Sureq Galigo / I LA GALIGO
(KITAB SUCI BUGIS)
Sureq
Galigo, I La Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah
epik mitos penciptaan dari peradaban Luwu Kuno di Sulawesi Selatan (sekarang
bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis oleh Colliq Pujie pada abad ke-19
dalam bentuk puisi bahasa Luwu kuno, ditulis dalam aksara Lontara kuno. Puisi
ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul
manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik
ini berkembang dalam masyarakat Bugis sebagai tradisi lisan dan masih
dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi
tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana
versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan.
Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian
yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks,
membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.
Latar
belakang dan usaha pelestarian
Epik
ini berisi cerita yang berlatar belakang kerajaan Luwu pada abad ke-15. Namun
isinya sendiri mencerminkan ciri-ciri penulisan pada abad kemudian, misalnya
dengan adanya penyebutan istilah Peringgi (Frank atau orang Eropa), yang
merupakan penyebutan orang Portugis dalam bahasa Bugis. Isinya sebagian
terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis. Epik ini mengisahkan
tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La
Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan
peristiwa-peristiwa luar biasa. Dari perbandingan hasil ekskavasi arkeologis,
laporan-laporan historis, perbandingan perlengkapan berhias dan barang-barang
lain, naskah La Galigo mencerminkan kebudayaan Bugis abad ke-19.
Versi
bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.
Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya
sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian
manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa,
terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan
di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi
pemilik lain.
Hikayat
La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah
diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara
asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak
tahun 2004.
Isi
hikayat La Galigo
Epik
ini dimulai dengan kisah penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk
kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu
musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari
alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La
Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La
Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru
ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja
di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang
wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara
Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La
Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan
bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih
mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun
meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalanannya
ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk tokoh
pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah
dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya
antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau
Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau'
dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga
dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri
dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului
oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit
hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir
dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal
dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi
raja.
Anak
lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu
yang dinobatkan di Luwu'.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai di mana kapal-kapal besar
boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan
dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah
membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah
selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti
golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau
sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading
digambarkan sebagai model mereka.
La
Galigo di Sulawesi Tengah
Nama
Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan
bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu
Luwu'.
Sawerigading
dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah
merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri,
yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil
membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang
Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah
danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan
dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila,
seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam
Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila
kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara
Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading
adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua.
Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh
anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu
menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi
daratan.
Kisah
lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam
adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau
Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka
Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo
meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja
Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di
Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus
tamadun dan inovasi.[butuh rujukan]
La
Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu
Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, di mana mengikut
lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang
menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi
kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba
dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di
Lasalimu.
Di
Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan
Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu
Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading.
Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari
Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini
mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang
menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah
anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola
Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara
nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan
nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya
Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah
Wolio (La Galigo: Setia Bonga).
La
Galigo di Gorontalo
Legenda
Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade,
putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup
berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan
melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade
mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu
Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk
menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan
kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi
memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke
Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara
kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat
juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe.
Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu,
pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya
menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe
kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
La
Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah
Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di
Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke
Malaysia. Terdapat juga unsur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada
abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh
'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini kemungkinan
adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', di mana nama
sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan ia berniat untuk menyerang Melaka, Banda
dan Manggarai.
Perhubungan
yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Gowa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya.
Dalam perjuangan ini,Gowa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo. Pada tahun
berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta'
Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar
bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor
di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis
menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki,
sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La
Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin
bajak laut oleh Belanda.
Keturunan
Opu Tenriburong memainkan peranan penting di mana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor
dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan
yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan
Muda Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor
dan juga ayanhanda dari Opu Daeng Kemboja (Yang Dipertuan Muda Riau ke-3), Opu
Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah
dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada
abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita
seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan
dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/Ratu
Syeba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang
terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu
Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'.
Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge'
kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
La
Galigo dalam seni pentas
La
Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson
setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan
sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam
bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara
tetapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita
dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan
sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel
panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun
sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah
setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk
menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya
ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen
lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang
dimainkan oleh 12 musisi. Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik
dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian
besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu
(pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang
Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
Mengenal Kitab Sastra Bugis Sureq Galigo
Indonesia
negeri seribu dongeng. Seribu legenda dan mitos yang langgeng sejak dahulu
kala. Beragam adat dan budaya. Sureq Galigo adalah salah satu harta yang
menakjubkan dari salah satu bagian tubuh Indonesia, Sulawesi.
