TEKA-TEKI KEMATIAN GAJAH MADA
Gajah Mada lahir pada tahun 1299 di sebuah desa terpencil di tepi Sungai Brantas. Selain itu, tidak banyak keterangan tentang asal-usul Gajah Mada yang diketahui. Bahkan sosok ayah dan ibunya pun belum diketahui secara pasti hingga kini.
Beberapa catatan menyebutkan, Gajah Mada memulai karir dengan membaktikan diri sebagai seorang prajurit Kerajaan Majapahit. Karena ketangkasan dan kecerdasannya, ia lantas diangkat menjadi bekel (panglima) Bhayangkara, pengawal elit yang bertugas melindungi raja dan keluarga Kerajaan Majapahit.
Saat menjadi bekel inilah, Gajah Mada berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara dan keluarganya saat terjadi pember0nt*kan oleh Rakrian Kuti, salah satu pejabat di Majapahit. Gajah Mada membantu Jayanegara melarikan diri dari Trowulan ke Badander dan membawanya kembali ke ibu kota lalu menvmpas pemberontakan.
Sebagai balas jasa, Jayanegara mengangkat Gajah Mada menjadi patih. Saat Jayanegara mangkat, Mahapatih Arya Tadah mengundurkan diri dan Gajah Mada diusulkan untuk menggantikannya.
Namun, dirinya menolak dengan alasan ingin melakukan sesuatu lebih dulu untuk Majapahit. Sebab, saat itu memang sedang terjadi pember0nt*kan yang dipimpin oleh Keta dan Sadeng. Barulah pada 1334 Gajah Mada resmi dilantik menjadi mahapatih oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi.
Saat dilantik menjadi mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan sebutan Sumpah Palapa.
Isi Sumpah Palapa, yaitu :
"ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦲꦸꦮꦸꦱ꧀ꦏꦭꦃꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ꧈ꦲꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦲꦩꦸꦏ꧀ꦠꦶꦥꦭꦥ꧉ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦏꦭꦃꦫꦶꦁꦒꦸꦫꦸꦤ꧀꧈ꦫꦶꦁꦱꦺꦫꦩ꧀꧈ꦠꦚ꧀ꦗꦸꦁꦥꦸꦫ꧈ꦫꦶꦁꦲꦫꦸ꧈ꦫꦶꦁꦥꦲꦁ꧈ꦢꦺꦴꦩ꧀ꦥꦺꦴ꧈ꦫꦶꦁꦧꦏꦶ꧈ꦱꦸꦤ꧀ꦢ꧈ꦥꦭꦺꦩ꧀ꦧꦁ꧈ꦠꦸꦩꦱꦶꦏ꧀꧈ꦱꦩꦤꦲꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦲꦩꦸꦏ꧀ꦠꦶꦥꦭꦥ"
"Lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa. Lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Baki, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa"
Artinya :
(Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa (kesenangan). Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pyulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa).
Ketika sumpah tersebut diucapkan, banyak yang meremehkan dan menertawakan cita-cita Gajah Mada untuk menyatukan nusantara. Meski sempat berkecil hati lantaran diremehkan dan ditertawakan, Gajah Mada bertekad membuktikan sumpahnya dengan keberanian dan kerja keras.
Selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336-1357, dirinya melaksanakan misi untuk menyatukan nusantara hingga akhirnya lebih dari 30 wilayah berhasil dikuasai.
Wilayah-wilayah tersebut adalah Bedahulu (Bali), Lombok, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudera Pasai, Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludug, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjungkutai, dan Malinau.
Seluruh wilayah yang luas tersebut diayomi dengan semboyan "Bhineka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, dan Mitreka Satata," yang artinya, meskipun berbeda-beda, tetapi tetap satu, sebab tidak ada dharma (kewajiban) yang berbeda.
Masa keemasan Majapahit berlangsung ketika Prabu Hayam Wuruk memerintah dan didampingi Gajah Mada. Wilayah Majapahit pun semakin luas, yakni hingga mencapai Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Batayan, Luwuk, Makassar, Buton, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Sunda Pajajaran pada 1357 mengakhiri kejayaan Gajah Mada. Perang tersebut bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menjadikan putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi, sebagai permaisuri.
Namun, saat pernikahan hendak dilangsungkan, Gajah Mada menginginkan Sunda takluk dan menyerahkan Dyah Pitalokai sebagai persembahan. Akibat penolakan Sunda, terjadilah perang di Bubat, yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda.
