkapnya Shani, putra Surya yang dianggap membawa petaka baginya. Kelak dia kan menjadi hakim para dewa. Kisah diakhiri dengan kelahiran batara Aswan-Aswin, tabib kembar dan Citragupta sang Suratma, sang pencatat amal perbuatan, siklus siang-malam dan pernikahan Shani dengan Dhamini. Kisah ini bersumber dari Serial Kolosal India Karmaphal Daata Shani yang tentunya telah diubah dan disesuaikan dengan imajinasi penulis dan mengikuti pakem pewayangan Jawa.
Kisah Batara Surya dan istrinya
Batara Guru telah membagi setiap dewa untuk membuat istana sendiri disamping istana Iswaraloka yang berada di pusat kahyangan Jonggring Saloka. Diantaranya istana Suwelagringing milik batara Sambu, istana Daksinageni milik batara Brahma, istana Rinjamaya/Karang Kaendran milik Batara Indra, istana Swargapanglawung milik Batara Bayu, istana Untarasegara yang teletak di Gunung Waikunta milik Batara Wisnu, istana Ekacakra/Suryaloka milik Batara Surya, istana Argadumilah milik Batara Yamadipati, istana Cakrakembang milik Batara Kamajaya dan Dewi Ratih dan lain-lain. Pada suatu hari, para dewa di kahyangan Jonggring Saloka sedang berunding tentang para raksasa keturunan Batara Rudra yang terus membuat kerusakan. Kerusakan itu membuat tatanan hidup di Marcapada menjadi kacau. Akhirnya mereka mulai menunjukkan permusuhan pada para dewa. Terjadilah perang berkecamuk antara para dewa dengan bangsa raksasa durjana. Perang yang sedemikian lama membuat para dewa kewalahan. Para empu kahyangan seperti batara Empu Wiswakarma, Batara Empu Ramayadi dan Batara Empu Angganjali bekerja keras untuk menciptakan berbagai senjata hebat diantaranya Cakra Widaksana untuk Batara Wisnu, Tombak Bajra yang mengeluarkan halilintar untuk Batara Indra, Gada Kaumodaki untuk Batara Wisnu dan yang lain-lain. Batara Empu Wiswakarma berhasil menciptakan sebuah cairan yang bila dituangkan ke sebuah senjata maka akan terbentuk kembaran dari senjata itu.
Di tempat lain, di istana Ekacakra/Suryaloka, Dewi Sangya atau Ngruna, putri Batara Empu Wiswakarma, istri Batara Surya telah dikaruniai sepasang putra dan putri dari sang suami yaitu Batara Rewanta dan Dewi Yamuna. Pernikahannya begitu harmonis namun juga dipenuhi dengan rasa sakit. Ia selalu merasa kesakitan bila berdekatan dengan suaminya, Batara Surya karena perbawa sang suami yang berupa cahaya terlalu kuat. Awalnya rasa sakit itu tak dihiraukannya namun lama kelamaan ia tak tahan lagi. Maka ia pun memutuskan untuk menjenguk ayahnya, di istana Wiswaloka. Di sana ia berkeluh kesah pada sang ayah “ampun ayahanda. Kedatangan putrimu ini karena aku ingin menyepi sejenak. Aku merasa tidak nyaman berdekatan dengan suamiku. Aku memang sseorang dewi tapi tubuhku tidak mampu bertahan dengan perbawa yang dipancarkannya. Sebagai putra Batara Semar, cahaya perbawa suamiku terlalu kuat. Setiap kali ia mendekatiku, tubuhku terasa perih dan kesakitan seperti terbakar. Ayahanda adalah empu para dewa. Apakah ayahanda punya solusi untuk masalah ini?” “anakku, untuk masalah ini mungkin hanya kamu yang bisa menyelesaikannya. Tapi jika kau adalah bayangan, maka bayangan akan mengikuti apa yang dikatakan tubuh.”
Kembaran sang Dewi Sinar
Perkataan Batara Empu Wiswakarma membuat Dewi Sangya merasa tercerahkan. Pada suatu malam secara diam-diam, Dewi Sangya masuk ke dalam ruangan pribadi ayahnya itu, tempat dimana semua pusaka dibuat. Dia melihat ada sebuah cairan yang bertulis “cairan pengganda”. Ia kemudian mengambil sebotol lalu mengambil sehelai rontokan rambutnya dan rambut ayahnya. Pagi hampir tiba, Dewi Sangya harus segera kembali ke istana Ekacakra tapi dia ingin bertapa untuk membuat tubuhnya lebih kuat.