Sureq
Galigo adalah Epos yang sangat panjang, sepanjang masa lampau yang tak mampu
dijangkau tangan. Ya, Sureq Galigo atau yang biasa dikenal dari nama sang
tokoh, La Galigo merupakan sebuah karya sastra legenda yang berisi kisah di
abad lalu. Tentang asal-muasal terciptanya bumi Sulawesi.
Konon,
La Galigo ini ialah Epos terpanjang di seluruh dunia dan melampaui sekitar
150ribu – 200ribu larik Epos asal India, Mahabharata. Betapa panjang membentang
Kitab Sastra rakyat Sulawesi, khususnya suku Bugis ini hingga mencapai 300 ribu
larik puisi dalam bahasa Bugis Kuno. Membayangkan bagaimana tebal dan tuanya,
redup dan harum kertasnya, dan corak tinta berabad-abad lalu yang membentuk
huruf Lontara Kuno, pasti membuat penasaran sekaligus takjub dalam sekali tatap
saja.
Struktur
Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat kosmologi
yang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua yang
menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan
sosial Bugis. Mengutip dari Tempo yang didokumentasi oleh Yusi Avianto
Pareanom, Fachruddin Ambo Enre, guru besar sastra di Universitas Negeri
Makassar, mengatakan bagian penciptaan manusia pertama alias nenek moyang
raja-raja Bugis dianggap sakral. Naskah ini tidak boleh dibaca sembarangan.
Bahkan judul sureq ini sengaja menggunakan nama Galigo, bukannya Sawerigading
(Ayahanda Galigo). Ia mengatakan, alasan tak menggunakan nama Sawerigading
sebagai judul karena nama itu tak boleh diucapkan sembarangan, apalagi oleh
awam.
Adalah
Colliq Pujié Arung Pancana Toa, perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah
Galigo untuk peneliti Belanda Dr. B.F. Mathhes pada 1852 dan menyalin sureq itu
hingga menjadi 12 naskah La Galigo. Sekelumit kisah awal penciptaan manusia
mulai sedikit terbuka olehnya. Bangsawan Bugis itu memulai kisah dengan adegan
perundingan para dewa untuk menurunkan Batara Guru sebagai cikal bakal manusia
di bumi. Tentu, kisah di sureq ini berbeda dengan Adam dan Hawa yang juga
dipercaya sebagai manusia pertama di muka bumi.
Lekatnya
sureq La Galigo ini dengan tradisi kebudayaan Bugis juga terasa kental sekali.
Ini dapat dilihat dari salah satu naskah di dalamnya, yaitu Mula rilingé
Sangiang Serrà (Mulai Diciptakannya Sangiang SerrÃ). Naskah ini bercerita
tentang Wé Oddang Nriwú, anak bungsu pasangan Dewa Langit Datu Patotoe dan Datu
Palinge. Wé Oddang, adik Batara Guru, dikisahkan memiliki kecantikan yang
sanggup membuat para lelaki yang melihatnya gila. Agar tidak menimbulkan
malapetaka di mana-mana, Wé Oddang akhirnya diubah bentuknya menjadi tanaman
padi dengan nama baru Sangiang SerrÃ. Dengan begini, ia tetap dicintai banyak
orang dan sekaligus tak mengundang marabahaya. Cerita Sangiang Serrà inilah yang
melahirkan tradisi upacara persembahan para petani sebelum memulai musim tanam.
Bagian
utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara
Guru ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok
ini nyata. Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa
dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di
Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa
Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan
Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib.
Sedangkan I La Galigo adalah nama seorang lelaki Bugis yang lahir dari ibu
beretnis Tionghoa, I We Cudai, dan ayahnya bernama Sawerigading. Inilah sepercik kisah yang tercermin dalam La
Galigo. Bahkan, terlampau panjangnya
Epos ini, lembaga dunia sebesar UNESCO pun telah mengakui bahwa La Galigo
adalah naskah terpanjang di dunia, atau “Memory Of The World”.
I La Galigo, Karya Sastra Terpanjang di Dunia dari Bugis
Beberapa
waktu lalu ramai diperbincangkan pertunjukan teater I La Galigo yang akhirnya
kembali ke Indonesia. Pertunjukkan tersebut disutradarai oleh Robert Wilson,
sudah menjelajahi 9 negara dan akhirnya kembali ke Indonesia.
I
La Galigo merupakan kitab kuno asli Indonesia lebih tepatnya dari Bugis. Namun,
berdasarkan laporan dari narasi.tv, naskah asli dari I La Galigo ini sudah ada
di Belanda ketika akan dibawa bersamaan pementasan di Amsterdam.