Seluruh rombongan Sunda gugur dalam pertempuran dan langkah diplomasi Hayam Wuruk pun gagal. Oleh karena itu, Gajah Mada dicabut dari jabatannya sebagai mahapatih.
Pada 1359, Gajah Mada kembali diangkat sebagai patih dan diberi wilayah Madakaripura di Tongas, Probolinggo. Gajah Mada meninggal pada 1364 karena sakit. Dengan meninggalnya Gajah Mada, berakhir pula kebesaran Kerajaan Majapahit.
VERSI KIDUNG SUṆḌA
Dalam versi ini dikisahkan ketika Raja Suṇḍa datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Prabu Hayam Wuruk, Gajah Mada memaksa agar putri Suṇḍa diserahkan sebagai wanita persembahan. Sudah pasti urang Suṇḍa menolak, harga diri lah. Pertempuran pun terjadi dan mengakibatkan Raja Suṇḍa gugur di lapangan Bubat.
Dikisahkan juga Gajah Mada sangat berkuasa di Majapahit, bahkan Śrī Hayam Wuruk segan kepadanya. Ketika Raja Suṇḍa datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Śrī Hayam Wuruk, Gajah Mada berani menentang dan memaksa agar putri Suṇḍa diserahkan sebagai wanita persembahan. Tentu saja pihak Suṇḍa menolak. Pertempuran terjadi dan mengakibatkan raja Suṇḍa gugur di lapangan Bubat.
Melihat ayahnya tewas, putri Sunda Dyah Pitaloka melakukan "bela pati" menikam diri sendiri. Prabu Hayam Wuruk sangat berduka karena calon istrinya tewas. Ia pun jatuh sakit dan meninggal karena derita cinta.
Gajah Mada disalahkan sebagai penyebab kematian Hayam Wuruk. Kediamannya dikepung pasukan Majapahit. Gajah Mada bersemedi di halaman kemudian musnah raganya, naik ke langit menjadi Dewa.
Gajah Mada disalahkan sebagai penyebab kematian Śrī Hayam Wuruk.
Rumahnya segera dikepung pasukan Majapahit. Gajah Mada bersemadi di halaman kemudian musnah raganya, naik ke langit menjadi dewa. Sejak itu ia dikenal dengan sebutan Lĕmbu Mukṣa.
(ꦚ꧀ꦗ꧀ĕꦤ꧀ĕꦔ꧀ꦲꦶꦁꦤꦠꦂꦲꦩꦸꦰ꧀ꦡꦶ꧈ꦩꦸꦏ꧀ꦰꦠꦤ꧀ꦥꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦫꦴꦒ꧈ꦩꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦲꦶꦁꦤꦶꦱ꧀ꦏꦭꦗꦴꦠꦶ꧈ꦮꦭꦸꦪꦢꦺꦮꦩꦭꦶꦃ)꧉
(ñjĕnĕng ing natar amuṣṭi, mukṣa tan patinggal rāga, mantuk ing niskalajāti, waluya dewa malih).
VERSI PARARATON
Kisah pertempuran Bubat juga dikisahkan dalam versi ini, tetapi Gajah Mada tidak bertindak sendiri. Dia lebih dulu melapor kepada orang tua Śrī Hayam Wuruk. Setelah memperoleh restu dan juga dukungan dari Bhre Wĕngkĕr, barulah Gajah Mada bertindak menghadapi orang-orang Suṇḍa yang menolak menyerahkan sang putri sebagai wanita persembahan.
Setelah peristiwa Bubat berakhir, Śrī Hayam Wuruk menikah dengan putri Bhre Wĕngkĕr yang berjuluk Padukaśori. Adapun Gajah Mada "amukti palapa", menikmati kesenangan dan istirahat.
Pararaton menyebut peristiwa Bubat terjadi pada 1357, sedangkan Gajah Mada meninggal pada 1368, dan Hayam Wuruk meninggal pada 1389. Jadi, sangat berbeda dengan versi Kidung Suṇḍa dan juga Kidung Suṇḍāyana.
Kematian Gajah Mada dalam Pararaton hanya disebut dalam satu kalimat, yaitu :
꧊ꦱꦁꦲꦥꦠꦶꦃꦒꦗꦃꦩꦢꦲꦠ꧀ꦭꦱꦤ꧀ꦲꦶꦲꦏꦒꦒꦤꦩꦸꦏꦩꦠꦺꦤ꧀ꦢꦸ꧈꧇꧑꧒꧙꧐꧇꧉꧊
"sang apatih gajah mada atĕlasan i śaka gagana-muka-matendu, 1290."
