Raden Katong / Bethoro Kathong / Lembu Kanigoro / Raden Harak Kali
Raden
Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo
mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di
kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama
Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Batoro
Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang
putra Prabu Brawijaya V Yang Terlahir dari Putri Campa (DARA JINGGA) yang
beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu
Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak
Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan
Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha
di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya
V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi
Istrinya.
Berdasarkan
catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro,
disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau
disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu
Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).
Bathoro Katong diperkirakan lahir 1447 M dan wafat 1517 M di usia 70 tahun di Kadipaten Ponorogo. Dia merupakan anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi) dari seorang selir bernama Siu Ban Ci, Putri Tan Go Wat (alias Syekh Bentong) dari Dinasti Ming, Tionghoa. Versi lain menyebutkan dia anak Prabu Brawijaya V dari seorang selir yang bernama Putri Bagelan, yang beragama Islam.
Bathoro Katong memiliki nama asli Lembu Kanigoro. Nama kecilnya bernama Raden Joko Piturun dan Raden Harak Kali. Dia adalah adik Raden Patah, Sultan Kerajaan Demak. Dia juga merupakan seorang murid dari Sunan Kalijaga. Dari Sunan Kalijaga, dia banyak belajar ilmu agama, terutama ilmu laku dan ilmu marifat.
Walaupun
kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya
dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit.
Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari
elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama
Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari
Bali.
Tokoh
yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun
peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang
kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut
Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan
daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini
merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki
Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian
disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng
Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang
ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan
dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau
sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah
buruk.(walaupun Sebenarnya Reog Itu Telah Ada sejak zaman Kerajaan Kediri
Dimasa Pemerintahan Prabu airlangga 1042 M ,kala putri kediri Dewi Kilisuci
Dilamar Jatasura dan Lembu sora maka tercipta kesenian kuda lumping (Jaranan)
dan Reog Yang menggambarkan manusia berkepala harimau yang dimaksud adalah Jata
Sura,dan seorang putri yg duduk diatas kepala harimau itu adalah Dewi kilisuci
(sangrama wijaya).kurun waktu yg sangat jauh sebenarnya antara masa Kediri abad
10 M,dengan masa Berdirinya Ponorogo abad 14 M.(red).
Pada
akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang
pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan
selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang
nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya.
Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba
melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati
kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan
Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi
kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan
seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong
dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang
santri senior yang lain.
Raden
Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang
memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono,
Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan
masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat
cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu.
Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk
menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong
berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di
iming-imingi akan dijadikan istri.
Kemudian
Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka
Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut
dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di
daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan
masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari
naas-nya Ponorogo.
Tempat
menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di
daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan
moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan
untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah
dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan
berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal
ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan
dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa
Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi
Ponorogo secara perlahan namun pasti.
Pada
tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa
rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang
datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya
pekerjaan membabat hutan itu lancar.
Lantas,
bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah
menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong
permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di
tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun
itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda
"Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan,
Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian
dikenal dengan nama Ponorogo.
Kesenian
Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari
unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan
Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam
jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong,
inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan
agama Islam.
Dalam
konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang
sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak
secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan
Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.
Beliau
kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi
Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu
gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong
dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar
manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 aka
atau tahun 1496 M.
Batu
gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci.
Atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala tersebut dengan menggunakan
referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro
Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1
Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1
Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi
Kabupaten Ponorogo.
Batoro
Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak
ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran
naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.
Ada
dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi
keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.
Versi
keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik
Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam
yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena
kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh
Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri
semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari
Majapahit.
Sikap
oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian
menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk
menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden
Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu
aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai
Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.
Sedang
menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong
dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang
disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong
ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu
didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.
Sampai
saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan
utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi
Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab
dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo
Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang
seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems,
suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.
Hal
inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah
sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus
bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa
lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan
menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat.
Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan
belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan
doktrin tertentu.
Bagi
kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah
peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang
pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama
pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama
dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik
kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren)
di Ponorogo.
Alam
bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan
perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan,
nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di
bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.
Bagi
masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang
paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong
adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah
ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari
figur sejarah legendaris ini.
