SELAYANG PANDANG Kerajaan Kalinyamat
Kerajaan
Kalinyamat (juga dikenal sebagai Kerajaan Jepara) adalah sebuah kerajaan Jawa
pada abad ke-16 yang berpusat di Jepara. Baik Kalinyamat maupun Jepara awalnya
adalah dua kadipaten terpisah yang tunduk pada Kerajaan Demak. Sepeninggal
Pangeran Trenggana, Kalinyamat mendapatkan Jepara, Pati, Juwana, dan Rembang.
Puncak
kejayaannya terjadi di pertengahan abad ke-16 ketika Kalinyamat dipimpin oleh
Ratu Kalinyamat. Pada tahun 1551 dan 1574, Kalinyamat melakukan ekspedisi ke
Melaka Portugis untuk mengusir Portugal dari Hindia Timur sementara meluaskan
kekuasaannya ke luar Jawa, seperti Kalimantan Barat dan Pulau Bawean.
Sejarah Awal Berdiri Kalinyamat
Wilayah
Kalinyamat terletak kira-kira 18 km ke arah pedalaman dari Jepara. Pada abad
keenambelas wilayah tersebut menjadi lokasi pemerintahan kota pelabuhan Jepara.
Menurut salah satu catatan naskah, Kalinyamat didirikan oleh seorang nahkoda
asal Tiongkok bernama (sesudah dijawakan) Wintang yang kapalnya kandas di tepi
pantai Jepara. Sesampainya di Jepara (Jung Mara) dalam keadaan melarat, ia lalu
dibantu dalam belajar bahasa setempat oleh orang sebangsanya yang telah lebih
dulu masuk islam. Kemudian ia diislamkan oleh Sunan Kudus dan mengganti namnya
menjadi Rakit. Beberapa waktu setelahnya, ia mendirikan pendukuhan di tepi
jalan antara Kudus dan Jepara yang secara bertahap menjadi tempat yang maju dan
berkembang pesat. Ia kemudian mengabdi kepada Sultan Trenggana dari Demak, dan
mendapat salah seorang putri Sultan Trenggana sebagai istrinya. Menurut
silsilah Kerajaan Demak, putri tersebut tercatat sebagai Ratu Aria Jepara atau
yang dalam Babad Tanah Jawi ia disebut sebagai Ratu Kalinyamat.
Pantai
utara Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16. Kota Kalinyamat terletak di
tenggara Jepara.
Ibu
kota kerajaan Kalinyamat
Pemerintahan
= Kerajaan
-
1527–1536 Ratu Kalinyamat
-
1536–1549 Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat
(pendamping)
-
1549–1579 Ratu Kalinyamat
-
1579–1599 Pangeran Arya Jepara
Sejarah
:
-
Menjadi vasal dari Demak 1527
-
Pengukuhan sebagai negara merdeka 1549
-
Meninggalnya Ratu Kalinyamat 1579
-
Penyerbuan oleh Mataram 1599 Didahului oleh Digantikan
oleh Kerajaan Demak Kesultanan Mataram
Kematian Sultan Hadlirin
Pada
tahun 1549, keluarga Sunan Prawata, sultan keempat Demak, dibunuh oleh Rangkut
dan Gopta, suruhan Arya Penangsang, bupati Jipang Panolan. Ratu Kalinyamat
menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu.
Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan.
Menurut
Babad Tanah Jawi, Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian
kakaknya, tetapi Sunan Kudus mendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan
takhta sepeninggal Sultan Trenggana. Ia menjelaskan bahwa semasa muda, Sunan
Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda ing Lepen, ayah Arya Penangsang.
Jadi, Sunan Kudus melihatnya sebagai balasan yang setimpal.
Ratu
Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke
Jepara. Di tengah jalan, mereka disergap anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat
tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga
oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut
desa Prambatan.
Selanjutnya,
dengan membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan
perjalanan sampai pada sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah
Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal
daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi
lelah, kemudian melewati Pringtulis. Dan karena lelahnya dengan berjalan
sempoyongan (moyang-moyong) di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong.
Sesampainya di Pelang karena hatinya melang-melang. Sesampainya di Purwogondo,
disebut demikian karena di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang
dibawa Ratu Kalinyamat, dan kemudian melewati Pecangaan dan sampai di
Mantingan.
Ratu
Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian
melakukan tapa "telanjang"[note 1] di Gunung Danaraja, dengan sumpah
tidak akan "berpakaian" sebelum berkeset kepala Arya Penangsang.
Harapan terbesarnya adalah adik iparnya, yaitu Hadiwijaya, bupati Pajang,
karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan bupati Jipang.
Hadiwijaya
segan menghadapi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota
keluarga Demak. Ia pun mengadakan sayembara yang berhadiah tanah Mataram dan
Pati. Sayembara itu dimenangi oleh Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi. Arya
Penangsang tewas di tangan Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, berkat siasat
dari Ki Juru Martani.
Setelah Arya Penangsang
Ratu
Kalinyamat kembali naik tahta setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549.
Kemudian, Kalinyamat, Demak, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin
oleh Sultan Hadiwijaya. Meskipun demikian, Hadiwijaya tetap memperlakukan Ratu
Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati, bahkan Hadiwijaya tidak berniat
membawahi Kalinyamat. Begitu juga dengan Ratu Kalinyamat yang tidak memandang
Pajang sebagai halangan.
Tercatat
pedagang-pedagang Aceh, Melaka, Banten, Demak, Semarang, Tegal, Bali, Makassar,
Banjarmasin, Tuban dan Gresik turut meramaikan Jepara. Dapat dikatakan
Pelabuhan Jepara menjadi tempat transaksi perdagangan berskala internasional.
Ratu Kalinyamat pun memungut cukai bagi setiap kapal yang bertransaksi di
Pelabuhan Jepara. Hasil perdagangan beras dan cukai tersebut menjadikan Jepara
sebagai Kerajaan yang makmur, kaya raya.
Dengan
kekayaannya, Ratu Kalinyamat membangun armada Laut yang sangat kuat untuk
melindungi kerajaannya yang bercorak maritim. Sebagai Kerajaan Maritim yang
bercorak Islam, Kerajaan Jepara sangat dihormati dan disegani oleh
kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Kekuatan armada laut Kerajaan Jepara sudah
tersohor di seluruh Nusantara. Banyak kerajaan-kerajaan lain yang meminta
bantuan armada laut Jepara untuk melindungi negerinya.
Saat
itu Ratu Kalinyamat sangat berpengaruh di Pulau Jawa. Ia adalah Ratu yang
memiliki posisi politik yang kuat dan kondisi ekonomi yang kaya raya. Ia
menjalin hubungan diplomatik yang sangat baik dengan Kerajaan-kerajaan Maritim
Islam lainnya. Jepara menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Johor,
Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Ambon dan Kesultanan
Demak.
Ekspedisi untuk mengusir Portugal
Ratu
Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus), bersikap anti
terhadap Portugis. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40
buah kapal memenuhi permintaan sultan Johor untuk membebaskan Melaka dari
kekuasaan bangsa Eropa itu.