Di tengah perjalanan pulang, ia melihat subuh mulai terang, matahari akan segera terbit. Cepat-cepat ia segera menuangkan cairan yang telah dicampur dengan rambutnya dan rambut ayahnya itu ke bayangannya sendiri. Lalu terciptalah kembaran dirinya sendiri. Dewi Sangya menamai kembarannya itu Dewi Chayya atau Ngruni. Lalu ia berkata pada kembarannya itu “layanilah suami kita dengan baik. Jaga baik-baik anak-anaku. Aku berpesan padamu jangan bocorkan rahasia ini pada siapapun. Tutuplah rapat-rapat .” ‘baik saudaraku. akan aku lakukan apa yang kau perintahkan. Aku juga akan menjaga rahasia ini baik-baik tapi aku tak berani menjamin rahasia itu akan selamanya kekal terjaga. Sebab apabila kanda Batara Surya memaksaku dengan kasar, aku harus jujur dan mengatakan yang sebenarnya.”
Lahirnya Shani, Hakim para Dewa
Singkat cerita, Dewi Sangya atau Ngruna pergi bertapa sementara Dewi Chayya atau Ngruni mengurus seluruh istana Ekacakra, menjadi istri batara Surya dan mengasuh Rewanta dan Yamuna yang masih kecil. Batara Surya tidak tahu bahwa istrinya yang ada dihadapannya hanyalah kembarannya. Dewi Chayya benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Sifatnya yang menyayangi anak-anak bahkan melebihi Dewi Sangya. Bulan berganti tahun, Dewi Chayya melahirkan dan Batara Surya hendak merayakan kelahiran mereka. Anak-anak mereka ternyata kembar buncing gondang kinasih. Anak yang laki-laki berkulit gelap seperti Batara Wisnu diberi nama Batara Shani sedangkan yang perempuan berkulit langsat cerah diberi nama Dewi Tapati. Batara Surya memiliki sifat buruk yakni dia suka membanding-bandingkan. Dia kurang suka dengan orang berkulit gelap karena dianggap tidaklah bagus. Maka marahlah ia dan menganggap Batara Shani itu anak haram istrinya lalu ia mengutuk Batara Shani agar kulitnya akan selalu terbakar bila terkena perbawa cahayanya. Namun kehendak Sanghyang Maha Kuasa berkata lain. Malapetaka terjadi sebaliknya. Seluruh Jonggring Saloka mendadak gelap gulita. Langit mendadak bergemuruh dan tertutup awan yang sangat tebal dan gelap. Batara Surya juga mendadak kehilangan perbawanya. Batara Guru, Batara Semar, Batara Resi Narada, dan Batara Wisnu segera mencari apa penyebab kejadian aneh ini. Lalu mereka datang ke istana Ekacakra. Batara Guru dan Batara Resi Narada memberi peringatan kepada Batara Surya agar tidak melampaui batasannya. Batara Semar lalu mengingatkan putranya itu untuk menarik kutukannya “anakku, ngger Surya. Anak yang dilahirkan istrimu ini memang putramu sendiri. Kulitnaya gelap bukan karena kesalahannya melainkan kehendak Sanghyang Maha Kuasa. Sekarang cepat cabut kutuk pada anakmu yang baru lahir.” Namun batara Surya tetap bergeming. Dia tak mau mencabut kutukan itu. Hatinya masih tertutup oleh perbedaan itu. Cahaya matahari memang menyinari setiap tempat dunia namun rupanya tidak dengan hati Batara Surya, sang dewa matahari itu sendiri. Namun tidak ada hukuman yang melampaui batas. Kekuatan hukuman dari Batara Shani yang masih kecil belum maksimal. Begitu mata kecil Batara Shani berkedip untuk pertama kalinya, barulah langit kembali cerah dan terang. Batara Surya justru menyuruh sang istri untuk membawa pergi Batara Shani jauh-jauh dari istana Ekacakra dan jauh dari jangkauan perbawa Batara Surya. Batara Wisnu mengecam perlakuan dewa matahari itu “Surya! Ingatlah satu hal. Karena kau sudah mengolok-olok dan mengutuk anakmu sendiri karena kulit gelapnya, maka itu sama saja kau mengolok-olok aku juga. Kelak akan ada suatu masa dimana kau akan gelap karena perlakuan tidak adilmu saat ini.” Kata-kata Batara Wisnu itu diiringi dengan guntur dan kilat pertanda itu semua akan menjadi kenyataan.