Masyarakat
Bugis memiliki kekayaan warisan budaya berbentuk karya sastra yang bahkan
kabarnya terpanjang di dunia, mengalahkan epik Mahabrata dan Ramayana dari
India, dan Homerus epik dari Yunani.
Karya
sastra tersebut berasal dari tradisi lisan masyarakat Bugis kemudian akhirnya
dituliskan pada paruh pertama abad ke-19.
Memiliki
nama lain yakni Sureq Galigo, kitab ini sering dianggap sebagai kitab suci bagi
warga yang menganut agama lokal. Agama lokal Bugis adalah kepercayaan Tolotang.
Warisan
tebal tersebut berupa puisi dan berisi mitos mengenai penciptaan dari peradaban
Bugis. Walaupun mitos, tetapi cerita di dalamnya diyakini benar-benar terjadi.
Karya
sastra itu memiliki sekitar 6.000 halaman dan 300 ribu baris teks. Menggunakan
aksara Lontara, yakni aksara asli Bugis, yang sering juga disebut ‘ukiq
sulappaq eppaq atau huruf segi empat dan dikabarkan sebagai turunan dari aksara
Pallawa.
Pembacaan I La Galigo dilakukan dengan menyanyikannya. Sebutan untuk nyanyian tersebut dalam Bahasa Bugis adalah laoang atau selleang dan lazimnya dilakukan dalam sebuah upacara adat.
Kitab
I La Galigo yang diposisikan sebagai kitab suci oleh kepercayaan Tolotang
memiliki ritual untuk membacanya. Penganut kepercayaan Tolotang akan
menyediakan persembahan seperti sesaji, pemotongan ayam atau kambing dan dupa.
Pembacaan kisah-kisah dalam kitab I La Galigo disebut sebagai sinonim berdoa
dan menjadi obat segala penyakit dan sebagai tolak bala.
Untuk
mengantisipasi hilangnya warisan budaya dan tidak dikenalnya warisan budaya
dari Bugis itu, akhirnya Indonesa dan Belanda mendaftarkan La Galigo sebagai
World Heritage di UNESCO.
Hasil
dari kolaborasinya pada 2011 ditetapkan La Galigo sebagai Memory of the World.
Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda juga telah melakukan digitalisasi naskah I La
Galigo. Naskah tersebut dapat diunduh untuk bahan ajar dan penelitian.
Versi
digital I La Galigo menjadi koleksi yang tersimpan sejak 1905 di perpustakaan
Universitas Leiden. Tidak hanya disimpan di Belanda, naskah I La Galigo juga
disimpan di Indonesia.
Mari
sedikit menyimak kisah I La Galigo
Kisahnya
bermula ketika Patotoqe atau Sang Pencipta di Bating Langit atau kerajaan
langit menurunkan puteranya La Togeq Langiq yang bergelar Batara Guru setelah
turun ke bumi.
Seluruh
alam menyambutnya dengan memberi semangat kepada Batara Guru sebagai ucapan
perpisahan kepada kerajaan langit dan selamat datang ke dunia manusia.
Meluncur
dengan bambu di atas bumi atas nama Sabda Dewata, di dalam bambu tersebut ia
diusung oleh kilat yang sambung menyambung. Angina tertiup kencang membantunya
mengayun turun, awan berjejer, Guntur menggelegar dan pelangi berdiri tegak.
Peristiwa
di atas berlaku juga ketika We Nyiliq Timoq. Putri Guru Si Selleng (Dewa bawah
laut) dan Sinauq Toja, calon istri dan bersepupu dengan La Togeq Langiq, akan
dimunculkan di kerajaan Buri Liu (kerjaaan bawah laut). Ia diusung di atas busa
air, ombak bergemuruh, dinaungi awan, serta Angina dan Guntur ikut menggelegar.
Alam menyambutnya.
Sejak
saat itulah menurut kepercayaan setempat, kehidupan manusia berlangsung di
dunia tengah, Ale Kawaq atau batang tubuh dunia. Kemudian cerita-cerita lainnya
terus berlanjut termasuk cerita Sawerigading.
Tradisi
lisan dari Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dibahas lebih menarik
lagi jika ditulis dan menjadi manuskrip tebal seperti I La Galigo.
Yakin
sekali bahwa masih banyak warisan budaya Indonesia yang menarik untuk
diketahui. Pertunjukan seni teater I La Galigo menjadi satu sarana untuk
mengenalkan budaya Indonesia.
