ASAL-USUL TUMPENGAN DAN GUNUNGAN MATARAMAN
Winastan budaya awit menika dereng saget winastan seratan sejarah kanthi bukti-bukti ingkang saget dipuntanggungjawabaken. Catetan catetan asilipun wawan rembag kalyan sadengah budayawan, saking buku-buku, kaklempakaken, lajeng dipunpilih-pilah ditintingi saha dipunenam malih dados rajutan seratan, ingkang sifatipun taksih tafsiran sawetawis / dugaan.
Dibiasakan oleh kerja bersama di lahan pertanian, diikat oleh tali keyakinan yang sama kepada dewa sesembahan, serta diromantisir dalam kehidupan berkesenian yang menyenangkan, suasana hidup pedesaan terasa rukun dan damai. Dan semuanya diyakini sebagai berkah dari para dewa dan arwah leluhur.
Namun kehidupan yang demikian tidaklah dinikmati oleh generasi cucu dan cicitnya sepanjang masa. Ketika Majapahit runtuh dan kerajaan baru dengan agama baru muncul, prajanya berpusat di Demak Bintara, didukung oleh Majelis Kerajaan yang anggotanya 9 ulama, dengan raja pertamanya Raden Patah, perubahan demi perubahan mulai dirasakan.
Pertama-tama desanya kedatangan musafir dari Demak, menyatakan bahwa agama yang dipeluk penduduk desa adalah agama kliru. Mereka menawarkan agama baru yang dapat memberikan keselamatan dunia akherat. Karena para musafir tersebut petugas praja Demak, mereka juga menceritakan tentang keagungan dan kebijaksanaan rajanya, sama seperti pujangga-pujanga Hindu memashurkan rajanya dengan karya-karya sastra.
Warga desa telah terbiasa memuliakan para petugas praja, kedatangan para musafir tersebut tetap disambut dengan penuh hormat. Namun agama baru dengan dewa baru itu belum bisa dipercaya keagungan berkahnya, warga desa belum melihat buktinya. Maka penduduk tetap berpegang teguh pada keyakinannya yang lama, bekerja dan berseni kebudayaan seperti pendahulunya. Para musafir tak dapat memaksakan keyakinannya, di samping bertentangan dengan ajaran bahwa keyakinan agama tak dapat dipaksakan, mereka juga belum memiliki kepiawaian meyakinkan orang. Rajanya mangkat sebelum tugasnya terselesaikan, mengembalikan kesejahteraan rakyat sebagaimana Majapahit dan menyebarkan agama baru yang dipeluknya, Islam.
Maraklah Adipati Jepara, Unus, menggantikan ayah handanya Panembahan Jimbun Anom, atau Raden Patah. Raja baru didukung sepenuhnya oleh Majelis Kerajaan, karena wataknya yang berjiwa besar dan wawasan kenegaraannya yang luas. Pandangan politisnya sama dengan para pendukungnya yang duduk di Majelis Kerajaan; bahwa kesatuan Jawa yang telah terbelah-belah akibat agama dan perang saudara sesama keluarga kerajaan di masa Majapahit, hanya dapat diwujudkan dalam persatuan Nusantara.
Dulu saat kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur rajanya masih memeluk agama Hindu (Kediri, Singasari, Majapahit), dan kehidupan pedesaannya masih komunal, diversifikasi kerja masih rendah, pengelolaan tanah pertanian masih sederhana, saban tahun pasca panen warga masyarakat rutin menyelenggarakan acara puja syukur bersama, pesta dan festival berbagai seni yang dikuasainya.
Setiap desa memiliki pura, tempat mereka melakukan puja bersama. Pura-pura tersebut menghadap ke puncak gunung di sekitarnya yang dianggap keramat, tempat bersemayam para dewa dan arwah leluhur. Di Jawa Timur gunung itu adalah Semeru, Meru atau Mahameru.
Setiap tahun ada acara puja yang akan diikuti oleh seluruh warga desa; laki-perempuan, tua-muda. Acara demikian diselenggarakan ketika warga masyarakat selesai panen dari lahan pertanian yang mereka kelola bersama. Ucapan syukur mereka sampaikan dalam puja, karena berkah ketersediaan pangan yang mencukupi untuk menyambung hidup mereka sedesa. Ketika puja selesai mereka makan bersama dari hasil bertani, berlaukkan daging hewan buruan dan sebagian hewan ternaknya.
Esoknya festival seni diselenggarakan. Bakat, ketrampilan berkesenian mereka pamerkan dan lombakan; wanitanya menari dan menyanyi, yang lelaki adu ketangkasan berkelahi. Pemenangnya dipersiapkan untuk diikutkan dalam lomba ditingkat praja yang lebih tinggi, mewakili desanya untuk merebut juara. Semua pemuda peserta lomba yang telah berumur dimasukkan anggota barisan pagar desa.
Namun ketika berhadapan dengan armada Portugis, armada gabungan ini tak mampu memamerkan keperkasaannya. Kapal-kapal Portugis lebih ramping dan gesit, kecepatan lajunya lebih tinggi. Dilengkapi senjata petir yang lebih dashyat, berderet-deret sepanjang dinding kapal, dari moncongnya keluar ratusan bola-bola besi, dengan daya jangkau yang lebih jauh.