Pasukan
Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai
200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil
merebut sebagian Melaka. Namun Portugis berhasil membalasnya. Pasukan
Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan Jepara masih
bertahan.
Baru
setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Pertempuran
selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut yang menewaskan 2.000 prajurit
Jepara. Badai datang menerjang sehingga dua buah kapal Jepara terdampar kembali
ke pantai Melaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang
berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil
meninggalkan Melaka.
Pada tahun 1564, Sultan Ali Riayat Syah dari Kesultanan Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Melaka. Saat itu Demak dipimpin seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerang Melaka tahun 1567 meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal.
Pada
tahun 1573, Sultan Ali Riayat Syah meminta bantuan lagi kepada Ratu Kalinyamat
untuk menyerang Melaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000
prajurit Jepara. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba
di Melaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul
mundur oleh Portugis.
Pasukan
Jepara yang terlambat datang itu langsung menembaki Melaka dari Selat Melaka.
Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan
itu dapat ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar.
Pihak Jepara mulai terdesak, namun tetap menolak perundingan damai karena
terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu, sebanyak enam kapal perbekalan
yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan
memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar
sepertiga saja yang tiba di Jawa.
Diogo do Couto
Kebesaran
dan keberanian Ratu Kalinyamat diakui oleh sejarawan Portugis Diogo do Couto
[en] dalam Da Asia de João de Barros dengan sebuah ungkapan Rainha de Japara,
senhora poderosa, e rica (yang artinya "ratu Jepara, seorang wanita yang
berkuasa dan kaya").
Hubungan dengan Maluku
Sumber
Portugal melaporkan bahwa Kerajaan Tanah Hitu berkali-kali meminta bantuan
Kalinyamat untuk melawan orang Portugis dan suku lain yang masih
seketurunannya, yaitu Suku Hative. Bantuan pertama kali dikirim pada tahun
1565. Perlawanan ini menghasilkan efek pada Portugis 10 tahun kemudian yang perlahan-lahan
meninggalkan Maluku.
Kemunduran
Setelah meninggal pada tahun 1579, Ratu Kalinyamat digantikan oleh anak angkatnya, Pangeran Arya Jepara. Meskipun tidak sekuat bibinya, kekuasannya di laut masih dihormati. Pada 1580, Maulana Yusuf, Raja Banten dan pahlawan yang merebut Pajajaran, meninggal dunia. Ia hanya meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih kecil. Menurut para penulis sejarah di Banten, pangeran Jepara yang masih saudara Maulana Yusuf, menuntut haknya atas takhta Kesultanan Banten. Ia bersama panglima armada Demang Laksamana, pergi dari Jepara ke Banten. Tetapi sesampainya disana, Demang Laksamana terbunuh dalam pertempuran melawan Perdana Menteri Banten, sehingga Pangean Jepara terpaksa pulang. Sejak peristiwa tersebut berakhirlah pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat.
Di
masa pemerintahan Pangeran Arya Jepara, Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh
Sutawijaya beberapa kali mencoba menaklukkan Kalinyamat, tetapi gagal karena
Kota Jepara dilindungi oleh benteng melingkar yang menghadap ke pedalaman dan
dijaga ketat oleh pasukannya. Menurut pelaut-pelaut asal Belanda (Eerste
Schipvaert I: 103), pada abad keenam belas kebanyakan kota pelabuhan di Jawa
dikelilingi tembok batu atau kayu pada sisi yang menghadap ke daerah pedalaman.
Baru pada tahun 1599, Mataram berhasil menaklukkan Kalinyamat dengan serbuan
yang menghancurkan Kota Jepara, baik secara fisik, politik, maupun ekonomi. Dalam
suatu surat berbahasa Belanda pada 1615 (Colenbrander, Coen VII: 45), terdapat
kata-kata tentang destructie (penghancuran) Kota Jepara. Serangan Kesultanan
Mataram dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan pesisir mengakibatkan kerusakan
yang berat, dan kemungkinan termasuk Kerajaan kalinyamat menjadi salah satu
bagian dari korban serangan tersebut. Sebuah sumber tradisional menyebut
peristiwa ini sebagai bedhahe Kalinyamat, yang artinya jatuhnya
Kalinyamat.
Peninggalan
Beberapa
peninggalan Kalinyamat yang masih ada yaitu Kawasan Siti Inggil Kalinyamat di
Kriyan, Pertapaan Sonder di Tulakan, dan Benteng Kalinyamat di Robayan.
Catatan
Yang
dimaksud dengan tapa telanjang disini adalah hanya berpakaian layaknya orang
biasa sementara meninggalkan semua atribut singgasananya sebagai ratu.
KERAJAAN PAJANG
Sesudah
Adipati Jipang itu, Aryo Penangsang, tewas secara mengenaskan dengan usus
terburai pada suatu siang di tepi bengawan Sore, lega sudah hati Sultan
Hadiwijaya. Ia merasa klilip yang selama ini menghantui dirinya dan segenap
trah Trenggono telah sirna. Ia juga merasa lega karena derita bathin di atas
kesumat segenap trah Trenggono telah terbayarkan. Terbanyang dalam dirinya atas
kematian Sunan Prawoto dan Pangeran Hadlirin. Atas itu pula yang menyebabkan
Ratu Kalinyamat, istri Pangeran Hadlirin, harus melakoni tapa wuda sinjang
rambut di gunung Donorojo. Tapa wuda sinjang rambut sampai kematian Pangeran
Hadlirin terbalaskan.
Akhir
1549 menjadi awal dari tiadanya Kerajaan Demak. Kota raja dari Demak
dipindahkan ke Pajang, dekat Surakarta sekarang. Selanjutnya Sultan Hadiwijaya
memaklumatkan berdirinya kerajaan Pajang yang merupakan sebuah kerajaan baru
yang berkuasa atas sebagian wilayah Jawa bagian tengah. Hal ini terjadi seiring
dengan konflik berdarah atas perebutan kekuasaan yang berlarut-larut pada
kerajaan pendahulunya, kerajaan Demak, menjadikan banyak kadipaten-kadipaten di
Manca Negara Wetan yang melepaskan diri dari ikatan politik kerajaan tersebut.
Suatu
kerajaan baru yang mewarisi sisa-sisa kejayaan kerajaan lama sekaligus yang
mewarisi lembaran suram kerajaan lama yang tak terpisahkan dari pertumpahan
darah perebutan kekuasaan sesama keluarga istana. Pangeran Sabrang Lor atau
yang biasa disebut Adipati Unus, wafat dalam penyerbuan bala pasukannya
terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1521. Namun maksud lain dikandung dalam
niatan buruk adiknya, Raden Trenggono. Minuman beracun telah diberikan kepada
Adipati Unus lewat orang suruhan Raden Trenggono.