SEJARAH
LA GALIGO
La
Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman. Epos yang
panjangnya melebihi Mahabharata ini berisi kisah di abad lalu, yang sempat
menjadi kepercayaan di antara masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sayangnya,
gerakan pemurnian ajaran agama, prasangka dan pula modernisasi telah bersekutu
menggempur “kesaktian” warisan budaya ini. Akibatnya, karya sastra ini kini
hanya dikenal di kalangan akademisi. Padahal, La Galigo memiliki kekuatan yang
mengejutkan. Sebuah hajat besar bulan Maret lalu digelar di Kabupaten Barru
untuk menghidupkan kembali roh Sureq Galigo.
Pada
abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik itu
konon sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium bumi. Sungguh tua, sungguh
panjang usia kisah yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan suku Bugis ini.
Inilah epos yang konon terpanjang di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk
ketimbang
epos
agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad dan
Odyssey yang “hanya” terdiri dari 16 ribu baris. Karena itulah, bulan Maret
silam, puluhan peneliti dan pakar internasional bertemu di Barru, Sulawesi
Selatan, untuk mendiskusikan karya sastra mahapanjang yang istimewa ini.
Di
Barru, tempat waktu berjalan merayap, Sureq Galigo diperkenalkan kembali pada
publik. Istilah pengenalan kembali memang ironis. Sureq Galigo yang usianya
sudah berabad-abad itu di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Namun, fakta di
lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan.
Maka,
selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah wajah. Desa yang
terletak di pinggir pantai Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, yang biasa
disiram aroma amis ikan laut, pada Maret silam dikunjungi ribuan orang dari
berbagai kawasan yang memenuhi lorong-lorong kampung. Jalan masuk yang membelah
tambak di desa itu malah macet gara-gara banyaknya mobil yang parkir. Hiburan
macam ini memang jarang ditemui.
Tapi
tidak semuanya senang dengan hiruk-pikuk ini. Hajjah Siti Ara, 42 tahun,
pedagang obat di Pasar Sentral Barru, terang-terangan mengaku kecewa. Ia datang
ke festival dengan harapan bisa menyimak Masureq, pembacaan La Galigo atau
Sureq Galigo (penamaan ini untuk membedakan dengan nama tokoh I La Galigo) yang
khidmat da menghanyutkan. Harapannya meleset karena situasi festival mirip
pasar malam yang sesak dengan pedagang. Siti, yang semasa sekolah menengah
pernah main drama dengan tema La Galigo, juga menyesalkan banyaknya atraksi
kesenian yang tak ada hubungan dengan tema festival.
Jadi,
apa sesungguhnya yang membuat La Galigo begitu istimewa? Dan, bagaimana karya
itu bisa sedemikian panjang? Ia membentangkan dongeng tentang tujuh generasi.
Ini berbeda dengan cerita rakyat dari daerah lain di Indonesia, yang umumnya
berbentuk banjaran (kisah satu tokoh dari lahir sampai meninggal). Cerita
kolosal ini juga terlihat dengan 1.000 tokoh penting yang menghuni
episode-episodenya. Christian Pelras, ilmuwan asal Prancis, sempat membuat 672
kartu nama tokoh-tokoh Sureq Galigo.
Tentu,
bukan ini saja yang menjadikan Galigo unik. Campbell Macknight, guru besar
emeritus antropologi di Universitas Nasional Australia di Canberra, menyebut
Galigo adalah pencapaian kultural yang signifikan. Faktanya, materi teks Galigo
paling banyak dielaborasi dalam pelbagai versi dalam bahasa Bugis.
La
Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama
dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan
Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat
Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo
yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru
lagu dan guru wilangan), dan alur. Misalnya, satu bait pasti terdiri dari lima
baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La
Galigo, I We Cudaiq, dan seterusnya.
Galigo
diperkirakan lahir pada abad-abad awal Masehi. Sampai abad ke-15, penyebarannya
masih lisan, dengan bahasa yang masuk rumpun Austronesia (yang digunakan hingga
Kepulauan Fiji). Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial
yang digunakan etnik-etnik Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga
baru dimulai pada abad ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah
mengembara ke negara-negara jauh, terutama Belanda. Yang masuk sampai ke
perpustakaan negara Amerika Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah
buah tangan Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal
di Singapura.