Meski peluru senjata Portugis ini tidak mampu membakar kapal musuhnya, sebagaimana senjata petir milik Demak, namun bisa membongkar dinding-dinding kapal, mematahkan tiang layar, dan menjungkalkan kapal-kapalnya ke dalam laut. Bahkan mampu meledakkan gudang mesiu sehingga kapal musuhnya hancur berantakan berkeping-keping. Senjata itu dikenal sekarang bernama Meriam.
Senapati Laksamana tentara gabungan Unus dalam perang tersebut mengalami luka parah. Tubuhnya terkena kepingan besi milik senjatanya sendiri yang meledak dihantam peluru lawan. Maka diperintahkannya pasukan gabungan tersebut mundur, meninggalkan gelanggang.
Setibanya di Demak, meskipun kalah Adipati Unus masih dielu-elukan oleh rakyatnya. Mereka telah membuktikan bahwa rajanya berani melawan musuh mereka bersama, yang mereka gambarkan sebagai raksasa, hantu penyebar maut di lautan, bersenjatakan petir yang mematikan. Karena lukanya, Unus kemudian meninggal dunia. Demak berkabung ditinggalkan raja yang dihormati dan dibanggakannya.
Sepeninggal Unus, raja baru marak di negeri Islam pertama di Jawa ini. Adiknya menggantikannya. Bernama Trenggono. Namun meski saudara kandung, pikiran mereka berbeda, demikian pula gagasan dan cita-citanya. Trenggono tidak hendak melanjutkan perjuangan kakaknya yang telah terbukti kandas, jalan besar itu terlalu banyak menelan biaya, dan andai berhasil tak dapat dinikmati sendiri oleh kerajaan Demak. Dia merintis jalan baru, jalan kecil, jalan yang memberikan kemungkinan lebih mudah dijangkau; menyatukan Jawa dengan jalan perang. Jika berhasil Jawa akan masuk dalam genggamannya, itulah modal yang akan digunakannya kelak untuk menempuh jalan besar.
Maka pasukan daratlah yang akan diperbesarnya. Jumlah prajurit berkudanya ia tambah, kuda-kuda baru ia datangkan dari Korea, semangatnya ia tempa untuk menjadi pasukan andalan Kerajaan Demak. Dengan langkahnya ini bukannya ia mendapat dukungan dari rakyat, bahkan Majelis Kerajaanpun kurang menyetujuinya. Dengan jalan yang akan ditempuh oleh Trenggono mereka kawatir, Jawa akan luluh lantak dengan perang saudara lagi. Trenggono akan membuat Jawa semakin lemah, dan Portugis semakin leluasa menguasai jalur perdagangan samudra.
Kehadiran Fatahillah, keturunan Bre Kameswara penguasa Malaka, yang melarikan diri karena serbuan Portugis, yang kemudian menjadi ipar Trenggono, memberikan inspirasi baru untuk menempuh dua jalan sekaligus. Dalam forum terbuka ia berbalik menyepakati pandangan umum untuk menggempur Portugis di Malaka, namun diam-diam ia menempa rencana sendiri. Maka dibangunlah persekutuan baru sebagaimana pernah dilakukan oleh abangnya. Untuk mengelabui mata hati rakyat tentang rahasia yang disimpannya.
Ketika sekutu-sekutunya telah berangkat ke Malaka, dan menggempur Portugis di darat lewat semenanjung Malaka, Fatahillah justru berbalik arah. Ipar Trenggono mengarahkan bala tentaranya untuk menyerbu bandar Banten, kemudian menguasai Sunda Kelapa, bandar besar milik kerajaan Pajajaran. Sementara Trenggono dengan pasukan kudanya menyerbu kadipaten-kadipaten terdekat; Pati, Rembang, Tuban, Bojonegara dan kadipaten-kadipaten lain di sepanjang pegunungan bagian selatan. Trenggono ingkar janji, sebuah sikap yang justru bukan dari ajaran Islam.
Seperti prajurit berkuda Mongolia yang meluluh lantakkan peradaban Asia Tengah dan sebagian Eropa, prajurit berkuda Demak yang dirangsang oleh kemenangan demi kemenangan menghancurkan pula peradaban masyarakat yang telah berpuluh-puluh tahun hidup dalam kedamaian. Mereka menyerang, menghancurkan, merebut dan menjarah apa saja, tidak hanya harta benda kerajaan-kerajaan yang ditakluk -kan, namun juga milik berharga penduduk; harta dan gadis-gadisnya. Pusat-pusat persembahyangan Hindu dirobohkan, kegiatan-kegiatan keagamaan kaum yang dianggap kafir itu dilarang.