Kevakuman
kekuasaan sepeninggal Adipati Unus menjadikan jiwa-jiwa haus kekuasaan
sekaligus haus darah semakin terlihat benderang di antara sesama keluarga
istana. Dengan maksud bahwa singgasana akan jatuh kepada dirinya suatu kelak
nanti, Sunan Prawoto, anak Raden Trenggono, membukakan jalan kekuasaan ayahnya
dengan membunuh Raden Kikin yang merupakan pewaris sah kesultanan Demak. Raden
Kikin yang merupakan saudara tua Raden Trenggono dianggapnya dapat menjadi batu
penghalang untuk mahkota sultan bagi trah Trenggono. Pada hari Jum’at sesudah
sholat Jum’at didirikan, di pinggir suatu sungai, dengan keris Setan Kober yang
disarungkan di lambungnya, Raden Kikin menjemput ajalnya. Atas hal itu pula,
setelah Raden Kikin wafat, ia kerap kali disebut sebagai Pangeran Sekar Seda
Lepen.
Pada
tahun yang sama, Raden Trenggono naik tahta dengan gelar Sultan Trenggono.
Usaha-usaha pelebaran kekuasaan ke Manca Negara Wetan terus ia lakukan. Agresi
militer merupakan bagian dari upayanya untuk menyatukan ikatan politik seluruh
kadipaten di Jawa bagian tengah dan Manca Negara Wetan. Pada tahun 1546,
sewaktu penyerbuan di Panarukan, Sultan Trenggono wafat dalam penyerbuan
tersebut.
Sultan
Trenggono selanjutnya digantikan putranya, Sunan Prawoto. Tiga tahun setelah
itu, kematian Pangeran Sekar Seda Lepen terbalaskan oleh Aryo Penangsang,
putranya. Melalui orang suruhannya yang bernama Rungkud, Aryo Penangsang
melampiaskan kesumatnya yang telah ia pendam selama dua puluh delapan tahun
terakhir. Sunan Prawoto akhirnya harus mengakhiri hidupnya di ujung senjata
yang sama dengan senjata yang ia gunakan sewaktu membunuh Pangeran Sekar Seda
Lepen.
Nafsu
balas dendam Aryo Penangsang rupanya tidak hanya pada kematian Sunan Prawoto.
Tumpes kelor ia maksudkan terhadap seluruh keturunan Trenggono. Sepulang dari
Kudus, Ratu Kalinyamat harus melihat kenyataan ketika suaminya, Pangeran
Hadlirin tewas oleh serbuan pengikut Aryo Penangsang. Atas kejadian tersebut,
demi kehormatan trahnya dan demi arwah suaminya, Ratu Kalinyamat bersumpah
untuk bertapa telanjang dengan hanya bertutupkan rambutnya di gunung Donorojo
sampai Aryo Penangsang terbunuh.
Di
baluwerti istana Pajang, dari balik dinding kayu jati yang berukirkan kembang
setaman, Sultan Hadiwijaya merenung akan singgasana muram kerajaan Demak yang
saat ini ia warisi tersebut. Genangan darah saudara atas sebuah kekuasaan dan
sebuah kekuasaan yang dibangun di atas genangan darah saudara. Dua hal sepadan
namun sejatinya berbeda. Antara dikorbankan dan pengorbanan, antara obyek dan
subyek untuk sebuah kekuasaan. Dua entitas yang berbeda namun sejatinya satu
tujuan, yakni untuk berkuasa. Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Sekar Seda Lepen,
Sunan Prawoto, Pangeran Hadlirin dan Aryo Penangsang adalah obyek yang
dikorbankan untuk sebuah kekuasaan yang hendak diraih. Kekuasaan yang hendak
diraih dengan menumpahkan darah saudara sendiri dan bukan dengan pengorbanan
mereka sepenuh hati untuk sebuah kekuasaan tersebut.
Tahta
yang penuh genangan darah, tahta yang semakin lapuk oleh usianya. Sementara
itu, ke arah barat dari Pajang, di alas Mentaok, tanah perdikan itu telah
berkembang dengan pesatnya di bawah kendali Sutawijaya. Ambeg adil paramarta,
suatu impian dari sebagian kawula Pajang yang menjadikannya secara bersama-sama
meninggalkan Pajang dan menetap di Mataram, nama baru atas tanah perdikan
tersebut. Matahari kembar telah menyingkap langit di sisi selatan Jawa. Sinar
panasnya yang hendak membakar satu sama lain.
Pada
tahun 1582, pecah perang antara Pajang dan Mataram yang berakhir dengan
kekakalahan Pajang. Sutawijaya berhasil meruntuhkan hegemoni Hadiwijaya yang
selama ini telah membesarkan dirinya. Patah sudah tahta Pajang yang diduduki
Hadiwijaya, terkubur sudah tahta berdarah tersebut. Sepulang dari perang dengan
membawa kekalahan, Sultan Hadiwijaya mangkat. Sinar Pajang yang selama ini ia
nyalakan telah dipadamkan oleh Sutawijaya yang tak lain adalah anak kandungnya
sendiri yang dilahirkan lewat rahim Nyai Sabinah, istri Ki Ageng Pemanahan.
Kekuasaan
yang didirikan di atas nafsu untuk saling menguasai hanya akan melahirkan
pertumpahan darah yang tidak lagi memandang akan adanya ikatan darah. Sungguh
tragis dan ironis.
Tapa Wudo Ratu Kalinyamat
Ratu
Kalinyamat,siapa yang tidak mengenal Beliau ? sering disandingkan namanya dengan
R.A Kartini Pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April Kita
peringati sebagai hari Kartini dan disandingkan juga dengan Ratu Sima pemimpin
kerajaan Kalingga atau Holing yang terkenal akan kepemimpinannya yang
tegas.karena sama sama berasal dari Jepara.
Ratu
Kalinyamat putri dari Sultan Trenggono,bersuamikan Sultan Hadlirin.Pada tahun
1549 Sunan Prawataraja raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang,
sepupunya yang menjadi bupati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai
Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan
Ratu Kalinyamat pun berangkat keKudus minta penjelasan.
Ratu
Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus
menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen
ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.
Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang
ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang.
Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa
tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran
Kalinyamat disebut desa Prambatan. Selanjutnya dengan membawa jenazah Pangeran
Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada sebuah sungai dan
darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna
ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke
barat, dan dalam kondisi lelah, kemudia melewati Pringtulis. Dan karena
selahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) ditempat yang sekarang
dikenal dengan nama Mayong. Sesampainya diPurwogondo, disebut demikian karena
di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat,
dan kemudian melewati Pecangaan dan sampai diMantingan.
Ratu
Kalinyamat yang sedih kehilangan suami dan kakak tercinta, kemudian bertapa
telanjang di Gunung Danaraja, dengan sumpah tidak akan berpakaian sebelum
berkeset kepala Arya Penangsang.
Pada
naskah ‘Babad Tanah Jawi’ yang dituturkan dalam rakitan tembang Pangkur yang
sangat memikat.
