SERAT CEMPORET BESERTA ISI DAN MAKNANYA,
Karya Pujangga Jawa R. Ng. Ranggawarsita yang ditulis atas perintah Pakubuwana IX pada tahun 1799
Serat cemporet merupakan salah satu karya R.Ng. Ranggawarsita yang ditulis atas perintah Pakubuwana IX pada tahun 1799, seperti yang tertulis di halaman 1 bait ke-2, yaitu :
Pangapusing pustaka sayekti, saking karsa dalem Sri Nalendra, kang kaping sanga mandhireng, Surakarta praja gung, sumbageng rat dibya dimurti, marwatama susanta, ambeg sadu, sadar geng galih legawa, sih ing wadya gung alit samya mumuji, raharjeng praja nata.
Naskah ini merupakan naskah cetakan yang diterbitkan oleh N.V. Alberts Rusche & Co pada tahun 1921. Teks ini mirip dengan LS.5-KS 73. Isinya menceritakan kisah Raden Jaka Permana, putera Raja Pagelen yang tinggal di desa Cengkarsari dan akan menikah dengan Dewi Suretna, anak angkat Ki Buyut Cemporet yang sesungguhnya patih kerajaan Medangkamulan.
Karya sastra Serat Cemporet menghadirkan binatang sebagai bagian dari tokoh cerita. Namun bukan berarti bahwa Serat Cemporet adalah cerita binatang atau yang sering disebut fabel pada umumnya. Kemunculan tokoh binatang yang diceritakan sebagai wujud deformasi atau penjelmaan dari tokoh manusia.
Terdapat empat
tokoh binatang, yaitu burung menco, banteng, anjing, kera, dan anjing.
Dari
ke empat tokoh binatang tersebut, memainkan peran yang berbeda satu sama
lainnya. Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang dikisahkan, yang
kemudian dapat ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan perbuatan. Melalui tokoh-tokoh
binatang, karya sastra akan lebih menarik dan menyenangkan untuk di baca.
Sehingga tujuan karya sastra yang dapat memberikan manfaat berupa penyampaian
gagasan, pandangan hidup, tanggapan atas kehidupan sekitar dan sebagainya dapat
tersampaikan kepada pembaca. Baik secara tersirat maupun tersurat, dari
kedirian atau sisi kehidupan tokoh dapat diambil nilai-nilai kehidupan yang
menyaran pada penanaman budi pekerti dan moral pada pembaca artikel blogger ini.
Di
dalam Serat Cemporet menggambarkan tentang peran tokoh binatang dalam Serat
Cemporet pada dunia pendidikan dan memberikan informasi yang berhubungan dengan
nilai-nilai pendidikan dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang.
Dalam
naskah Serat Cemporet dapat ditemukan peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat
Cemporet pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh
binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet (insiden-insiden yang terdapat
dalam cerita, yang menyaran pada tokoh binatang. Sehingga dapat diketahui
peristiwa yang berupa tindakan dan kejadian yang diemban oleh tokoh binatang,
dan wujud atau eksistensinya yang berupa watak dan latar dari tokoh binatang). Isi
dari Serat Cemporet ini mengungkap peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat
Cemporet pada dunia pendidikan, menyaran kedudukan dan fungsinya sebagai tokoh
pembawa ajaran budi pekerti luhur. Serta mengungkap nilai-nilai pendidikan
melalui peran tokoh binatang.
Dalam Serat Cemporet ini, ditemukan nilai-nilai pendidikan yang berupa nilai pendidikan religius yang terdiri dari percaya akan takdir, ungkapan rasa syukur, dan sikap kepasrahan; nilai pendidikan etika yang terdiri dari tutur kata, dan sopan santun atau tata krama; nilai pendidikan sosial yang terdiri dari tolong menolong, kasih sayang, kesetiaan, dan kesetiakawanan; nilai pendidikan moral yang terdiri dari sikap sabar, menepati janji, rela berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa. Berdasarkan temuan tersebut, saran yang diberikan yaitu pembaca diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet dalam kehidupan sehari-hari.
Teks Serat Cemporet, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
bahan ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra di dunia pendidikan.
Pitutur Serat Cemporet
Songsong
gora candraning hartati// lwir winidyan saro seng parasdya// ringa-ringa
pangriptante// tan darbe labdreng kawruh// angruruhi wenganing budi// kang
mirong ruhareng tyas// jaga angkara nung// minta luwaring duhkita// aywa kongsi
kewran lukiteng kinteki// kang kata ginupita (Ranggawarsita, 1987:237).
Pesan
pembuka dalam Serat Cemporet ini begitu anggun, indah dan mempesona bagaikan
nilai-nilai adiluhung tiada duanya dan bagaikan mutiara tiada tandinganya.
Ditulis dengan bahasa Jawa krama halus yang sulit dimengerti bagi masyarakat
Jawa tingkat bawah. Tidak jarang serat ini banyak celaan dan ejekan karena
bahasa sastranya terlalu tinggi dan tidak jarang pula ada yang mengatakan serat
ini hanya halusinasi dan kepura-puraan.