Pengasingan Shani
Dewi Chayya menangis sedih bayi kecilnya diusir tidak hormat bahkan dikutuk. Batara Semar menyarankan agar Batara Shani agar diasuh olehnya saja “anakku cah ayu, Surya mungkin sedang belum terbuka hatinya. Lebih baik biar aku saja yang mengasuhnya. Aku akan mengasuhnya bersama anakku, Yamadipati di Argadumilah.” Dewi Chayya menyerahkan bayi Batara Shani kepada mertuanya itu. singkat cerita, Batara Shani diasuh batara Semar dan batara Yamadipati di istana Argadumilah yang letaknya jauh di bawah tanah, jauh dari jangkauan perbawa cahaya Batara Surya. Setiap malam, Dewi Chayya datang kesana untuk mengasuh Shani sementara di siang hari, dia melayani Batara Surya dan mengasuh Rewanta dan Yamuna. Batara Shani hidup bahagia walaupun tinggal di bawah tanah yang tidak tersentuh cahaya matahari. Dia tidak pernah kesepian karena dia berteman dengan seekor burung gagak.
Burung gagak ini adalah burung gagak alam dunia bawah. Hanya dia yang mengerti perasaan Batara Shani. Namun dalam hati, ia penasaran bagaimana kahyangan yang ada di permukaan atas. Pada suatu hari, Batara Shani sudah mulai beranjak remaja dan ia bertanya pada Semar, eyangnya dan ibunya “eyang! Ibunda! Kenapa aku harus tinggal di istana paman yang gelap.” “anakku, pada suatu saat kau akan tahu alasannya. Dia yang berjalan menuju cahaya kebenaran akan mendapatkan jalannya walau penuh dengan kesakitan.”
Dua Putra Batara Surya
Cepat atau lambat, kebenaran yang sebenarnya tak bisa lagi disembunyikan. Datanglah batara Rewanta mencari tahu alasan ibunya selalu pergi setiap malam hari. Batara Rewanta yang mengikuti ibunya akhirnya sampai di sebuah gua, gua pintu masuk menuju istana Argadumilah. Di pintu gua, dia melihat seorang pria muda yang wajahnya mirip dengan Batara Surya namun berkulit gelap. Dia bertanya “hai, kamu. Siapa kamu? Kenapa menghalangi jalanku ke bawah.” “aku Shani, cucu eyang Semar. aku ditugaskan untuk menjaga lorong ke Argadumilah ini,” Batara Rewanta terkejut karena ada cucu Semar yang lain. Lalu dia memaksa Batara Shani untuk membuka jalannya namun ditolak. Batara Rewanta tidak terima dan menyerang Batara Shani. Dewi Chayya merasa sesuatu telah terjadi pada putranya. Dewi Chayya bersama putrinya yaitu Dewi Tapati, Batara Yamadipati, dan Batara Semar segera menuju permukaan bumi, tempat Shani berada.
Dengan mata setajam elang, Shani melompat menghindari pukulan Rewanta. Pertarungan kedua cucu dewa agung itu menyebabkan alam bergejolak. Kahyangan di permukaan bumi maupun di perut bumi bergetar hebat. Selama satu malam pertarungan terjadi hingga mereka tak menyadari hari sudah hampir pagi. Batara Rewanta menyeret Batara Shani keluar dari gua. Pertarungan terus berlanjut. Subuh sudah semakin terang dan matahari pun terbit. Tiba-tiba Batara Shani mengerang kesakitan. Tangannya seketika terbakar begitu terkena cahaya matahari. Matahari semakin tinggi, luka terbakar semakin menyebar hingga ke seluruh tubuh. Batara Shani pingsan karenanya. Dewi Chayya dan Batara Semar yang baru sampai disitu terkejut melihat Shani yang pingsan dengan kulit terbakar. Dewi Chayya menangis sambil memeluk sang putra. Batara Rewanta terkejut dan berusaha menenangkan sang ibu. Namun Dewi Chayya terlalu sedih hingga menolak pertolongan Rewanta hingga ia memakinya “Rewanta, kau menyakitinya. Dia adikmu. Kalian adalah putra Batara Surya. Perlakuanmu akan ditanggang kuda-kuda kesayanganmu. Kelak para kuda akan tunduk kepada bangsa wanara (kera)!” Batara Rewanta terkejut dan kembali ke istana Ekacakra. Dia mengadu kepada sang ayah “ampun ayahanda Batara. Aku, adik Yamuna, dan adik Tapati adalah anak-anak ayah dan ibu, tapi teganya selama ini ayahanda menyembunyikan adik laki-lakiku dari aku. Aku minta pada ayahanda agar membawa pulang adikku, Shani.” Batara Surya tercekat dan segera mendatangi sang istri di istana Argadumilah.