(tĕlas = habis)
Nilai sengkalannya sebagai berikut :
- Gagana (langit) = bermakna kosong, bernilai 0
- Muka (wajah) = pada wajah terdapat lubang mulut, maka bernilai 9.
- Mata = berjumlah dua, maka bernilai 2
- Indu (rembulan) = hanya ada satu di langit, maka bernilai 1.
"gagana-muka-mata-indu" = 0-9-2-1
Jika disusun dari belakang = Śaka 1290
Jika dikonversi ke tahun Masehi = 1290 + 78 = 1368
VERSI NĀGARAKṚTĀGAMA
Menurut versi ini, Gajah Mada jatuh sakit pada 1363 sewaktu Śrī Hayam Wuruk berziarah ke Candi Simping, dikisahkan dalam pupuh 70. Kemudian pada pupuh 71, bait pertama, Gajah Mada dikisahkan meninggal pada 1364, setelah menjabat Rakryan Mapatih sejak 1331.
Kutipan kalimatnya sebagai berikut :
"ꦠꦿꦾꦔꦶꦤꦶꦤꦯꦏꦥꦹꦂꦮꦫꦱꦶꦏꦤ꧀ꦥꦩꦁꦏ꧀ꦮꦏ꧀ĕꦤ꧀ꦲꦶꦱꦧ꧀ꦮꦠ꧀ꦱꦧ꧀ꦲꦸꦮꦤ꧈ ꦥ꧀ĕꦗꦃꦲꦶꦫꦶꦏꦴꦯꦏꦴꦧ꧀ꦝꦫꦱꦠꦤ꧀ꦮꦶꦤꦴꦯꦤꦫꦤꦴꦛꦩꦴꦂꦱꦭꦲꦯ꧈"
"tryanginina śaka pūrwa rasika n pamangkwakĕn i sabwat sabhuwana,
pĕjah irikā śakābdha rasatanwināśa naranātha mār salahaśa,"
Terjemahan :
Tahun Śaka "tri-angin-ina" beliau memegang urusan senegara. Meninggal pada Śaka "rasa-tanu-ina", sedih perasaan Raja (Hayam Wuruk), putus asa.
Sengkalan "tri-angin-ina" adalah tahun pelantikan Gajah Mada sebagai Rakryan Mapatih atau Rakryan Apatih.
- Tri = dari bahasa Sanskerta bermakna "tiga", maka nilainya 3.
- Angin = berwatak "lima", sehingga nilainya 5.
- Ina = dari bahasa Sanskerta bermakna "matahari". (jangan rancu dengan "ina" bahasa Jawa Kuno yang bermakna "ibu").
Dalam tradisi Hindu, dewa matahari dan adik-adiknya disebut sebagai Dwadaśāditya, yaitu Dua Belas Āditya. Maka, matahari (ina) bernilai 12.
(berbeda dengan sengkalan Jawa Baru: matahari bernilai 1, sama seperti rembulan).
Angka 3-5-12 jika disusun dari belakang menjadi tahun Śaka 1253, yaitu sama dengan 1331 Masehi. Itulah tahun pelantikan Gajah Mada sebagai patih Majapahit.
NB : tidak ada jabatan Mahapatih di Kerajaan Majapahit, yang ada ialah Rakryan Mapatih atau Rakryan Apatih.
Baris selanjutnya mengisahkan Gajah Mada meninggal pada sengkalan "rasa-tanu-ina".
- Rasa = manis, asam, asin, pedas, pahit, sepet, jumlahnya enam jenis, maka bernilai 6.
- Tanu = badan langsing, maksudnya ialah ular. Ada juga yang menyebut "tanu" adalah bunglon, hewan melata yang sebangsa ular, maka bernilai 8.
- Ina = nama lain matahari, bernilai 12.
Angka 6-8-12 jika disusun dari belakang membentuk tahun Śaka 1286 = 1364 Masehi.
Kesimpulan :
- Gajah Mada muksa bersumber dari Kidung Suṇḍa dan juga Kidung Suṇḍāyana.
- Gajah Mada meninggal pada 1368 bersumber dari Pararaton.
- Gajah Mada meninggal pada 1364 bersumber dari Nāgarakṛtāgama.