Kejadian tersebut menimbulkan kebencian dari kalangan musafir-musafir Demak, yang telah bersusah payah bekerja menyebarkan Islam dengan jalan damai. Bahkan sebagian musafir-musafir itu diburu, ditangkap dan dibunuh, karena dianggap tidak lagi setia dan tunduk kepada kekuasaan raja. Proses Islamisasi sebagaimana petunjuk ajaran dari sumbernya terancam macet total. Protes Majelis Kerajaan tak digubris Trenggono, maka majelis inipun terancam bubar.
Salah satu tokohnya, Sunan Kalijaga, telah lebih dahulu menyatakan mundur dari keanggotaan majelis yang terhormat ini. Ia keluar dari lingkungan istana, mengembara dari desa satu ke desa lainnya, sambil belajar seni kebudayaan rakyat untuk melengkapi kemampuan dirinya dalam menyebarkan agama Islam.
Dalam pengembaraannya ke desa-desa Sunan Kalijaga menghadapi sikap resistensi yang kuat dari penduduk terhadap agama Islam. Di mata mereka agama baru itu tidaklah memberi berkah, namun hanya menghadirkan kekawatiran, ketakutan dan kehancuran. Itulah kesimpulan dari pengalaman hidup mereka.
Untuk kembali menjalankan ajaran lama mereka tidak memiliki keberanian, takut telik sandi Demak mengetahuinya dan melaporkan kepada atasan mereka. Maka tradisi puja syukur tahunan, pesta bersama hasil panen, dan festival seni budaya di desa-desa punah. Desa-desa pedalaman Jawa yang dulu semarak saat demikian, kini kehilangan seri keindahannya lagi.
Namun pengamatan Sunan Kalijaga terhadap peri kehidupan penduduk tidaklah sama dengan yang nampak dipermukaan. Diam-diam penduduk masih menjalankan agamanya secara sembunyi-sembunyi. Acara puja syukur tidak dilakukan secara terbuka, dan diikuti oleh seluruh warga masyarakat baik laki-perempuan, tua dan muda. Namun diselenggarakan di tempat-tempat tertutup, di malam hari, dan hanya dihadiri oleh seorang wakil dari masing-masing keluarga. Mereka berkumpul mengelilingi benda berbentuk kerucut, terbuat dari nasi, di bawahnya terhampar sayur, lauk-pauk, buah-buahan dan aneka jajanan.
Rupanya mereka telah menemukan cara yang baru untuk melanjutkan keyakinannya. Dan kerucut itu adalah simbol meru, replika gunung keramat yang puncaknya menjadi tempat bersemayam para dewa dan arwah leluhur. Benda berbentuk kerucut itu kelak bernama Tumpeng / Buceng. Hamparan aneka makanan di bawah kerucut simbol harapan berkah yang diminta, yakni kesuburan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, keadilan dan kedamaian yang merata ke seluruh desa.
Selesai upacara puja-syukur di tempat tersembunyi tersebut, seluruh makanan dibagi kepada mereka yang hadir, tak bersisa, untuk dibawa pulang dan disantap bersama keluarga mereka di rumah. Agar berkah tetap menyebar kepada seluruh warga desa. Dan telik sandi Demak tidak akan menemukan jejak-jejaknya. Dengan jalan demikian mereka akan selamat, baik dari intaian telik sandi Demak, juga selamat dari kutukan para dewa. Kelak acara ini disebutnya Selamatan. Dengan cara demikian warga desa menemukan kedamaiannya lagi.
Replika gunung keramat, tempat bersemayam para dewa dan leluhur, yang menjadi sentrum penduduk desa melakukan puja, saat mereka menyelenggarakan selamatan ini amat terkesan di hati Sunan Kalijaga.
Kelak kemudian hari hasil dari pengamatannya ini ia ekspresikan kembali secara kreatif dalam bentuk gambar “gunungan” yang ia gunakan sebagai pembuka dan penutup acara pagelaran wayang kulit di desa-desa.
Ia telah menemukan secuil pengetahuan tentang sebagian pandangan kosmologis masyarakat yang dicahayai ajaran lama, bahwa puncak gunung menjadi “kiblat” mereka saat melakukan puja. Mirip ajaran agama yang diyakininya, menjadikan “Ka’bah” sebagai sentrum umat Islam menjalankan sembahyang.
Dengan cara itu Sunan Kalijaga bisa mendekati hati penduduk. Ia dianggap warga masyarakat telah memberikan legitimasi kultural secara simbolik, membenarkan cara baru bagi mereka untuk melakukan puja dengan menggunakan tumpeng / buceng sebagai sentrum, sebagai pengganti Meru yang mereka keramatkan.
Puja di tempat terbuka tidak memungkinkan, pura sudah berantakan oleh tangan-tangan bala tentara Demak, situasi dan kondisi belum kondusif untuk dengan aman dan nyaman menjalankan agamanya.
Dan itu berlangsung sampai sekarang, generasi demi generasi, hingga mereka kehilangan acuan atas ajarannya yang lama, sementara agama baru belum jua diterima dengan kafah.
Banyaknya komunitas penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, bisa jadi, adalah keturunan warga masyarakat yang kehilangan acuan ajaran lama itu, namun belum bisa menerima sepenuhnya terhadap ajaran baru.