Rahasia Kematian Warok Suromenggolo
Ini cerita sejarah tentang Warok Suromenggolo yang dihimpun dari beberapa sumber dan menjadi legenda di Ponorogo Jawa Timur, menurut Babad Ponorogo Raden Bethara Katong mempunyai 5 istri yaitu :
1. Sang Permaisuri Putri Adi Kaliwungu dari Demak sumare ing Setono
2. Putri dari Loano, Bagelen sumare ing Setono
3. Putri Pamekasan, Madura sumare ing Setono
4. Dyah Roro Ayu Niken Gandini, putri Ki Ageng Kutu Ponorogo
5. Putri Kuning putri dari Ki Buyut Wono dari Kertosari.
Sebelum wafatnya Bathara Katong telah berwasiat kepada 5 istrinya: "Besok jika saya meninggal dunia, kalian jangan menikah dengan orang lain. Dan jika ada yang melakukannya, maka ia tidak boleh dimakamkan di dekat makam saya."
Istri ke 4 Bathara Katong Dyah Ayu Rara Niken Gandini putri dari Wengker mempunyai seorang adik yang bernama Ki Suromenggolo, seorang warok terkenal putra Ki Ageng Kutu dari Wengker musuh dari Bathara Katong yang akhirnya menjadi abdi setia Bathara Katong dan diangkat sebagai demang di Kertosari.
Sang Warok ditugaskan untuk menjaga kelima istrinya khususnya Putri Kuning yang paling muda.
Warok Suromenggolo adalah murid utama dari Ki Singobowo (Raden Singosari) seorang bangsawan dari Kadipaten Loano, Bagelen, pamomong istri kedua Bathara Katong yang dimintai bantuan bersama Eyang Joyodrono dan Joyodipo menghadapi Ki Ageng Kutu yang terkenal sakti mandraguna.
Pasca wafatnya Bathara Katong beliau madeg pandito bertapa di Argowilis, dikenal dengan sebutan Ki Ajar Singobowo, Mahaguru para warok ternama di Ponorogo yaitu Warok Suromenggolo, Warok Surohandoko, Warok Gunoseco, Warok Singokobra dan Warok Honggojoyo.
Sepeninggal Bathara Katong, kedudukan Adipati Ponorogo diteruskan oleh sang putra menantu yang masih belia, yaitu Adipati Panembahan Agung putra Pangeran Tumapel (Sayyid Maulana Hamzah) putra Sunan Ampel dengan didampingi oleh adik Bathara Katong dari satu ibu yang bernama Raden Bondan Surati yang diangkat sebagai Bupati Nayoko Kadipaten Ponorogo.
Raden Bondan Surati mempunyai adik satu ibu lain ayah yaitu Dewi Pandansari putra Pandito Wilohandoko dari gunung Pandan daerah Kendeng. Pandito Wilohandoko merupakan kakak dari Ki Cangkrangwojo dan Ki Sabuk Alu.
Dikisahkan pasca wafatnya Bathara Katong, keempat istri beliau selalu mengingat dan menaati wasiat beliau agar tidak menikah lagi. Tetapi Putri Kuning yang masih muda dan sedang bergairah dalam perjalanan waktu diam-diam membangun hubungan cinta dengan Raden Bondan Surati yang juga masih muda dan tampan.
Kedua insan yang dimabuk cinta itu sering mencuri-curi waktu bertemu di taman keputren di malam bulan purnama untuk memadu kasih.
Untuk itu Raden Bondan Surati menyamarkan diri dengan memakai pakaian hitam dengan bercadar melompati pagar keputren.
Para emban dan wanita keputren yang melihat bayangan hitam mengiranya genderuwo yang memasuki taman keputren. Mereka pun ketakutan dan masuk kamar keputren. Raden Bondan Surati pun segera menemui Putri Kuning yang telah menunggunya di bawah pohon di taman keputren. Keduanya pun bercumbu rayu dengan aman.
Kelakuan keduanya sebenarnya telah diketahui oleh Ki Suromenggolo yang ditugasi menjaga para istri dan keluarga Bathara Katong.
Ki Suromenggolo telah menasehati Putri Kuning untuk tidak melanggar wasiat sang suami dengan menjalin hubungan dengan Raden Bondan Surati, adik Bathara Katong yang nantinya akan mencoreng nama baik Kadipaten.