Jelas di Kitab naskah Nāgarakṛtāgama, karena ditulis pada 1365, hanya selisih setahun dengan peristiwa meninggalnya Gajah Mada, sedangkan Pararaton ditulis setelah Majapahit runtuh. Adapun Kidung Suṇḍa ditulis pada 1878 sehingga isinya lebih banyak bersifat fantasi daripada histori.
Selain itu, Mpu Prapañca yang menulis Nāgarakṛtāgama pernah menjadi pejabat agama Buddha di Kerajaan Majapahit, juga kenal dengan Gajah Mada. Dengan demikian, berita yang ia tulis bahwa Gajah Mada meninggal (pĕjah) pada 1364 jelas lebih valid dibanding versi lainnya.
Kalau ada yang bermain spekulasi bahwa Mpu Prapañca mengarang cerita palsu, padahal Gajah Mada aslinya tidak mati, tapi hidup menyepi perlu pengkajian lebih mendalam lagi.
WAJAH PATIH GAJAH MADA
Ada sebuah Arca yang berada di Museum Nasional bernama Kertala atau disebut juga Arca Brajanata. Museum Nasional memberi nomor inventaris 310d dan disebut berasal dari Gunung Penanggungan. Arca Kertala atau Arca
Brajanata oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin dikatakan merupakan perwujudan lain dari Mahapatih dari Kerajaan Majapahit, yaitu : Mahapatih Gajah Mada. Pada suatu hari Prof. Dr. Muhammad Yamin pernah mengunjungi Trowulan untuk melihat jejak-jejak Kerajaan Majapahit. Saat itulah Prof. Dr. Muhammad Yamin menemukan pecahan terakota berupa kepala pria berwajah gempal dan berambut ikal. Menurut pendapatnya Arca Kertala atau Arca Bratanala ini digali dekat puri Gajah Mada di Trowulan, Majapahit.
Prof. Dr. Muhammad Yamin mengidentifikasi bahwa wajah itu sebagai wajah Gajah Mada. Menurutnya dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, air muka arca itu penuh dengan kegiatan yang mahatangkas. Wajahnya menyinarkan keberanian seorang ahli politikus yang berpandangan jauh.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Arkeolog dari Universitas Indonesia, bernama Agus Aris Munandar berpendapat lain soal wajah Gajah Mada. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, ia menjelaskan arca Brajanata dan Bima sebagai dua perkembangan dari penggambaran Gajah Mada.
Mahapatih Gajah Mada atau Mpu Mada sudah meninggal dunia 1364 Masehi, dal versi yang lain dianggap mokhsa namun tetap dikenang dan pada masa Majapahit dianggap sebagai titisan Dewa. Menurut pendapat dari Agus Aris Munandar :
" Gajahmada dipandang sebagai dewata yang dapat dimintai pertolongan masyarakat yang sengsara akibat peperangan,”
Selepas Hayam Wuruk, perang terus terjadi di Majapahit. Pada masa itu pula arca-arca perwujudan Gajah Mada terus diciptakan. Nampaknya masyarakat ingin mendatangkan kembali masa gemilang pemerintahan raja dan patihnya itu.
GAJAH MADA BERWUJUD BRAJANATA
Kisah Panji, menurut Agus Aris Munandar juga
menyimpan metafora kehidupan Raja Hayam Wuruk. Penggambaran Kisah Panji pertama kali terdapat di Candi Miri Gambar, Blitar.
Candi ini didirikan setelah Hayam Wuruk wafat dan saat menantunya, Raja Wikramawarddhana berkuasa. Kisah ini dihiasi dengan tokoh Panji dan Brajanata, dua tokoh yang paling dominan dalam beberapa kisah panji paling awal.
Tokoh-tokoh utama dalam Kisah Panji bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah pada masa Majapahit. Misalnya Raden Panji adalah Raja Hayam Wuruk. Ayahanda Panji, Raja Keling atau Raja Jenggala atau Raja Kahuripan adalah Kertawarddhana alias Raden Cakradhara. Ibunda Panji adalah permaisuri dari Raja Keling yaitu : Tribhuwana Wijayottunggadewi karena Ibu Hayam Wuruk ini juga memiliki gelar Bhre Kahuripan. Sedangkan Raja Daha adalah paman Panji. Kenyataannya, Raja Daha juga paman Hayam Wuruk dan Permaisuri Raja Daha atau bibi dari Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Daha.