“Nimas
Ratu Kalinyamat Tilar pura mratapa aneng wukir Tapa wuda sinjang rambut Apane
wukir Donorojo Aprasapa noratapih-tapihan angsun Yen tan antuk adiling hyang
Patine sedulurmani’
Artinya
:“Nimas Ratu Kalinyamat Meninggalkan istana bertapa di gunung Bartapa telanjang
berkain rambut Di gunung Donorojo bersumpah tidak (akan) sekali-kali memakai
pakain aku Jika tidak memperoleh keadilan Tuhan (atas) meninggalnya saudaraku’
Dalam
pengartian tapa telanjang “topo wudo” sering diartikan sebagai bertapa dengan
bertelanjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh beliau. Ratu kalinyamat
adalah murid dari Sunan Kudus salah satu penyebar agama islam di Pulau Jawa. Bisa
dipastikan Sang Ratu beragama Islam.
Perkataan
‘wuda” dalam bahasa jawa tidah hanya telanjang. Akan tetapi bisa kiasan “tidak
mengenakan perhiasaan yang bagus-bagus dan pakain yang indah-indah” tidak
memakai pakaian kebesaran Sang Ratu.
Harapannya
adalah Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, bupati Pajang, karena hanya ia yang
setara kesaktiannya dengan Bupati Jipang. Hadiwijaya segan menghadapi Arya
Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Ia pun
mengadakan sayembara yang berhadiah tanah Mataram dan Pati. Sayembara itu
dimenangi oleh Ki Ageng Pemanahandan Ki Penjawi Arya Penangsang tewas di tangan
Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan.
Ratu Kalinyamat
Sudut pandang pemaknaan Tapa Wuda/Tapa Telanjang.
Kisah
tentang Ratu Kalinyamat melakukan Tapa Wuda atau bertapa dengan cara telanjang
tentu sudah banyak kita dengar karena selain kisah itu diceritakan dalam naskah
babad, cerita inipun sangat dikenal dikalangan masyarakat banyak.
Kisah
tentang Ratu Kalinyamat yang melakukan Tapa Wuda Bersinjang Rikma (bertapa
telanjang dan hanya menutupi dirinya dengan rambut panjangnya) ini disebabkan
oleh perasaan kecewa dan dendam dari Ratu Kalinyamat atas pembunuhan terhadap
Kakandanya, Sunan Prawata yang saat itu menjadi Sultan Demak dan juga
pembunuhan terhadap suaminya, Pangeran Hadiri.
Ratu
Kalinyamat beranggapan bahwa Adipati Djipang, Arya Penangsang lah yang seharusnya
bertanggung jawab atas peristiwa pembunuhan pembunuhan tersebut.
Benarkah
Ratu Kalinyamat telah melakukan Tapa Wuda ?
Kenapa
kita tidak memaknai kisah itu dengan pengertian yang lain. Mungkin Ratu
Kalinyamat memang telah didera perasaan kecewa dan dendam atas terbunuhnya
kakanda dan suaminya sehingga Ratu Kalinyamat telah memutuskan untuk bertapa, Mengasingkan diri.
Sedang
ungkapan Wuda / Telanjang mungkin saja mempunyai makna bahwa Ratu Kalinyamat
ingin menelanjangi diri atau melepaskan diri dari segala kebesaran dan simbol
simbol kebangsawanannya mengingat Ratu Kalinyamat adalah putri dari Sultan
Trenggana dan juga sebagai penguasa di wilayah Kalinyamatan.
Dengan
cara mengasingkan diri serta melepaskan segala simbol kebesarannya inilah mungkin
Ratu Kalinyamat ingin menunjukan keprihatinannya atas peristiwa yang terjadi
sekaligus sebagai bentuk protesnya atas ketidak adilan yang diterimanya.
Terasa
aneh rasanya kalau Ratu Kalinyamat yang seorang bangsawan dan juga sorang
muslim yang sholehah bahkan suaminyapun, Pangeran Hadiri adalah muslim yang
taat yang konon merupakan keturunan bangsawan sekaligus ulama dari Aceh telah
memilih untuk melakukan tapa telanjang, telanjang dalam arti bukan sesungguhnya.
Selebihnya
Ratu Kalinyamat adalah sosok wanita perkasa serta seorang pemimpin yang cakap
dalam memajukan wilayah kekuasaannya.
Dimasa
pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara sangatlah maju secara perekonomian
sehingga Jepara mampu mensejahteraan rakyatnya. Kemajuan perekonomian Jepara
tak terlepas dari kecakapan Ratu Kalinyamat dalam mengembangkan dan memajukan
pelabuhan Jepara sebagai salah satu pelabuhan laut yang besar dan ramai di
wilayah pesisir utara karena pelabuhan Jepara banyak disinggahi oleh kapal
kapal para pedagang.
Dalam
hal kekuatan pasukannya, Jepara dibawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat ternyata
mampu membangun sebuah kekuatan pasukan yang melegenda. Bahkan Ratu Kalinyamat
sendiri adalah seorang pemimpin wanita yang mempunyai keberanian yang
mengagumkan serta tak kalah dari para penguasa/Adipati wilayah lainnya.
Hal
ini dibuktikan bahwa Jepara dibawah kendali Ratu Kalinyamat pernah dua kali
mengirimkan armada perangnya dalam jumlah yang besar untuk berperang melawan
Portugis yang dalam hal ini Ratu Kalinyamat menganganggap bahwa Portugis adalah
satu kekuatan yang dapat mengancam kedaulatan wilayah Jepara dan wilayah
nusantara lainnya.
Pengiriman
armada Jepara yang pertama adalah saat Ratu Kalinyamat mengirimkan pasukannya
membantu Kasultanan Johor dan yang kedua adalah membantu Kasultanan Aceh.
Memang kedua pengiriman armada perang Jepara ini tidaklah berhasil atau gagal,
tapi setidaknya itu menunjukan betapa berkuasanya dan betapa pemberaninya Ratu
Kalinyamat dalam menghadapi pasukan asing yang dianggap akan menguasai wilayah
nusantara.
Portugis
sendiri pada masa itu memang tengah gencar melakukan ekspansinya ke seluruh
pelosok semenanjung Asia tak terkecuali ke wilayah Nusantara.
Oleh
keberaniannya inilah, pengelana sekaligus sejarawan Portugis, De Couto dalam
bukunya "De Asia" telah menjuluki Ratu Kalinyamat dengan "Reinha
De Jepara, Senhora Panderosa a Rica" (Ratu Jepara, seorang Perempuan yang
Kaya dan berkuasa), dan bahkan catatan pemerintah Portugis Ratu Kalinyamat
digelari sebagai "De Kranige Dame" (Seorang Perempuan Pemberani).
Oleh
catatan itulah, terlepas dari persoalan tentang kisah Ratu Kalinyamat yang
melakukan tapa telanjang, ternyata dimasa sekitar 475 tahun yang lalu di Bumi
Nusantara telah hadir seorang perempuan yang perkasa dan pemberani serta
seorang perempuan yang telah mempunyai sikap perlawanannya terhadap kekuatan
asing yang ingin menguasai bumi Nusantara.