Serat
Cemporet ini ditulis sebelum masyarakat Jepang datang ke Indonesia bahkan
sampai sekarang serta ini masih digemari. Cerita yang dihadirkan dalam serat
ini begitu sangat memikat dan memukau para pembaca. Pintarnya sang pujangga
dalam menghubungkan cerita memang mumpuni, tidak heran setelah sang pujangga
meninggal tidak ada lagi yang bisa menggantikan posisinya dalam pujangga
Keraton Surakarta Hadiningrat. Lakon yang dimunculkan dalam serat ini tidak
hanya manusia saja, tetapi juga menghadirkan penghuni atau para lelembut dunia
ghaib beserta hewan-hewan.
Intinya
dalam serat ini sebenarnya bukan cerita yang dihadirkan oleh sang pujangga
mengenai sejarah kerajaan-kerajan kuno seperti kerajaan Purwacarita di bawah
raja Sri Maha Punggung tetapi poin pentingnya dalam Serat Cemporet ini, sang
pujangga ingin memberikan nilai-nilai adiluhung atau petuah-petuah arif dari
nenek moyang yang harus dilaksanakan oleh generasi sekarang yang sudang
mengindahkan petuah-petuah arif dari nenek moyang terdahulu.
Amikanken
ing reh pudyastuti// myang pangkataning panatagama// matrap darmeng kotamamne//
kang paman Sri Matahun// Prabu Jayakusuma nguni// memradi madu basa// basukining
laku// amengku reh natapraja// kang dadya wit santosaning narapati// kretarta
wiratama(Ranggawarsita, 1987:276).
Ilmu
pengetahuan Weda gunanya untuk mengetahui masalah puji serta sembah// tataran
dalam jabatan keagamaan// melaksanakan darma yang utama. Sedangkan pamannya Sri
Matahun// yang bergelar Prabu Jayakusuma// mendidik dalam masalah kebahasaan
yang baik// perilkau yang menjurus ke arah keselamatan// ilmu pemerintahan//
yang menjadi pangkal keselamatan raja// untuk menciptakan kewiraan yang utama.
Dalam
bait ini ketika ditarik dalam persoalan agama Islam, generasi sekarang sudah
mulai mengindahkan ilmu pengetahuan agama yang membimbing dirinya menuju
keselamatan di dunia dan di akhirat. Mereka yang sudah dikuasai oleh alat
telekomunikasi dalam soal ilmu agama tidak mau belajar kepada ulama yang sanad
keilmuannya sudah dipastikan validitasnya. Mereka lebih suka belajar ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu agama melalui dunia maya (google) yang mana terkait
sanad keilmuannya tidak jelas dan bahkan tidak ada.
Pesan
yang tersirat dalam bait ini menjadi jelas ketika di era sekarang banyak sekali
orang yang tidak mengetahui ilmu agama menjadi seorang pendakwah yang
mensyiarkan agama Islam. Maka yang ada hanya kegaduhan-kegaduhan dilapisan
masyarakat paling bawah karena terbawa narasi yang disampiakan oleh juru dakwah
yang tidak mengetahui ilmu agama. Tidak heran kiranya sang pujangga meramalkan
zaman ini sebagai zaman “edan” yang penuh kegilaan di semua lini terutama lini
syiar Islam.
Sang Pujangga Pungkasan
Sebagai
seroang pujangga yang dibesarkan di dalam keraton Surakarta, Bagus Burham
dikenal sebagai anak kecil yang mbalelo dan bebel dalam menerima ilmu
pengetahuan terutama menerima ilmu-ilmu agama yang diajarkan oleh kakeknya.
Yasadipira II adalah kakek sekaligus guru pengasuh Bagus Burham yang mendidik
Ronggowarsito sejak kecil, karena ayah sang pujangga meninggal semenjak Bagus
Burham usia masih muda (Simuh, 1988:25).
Raden
Ngabehi Ronggowarsito dilahirkan dari pasangan RM. Ng. Pajangsworo dan Nyai Ageng
Ronggowarsito, lahir pada tanggal 14 Maret 1802 M bertetapatan dengan tahun
meninggalnya kakek buyutnya yaitu Yasadipura I. Ranggawarsito tumbuh dan besar
dari keluarga yang akrab dengan dunia sastra dan tulis menulis, kemuian dianggap langka pada saat itu. Ayahnya
Ranggawarsita II menjadi juru tulis kerajaan dan kakeknya menjadi pujangga
kerajaan Surakarta Hadiningrat pada saat itu. Jadi tidak heran ketika
Ranggawarsita menjadi penerus dari ayah dan kakeknya sebagai pujangga besar
dalam tradisi keraton Kasunanan Surakarta.