Surya Gugat
Sementara itu, di kamarnya yang berhiaskan bunga-bunga dunia bawah, Batara Shani perlahan sembuh. Dewi Chayya kemudian menceritakan segalanya. Batara Shani berkata “ohh ibunda, tega nian ayahanda mencampakkan aku....” “itu memang benar anakku. Aku membuangmu karena aku tidak pernah bersedia menerimamu sebagai anakku.
Aku tidak sudi punya anak berkulit gelap sepertimu.” Batara Surya yang datang tiba-tiba mengerahkan perbawanya membuat cahaya yang sangat terang dan membuat Batara Shani kembali kesakitan. Batara Semar dan Batara Yamadipati berusaha untuk menghentikan keangkuhan Batara Surya. Dewi Chayya yang tak tega melihat penderitaan anaknya menjadi marah dan mengutuk sang suami “suamiku, orang yang menjadi tumpuan cahaya telah menyiksa anaknya sendiri. Kelak kau tidak akan berdaya karena ulah seekor anak monyet.” Sambaran halilintar terdengar pertanda doa itu makbul. Tak terima, Batara Surya menjambak dan berkata dengan kasar kepada Dewi Chayya “beraninya kau mengutuk aku. Istriku yang ku kenal tidak pernah mengutuk siapapun. Siapa kau? Jawab!!” “aduh, sakit suamiku. Lepaskan jambaknmu!” namun Batara Surya tak mau melepaskan jambakannya malah semakin kuat. Akhirnya sang dewi mengaku dia bukan Dewi Sangya melainkan kembarannya, Dewi Chayya lalu dia menjelaskan “suamiku, kau sendiri telah disilaukan cahayamu sendiri. Yunda Dewi sampai kesakitan bila bertemu denganmu. Berada didekatmu, dia merasa perih dan lebam di kulit dan persendiannya. Kalau kanda ingin mencari Yunda Sangya, aku mohon dengan kemurahan hatimu sembuhkan putra kita.” Batara Surya melihat ke arah Shani yang kesakitan dengan luka dan parut terbuka menganga. Sekesal apapun, yang namanaya seorang ayah akhirnya luluh juga hatinya. Lalu diangkatlah kutukan dari tubuh Shani. Batara Shani akhirnya sembuh dan pulang ke Ekacakra. Bukan cuma itu, atas keinginan Batara Guru, Dewi Chayya diperciki dengan Tirta Maolkayat dan ditunjuk menjadi dewi bayangan. Begitupun dengan Batara Shani, ia lalu diangkat sebagai hakim para dewa.
Hukuman untuk Surya
Batara Surya ingin mencari Dewi Sangya yang telah meninggalkannya dalam waktu lama. Untuk sementara, istana Ekacakra akan diurus Rewanta dan Shani. Namun sebelum meninggalkan kahyangan, Batara Surya harus menemui Batara Guru untuk meminta izinnya “ohh pukulun Batara Guru, sang Siwa Girinata. Aku mohon izin untuk mencari istriku di alam marcapada.” “Surya, aku mengizinkanmu untuk pergi namun sebagai hukuman karena telah menyiksa Shani maka aku dan kakang Semar harus mengambil sebagian perbawamu. Pancaran perbawamu terlalu kuat, harus dikurangi.” Batara Surya menerima hukuman itu dengan hati lapang. Diangkatlah senjata-senjata para dewa lalu dengan Tombak Trisula dan permata Astagina Nirmala, Batara Guru dan Batara Semar menyedot sebagian perbawa milik Batara Surya. Setelah perbawa diambil secukupnya, Batara Surya pamit dan segera turun ke marcapada. Batara Guru kemudian menebarkan perbawa Batara Surya yang diambilnya tadi ke seluruh senjata para dewa termasuk ke Trisula miliknya.