Sosok
dan perjuangan Kangjeng Ratu Kalinyamat ini mungkin saja menggambarkan satu
sosok perempuan yang inspiratif layaknya seorang Kartini, bahkan Ratu Kalinyamat
sendiri telah hadir jauh sebelum Pahlawan Wanita Indonesia RA Kartini lahir.
Dan entah apa karena kebetulan belaka, Ratu Kalinyamat adalah Penguasa Jepara
dimasa lalu sedang RA Kartini juga berasal dari Jepara.
Ratu Kalinyamat Pahlawan dari Jepara
(Ratu
Kalinyamat Disusulkan Jadi Pahlawan)
Ratu
Kalinyamat pernah diusulkan sebagai pahlawan nasional oleh Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Jepara dan Pusat Penelitian Sosial Budaya Undip Semarang, pada 2005
lalu. Namun upaya itu tak membuahkan hasil, lantaran ada sejumlah kejanggalan
yang membuat Ratu Kalinyamat sulit untuk diangkat sebagai pahlawan nasional.
itu
tak membuahkan hasil, lantaran ada sejumlah kejanggalan yang membuat Ratu
Kalinyamat sulit untuk diangkat sebagai pahlawan nasional.itu tak membuahkan
hasil, lantaran ada sejumlah kejanggalan yang membuat Ratu Kalinyamat sulit
untuk diangkat sebagai pahlawan nasional.
TAPA WUDA
Salah satu yang dianggap janggal oleh
pemerintah pusat yakni adanya kisah Ratu Kalinyamat yang melakukan tapa wudo
(semedi telanjang). Yang dalam istilah Jawa disebut tapa wudo sinjang rambut.
Ada yang mengisahkan pemilik nama Retna Kencana itu melakukan tapa tersebut,
sehingga menjadi sandungan untuk pengajuan sebagai pahlawan nasional. Hal itu
disampaikan Ahmad Slamet, yang saat itu menjadi salah satu anggota foto kalinyamat
tim yang mengajukan usulan pahlawan nasional kepada Ratu Kalinyamat. Menurut
dia, pemerintah pusat belum meloloskan usulan itu, lantaran menilai ada yang
ganjal. “Salah satu yang dinilai menjadi kendala adalah adanya sejarah yang
mengisahkan Ratu Kalinyamat melakukan tapa tanpa busana. Padahal, orang zaman
dulu ketika berbicara memiliki banyak arti, dan seringkali bentuk kiasan. Tapa
wudo tidak boleh diterjemahkan secara mentah-mentah. Ia menjelaskan, arti tapa
wudo adalah melepas segala hal yang bersifat keduniawian, atau melepas pakaian
kebesarannya sebagai seorang ratu.
Sebelum
bertapa, Ratu Kalinyamat bersuci terlebih dahulu dan bersemboyan tidak akan
berhenti bertapa, jika belum mendapatkan apa yang ia inginkan pada waktu itu.
Ini terbukti saat mulai bertapa, ia membaca mantra atau doa yang mengagungkan
kebesaran Allah SWT. Selain masalah tapa wudo itu, kendala lain yang menghambat
yakni adanya sejarah yang mengatakan jika Ratu Kalinyamat pernah menyuruh
bawahannya, yaitu Sutowijoyo untuk membunuh Aryo Penangsang Hal itu sebagai
wujud balas dendam karena suaminya dibunuh Aryo Penangsang
RATU KALINYAMAT BERTAPA BERTAPA
Konon
sebenarnya Kangjeng Ratu bertápa tidak jauh dan pesanggrahannya. Hanya beberapa
meter ke arah Timur. Di situ ada tempat yang luas, dengan pohon besar yang
rimbun. Apalagi letaknya juga berada di pinggir sungai. Maka tempat itu
betul-betul cocok untuk bertirakat. Tempat itu kemudian sampai sekarang disebut
dengan nama “gilang”. Berasal dan kata gilang-gilang atau luas. Bahkan masih
ditemukan di situ batu bekas alas sembah yang sang Ratu dan pancuran serta alas
kecil tempat berwudlu.
Adipati
Pajang akhirnya tiba di tempat Ra tu Kalinyamat bertapa, Ia membujuk agar kakak
iparnya itu berkenan mening galkan pertapaan dan kembali ke keraton. Tapi tekat
Ratu Kalinyamat telah bulat. Ia tak kan kembali ke keraton sebelum Arya
Penangsang terbunuh. Bahkan akhirnya Ratu Kalinyamat memindahkan tempat
pertapaannya ke gunung Donorojo (Donoroso).
ARTI DARI TAPA WUDA
Tapi
benarkah ?
Sungguhkah
Ratu Kalinyarnat bertapa telanjang ?
Dalam
menyusun hasil karyanya, para péngarang naskah-náskah sejarah tradisional jawa
sering menggunakan kiasan. Kebiasaan ini sesuai dengan sifat masyarakat Jawa
masa lalu yang senang memakai olah rasa dan pralambang.
Perlambang
dan kiasan itu ditemui juga dalam menuturkan kisah pertapaan Ratu Kalinyamat.
Ungkapan bahwa Ratu Kalinyamat bertapa dengan telanjang dan berkain rambut
haruslah diberi penafsiran dan bukan diartikan apa adanya. Perkataan wuda dalam
bahasa Jawa tidak hanya berarti telanjang, akan tetapi bisajuga berarti kiasan tidak
mengenakan perhiasan yang bagus-bagus dan pakaian yang indah-indah.
Wibawa Wanita di balik Eksotisme Tapa
Wuda Sinjang Rikma
Panutan
seorang Ratu Kalinyamat adalah terletak pada commitment beliau dalam
memperjuangkan hak-hak pribadinya yang ingin membalas kematian ayahnda Pangeran
Sekar Sedo Lepen oleh Aryo Penangsang dan tekad mengusir penguasaan tanah
Nusantara oleh kekuatan asing (Portugis).
Akhirnya,
topo wudo, bertapa di suatu lokasi tanpa mengenakan selembar kain, toh akhirnya
membuahkan hasil walaupun tidak dilakukan oleh dirinya sendiri. Aryo Penangsang
terbunuh oleh Danang Sutowijoyo yg akhirnya menjadi cikal bakal Dinasti
Mataram. Keinginan mengusir kekuatan asing pun terrealisasi setelah beberapa
ratus tahun setelah Sang Ratu wafat, yaitu kemerdekaan RI 1945 oleh para pemuda
yg terinspirasi oleh perjuangan Sang Ratu mengusir kekuatan asing. Sampai kapan
pun perjuangannya tetap dikenang anak bangsa.