Ranggawarsita
III inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan pujangga Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang sebenarnya nama pemberian raja, sesusai dengan jabatnnya
sebagai kliwon carik di Keraton Surakarta. Tokoh Ranggawarsita sangat
dikeramatkan oleh generasi sesudahnya, dengan berbagai cerita yang
dihubungkan-hubungkan dengan kehidupannya. Bahkan C. F Winter yang bergaul
dengan Ranggawarsita tidak berani memberikan komentar terhadap kehidupan sang
punjangga pungkasan.
Tokoh
Ranggawarsita sangat dikeramatkan oleh generasi sesudahnya, dengan berbagai
cerita yang dihubungkan-hubungkan dengan kehidupannya. Bahkan C. F Winter yang
bergaul dengan Ranggawarsita tidak berani memberikan komentar terhadap
kehidupan sang punjangga pungkasan.
Sebagai
seorang Islam-Jawa dengan tradisi yang berlaku dalam keluarga pujangga Keraton
Surakarta, Ranggawarsita muda harus mengeyam pendidikan agama seperti ayah dan
kakeknya. Maka dalam usia dua belas tahun Ranggawarsita dikirimkan ke pondok pesantren
Gerbang Tinatar, yang ada di Tegalsari, Ponorogo. Pesantren tersebut diasuh
oleh Kiai Kasan Besari, seorang ulama jadug yang terkenal dengan keluasan
ilmunya. Kasan Besari adalah menantu PB IV, dan pernah menuntut ilmu dengan
Satronagoro, kakek Bagus Burham. Karena pemiliknya menantu PB, maka Gerbang
Tinatar sebagai lumbung dari santri anak-anak bangsawan.
Setelah
selesai dari pesantren Tegalsari, Bagus Burham mengabdikan diri di Keraton
Surakarta Hadiningrat. Dalam pengabdiannya Bagus Burham banyak mengalami
kendala karena masa peralihan raja dari PB V ke PB VI, ditambah suasana politik
meninggi akibat kebijakan Belanda yang dirasa menggila sehingga menyebabkan
rakyat semakin sengsara. Ditambah sewaktu masa PB IX hubungannya dengan raja
tidak harmonis karena ada peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh
Ranggawarsita ketika wajahnya dilempar kotak kecil oleh Baginda raja PB IX
(Yasasusatra, 2008:450)
Meskipun
begitu, sebagai pujangga pungkasan banyak karya-karya yang dihasilkan sebagai
pitutur luhur untuk generasi mendatang. Kurang lebih ada lima puluh karya yang
dihasilkan diantaranya Serat Wirid Hidayajati, Serat Paramasastra, Serat Jaka
Lodang, Serat Jayeng Baya, Serat Pustaka Raja, Serat Aji Pamasa, Serat Cemporet
dan lain sebagainya. Dengan begitu banyaknya karya yang dihasilkan tidak ada
generasi berikutnya yang menandingi kemashuran Bagus Burham dalam dunia
literasi atau kesusatraan di dalam keraton Surakarta, tidak berlebihan jika
Ranggawarsita disebut sebagai pujangga pungkasan Keratoan Surakarta
Hadiningrat.
Pitutur Luhur Ranggawarsita Dalam Serat Cemporet
Wong
aguna srana satya wani// mangka kanthining nata sudibya// wuwuh luhur
karatone// yen rukun sawadya gung// datan ana kang sanggarunggi// narendra bisa
mangkat// matah matrap mandum// iwiring mangka kalungguhan// myang babasan amet
pantes angraketi// ing prenah sowang-sowang (Ranggawarsita, 1987:275).
Membina
manusia-manusia berpengetahuan// yang merupakan sarana setia dan berani/
sebagai pendamping raja yang kuat, agar kerajaan semakin luhur// jika seluruh
rakyat rukun// tanpa da perasaan curiga mencurigai// sehingga raja dapat akan
mangkat// matah, matrap, serta mandum// mangkat berarti mengatur kedudukan //
dan panggilan seseorang berdasarkan kepantasannya// untuk mempererat kesatuan
menurut kedudukan masing-masing.
Mengenai
soal pemerintahan Ranggawarsita menitahkan dalam bait ini supaya orang-orang
yang memiliki wawasan yang luas untuk menempati posisi-posisi strategis sesuai
dengan bidang dan kemampunnya dalam mendampingi sang raja untuk menjalankan
roda pemerintahan. Ditambah memiliki kesetiaan terhadap negara dan
pemimpinnya, serta berani mengambil
kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat secara umum sehingga masyarakat
menjadi rukun dan sentosa tanpa ada rasa saling mencurigai satu dengan yang
lain.
Tidak
itu saja, dengan membina manusia-manusia berpengetahuan yang luas, raja tidak
susah payah dalam memilih bawahannya untuk menduduki posisi yang dibutuhkan
dalam memerintah. Karena manusia-manusia berpengetahuan ditempatkan diposisi
manapun mereka akan menjalankan tugasnya sebaik mungkin dan mereka akan bersatu
padu dalam menjalankan roda pemerintahan. Berbeda di zaman sekarang, misalnya
kedudukan menteri negara, mereka berebut posisi-posisi strategis dalam
kenegaraan, tanpa dilandasi kemampuan dan wawasan yang luas. Dengan begitu,
mereka tidak akan berbuat adil dan bijaksana dalam segala keputusannya.