Kelahiran Batara Aswan dan Aswin.
Angin bertiup semilir membawa keharuman bunga-bunga. Rumput dan pepohonan menghijau segar. Musim semi menjalari semua tempat di muka bumi. Di tengah padang rumput yang hijau, kuda-kuda liar merumput.
Diantara kuda-kuda itu terdapat seekor kuda betina yang sedang duduk di atas batu seperti sedang bertapa brata.. Lalu datang lah seekor kuda jantan duduk disampingnya. Ketika si kuda betina membuka matanya, dia melihat seekor kuda yang bagus rupanya. Si kuda betina terlena oleh keelokan sang kuda jantan yang disampingnya itu. Begitu pula dengan si kuda jantan. Keduanya telah tertambat hati dan akhirnya mereka saling berlarian bersama-sama dan terakhir, kuda-kuda itu saling menggauli di tengah indahnya padang rumput. Ketika sudah di puncak gairahnya, kedua kuda itu mendadak berubah wujud menjadi sepasang manusia dewa. Kuda betina kembali ke wujud asalnya yaitu Dewi Sangya sementara kuda jantan berubah menjadi Batara Surya. Keduanya sama-sama tersipu malu. “Sangya, rupanya kau ada disini. Aku yakin kamu sudah tahu apa yang terjadi.” Dengan wajah menahan malu, Dewi Sangya mengiyakan “tentu, suamiku. Chayya pasti sudah menceritakannya padamu. Sekarang tapa brataku gagal. Aku bersedia untuk kembali ke Ekacakra.” Keduanya segera terbang kembali ke kahyangan. Beberapa hari setelahnya, Dewi Sangya hamil kembali dan kehamilannya ini rasanya cukup berat dibandingkan saat ia mengandung Batara Rewanta dan Dewi Yamuna. Sembilan bulan kemudian, Dewi Sangya melahirkan sepasang anak kembar. Batara Surya dan seluruh keluarganya bergembira akan kelahiran ini. Batara Surya menamai anak kembarnya itu Aswan dan Aswin lalu dicurahkanlah Tirta Maolkayat yang ia dapatkan dari Batara Guru. Seketika Batara Aswan dan Batara Aswin menjadi remaja. Anak-anak batara Surya kini telah lengkap. Batara Rewanta menjadi dewanya para kuda. Dewi Yamuna dan Dewi Tapati menjadi bidadari-bidadari cantik, dan Batara Shani menjadi hakim para dewa karena kebijaksanaannya. Bersama sang paman, Batara Yamadipati, Batara Shani mengurusi hukum karma manusia. Jika Batara Yamadipati ditugaskan untuk mengadili penghuni Kerak Neraka, maka Batara Shani ditunjuk untuk memberikan pahala dan hukuman bagi yang masih hidup. Sementara si kembar Batara Aswan dan Batara Aswin menjadi ahli pengobatan dan pemimpin tabib bagi para dewa.
Kisah Citragupta Sang Suratma
Beberapa waktu kemudian, jumlah orang mati semakin banyak sedangkan Batara Yamadipati dan Batara Shani mulai kewalahan karena harus berbagi tugas mengumpulkan dan mencatat semua amal dan dosa bukan hanya manusia tapi juga hewan dan makhluk lainnya. Akibatnya, banyak manusia yang masuk ke Kerak Neraka dan Taman Surga semakin tertukar posisinya. Banyak calon ahli surga yang justru mengalami siksaan neraka sedangkan para pendosa yang justru malah menikmati keindahan Taman Surga. Di saat demikian, Batara Guru memerintahkan Batara Brahma agar membantu masalah yang dihadapi Batara Yamadipati dan Batara Shani. Maka Batara Brahma kembali ke Istana Daksinageni dan bersemadi memohon petunjuk. Di saat demikian, Sanghyang Widhi, Tuhan yang maha Berkehendak mencipta keringat Batara Brahma menjadi seorang pria berwajah gahar. Didekatnya ada sebatang kalam dan tinta. Si pria itu bertanya “siapa anda, tuanku dan siapa saya?” Batara Brahma berkata “kamu adalah putra saya maka dari itu kamu dijuluki sebagai Kayastha dan kamu terlahir bersamaan dengan kalam dan tinta itu, namamu adalah Citragupta.” Batara Citragupta menghormat pada sang bapak.