Tradisi Jembul Tulakan, Kenang Sejarah
Ratu Kalinyamat (cerita dari desa tahun 2017)
Ribuan
warga Desa Tulakan Kecamatan Donorejo, Kabupaten Jepara menggelar tradisi
Jembul Tulakan. Tradisi ini untuk mengenang sejarah dari Ratu Kalinyamat, yang
melakukan tapa brata menuntut keadilan atas kematian suaminya, Sunan Hadiri,
yang dibunuh oleh Arya Panangsang.
Tradisi
Jembul Tulakan ini merupakan tradisi sedekah bumi yang digelar masyarakat Desa
Tulakan. Tradisi tahunan ini digelar pada hari Senin Pahing berdasarkan
penanggalan Jawa bulan Dulkaidah yang jatuh hari ini.
Dalam
tradisi itu ratusan warga rela berdesakan untuk mendapatkan gunungan. Jembul
itu diyakini warga dapat mengusir hama pertanian sehingga panenan melimpah.
Jembul
sendiri sebenarnya adalah bahasa Jawa yang berarti rambut. Sedangkan jembul
dalam prosesi ini terbuat dari bambu yang telah dibelah menjadi beberapa bagian
dengan panjang satu meter dan disisik sehingga membentuk seperti rambut
(keriting).
Jembul
dari bambu ini disusun menjadi gunungan untuk kemudian diarak dari Rumah Kepala
Desa Tulakan menuju dukuh masing-masing. Dalam acara ini, ada empat gunungan
jembul yang diarak. Warga yang berada di sisi jalan yang dilalui arak-arakan
pun langsung berebut demi mendapatkan jembul.
Maesaroh,35,
warga setempat mengaku sengaja ikut berebut jembul, meski harus berdesakan
dengan warga lain.
Jembul
ini nanti akan ditancapkan di sawah yang sudah ditanami padi. Warga yakin,
jembul ini dapat menangkal hama.
Subekti,
seorang tokoh masyarakat Desa Tulakan menuturkan tradisi Jembul Tulakan ini
pertama kali diinisiasi oleh Ki Demang Baratha, yakni seorang Demang Tulakan
pertama.
"Belum
tahu persis tahunnya, tapi yang pertama kali menginisiasi adalah Ki Demang
Baratha. Beliau wafat sekitar tahun 1882.
Tradisi
ini untuk mengenang sejarah dari Ratu Kalinyamat, yang pernah melakukan 'tapa
wuda sinjang rambut' atau bertapa tanpa mengenakan pakaian dan hanya tertutup
oleh rambutnya yang panjang. Dia melakukan tapa seperti ini setelah suaminya,
Sultan Hadiri terbunuh oleh Adipati Arya Penangsang.
Dalam
tapa tersebut, Ratu Kalinyamat bernadzar tidak akan mengakhiri pertapaannya
sebelum keset pakai rambut dan keramas dengan darah Arya Penangsang.
Sejarahnya,
tempat pertapaannya Ratu Kalinyamat itu ada di Dukuh Sonder di desa sini. Dan,
juga ditemukan rambut yang dibungkus dengan bambu. Akhirnya munculah tradisi
Jembul Tulakan.
Ia
menjelaskan, prosesi tradisi ini diawali dengan selamatan warga di petilasan
pertapaan di Dukuh Sonder, pada Jumat Wage atau Kamis (27/7/2017) malam.
Dilanjutkan pementasan wayang kulit, pada hari Minggu (30/7/2017), dan diakhiri
dengan mengarak gunungan jembul.
"Prosesi
puncak dilakukan dengan membasuh kaki kepala desa dengan air kembang setaman,
lalu beliau mengelilingi gunungan sebelum akhirnya diarak ke dukuh
masing-masing. Pada intinya tradisi ini untuk mengenang sejarah sekaligus rasa
syukur kepada tuhan atas limpahan rejeki yang selama ini diberikan kepada
warga," tandasnya.
TENTANG TRADISI JEMBUL TULAKAN
Jembul
Tulakan adalah tradisi budaya di Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten
Jepara. Jembul Tulakan adalah arak-arakan Jembul di desa Tulakan. Jembul
Tulakan merupakan tradisi dalam acara sedekah bumi yang di selengggarakan oleh
pemerintah desa Tulakan. Jembul Tulakan rutin digelar setiap Senin Pahing bulan
Apit penanggalan Jawa, atau bulan Dzulkaidah penanggalan Hijriyah.
Tujuan Penyelenggaraan
Setahun
sekali, setiap hari Senin Pahing bulan Apit penanggalan Jawa, sedangkan dalam
penanggalan Hijriyah bulan Dzulkaidah. Sebagai tanda rasa syukur pada Tuhan
Yang Maha Esa atas rezeki yang dilimpahkan pada penduduk Kademangan Tulakan, Ki
Demang Barata mengadakan upacara syukuran yang kemudian dikenal dengan sedekah
bumi. Arti kata sedekah bumi adalah sedekah (amal) dari hasil bumi yang
diwujudkan dengan berbagai macam makanan kecil. Sebagai langkah untuk mengingat
laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat dalam menuntut
keadilan atas kematian suaminya, Sunan Hadiri, yang dibunuh oleh Arya
Panangsang. Sebelum sedekah bumi pada hari Senin Pahing, didahului manganan
dipunden Nyai Ratu Kalinyamat, yaitu bekas pertapaan. Pada hari Jumat Wage
sesuai dengan riwayat yang menyebutkan bahwa kedatangan Ratu Kalinyamat untuk
bertapa adalah Jumat Wage. Sebagai tanda bukti dan setia murid-murid Ki Demang
Barata yang sudah memimpin pedukuhan, masing-masing mengantarkan makanan kecil
ke rumah Ki Demang. Makanan kecil tersebut diletakkan dalam dua buah ancak dan
di atas makanan kecil ditanamkan belahan bambu yang diirat tipis-tipis. Iratan
tipis bambu tersebut melambangkan rambut jembul dengan diatur sedemikian rupa.
Ancak dari rambut jembul dari iratan bambu tipis tersebut dinamakan Jembul
Tulakan. Jembul merupakan perlambangan dari ungkapan yang diucapkan oleh Ratu
Kalinyamat waktu menjalani pertapaan yaitu Ora pati-pati wudhar tapaningsun,
yen durung keramas getehe lan karmas keset jembule Aryo Panangsang yang dapat
berarti tidak akan menyudahi tapa kalau belum keramas dengan darah dan keset
rambut Aryo Panangsang.