Tapi nafsu dan gairah yang membuncah dan tidak bisa lagi dibendung membuat Putri Kuning tidak mau mendengar nasihat Ki Suromenggolo.
Bahkan karena adanya halangan dari Ki Suromenggolo, Putri Kuning berniat menghabisi Ki Suromenggolo dengan caranya sendiri agar tujuannya menjalin hubungan dengan Raden Bondan Surati bisa berhasil.
Putri Kuning berusaha menghasut dan mengadu domba Raden Bindan Surati dengan Ki Suromenggolo dengan mengatakan bahwa Ki Suromenggolo akan memperkosanya di kamar Keputren.
Raden Bondan Surati yang telah terprovokasi dengan mudah diperalat untuk menghabisi Ki Suromenggolo dengan menyewa orang bayaran.
Sesuai arahan Putri Kuning, Bondan Surati menemui para bromocorah dari gunung Pegat, anak buah Warok Surogentho musuh bebutan Suromenggolo yang telah dibunuh sebelumnya.
Mereka adalah Warok Suro Bacok, Suro Jegol, Suro Jugil. Dengan iming-iming segepok uang dan cincin Putri Kuning dengan ucapan bahwa bila mereka tidak membunuh Ki Suromenggolo, maka ia yang akan menghabisi mereka.
Ketiganya menyanggupi untuk menghabisi Ki Suromenggolo. Setelah mempertimbangkan hari naas Suromenggolo dan naas mereka sendiri dan pembagian tugas yang matang, eksekusi harus selesai pada suatu malam yang telah ditentukan lewat perhitungan yang matang sebelum jam satu malam.
Suro Bacok bertugas sebagai tukang sirep, Suro Jegol bertugas menggangsir tanah, Suro Jugil sebagai pengawas. Pekerjaan dimulai jam 11 malam. Menjelang jam 1 malam mereka telah berhasil menjebol masuk kamar Suromenggolo lewat bawah tanah.
Tetapi naas, Ki Suromenggolo yang sedang tidur mendengkur dengan kewaskitaanya terbangun dan berhasil membekuk ketiga anak buah Warok Surogentho dalam suatu pertarungan yang mematikan.
Ketiganya pun akhirnya takluk menyerah dan meminta ampunan kepada sang warok. Ki Suromenggolo pun dengan lapang dada mengampuni mereka dan menjadikan ketiganya sebagai abdi dan pengawal setianya. Ketiganya pun akhirnya membuka otak rahasia siapa yang menyuruh.
Melihat usahanya gagal, Raden Bondan Surati pergi ke Argolawu berguru kepada Sunan Lawu yang tidak lain adalah Raden Gugur, kakaknya sendiri yang memerintahkan untuk lelaku selama 40 hari 40 malam.
Kemampuannya pun meningkat drastis tetapi keinginannya untuk menyingkirkan warok Suromenggolo tidak direstui Sunan Lawu karena Suromenggolo hanya menjalankan perintah Bathara Katong, kakaknya sendiri untuk menjaga keluarga dan istri-istrinya.
Sepulang dari Argolawu, Raden Bondan Surati segera pulang ke Kadipaten Ponorogo menemui Putri Kuning di Keputren untuk melampiaskan rasa rindunya dan menceritakan semua pengalamannya di gunung Lawu bersama kakaknya Sunan Lawu yang tidak mau merestui langkahnya untuk menghabisi warok Sumenggolo. Beliau tidak mempercayai tindakan buruk yang dilakukan Ki Suromenggolo terhadap Putri Kuning, janda kakaknya Bathara Katong.
Ketika hendak keluar kaputren, Raden Bondan Surati yang masuk dengan menyamar sebagai genderuwo memakai pakaian serba hitam langkahnya tiba-tiba dihadang para prajurit yang ditugaskan Warok Suromenggolo menjaga Kaputren.
Dengan penuh percaya diri dengan kemampuan yang baru didapatnya dari Sunan Lawu, para prajurit dengan mudah dikalahkan dan dibinasakan oleh Raden Bondan Surati.
Tetapi sebelum keluar dari gerbang Kaputren, langkahnya dicegat oleh Warok Suromenggolo dan terjadilah pertarungan dahsyat diantara keduanya.