Luwih
malih lamun anuhoni// nganggo awas emut barang karya// mrih sambadeng
kasidane// denira ngreh amengku// ing santana wadya gung alit// lwire kang
awaskitha// maring laku-laku// solah bawaning sapraja// dadi bisa niteni kang
ala becik// terus lan peparikan (Ranggwarsita, 1987:275).
Lebih
baik lagi dalam menegakkan keadilan// disertai dengan kebijaksaan dan kesadaran
dalam segala hal// agar keputusan yang diambil// benar-benar adil dan tepat
selaras dengan hukum dan pengoyman bagi seluruh rakyat// bijaksana artinya//
mengetahui segala perilaku// serta gerak-gerik seluruh negeri// sehingga dapat
melihat yang buruk dan yang baik// sebagai bahan pertimbangan dalam
pemeriksaan.
Kita
tadi sudah melihat dalam pitutur sebelumnya bahwa orang yang memiliki wawasan
yang luas dan berbudi luhur secara pasti dia akan menegakan keadilan untuk
semua kalangan. Ranggawarsita dalam bait ini, dia memaparkan bagi siapa saja
ketika menduduki suatu jabatan harus berbuat adil dalam setiap keputusan dan
tindakan. Keputusan dan tindakan mereka harus disertai dengan sifat bijaksana
dan penuh kesadaran agar keputusan yang diambil benar-benar adil dan tepat
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Keputusan
dan tindakan mereka harus disertai dengan sifat bijaksana dan penuh kesadaran
agar keputusan yang diambil benar-benar adil dan tepat sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Sebagai
penegak keadilan, raja dan jajarannya dalam menjalankan roda pemerintahan tidak
tebang pilih dalam mengayomi masyarakat. Mereka harus berbuat bijaksana, dalam
artian mereka (raja dan jajarannya) harus mengetahui segala perilaku baik itu
perilaku baik ataupun perilaku buruk sekecil apapun mereka harus mengetahui
itu. Ketika mereka tidak mengetahui perilkau baik ataupun buruk sampai
sedetail-detailnya, mereka secara otomatis tidak bisa memutuskan perkara secara
adil. Karena sifat adil ini harus dibarengi dengan pengetahuan yang luas yang
mendalam serta kesadaran dalam diri seseorang.
Pitutur
luhur ini kiranya sekarang jarang sekali dipakai oleh jajaran pemerintahan yang
suka berebut kedudukan. Mereka saya rasa harus banyak membaca, menelaah dan
mengamalkan ajaran-ajaran pujangga pungkasan ini. Saya rasa, andaikan jajaran
pemerintahan mau meneladani sosok Ranggawarsita dengan segala petuahnya, tidak
ada lagi kemiskinan di negara sebesar Indonesia, yang ada hanya
kemakmuran-kemakmuran untuk rakyatnya. Dan keadilan-keadilan merata bagi semua
lapisan masyarakat.
Karya
besar pujangga Ranggawarsita memang banyak yang terkenal. Selain memiliki bobot
yang berkualitas, kata-kata sastrawinya juga selaras dengan perkembangan zaman.
Karya Ranggawarsita yang terkenal, antara lain: Jaka Lodhang, Pustaka Raja
Purwa, Sabda Jati dan Hidayat Jati. Selain itu, ada juga Serat Cemporet.
Serat
Cemporet lebih terkenal lantaran digubah memakai bahasa Jawa yang indah. Zaman
dahulu, sebelum Jepang menjajah Indonesia, buku tersebut digemari banyak orang
untuk bacaan, khususnya yang senang melantunkan macapat. Namun demikian, juga
tidak sedikit orang yang mencela kitab tersebut lantaran bahasa yang digunakan
terlalu halus (bahasa sastrawi tinggi). Obrolan orang desa yang memakai bahasa
tadi dianggap terlalu tinggi, sehingga terkesan dibuat-buat.
Kesan
itu pernah ditulis oleh Prof. Dr. R. Ng Purbacaraka dalam bukunya “Kepustakaan
Jawa”. Tapi banyak juga orang yang setuju dengan pendapat tersebut karena karya
sastra itu mempunyai kebebasan dalam memilih kata-kata, dan tidak harus
mengikuti idiom-idiom yang ada di masyarakat tertentu.
Serat
Cemporet tersebut sampai sekarang masih digemari. Cerita yang dipaparkan dalam
kitab ini benar-benar memikat dan memukai pembaca. Pintarnya sang pujangga
dalam menghubungkan ceritanya memang mumpuni. Yang menjadi tokoh tidak hanya
manusia saja, tapi ada juga dunia gaib siluman/dewa beserta hewan-hewan. Namun
demikian, pujangga Ranggawarsita juga tidak lupa menyisipkan nasihat-nasihat
atau petuah-petuah arif yang berasal dari nenek moyang.