Manfaat
Dari
sisi atraksi budaya, upacara tradisional Jembul Tulakan cukup menarik karena
melibatkan seluruh masyarakat yang merasa memiliki tradisi tersebut. Dengan
terlibatnya masyarakat secara merata membuat tradisi ini mampu terpelihara dari
waktu ke waktu dengan berbagai nuansa baru yang tetap mempertahankan
persyaratan upacara yang dianggap harus ada, baik dari segi peralatan maupun
langkah-langkah yang harus dilalui. Atraksi Jembul Tulakan ini, di samping
menarik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut juga sebagai bagian dari
aktivitas budaya penyelarasan dengan alam lingkungan, juga menjadi tontonan
budaya bagi masyarakat lain yang tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan
ini. Dengan berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat pendukung maupun yang datang
sebagai penonton, maka tradisi ini sekaligus dapat dijadikan sebagai daya tarik
wisata, minimal wisata lokal. Munculnya aktivitas budaya ini juga dibarengi
dengan aktivitas ekonomi. Setiap kali perayaan pasti mendatangkan penjual
makanan kecil maupun warung-warung suvenir dan oleh-oleh yang menjadi makanan
khas di sana. Atraksi ini mampu mendatangkan bentuk kegiatan ekonomi baru
sebagai unit usaha yang mendukung kegiatan pariwisata meskipun masih dalam
lingkup kecil atau lokal. Namun, lama-kelamaan dengan tersebarnya informasi
mengenai lokasi-lokasi wisata yang ada di Kabupaten Jepara, diharapkan atraksi
budaya Jembul Tulakan ini dapat menjadi daya tarik wisata yang bersifat
nasional. Apalagi melihat perkembangan yang ada di Jepara sekarang ini, berkaitan
dengan hadirnya para pengusaha asing untuk melakukan kegiatan ekonomi pada
industri kerajinan ukir. Biasanya para pendatang asing tersebut juga tertarik
dengan tradisi budaya yang masih terpelihara untuk lebih mudah menyesuaikan
dengan kebiasaan masyarakat. Langkah strategis yang ditempuh oleh Dinas
Pariwisata Jepara juga dapat dijadikan indikator bahwa Upacara Jembul Tulakan
memberi kontribusi pada daya tarik wisatawan, dengan cara memasukkannya sebagai
salah satu jadwal paket wisata yang dapat dikunjungi. Hal tersebut sekaligus
menjadi salah satu sumber pendapatan Pemerintah Kabupaten, baik berupa pajak
penjualan pada warung-warung dan pemasukan bagi masyarakat sendiri sebagai
penjual. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah kabupaten sendiri mempunyai kepedulian
untuk melestarikan tradisi ini. Di satu sisi sebagai salah satu sumber
pemasukan daerah, sisi lainnya memang sudah menjadi bagian sumber mata
pencaharian tambahan masyarakat sekitar objek wisata tersebut dengan menjual
makanan, jasa penitipan sepeda dan transportasi. Masyarakat secara umum merasa
bahwa pelaksanaan tradisi sedekah bumi memberikan manfaat. Pertama, sebagai
sarana bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat telah
diberi rezeki hasil panen. Ke dua, sebagai media pembelajaran bagi setiap
pemimpin desa bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik.
Mampu mengayomi dan menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan seluruh
masyarakat. Hal ini disampaikan melalui proses mengitari jambul. Seorang pemimpin
harus selalu memerhatikan kehidupan masyarakat secara umum. Ke tiga, tadisi
sedekah bumi ini merupakan sarana hiburan bagi masyarakat, berupa wayang maupun
tayub. Ke empat, pada saat dilakukan sedekah tersebut biasanya muncul
usaha-usaha sampingan penduduk baik dalam bentuk jasa maupun makanan kecil,
sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk. Ke lima, sebagai sarana untuk
mengingat perjalanan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang
sudah dapat dibuktikan kebenarannya. Terutama dalam tradisi sedekah Bumi
Tulakan ini adalah sejarah mengenai perjuangan Ratu Kalinyamat. Menurut cerita
masyarakat setempat yang selalu dituturkan melalui prosesi sedekah bumi, pada
waktu ratu bertapa yang memakan waktu cukup lama, banyak sekali rambut panjangnya
rontok. Rambut-rambut tersebut kemudian dikumpulkan dan ditanam oleh Kasturi
(sesepuh dukuh), bapaknya rukan, sehingga seolah-olah seperti makam. Ada dua
bumbung yang berhasil ditemukan, yang satu berisi rontokan rambut sedangkan
yang satunya cacatan, namun sulit dilacak keberadaannya dan hilang. Akan tetapi
masyarakat meyakini bahwa meskipun buktinya belum ditemukan, keberadaan Ratu
Kalinyamat diyakini adanya.
Peralatan dan Simbol-simbol
Dalam
pelaksanaan Sedekah Bumi Tulakan atau dikenal juga dengan Upacara Jembul
Tulakan ini, disuguhkan dua macam Jembul.
Jembul
yang besar di depan atau sering disebut Jembul Lanang, sedangkan jembul kecil
berada di belakang disebut dengan Jembul Wadon. Khusus Jembul Lanang dihiasi
dengan iratan bambu tipis sedangkan Jembul Wadon tidak. Jembul Lanang di
dalamnya terdapat bermacam-macam makanan kecil, seperti jadah (gemblong), tape
ketan, apem, dan sebagainya. Sedangkan Jembul Wadon berisi lauk-pauknya. Jumlah
jembul disesuaikan dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepala
dukuh atau dalam istilah sekarang adalah Kamituwo, antara lain :
1.
Jembul
Krajan yaitu jembul dari penduduk Dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang
sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini mempunyai ciri khas berupa
golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayid Usman, seorang Nayoko
Projo Ratu Kalinyamat.
2.
Jembul
Ngemplak merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas
perjuangannya membuka pedukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah kepala
dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai identitas Ki Leboh
dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo, seorang Nayoko Ratu
Kalinyamat.
3.
Jembul
Winong adalah penghargaan terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai
kepala dukuh dan membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh
tersebut dibuat golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang
mengawal dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari Kabupaten Jepara
sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder.
4.
Jembul
Drojo merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka
pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaannya maka dibuatlah golek yang
menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh Kalinyamat. Prosesi
dari penampilan jembul ini adalah satu per satu dengan pertunjukan tarian
tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali peristiwa pada waktu para nayoko
menghadap Ratu Kalinyamat dan dipertunjukkan tarian penghormatan dengan tayub.