Dewi Sekar Taji, putri dari Raja Daha adalah permaisuri Raden Panji. Dalam sejarah Majapahit, permaisuri Raja Hayam Wuruk adalah sepupunya sendiri, yaitu putri dari Bhre Daha. Dalam Kitab Pararaton namanya disebut Paduka Sori. Lalu kekasih Raden Panji, yaitu : Dewi Angreni bisa dipadankan dengan putri dari Sunda yang bunuh diri dalam peristiwa Bubat yaitu : Dyah Pitaloka.
Dengan banyaknya kesamaan penokohan itu, rasanya tidak berlebihan jika menyamakan Raden Brajanata sebagai Gajah Mada.
Raden Brajanata adalah kakak Raden Panji yang berbeda ibu. Namanya disebut dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dan Hikayat Panji Angreni dari Palembang.
Peranan Brajanata mirip dengan Gajah Mada. Brajanata juga selalu mengawal Raden Panji, sebagaimana Gajah Mada dengan Hayam Wuruk.
" Brajanata dalam kisahnya disuruh ayah dan ibu dari Raden Panji untuk menghabisi Dewi Angreni.
" Brajanata digambarkan tinggi besar, badan tegap, berkumis tebal, berambut ikal dan mungkin merupakan ikon dari Gajah Mada "
Itu sesuai dengan pendapat Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan mengenai relief Panji Gambyok di Kediri.
Tokoh berambut ikal dan berbadan tegap itu adalah Brajanata.
ARCA BRAJANATA
Dengan demikian, menurut Agus, arca koleksi Museum Nasional bernomor inventaris 310d dari Gunung Penanggungan yang dinamai Kertala lebih tepat jika diidentifikasi sebagai Brajanata. Arca itu sangat mirip dengan figur pria tegap berambut keriting yang digambarkan di kanan kiri pipi tangga Candi Miri.
Apalagi tokoh Kertala dalam Cerita Panji hanya berperan sedikit jika dibandingkan dengan pengiring Raden Panji yang lainnya, seperti Brajanata, Carang Waspa, atau Prasanta. Tokoh yang diarcakan tentunya tokoh yang mengesankan, tidak cukup hanya dalam relief, melainkan perlu sosok arcanya.
Maka jika Brajanata adalah ikon Gajah Mada, Arca Brajanata itu dapat ditafsirkan sebagai penggambaran dari Gajah Mada. Arca itu menampilkan sosok berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk topi tekes. Ia mengenakan busana, gelang dan kelat lengan atas berupa ular. Lingga atau bagian kemaluannya diukir menonjol.
Namun seiring waktu pandangan masyarakat berubah. Gajah Mada kemudian lebih banyak digambarkan sebagai Bima. Pada masa akhir Majapahit, pertengahan abad ke-15, banyak dibuat arca Bima kebetulan cirinya mirip dengan arca tokoh Brajanata.
GAJAH MADA SEBAGAI BIMA
Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Triwurjani juga menjelaskan dalam “Bima sebagai Tokoh yang Dikultuskan” termuat di Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, bahwa kurang lebih pada awal abad ke-15 muncul kultus terhadap tokoh Bima yang dikenal dari kisah Mahabharata. Arca Bima beberapa kali ditemukan pada bangunan suci yang terdapat di beberapa daerah di Jawa Timur. Misalnya Arca Bima dari Trenggalek, Jawa Timur. Di bagian belakang Arca Bima itu terdapat inskripsi. Model tulisannya sejaman dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada pada tahun 1357.
“…Pada waktu itu… pendeta Mpu Wirata… memberikan pratistha kepada telapak…,” tulisan dalam inkskripsi itu.
Menurut Triwurjani adanya kata pratistha dapat berarti bahwa arca itu adalah arca perwujudan. Arca itu sesuai dengan ciri arca perwujudan masa Majapahit. Sikap arca tidak memperlihatkan gerak tubuh. Kedua tangan terjulur di samping tubuh. Mata digambarkan setengah terpejam seperti sikap meditasi. Bisa juga dikaitkan dengan tokoh itu sebagai perwujudan Gajah Mada.
Secara fisik Arca Bima berkumis, berbadan tegap, kemaluannya menonjol dari balik kain. Dan hal ini mirip dengan arca Brajanata. Bedanya hanya pada tata rambut. Brajanata rambutnya menyerupai tutup kepala tekes. Arca Bima rambutnya berbentuk supit urang. Dalam Arca Bima dari Trenggalek ini Bima juga digambarkan memiliki kuku yang panjang dan disebut Pancanaka.