Serat
Cemporet Ranggawarsita, kisahnya memang ceritera kuno, bagian akhir dari
pustaka Rajaweda, yaitu mengenai Negara Purwacarita di istananya Raja Sri Maha
Punggung. Awal ceritanya, Raja Suwelacala memiliki putra 6 orang, yaitu :
1.
Raden Jaka Panuhun yang suka bertani. Dia merangkul
petani tlatah Pagelan dan sekitarnya. Raden Jaka Panuhun berputra 3 orang, yang
sulung bernama Raden Jaka Pratana. Badannya cebol. Lalu yang nomor dua bernama
Raden Jaka Sangara yang punya cacat saat lahir, dan yang bungsu bernama Raden Jaka
Pramana dari ibu keturunan jin.
2.
Raden Jaka Sandanggarba, membawahi masyarakat pedagang
di Jepara dengan julukan Sri Sadana. Raden Jaka Sandanggarba berputra 5 orang,
yaitu Raden Jaka Sudana, Raden Jaka Barana (Daniswara), Raden Jaka Suwarna
(Anggliskarpa), Raden Jaka Pararta dan Dewi Suretna.
3.
Raden Jaka Karungkala yang membawahi daerah Prambanan
dengan julukan Sri Kala. Raden Jaka Karungkala berputra 4 orang, yaitu Dewi
Karagan, Dewi Jonggrangan, Raden Jaka Sangkala (Arya Pramadasakala) dan Raden Jaka
Pramada (Raden Prawasata).
4.
Jaka Tunggulmetung yang membawahi di Pagebangan,
memimpin petani garam dengan julukan Sri Malaras. Jaka Tunggulmetung berputra 2
orang, yaitu Raden Jaka Suwarda dan Raden Jaka Damedas.
5.
Raden Jaka Petungtantara yang menjadi pimpinan
maharesi Medhangkawit dengan julukan Resi Sri Madewa. Pusat kerajaannya di
Pamagetan, lereng Gunung Lawu. Raden Jaka Petungtantara berputra dua orang,
yaitu Dewi Resi dan Raden Surasa (resikana).
6.
Raden Jaka Kandhuyu berkuasa di Purwacarita dengan
julukan Sri Maha Punggung, yang bertahta pada tahun Surya 1031 atau 1061.
Istrinya ada 3 orang, yang kesemuanya adalah putra seorang dewa. Istri pertama
bernama Dewi Sundadari, punya anak bernama Raden Kandaga (Raden Lembu Jawa atau
Arga Kalayuda) dan Raden Kandiyana. Istri kedua yaitu Dewi Mandyadari Retna
Kenyapura yang berputra Raden Kandawa. Istri yang ketiga, Dyah Upalagi,
berputra Raden Kandeya (Arya Pralambang) dan Raden Kandiyana.mTersebutlan dalam
ceritera tadi mengenai Raja Pagelen yang punya keinginan menikahkan putranya,
Jaka Pramana dengan Dewi Suretna, putri raja di Jepara. Lalu, timbul masalah
lantaran Jaka Pramana belum berhasrat nikah jika kakak-kakaknya yang cacat tadi
belum menikah. Begitu juga Dewi Suretna tidak mau menikah dengan putra raja di
Pagelen, lantaran dikira bakal dinikahkan dengan yang menyandang cacat.
ISI dan Maknanya Serat cemporet
Dandanggula
1.
Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan
(dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan,
namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe
(memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi
(mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon
luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung
dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita
(digubah).
2.
Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang
bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena
kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati
sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar
maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.
3.
Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang
dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang
rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat
berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita
lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.
4.
Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung,
yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu
pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam
orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.
5.
Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh
karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah
Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat
pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.
6.
Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia
perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha
mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara
dan bergelar Sri Sadana.
7.
Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan
belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua
menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para
pemelihara ternak dan semua pedagang daging.
8.
Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan
Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan
mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu
malam.
9.
Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin
para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan
dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama
Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta
mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.
10.
Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai,
seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam
di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya
berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai
sebuah kerajaan yang sejahtera.
11.
Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya
berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali
ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang
mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh
kewibawaan.
12.
Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan,
terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta
patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil
lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama
kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.
13.
Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna.
Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang
dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya.
Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari
mancanegara.
14.
Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya :
1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun
setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing,
lengkap dengan daerah kekuasaannya.
15.
Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu
halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang
merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya
cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka
Pratana.
16.
Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu,
sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa
yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa
mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.
17.
Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah
pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau
pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas
dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.
18.
Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara
menyamar. Syahdan bergantilah yang diceritakan, Kyai Buyut yang bertempat
tinggal di Sendangkulon bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga cucu
seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita.
19.
Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Yang
tua perempuan bernama Rara Srini, adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena
pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa akan
tetapi seperti putra raja.
20.
Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar
Sendangkulon, Orang membayangkan perasaannya betapa bahagianya andaikata
terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut,
yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk
menjaga keselamatan keluarga.
21.
Tersebutlah Ki Buyut yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam
sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan
dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya
wahyu diwaktu tengah malam.
22.
Turunlah istrinya, jin yang bernama Diah ratna Sriwulan, ia datang dengan
tiba-tiba dan Ki Buyut segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya
maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas, suaminya
diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu.
23.
Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang
menguasai sebuah kerajaan yang berpust di Pagelen bergelar Sri Manuhun.
Kedatangannya karena menaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya
menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat.
24.
Kelak pasti mempunyai putra yang tampan, petunjuk itu benar-benar dilaksanakan,
ia datang seorang dari tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata,
dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia dipersitri oleh raja, untuk
menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut
merasakan kebahagiaan.
25.
Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya “ Wahai adinda,
bagimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan
kehendaknya, terbuka secara serasi “ Ratna Sriwulan menjawab “ jangan kuarti !
sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat.
26.
Atau sarana sebagai tabir, anda menggunakan cara terbuka pasti nanati ada
tanda-tandanya yang bercirikan tulisan. Jelaskan apa adanya, jika sudah ada
buktinya, disitulah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan petunjuk
yang harus ditafsirkan, lalu tinggallah puji dan doa.
27.
Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami, dalam
sekejap mata mata ia telah lenyap, gain tertutup suasana. Tersebutlah Kyai
Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut
tata rumah, yang disuruh mengiakan keduanya mulai bersiap-siap.
28.
Patanenya dibersihkan semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampiri tikar
berderet-deret, minuman diatur diatas para-para dengan sesajian lengkap dan
penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa
segala persiapan di dalam rumah sudah selesai, ia merasa gembira lalu gembira.
29.
Untuk menyongsong kedatangan raja, tak lama kemudian bertemu di pagar rumah,
kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan dan
raja, setibanya di dukuh menanggapi dengan seneng, lalu masuk ke rumah. Sri
Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur, dengan senang hati ia
duduk tanpa ragu-ragu.
30.
Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama kedua orang anaknya, beberapa
saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang “ Atas kedatangan
Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang
menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya.
31.
Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap, semuanya bertmabha indah dan
semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur,
hamba bagaikan mimpi, apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang
menyamar seorang diri tanpa pengiring, pagi-pagi bener tersesat dan berkenan
mengunjungi pondok hamba.
32.
Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekitarnya
kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dukun, yang tak mungkin tahu
akan sopan santun. “ Sri Baginda menjawab “ Sudahlah, jangan berkata demikian.
Memang sengaja saya sampai di sini, sebabnya ialah karena taat kepada petunjuk,
Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya.
33.
Sejak awal hingga akhirnya bertemu, kemudian ujarnya meminta “ Sesungguhnya aku
mengharapkan pertolonganmu, terserah bagimana petunjukmu, aku menurut “
Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang
sembah, “ Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak
dewa itu, namun apa kemampuan hamba.
34.
Orang desa lagi hanya petani jelata, paling-paling hanya mengolah tanaman
menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel,
jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk
menduga-duga masalah kesaktian yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya,
oleh karena itu hamba berserah diri.
35.
Ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati hanya karena merasa
bertanggung jawab, namun hati ini ternyata buntuk. Mengapa dunia jadi terbalik,
junjungan minta sarana kepada rakyatnya, tentu tidak akan terjadi, lautan
mengalir ke kubangan air, demikianlah jika diumpamakan dengan air.
36.
Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh
hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian, yang terjadi
sejak jaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan
sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya.
37.
Raja Pagelen berkata lembut, “Hai, paman. Meskipun demikian, namun aku ini menaati
petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata
selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha
sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh,
biarlah. Akan kuterima juga.
38.
Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa puas. “Ki
Buyut berdatang sembah dengan suara lemut, “Wahai, Sri Baginda. Jika demikian
kehendak paduka, hamba tidak akan ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan
dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang
orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun.
39.
Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan
terang. “Sri Baginda berkata lagi, “Nah paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah
segera ilmumu seadanya. “Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal
kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup.
40.
Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, sekarang silahkan paduka mengambil
sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki. “Sri Baginda
heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha
mendapatkan petunjuk.
41.
Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti
tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi: “Hai, Sri Baginda!
Sudilah engkau mengambil srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar
kesalamatan. “Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menagkap sasmita atau
petunjuk yang tertulis itu. Relug kalbunya masih ruwet.
42.
Akhirnya Sri Baginda berkata, “paman Buyit. Coba jelaskan makna kalimat ini.
Apa gerangan maksudnya. Aku belum dapat menagkap artinya. “Kyai Buyut tersenyum
berdatang sembah, “Hamba mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa
tahu, petunjuk tulisannya berlainan. “Sri Baginda tidak menolak.