Karena merasa jumawa dengan kemampuannya, Raden Bondan Surati lengah dan naas pun tak dapat dihindarkan, golok Ki Suromenggolo dengan cepat menebas leher Raden Bondan Surati dan tubuhnya ambruk ke tanah.
Kaputren pun geger dengan jatuhnya sosok genderuwo yang sering masuk taman keputren yang tidak lain adalah Raden Bondan Surati.
Pada suatu waktu, dalam satu pisowanan di Kadipaten Ponorogo, Ratu Kuning meminta kejelasan terkait kematian Raden Bondan Surati ditangan Warok Suromenggolo.
Adipati Panembahan Agung menjawab bahwa permasalahan telah selesai ditangani secara kekeluargaan oleh para pinisepuh Kadipaten. Tetapi Ratu Kuning minta Ki Suromenggolo tetap diajukan di depan pengadilan untuk membuktikan diri.
Ditengah perdebatan tentang keruwetan permasalahan Kadipaten datanglah 3 orang keluarga Raden Bondan Surati dari gunung Pandan yaitu Dewi Pandansari putri Pandito Wilohandoko, Ki Cangkrang Wojo dan Ki Sabuk Alu yang berargumen bila Raden Bondan Surati memang bersalah seharusnya dibuktikan dulu di pengadilan bukan langsung dibunuh oleh Warok Suromenggolo tanpa adanya bukti yang meyakinkan terlebih dahulu.
Akhirnya Ki Suromenggolo pun diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah membunuh Raden Bondan Surati tanpa melalui putusan pengadilan.
Suromenggolo memberikan alasan bahwa perilaku Raden Bondan Surati memasuki kaputren memasuki ruang Putri Kuning dengan menyamar sebagai genderuwo telah dilakukan beberapa kali sebelumnya dan langkah para prajurit hanya menjaga kaputren.
Adapun langkahnya melawan Raden Bondan Surati pun setelah diserang terlebih dahulu oleh Raden Bondan Surati.
Sebagai tambahan bukti, Warok Suromenggolo pun membawa saksi tiga warok gunung Pegat tentang konspirasi Ratu Kuning dan Raden Bondan Surati untuk membunuhnya dengan membawa bukti kedua cincin Putri Kuning dan Bondan Surati serta uang yang diberikan sebagai upah kepada ketiganya untuk membunuhnya.
Adanya bukti kedua cincin tersebut membongkar skandal hubungan asmara keduanya yang menyebabkan rasa malu yang sangat bagi Ratu Kuning dan membuatnya pingsan di tengah pengadilan.
Penyelidikan lebih lanjut menghasilkan satu putusan pengadilan, Warok Suromenggolo bebas dari tuntutan, sedangkan Putri Kuning yang terbukti sebagai otak dari semua rencana yang menyebabkan terbunuhnya Raden Bondan Surati dan para pengawal Kadipaten diputus bersalah dan dikenakan hukuman mati.
Namun Ki Suromenggolo beserta Adipati Panembahan Agung meminta keringanan hukuman, Putri Kuning dikeluarkan dari Kadipaten untuk dikembalikan ke Wonokerto.
Tetapi ada yang tidak terima dengan pengadilan putusan pengadilan tersebut. Pandansari maju kedepan menantang Warok Suromenggolo untuk bela pati pada kakaknya.
Maka terjadilah pertarungan hebat di alun-alun Kadipaten. Keris Pandansari yang ditusukkan berkali-kali kearah badan Suromenggolo tidak mempan dan akhirnya ruyung Suromenggolo yang menyambar dan mengenai kepala Dewi Pandansari dan menghempaskankannya keatas tanah.
Melihat pertarungan yang tidak seimbang, sang paman Ki Cangkrang Wojo segera terjun ke arena pertempuran menghadapi Warok Suromenggolo yang sama-sama sakti, tetapi warok Suro Jegol menghadangnya dan terjadilah pertempuran sengit antara keduanya.
Akhirnya Suro Jegol berhasil dibanting, dipiting dan ditekak oleh Ki Cangkrang Wojo. Dan dengan senjatanya Ki Cangkrang Wojo mengakhiri hidup Ki Suro Jegol.