Gejala itu juga menunjukkan ada pergeseran penggambaran dari Gajah Mada sebagai Brajanata ke dalam penggambarannya sebagai tokoh Bima.
“Para pemuja dan pengagum Gajah Mada mulai pertengahan abad ke-15 lebih menyukai mengarcakan Gajah Mada sebagai Arca Bima daripada sebagai Arca Brajanata,”
Alasannya, tokoh Bima lebih terkenal dibanding Brajanata. Tokoh Brajanata baru dikenal dalam karya sastra muda, yaitu Kisah Panji. Kisah ini baru berkembang pada era Majapahit akhir. Sementara tokoh Bima sudah dikenal sejak masuknya pengaruh India dan Hindu ke Jawa. Tokoh Bima terkesan lebih sakral dibanding Brajanata. Bila Brajanata adalah manusia biasa maka Bima adalah aspek Siwa yang berwujud manusia.
“Karenanya pengagum Gajah Mada lebih senang menyetarakannya dengan Bima,”
Tokoh Bima punya kesamaan dengan Gajah Mada. Berdasarkan namanya, Gajah Mada, bisa dibayangkan orangnya tinggi besar dan bertenaga besar seperti Gajah. Bima kebetulan mempunyai kemiripan perawakan dengan Gajah Mada. Sebenarnya banyak juga tokoh yang bercirikan seperti itu dalam kisah epos Mahabharata. Namun Bima lebih punya banyak peran. Tokoh Bima juga ditempatkan sebagai tokoh protagonis dalam kisah epos Mahabharata.
Dalam konsep agama, Bima juga disetarakan dengan Gajah Mada. Dalam Kitab Jawa Kuno, Brahmanda Purana, menyebut Bima sebagai aspek Siwa. Sedangkan raja-raja Majapahit seringkali disetarakan sebagai Siwa.
Maka, Patih Amangkubhumi-nya sebagai aspek dari Sang Dewa. Selama ini Arca Bima banyak ditemukan dari masa Kerajaan Majapahit. Pertanyaannya : " Siapakah yang hendak diwujudkan oleh arca itu..? " Tokoh yang dimaksud adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.
AKHIR HIDUP GAJAH MADA
Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Sunda pada 1357 mengakhiri kejayaan Gajah Mada. Perang tersebut bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menjadikan putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi, sebagai permaisuri. Namun, saat pernikahan hendak dilangsungkan, Gajah Mada menginginkan Sunda takluk dan menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan.
Akibat penolakan dari pihak Sunda, terjadilah perang di Bubat, yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Seluruh rombongan Sunda gugur dalam pertempuran dan langkah diplomasi Hayam Wuruk pun gagal. Oleh karena itu, Gajah Mada dicabut dari jabatannya sebagai mahapatih.
Pada 1359, Gajah mada kembali diangkat sebagai patih dan diberi wilayah Madakaripura di Tongas, Probolinggo.
“ Tersebutlah pada tahun saka angin 8 utama (1285) Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. ”
Begitulah bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 70/1-3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke Simping (Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibu kota Majapahit.
MENURUT ARKEOLOG UNIVERSITAS INDONESIA A.A. MUNANDAR
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Menurut Arkeolog Universitas Indonesia, A.A. Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka (1364 M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan.
Bahwa akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Ditafsirkan juga bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibu kota Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.
Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Mahapatih Amangkubhumi.
Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71/3.
Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Mahapatih Amangkubhumi menggantikan posisi Gajah Mada.
MAKAM RATU ANDONG SARI (TRIBUANESWARI)
Pasarehan Ratu Andong Sari Alias Tribuaneswari adalah ibunda Mahapatih Gajah Mada. Beliau adalah anak dari Prabu Kartanegara penguasa terakhir kerajaan Singosari yang diasingkan di hutan Gunung Ratu saat hamil tua hingga beliau melahirkan Gajah Mada di tempat ini Gunung Ratu, Ngimbang Lamongan adalah Pasarehan Ratu Andong Sari Alias Tribuaneswari, Ibunda Mahapatih Gajah Mada. Beliau adalah anak dari Prabu Kartanegara Penguasa Terakhir Kerajaan Singosari.