Struktur
Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat
kosmologiyang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua
yang menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan
sosial Bugis. Menurut Fachruddin Ambo Enre, guru besar sastra di Universitas
Negeri Makassar, bagian yang menceritakan manusia pertama alias nenek moyang
raja-raja Bugis, terutama orang Luwu, dianggap sakral. Naskah ini tidak boleh
dibaca sembarangan. Bahkan judul sureq ini sengaja menggunakan nama Galigo,
bukannya Sawerigading. Padahal Sawerigading adalah peran utama. Namun, alasan
tak menggunakan nama Sawerigading sebagai judul karena nama itu tak boleh
diucapkan sembarangan.
Bagian
penciptaan alam semesta malah didudukkan lebih wingit lagi sehingga betul-betul
dirahasiakan untuk kalangan terbatas. Tak semua bangsawan Bugis yang masih
menyimpan naskah periode ini sudi membagi pengetahuannya pada orang lain.
Colliq Pujié Arung Pancana Toa, perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah
Galigo untuk peneliti Belanda Dr. B.F. Mathhes pada 1852, misalnya, memulai
penulisan lontaraq dengan adegan musyawarah para dewa untuk menurunkan Batara
Guru sebagai cikal bakal manusia di bumi.
Alhasil,
siklus kisah Galigo sebelum manusia lahir–yang dianggap sebagai periode
“keramat”–masih diketahui sekelumit belaka. Salah satunya adalah naskah Mula
rilingé Sangiang Serrà (Mulai Diciptakannya Sangiang SerrÃ). Naskah ini
diperoleh Christian Pelras, peneliti dari Prancis, dari seorang bangsawan
Bugis. Naskah ini bercerita tentang Wé Oddang Nriwú, anak bungsu pasangan Dewa
Langit Datu Patotoe dan Datu Palinge. Wé Oddang, adik Batara Guru, dikisahkan
memiliki kecantikan yang sanggup membuat para lelaki yang melihatnya gila
(kecantikan perempuan macam ini sepertinya mirip Remedios The Beauty, tokoh
dalam novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez). Agar
tidak menimbulkan malapetaka di mana-mana, Wé Oddang akhirnya diubah bentuknya
menjadi tanaman padi dengan nama baru Sangiang SerrÃ. Dengan begini, ia tetap
dicintai banyak orang dan sekaligus tak mengundang marabahaya. Cerita Sangiang
Serrà inilah yang melahirkan tradisi upacara persembahan para petani sebelum
memulai musim tanam.
Bagian
utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara
Guru ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok
ini nyata. Artinya, Galigo diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk periode
zaman tembaga-besi akhir (prasejarah). Bisakah? Ian Caldwell, dosen sejarah di
Universitas Hull, Inggris, yang melakukan penelitian arkeologis sealama tiga
tahun di Luwu dan sekitarnya, menampiknya. Alasannya, anakronisme (penempatan
kejadian pada waktu yang salah) yang bertaburan di dalam naskah La Galigo.
Misalnya, gambaran Kerajaan Luwu dan Cina raja adalah cerminan keadaan politik
dan demografis pada abad ke-15 sampai 17. Padahal, dari pemakaian bahasa Galigo
yang arkaik (tidak lazim dipakai), terlihat bahwa Galigo lahir pada masa yang
jauh lebih kuno.
Kisah
pengembaraan Sawerigading dengan kapal La Welérénngé ke pelbagai negeri jauh,
bila dilihat dengan kacamata ilmu pelayaran yang sebenarnya, terlihat ganjil.
Waktu tempuh untuk daerah yang secara geografis sangat dekat bisa memakan waktu
berbulan-bulan, sedangkan untuk daerah yang lebih jauh malah ditempuh dengan
waktu singkat saja. Karena itu, Horst H. Liebner, ilmuwan asal Jerman yang
bertahun-tahun mempelajari seluk-beluk perahu tradisional Sulawesi Selatan,
menilai bahwa perjalanan Sawerigading adalah perjalanan mimpi. Alhasil,
toponomi sebagian Nusantara menurut Galigo—dengan Luwu sebagai “pusat
dunia”–menurut Liebner tak lebih dari upaya mengagung-agungkan kejayaan Bugis
tanpa melihat kenyataan dunia riil. “Kaum ningrat Bugis masa itu ingin
dielu-elukan sebagai penguasa jagat raya,” kata Liebner.
Menilik
bertaburnya “kesembronoan” data tersebut, diduga perawi Galigo adalah para
perempuan bangsawan Bugis yang tak akrab dengan dunia pelayaran ataupun
geografi. Indikasi yang menunjukkan identitas pengarang adalah penggambaran
pernik upacara serta aktivitas bissu yang demikian detail. Hal ini lebih banyak
diketahui golongan wanita ningrat.