Ki Cangkrang Wojo kemudian menyentuh kepala Dewi Pandansari yang membuatnya langsung tersadar dan keduanya segera mengeroyok Warok Suromenggolo yang membuatnya terdesak kewalahan.
Mengetahui situasi tersebut dari arah yang tidak diduga muncul Ki Singobowo dengan jungkir 3x di atas tanah, berubah menjadi harimau yang amat besar menyerang Dewi Pandansari, menggigit lehernya dan membawanya ke area persawahan disebelah timur alun-alun Kadipaten Ponorogo.
Tepat disebelah barat hutan Siredong tubuh Pandansari dicabik-cabik oleh harimau Ki Singobowo. Tempat tersebut kemudian dikenal sebagai dukuh Pandansari.
Melihat hal tersebut Ki Sapu Alu turun ke medan pertempuran mengeroyok Suromenggolo tetapi segera dihadapi oleh Ki Suro Jugil. Ki Sapu Alu segera membereskan Ki Suro Jegol, senjata Ki Sapu Alu segera menembus perut Ki Suro Jegol dan tewas seketika.
Ki Suro Bacot yang tidak memegang senjata tak berani melawan. Maka Ki Sabuk Alu dan Ki Cangkrang Wojo segera mengeroyok Ki Suromenggolo untuk dihabisinya.
Merasa terdesak Ki Suromenggolo kemudian menjejakkan kakinya tiga kali ke tanah memanggil ruh Ki Joyodrono, guru rohaninya. Kekuatan Ki Suromenggolo tiba-tiba meningkat berlipat-lipat.
Ki Cangkrang Wojo dipegang, dibanting dan dilempar ke arah timur, jatuh di sekitar wilayah telaga Ngebel. Adapun Ki Sabuk Alu dibanting dan dilempar ke arah barat dihutan Sukorejo.
Adapun Putri Kuning pada akhirnya wafat di Kertosari dan jenazahnya hendak dimakamkan di makam Setono disamping suaminya Bathara Katong, namun liang lahatnya tidak pernah cukup untuk menampung jenazah Putri Kuning sebagai isyarat ditolaknya Ratu Kuning di makamkan di Setono.Pada akhirnya jenazah Putri Kuning dimakamkan di Wonokerto di belakang masjid Kertosari.
Pasca kematian Putri Kuning, Niken Gandini, istri keempat Bathara Katong menemui adiknya Warok Suromenggolo dan disampaikan akan akhir pengabdiannya di Kadipaten Ponorogo.
Diceritakannya akan desus-desus yang beredar di lingkungan Dalem Kadipaten tentang kematian Raden Bondan Surati di usia yang masih muda oleh adiknya sendiri Ki Suromenggolo.
Mendengar cerita tersebut lemaslah Warok Suromenggolo, pendekar digdaya andalan Kadipaten Ponorogo yang tak pernah pilih tanding. Ia merasa tersudutkan dan merasa malu yang tak tertanggungkan dengan beredarnya desas-desus tersebut di Dalem Kadipaten. Ki Suromenggolo lebih memilih pati daripada menanggung rasa malu. Ki Singobowo dari Argowilis yang mengetahui kondisi murid kinasihnya datang menemuinya dan memberi isyarat akan akhir hidupnya.Ki Suromenggolo membuang seluruh senjata dan pusaka yang melekat pada badannya, Ki Suromenggolo pun segera bersuci lahir batin menghadapkan dirinya menghadap Sang Pencipta.Pada bulan Sabtu di bulan Ruwah, Ki Suromenggolo membaringkan tubuhnya terlentang, kepalanya di sebelah timur.Ia menyuruh kakaknya Niken Gandini untuk membawakan kinang. Dengan tenang Ki Suromenggolo menarik nafas mengucap dua kalimat syahadat.
Niken Gandini pun segera tanggap menusukkan sadak kinang ke tenggorokannya. Ki Suromenggolo pun wafat.
Jenazahnya dimakamkan di belakang masjid Kertosari di makam Gedong Kertosari bersama Putri Kuning sesuai wasiat Bathara Katong untuk selalu mendampinginya.
Untuk Raden Bathara Katong, Kelima Istri Beliau dan Para Pengikut Setianya, Lahumul Fatihah......(Sumber referensi : Pureowijoyo, Babad Ponorogo jilid ll)
Imajiner Nuswantoro