43.
Kemudian mengambil lagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga
kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang
sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya
tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barang kali menemukan
jawaban, Sri Baginda berpura-pura.
44.
Mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, “Paman, saya tertarik kepada kedua
anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang
perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak
adik. Apakah itu anak-anakmu ?”
45.
Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya demikian “ Duhai Sri Baginda, benar ia
anak hamba kelahiran Sendangkulon sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga
selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya
keduanya tidak dapat berpisah dengan ayahnya, oleh karena itu siang dan malam
keduanya tetap berada diasrama.
46.
Sri Baginda tersenyum seray berkata lembut “ Sudah sepantasnya orang mempunyai
anak, tentu begitu itu anggapannya, menurut kata peribahasa, umpama kereweng
kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik, sudah sepantasnya bagaikan
nyawa, sepintas lalu seperti kembar, mana yang lebih tua dan siapa namanya.
47.
Ki Buyut menjawab “ Yang tua namanya Srini, sedangkan yang muda bernama Sarana
“ Sri Baginda berkat menanggapi, kalau begitu yang tua pantas memelihara isi
istana, sedangkan yang muda memelihara kerajaan “ Mendengar ucapan Sri Baginda,
Ki Buyut menyembah, beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringikan oleh
Ki Buyut sekeluarga.
48.
Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan
orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa,
keduanya adalah ipar Sri Baginda, diceritakan Arya Pratala itu, adiknya yang
bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda.
49.
Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka
Pratana, sedangkan Arya Banawa kakak perempuan yang bernama Rara Jahnawi, yang
menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, yang diberi
nama Raden Jaka Sangara yang sudah diceritakan diatas.
50.
Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda, mereka diberi
tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran, sekarang
atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja,
sedangkan kedua selir menjadi istri yang diberi kekeuasaan untuk mengatur
segala pekerjaan di dalam istana.
51.
Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, yang
diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik.
Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua
Arya dimasyhurkan sebagai yang memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam
pekerjaan serta pemegang hukum kerajaan.
52.
Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan
meninggalkan anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan
pakuwannya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri
Baginda, dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya
mahir membina kewibawaan.
53.
Rara Srini tidak lama kemudian hamil, setelah cukup waktunya lahirlah anak
laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara,
menggembirakan hati Sri Baginda, putranya disambut dan dilihat keadaannya
benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana.
54.
Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban
bernama Ni Wilasita, waktu berjalan tersu, putra Baginda hampir menjelang akil
balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai initi insan yang terpuji, serba
suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas
menjadi seorang raja.
Isi Teks Naskah SERAT CEMPORET
“Songgogora
candraning hartati, lwir winidyan saroseng parasdya, ringga-ringa, tan darbe
labdeng kawruh, angruruhi wenganging budi, kang mirong ruhareng tyas, jaga
angkara nung, minta luwaring duhkita, away kongsi kewran luketing kinteki, kang
tata ginupita.”
Songsoggora
(payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai
pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap
ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki)
kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari)
kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring
(semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam
menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah).
“Pangapusing
putaka sayekti, saking karsa Dalem Sri Narendra, kang kaping sanga mendhireng,
Surakarta praja gung, sumbageng rat dibya di murti, matotama susanta, santosa
mbek sadu, sadargeng galih legawa, sih ing wadya gung alit samya nemuji,
raharjeng praja nata.”
Sesungguhnya
buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan
besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan
sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa,
pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka
semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.
“Nahan
mangkya mukyaning kekawin, wasitadi dadya sudarsana, salaksaning barang reh, rinuruh kang rahayu, mangka pemut
limiting budi, dumadi tan sangsaya, wahyeng wuryanipun, kang pustaka raja
wedha, winardya ring tepa palupining nguni, Prajeng Purwacarita.”
Sebagai
awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat
dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu
untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung
dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian
akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.
“Dahat
karta harjaning nagari, kawibawan prabaweng narendra, kang kasebut bisikane,
Prabu Sri Mahapunggung, deni rambek sudarma niti, widagdeng pangawikan,
kamulaning dangu, Sang Prabu Suwelacala, putra jalu nenem samya pekik-pekik,
sembada mandraguna.”
Negeri
itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang
kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan.
Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak
laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.
“Kang
asepuh pribadi wewangi, Raden Jaka Panuhun punika, remen olahing tetanen, marma
jumeneng ratu, angreh sagung wong among tani, Tanah Pagelen sadaya, lan
saurutipun, akarya kutha wangunan, nama Prabu Sri Manuhun amengkoni, ing
Pagelen Kuthaarja.”
Yang
sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh
karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah
Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat
pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.