Sumber referensi :
Yamin, Muhammad (1945). Gadjah Mada, pahlawan persatoean Noesantara.
ANAK GAJAH MADA
Gajah Mada, tokoh yang pernah menjadi Mahapatih Majapahit pada era Ratu Tribwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk menurut kabar turun temurun masyarakat Bali mempunyai seorang anak, namanya Aria Bebed. Anak Gajah Mada yang satu ini lahir dari seorang wanita bernama Ni Luh Ayu.
Kisah mengenai anak Gajah Mada yang bernama Aria Bebed sumbernya dari cerita turun-temurun yang ada pada masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Pagustulan Singaraja Bali. Selain itu mereka juga membuat suatu Prasati untuk meneguhkan jika kisah mengenai Aria Bebed anak Gajah Mada adalah kisah nyata, Prasasti yang dibuat oleh masyarakat Desa Pagustulan Singaraja Bali itu dikenal dengan nama "Prasasti Gajah Mada".
Menurut Prasasti Gajah Mada, disebutkan bahwa ; pada mulanya Gajah Mada tidak mengetahui jika ia punya anak, mengingat Ni Luh Ayu sudah ditinggalkan Gajah Mada, lagipula Gajah Mada waktu itu tinggal di Majapahit. Sementara Ni Luh Ayu Tinggal di Bali.
Saat di tinggalkan Gajah Mada, Ni Luh Ayu dalam kondisi mengandung muda, sehingga Gajah Mada tidak tahu jika Ni Luh Ayu mengandung. Anak yang lahir dari Rahim Ni Luh Ayu kelak dinamai Aria Bebed.
Setelah memasuki usia Remaja, Aria Bebed dikabarkan oleh Ibunya, bahwa ayah Biologisnya adalah Gajah Mada. Mendengar pengakuan dari ibunya, Aria Bebed kemudian menju Majapahit untuk menjumpai ayahnya.
Sesampainya di Majapahit, Aria Bebed duduk di atas batu yang terletak tepat di depan rumah Gajah Mada. Karena disoraki oleh orang-orang dan diusir oleh para pengawal Gajah Mada, Aria Bebed menangis. Mendengar sorak orang banyak dan tangisan seorang ramaja, Patih Gajah Mada keluar.
Sesudah ditanya, siapa nama, asal dan tujuannya datang ke Majapahit, Aria Bebed menjawab dengan jujur " Ia ingin menjumpai Gajah Mada, karena menurut keterangan Ibunya Gajah Mada adalah ayahnya".
Mendengar jawaban Aria Bebed, Gajah Mada membawa anak itu ke dalam rumahnya dan mempertemukanya dengan istrinya Ken Bebed. Kepada Ken Bebed, Gajah Mada mengaku bahwa Aria Bebed adalah putranya. Mendengar pengakuan Gajah Mada, Ken Bebed yang tidak punya anak sangat senang. Oleh Ken Bebed, Aria Bebed dianggap sebagai putra kandungnya sendiri.
Setelah sekian lama tinggal di Majapahit, Aria Bebed meminta diri untuk pulang ke Bali. Gajah Mada dan Ken Bebed meningizinkan. Sebelum Aria Bebed pulang, Gajah Mada memberikan hadiah berupa Pangastulan (Tempat Menyimpan Abu Leluhur Gajah Mada).
Kepada Aria Bebed, Gajah Mada berpesan agar abu yang di Pagastulan di taburkan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tempat yang ditaburi Abu Pagastulan akan menjadi wilayah kekuasaan Aria Bebed. Hendaklah pula Aria Bebed berhenti dan menetap di tempat terakhir yang ditaburi abu Pagastulan. Disitu Aria Bebed akan menjadi penguasa tertinggi.
Aria Bebed kemudian menuju Bali dan menetap di desa Bwahan. Disana Aria Bebed menikah dengan Nyi Ayu Rangga, Putri Pangeran Pasek Wanagiri. Dari perkawinan itu lahir dua orang Putra yakni Aria Twas dan Nyi Gusti Ayu Wanagiri.
Begitulah kisah mengenai Aria Bebad yang tertulis dalam Prasasti Gajah Mada. Prasasti tersebut ditulis pada Tahun Saka 1881 (1959 M). Ditinjau dari tahun pembuatannya jelas Prasasti Aria Bebed umurnya amat muda sehingga dalam menanggapi isi kisah yang terkandung didalamnya perlu telaah kritis.
Imajier Nuswantoro