Singkat cerita, Batara Citragupta belajar segala ilmu dibawah bimbingan ayahnya dan sang ibu tiri, Dewi Saraswati. Berbagai hikmah, ilmu kebijaksanaan, ilmu hidup dan mati dipelajarinya hingga pada masanya, Batara Brahma diperintahkan ke Istana Argadumilah, mengabdi batara Yamadipati.”anakku, Citragupta, mulai hari ini kamu akan menjadi jaksa agung para atma (jiwa-jiwa) di sini. Tugasmu menuliskan kembali dan memberikan catatan amalan dan dosa mereka. Matamu tak akan pernah meleng lagi dari segala ketidakadilan.” Sejak saat itu batara Citragupta mendapat julukan Citragupta sang Batara Suratma.
Dewi Neelima dan siklus siang-malam
Setelah diangkat sebagai dewa penguasa karmapala dan hakim keadilan di Trilokabuana, Shani kembali ke kahyangan Ekacakra. Hal ini membuat Dewi Sangya (Ngruna) tidak suka dengan keberadaan anak tirinya. Mengingatkannya dengan Dewi Chayya (Ngruni), saudari kembarnya yang sangat ia benci. Sangya sering menganiaya Chayya sampai-sampai pada satu kesempatan Sangya menganiaya Shani, anak Chayya dan memberinya kutukan kalau kaki Shani akan lumpuh dan dimakan ulat. Benar saja, kaki Shani tiba-tiba lumpuh bernanah dan digerogoti ulat. Batara Surya yang jengah dengan tindakan konyol istri tuanya balik memanggil burung gagak teman Shani. Burung hitam itu meringankan kutukan Shani dengan memakan ulat-ulat yang mengerogoti kaki sang hakim para dewa. Tidak terima dengan perbuatan sang suami, dengan sangat marah ia kembali mengutuk Batara Shani. Ia mengutuk mata Shani, barangsiapa yang terkena pandangan matanya akan mengalami segala karma buruk. Batara Surya makin murka karena ibu tiri mendurhakai anak tirinya sendiri. Ia mengusir Dewi Sangya dari kahyangan Ekacakra. Karena kutuk pasu itu, Batara Shani mendapatkan gelar Kruralochana yang bermakna mata keji. Namun kutuk itu berubah jadi berkah buat Shani. Semakin mudah baginya untuk memberikan pahala dan hukuman bagi setiap orang.
Dewi Sangya yang diusir dari kahyangan jadi semakin mendendam pada Shani. Di tengah jalan, ia membakar hutan dengan kekuatannya. Lalu ia jatuh tersandung batu kristal berwarna biru. Ia lalu mengutuk batu itu kelak akan jadi penyebab kekalahan Shani. Batu itu ketumpahan cairan pengganda milik Sangya dan bertukar wujud sebagai gadis cantik jelita, berpakaian serba biru. Dewi Sangya menyambut gadis jelmaan batu kristal itu. Ia memberinya nama Dewi Nila atau Neelima. Dewi Neelima didoktrin oleh Sangya untuk membenci Shani. Sehingga pada suatu kesempatan, Sangya mengadu domba Neelima dengan Shani. Shani kewalahan dan akhirnya terdesak. Kekuatan Neelima sangat besar. Shani terlempar oleh kekuatan Dewi Neelima. Dewi Sangya kini menduduki kembali kahyangan Ekacakra dan memenjarakan Dewi Chayya. Seketika langit berubah jadi terang sepanjang hari. Seluruh dunia mengalami siang tanpa adanya malam hari. Kekacauan terjadi dimana-mana. Tanpa sosok dewa penguasa karmapala, orang yang masuk ke neraka dan surga jadi tertukar. Orang baik masuk neraka dan orang jahat masuk surga. Batara Yamadipati bingung dengan tingkah iparnya. Hilangnya Dewi Chayya juga berakibat buruk. Tanpa gelapnya malam hari, semua makhluk hidup tak bisa beristirahat. Makin kacaulah karena makin banyak makhluk yang mati akibat kelelahan memenuhi alam kematian. Setelah beberapa waktu, Batara Shani datang kembali untuk sekali lagi menyadarkan Dewi Neelima. Dengan kekuatan pikiran, Shani berhasil membuat Neelima sadar bagaimana ia bisa terlahir, mengalami berbagai penolakan dan adu domba dari ibu tirinya. Dewi Neelima sadar akan kesalahannya lalu berbalik mengutuk Dewi Sangya. Dewi Sangya dikutuk tidak akan bisa bertemu Batara Surya di saat malam, waktu yang paling diimpikan Dewi Sangya. Sejak saat itu langit cerah siang hari tak pernah lagi bisa menyusul Batara Surya. Siang dan malam tidak pernah bersama. Ketika siang hari, Sangya akan selalu mengejar dan berputar-putar disekelilingnya selepas matahari muncul sebagai cahaya siang hari tanpa bisa bertemu secara langsung. Ketika malam hampir menjelang, Sangya hanya bisa tidur di ruang bunker istana Ekacakra. Sementara itu, Dewi Chayya sekarang yang menggantikan posisi Sangya. Dengan posisi demikian, Dewi Chayya bisa dianggap sebagai permaisuri Batara Surya yang resmi.