Prosesi Upacara
Upacara
Jembul Tulakan ini dimulai dengan mencuci kaki petinggi atau sekaaran dikenal
dengan kepala desa dengan kembang setaman. Aktivitas ini dilakukan oleh
perangkat desa, sebagai perlambang kepada Ratu Kalinyamat. Pada masa sekarang
masyarakat lebih memaknai sebagai bentuk permohonan agar tercipta kehidupan
yang tenteram, bersih dari malapetaka dan segala kesulitan yang menimpa
penduduk. Di samping itu sekaligus untuk mengingatkan kepada petinggi agar
selalu bersih dalam segala tindakan dan langkahnya, tidak melanggar larangan-larangan
agama, larangan pemerintah, serta menerapkan asas kejujuran dan keadilan dalam
memimpin masyarakat desa Tulakan. Setelah pencucian kaki petinggi, maka
dilakukan selamatan sebagai lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
Desa Tulakan tetap selamat sentosa dan hasil bumi pada tahun mendatang melimpah
ruah sehingga kehidupan penduduk Tulakan menjadi sejahtera, cukup sandang,
pangan dan papan. Acara mengitari Jembul sebanyak tiga kali merupakan inti dari
proses Jembul Tulakan. Kegiatan mengitari Jembul dilakukan oleh petinggi
diikuti oleh ledek atau penari tayub dan para perangkat desa. Prosesi ini
dilakukan untuk menggambarkan kembali suasana pada waktu Ratu Kalinyamat
melakukan pemeriksaan terhadap para nayoko projo yang datang menghadap dia
sekaligus untuk menyerahkan hulu bekti yang dibawanya. Kesetiaan para nayoko
projo ini ditunjukkan sewaktu ratu melakukan pertapaannya. Suasana ini pada
masa sekarang lebih diartikan sebagai pengingat-ingat agar para pemimpin desa
Tulakan selalu menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada staf perangkat
desanya dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dengan pemantauan tersebut akan
tercipta keadaan desa yang aman sentosa. Di samping memantau para pembantunya,
pemimpin desa juga perlu memerhatihan rakyat yang dipimpinnya, dengan turun
langsung mengenal masyarakat secara dekat dari pedudukuhan–pedukuhan yang ada,
sehingga terciptalah kondisi desa yang tertib. Pemimpin benar-benar dapat
bertindak mengayomi dan nganyemi dalam arti melindungi dan menciptakan
ketenteraman desa yang dipimpinnya. Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul
Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan Resikan yaitu kegiatan membersihkan
tempat yang telah dipakai untuk melakukan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh
warga masyarakat Desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai
bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan dari Desa
Tulakan. Seminggu setelah dilakukan sedekah bumi Tulakan, di dukuh Pejing juga
melakukan sedekah bumi yang disebut sedekah bumi Pejing. Hal ini berkaitan
dengan cerita, bahwa pada waktu dilakukan sedekah bumi Tulakan, Mbah Cabuk
selaku ketua pedukuhan sakit sehingga tidak bisa datang. Melihat sakitnya Mbah
Cabuk, anak-anaknya serta masyarakat dukuh mengharapkan agar dukuh tersebut
diizinkan melakukan upacara jembul sendiri setelah mbah Cabuk sembuh. Harapan
ini terkabul, masyarakat di dukuh tersebut diizinkan melakukan sedekah bumi
sendiri oleh Kademangan dengan syarat dalam prosesi tersebut tidak ada jembul.
Setelah seminggu kemudian Mbah cabuk sembuh, diadakanlah upacara sedekah bumi
Pejing. Diizinkannya Pajing melakukan sedekah bumi sendiri ini, dikarenakan Ki
Barata selaku Demang dikenal seorang pemimpin yang arif bijaksana. Sehingga
untuk tetap menjaga kerukunan masyarakat di Kademangan, meskipun Pejing
melakukan sedekah bumi sendiri harus tetap mematuhi beberapa persyaratan yang
diajukan oleh Ki Barata. Syaratnya adalah sedekah bumi di Kademangan Tulakan
harus tetap didatangi oleh masyarakat Dukuh Pejing. Waktu pelaksanaan sedekah
bumi Pejing tidak boleh bersamaan dengan sedekah bumi Tulakan. Hal ini
dimaksudkan agar pada waktu dilaksanakannya sedekah bumi Tulakan, masyarakat
Pejing masih bisa mendatangi. Adapun pembagian waktunya, sedekah bumi Tulakan
dilakukan pada hari Senin Pahing maka sedekah bumi Pejing dilakukan seminggu
kemudian yaitu Senin Wage. Syarat utama lainnya adalah tidak adanya jembul
dalam rangkaian upacara, adapun keramaian yang diperbolehkannya Tayub. Berbagai
persyaratan telah disetujui oleh Mbah Cabuk dan kembalilah dia ke Pejing untuk
melakukan sedekah bumi sendiri. Tradisi Jembul Tulakan dilaksanakan setiap
bulan Apit (Dzulqo'dah) tepatnya pada hari Senin sesudah upacara pada malam
Jumat Wage di Desa Sonder, hal ini disesuaikan dengan cerita Ratu Kalinyamat di
Desa Sonder pada waktu malam Jumat Wage. Kemudian pada hari Senin Pahing para
Nayoko Projo (para pembesar negeri) menghadap Ratu dengan membawa Hulu Bekti
glondong pangareng-areng (penghormatan dengan membawa kebutuhan dan
perlengkapan sang Ratu). Perlambangan jembul-jembul yang jumlahnya empat
dimaksudkan sebagai perwakilan dukuh-dukuh yang ada pada waktu itu dan
menghadapnya para Nayoko Projo untuk mengantarkan hulu bekti. Prosesi upacara
yang menggambarkan penyembahan jembul-jembul oleh tledek (penari Tayub wanita)
mempunyai arti bahwa menurut cerita masa lalu pada waktu sang nayoko menghadap
sang ratu mendapat penghormatan dari dayang-dayang atau pendamping. Tarian
tayub sendiri sebagai bentuk penghormatan para nayoko yang diwujudkan dengan
jembul-jembul.
MENGUSULKAN MENJADI PAHLAWAN TAHAP DUA
Sementara
itu, Wakil Bupati Jepara Subroto mengatakan, usulan pengajuan Ratu Kalinyamat
sebagai pahlawan nasional dilakukan pada masa pemerintahan kabupaten Jepara.
Menurut dia, karena waktu itu gagal, pihaknya kembali mencoba mengajukan usulan
lagi ke pemerintah pusat. Menurut Subroto, saat ini kajian akademik masih
dilakukan perguruan tinggi yang diajak bekerja sama. Salah satu upaya dalam
melakukan kajian akademik adalah mengum pulkan sejumlah bukti-bukti yang
menunjukkan per-juangan Ratu Kalinyamat. “Sebelumnya kami menawarkan kerja sama
dengan Undip. Tapi mereka menyatakan tidak mampu, kemudian saya tawarkan ke
UGM. Alhamdulillah, UGM bersedia. Sampai saat ini masih dalam tahap pengkajian
akademik dengan mengumpulkan bukti-bukti, termasuk mencari bukti ke Belan da,”
ujar Subroto.
Ia
menyatakan, inisiasi awal mengajukan Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan nasional
dikeluarkan kembali sekitar tahun 2013 lalu. Pada tahun 2014 ditawarkan kerja
sama dengan Undip tapi tidak mampu, kemudian tahun 2015 dilakukan kerjasama
dengan UGM.
Sebelum
itu memang sudah pernah diajukan, di eranya Bupati Pak Hendro. Tapi gagal
karena tidak memenuhi persyaratan. Kali ini kami ingin berhasil menjadikan Ratu
Kalinyamat sebagai pahlawan nasional.
Dia
menambahkan, pengajuan secara resmi ke pemerintah pusat akan dilakukan pada
tahun 2016. Pihaknya optimistis pada pengajuan tahap kedua akan berhasil,
karena diikuti den- gan evaluasi dari pengajuan tahap pertama dan kajian
akademik yang bakal lebih lengkap.