“Putra inking panenggak winarni, sira Raden
Jaka Sandhanggarba, lampah dagang karemenane, dahat denya manungku, sangkaning
the mardya marsudi, dadining artadaya, marmanireng dangu, jumeneng ratu
saudagar, akekutha ing Japara nama ngalih Sang Prabu Sri Sadhana.”
Anak
yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan.
Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal,
sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri
Sadana.
“Panengahing
putra awewangi, sira Raden Jaka Karung kala, sabeng wana karemenane, ambedhag
ambubujung, kidangsangsam bantheng jejawi, myang memikat kukila, prapteng
wedanipun, jumeneng ratu kirata, angreh para grema tuhaburu tuwin, kalang jagal
sadaya.”
Anak
yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan
belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua
menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para
pemelihara ternak dan semua pedagang daging.
“Parambanan
kutharening nguni, apanengran Sang Prabu Sri Kala, Kirataraja parabe, anulya
arinipun, Jaka Tunggulmetung wewangi, sesabeng jro narmada, karemenanipun,
anggung mamandaya mina, myang ndederes aren ing raina wengi, sinambi karya
uyah.”
Dulu
kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan
Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan
mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu
malam.
“Marmanira
nguni angratoni, sangunging wong tukang ngambil mina, angiras angreh wong nderes,
wong poyahan winengku, Pagebangan khutaning nguni, ran Prabu Sri Malaras,
sumendhining sunu, Dyan Jaka Petungtantara, amandhita karem ing pudya semadi,
marsudi puruhita.”
Oleh
karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para
penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan
bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama
Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta
mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.
“Marma
dadya retuning maharsi, sagung para pandhita myang ajar, kang samya winengku
kabeh, ngiras mong kang pangulu, brahmana gung ing Medhang kawit, amranata
agama, mangkya namanipun, Prabu Resi Sri Madewa, aneng Lawu Pamagetan apedidik,
arja winangun praja.”
Jadilah
ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya
menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di
Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya
berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai
sebuah kerajaan yang sejahtera.
“Dene
putra kang anem pribadi, mijil saking garwa prameswara, Jaka Kandhuyu namane,
karem keratin iku, amiluta maring wadya lit, ing saben aseseban, kasub
sabayantu, lawan sagung kadang warga, prawingnya met nala memalad sih, marma
ntuk kewibawan.”
Adapun
yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya
berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali
ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang
mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh
kewibawaan.
“Duk
lelana dikara ndon jurit, wus kelakon jayeng adilaga, Sri Daneswara muksane, sareng
lan patihipun, dwita Rota tanpa panulih, punggaweng praja samya, abipraya
nungkul, ing wasana samantara, Raden Jaka Kandhuyu madeg narpati, aneng
Purwacarita.”
Ketika
ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah
peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang
muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh
punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka
Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.
“Saking
parmane Hyang Utipati, sinung putus ing kawicaksanaan, dadya nagalih namane,
Prabu Sri Mahapunggung, nunggak semi kang mukseng jurit, angiras sesangkriban,
kasudibyanipun, samana jumenengira, ingestrenan dening para brahmanarsi,myang
ratu mancapraja.”230
Berkat
pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian
berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang
dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya.
Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari
mancanegara.
“Jroning
mangsa Srawana marengi, taun Sadhamuka lumaksana, surya sangkala etange, rupa
tri mukseng lebu, ketang candra sangkaleng warsi, janma nem tanpa rupa, antara
setaun, denya ngangkat para kadang, sinung praja sowang-sowang angratoni, ing
reh sabawahira.”
Peristiwa
itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau
menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah
mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap
dengan daerah kekuasaannya.
“Wus
mangkana ing antara lami, lulus datang kara-kara, mangkaya wuwusen ing Pegelen,
Sang Prabu Sri Manuhun, kataman tyas sengkal kekeling, darunaning sungkawa,
denira sesunu, kaping kalih samya cacad, cebol wujil kang sawiji den wastani,
Raden Jaka Pratama.”
Demikianlah
telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini
tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul.
Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang
cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.
Kang
awujil sinungan wewangi, Raden Jaka Sengara punika, kang rama dahat
wirange, anggung denya manungku, pudyastuti ing ariratri, mint parmaning dewa,
ing pangesthinipun sinungana putra priya, kang apekik sarwa widadeng pambudi,
supadi tan sandea.”
Yang
wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu,
sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa
yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa
mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.
“Mangkya
wonten wasita kapyarsi, jroning pudya heh Sri Naranata, amintaa pitulunge,
buyut kang adhedhukuh, aneng
Sendhagkulon sayekti, sira antuk sarana, bisa asesunu, jalu pekik asembada,
poma nuli lakonana away kongsi, anggawa wadyabala.”
Kini
terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan
kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan
memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas,
segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.
Karya Pujangga Ageng Jawa R.Ng. Ranggawarsita yang ditulis atas perintah Pakubuwana IX pada tahun
1799
Dirangkum ulang dari berbagai sumber referensi oleh Imajiner Nuswantoro