Dia akan bersama batara Surya, menghabiskan waktu malam yang panjang selepas matahari terbenam akan menyelimuti malam dengan bayangan, embun dan angin dingin yang diciptakannya. Siklus ini adalah keniscayaan yang harus diterima keluarga Batara Surya. Dewi Neelima mengembalikan kekuatan Batara Shani dan menerima Shani sebagai suami rohaninya. Ia seketika menghilang dan melebur sebagai batu nilam (safir) di mahkota Shani.
Shani Krama
Suatu ketika, datanglah di Kahyangan Ekacakra seorang putri bidadari bernama Dewi Dhamini. Dia sangat menyukai tarian dan musik. Ayahnya bernama Gandrwaraja Citrarata dan ibunya bernama Dewayanika. Ibunya berubah jadi akyan karena melawan Ditya Sarpanika. Dewi Dhamini diundang ke Ekacakra untuk memperlihatkan tariannya yang anggun. Di tengah tariannya, matanya saling bertatapan dengan Shani. Terasa ada getaran hati diantara mereka berdua. Namun Rewanta juga serasa ingin memiliki Dhamini. Maka Gandrwaraja Citrarata membuat sayembara. Ia lalu membuat kendi ajaib dengan kekuatannya. Barangsiapa yang mampu memegang kendi itu, maka ia akan menerima orang itu. Kalau perempuan dijadikan saudara Dhamini tapi jika laki-laki akan dijadikan suami Dhamini. Semua orang di Ekacakra berusaha memegang kendi itu namun tak ada yang berhasil. Kendi itu seakan menolak untuk disentuh. Termasuk Batara Indra yang secara diam-diam menaruh hati pada Dewi Dhamini. Sekarang tinggal giliran Rewanta dan Shani. Rewanta pertama kali memegang dan ia berusaha memaksakan diri. Kendi itu hampir saja pecah. Lalu tiba giliran Shani. Kendi itu awalnya menolak namun dengan bantuan Dewi Neelima yang bersemayam di mahkota Shani, tiba-tiba kendi itu mendadak tenang dan dapat dipegang oleh Shani.
Hari pernikahan Shani dan Dhamini pun tiba. Para dewa di kahyangan diundang semua. Batara Guru, Batara Brahma dan Batara Wisnu memberkati pernikahan mereka. Ketika acara ngunduh mantu, mendadak kahyangan Ekacakra gelap gulita. Batara Surya menjadi lemah. Sinar matahari menghilang. Bayangan itu bertukar jadi Kala Rahu. Rupanya Kala Rahu sedang memakan cahaya matahari. Terjadi gerhana. Batara Shani mengetahui kalau ini ulah Batara Indra dan Kala Rahu yang mengirimkan awan-awan mendung demi menggagalkan pernikahannya dengan Dewi Dhamini. Batara Shani bernegosiasi dengan Kala Rahu kalau yang dilakukannya tidak benar. Memang tugasnya menciptakan gerhana tapi bukan ini waktu yang tepat. Kala Rahu mau tidak mau menuruti kata Shani. Begitu gerhana usai, Shani mengusir awan mendung dengan kekuatannya. Semuanya kembali normal. Pernikahan pun dilanjutkan dengan meriah.
Imajier Nuswantoro