Genangan
fantasi dalam Galigo memang jadi mencemaskan bila naskah tersebut dipakai
sebagai rujukan sejarah. Di sisi lain, hal ini dinilai Nirwan Ahmad Arsuka,
kurator Bentara Budaya, justru menunjukkan kekuatan sastra Galigo. Ia memuji
daya imajinasi para pengarangnya. Namun yang paling memikat hati Nirwan dari
Galigo adalah petingkah tokoh-tokoh utamanya. Ia menilai Galigo berlari jauh
melampau zamannya. “Penggambaran yang begitu transparan sangat dekat dengan
kecenderungan sastra mutakhir dunia yang sudah melampaui romantisme dan siap
berdamai dengan sosok-sosok anti-hero,” kata Nirwan yang berdarah Bugis ini.
Uraian
kecerdasan para perawi Galigo bisa lebih panjang lagi dituliskan. Namun hal ini
tak akan bisa menutupi fakta bahwa sureq ini kini kian pudar pesonanya. Banyak
faktor yang membuat Galigo surut. Gempuran awal pada Galigo dimulai ketika
Islam masuk ke Sulawesi pada abad ke-14. Awalnya, masih terjadi sinkretisme
yang memberi ruang hidup ajaran Galigo. Misalnya, para dewata dalam epos ini
digolongkan kelompok jin yang baik, sementara Sangiang Serrà tidak lagi disebut
dewi padi tapi jiwa padi. Namun, sejak akhir abad ke-18, di Sulawesi Selatan
mulai berkembang ajaran yang menginginkan ajaran agama Islam dilaksanakan
secara murni. Puncaknya adalah periode 1950-1965, masa ketika Darul Islam
memberontak. Bissu, sebagai salah satu pewaris utama ajaran Galigo, menjadi
korban yang paling mengenaskan. Bissu yang tersisa juga tak bisa berkiprah
lebih banyak karena pamor bangsawan Bugis yang jadi pengayom mereka juga ikut
redup. Faktor lain yang menenggelamkan kesaktian Galigo adalah modernisasi. Epos
yang dulu memiliki fungsi menghibur jadi tak laku bila dibandingkan dengan
acara televisi. Para petani pun lebih percaya pada pupuk dan benih unggul
ketimbang memberi sesajian pada Sangiang SerrÃ.
Namun
Fachruddin melihat nasib buruk ini tidak dialami Galigo saja, tetapi juga karya
sastra tradisional lainnya di Sulawesi Selatan. Ia melihat generasi yang lebih
muda tak tertarik karena orang tua mereka sudah tak menaruh perhatian.
Perkecualian tentu ada. Maqbul Halim, 29 tahun, penggiat sebuah lembaga swadaya
masyarakat di bidang media massa yang tinggal di Makassar, mengaku masih
membaca La Galigo. “Sewaktu kecil, di kampung saya di Wajo, dari orang tua dan
kakek-nenek saya, saya sering mendengar penggalan cerita tentang kehidupan
jawara atau jagoan bangsawan Bugis yang ternyata adalah bagian dari Galigo.”
Pemuda ini terlihat fasih berbicara tentang naskah ini. Tapi orang seperti
Maqbul sangat sedikit.
Upaya
untuk mengembalikan Galigo pada publiknya sebetulnya sudah dimulai cukup lama
oleh kalangan akademisi. Namun jalannya sampai saat ini masih tersaruk.
Fachruddin mencontohkan beratnya langkah penerbitan 12 jilid naskah Galigo
(yang pekerjaan transliterasi dan penerjemahannya dalam bahasa Indonesia sudah
dirampungkan Muhammad Salim dalam kurun waktu 5 tahun 3 bulan). “Yang siap
memberikan suntikan dana justru pemerintah Belanda, ironis, padahal untuk dua
jilid hanya butuh sekitar Rp 100 juta,” kata Fachruddin.
Dalam
seminar di Barru, banyak usul untuk menghidupkan kembali La Galigo secara
populer: pembuatan sinetron, komik, ataupun penulisan ulang dalam bentuk novel.
Yang sudah dimulai–sekalipun baru tahap praproduksi–adalah pembuatan film La
Galigo. Penggagasnya adalah koreografer dan penari Restu Iman Sari dan
sutradara pemenang Emmy Award asal Amerika Serikat, Rhoda Grauer. Awalnya, duet
ini berniat membuat film dokumenter tentang perahu tradisional Bugis. Ternyata
mereka malah “tersesat’ membikin film tentang bissu. Dari produksi ini, mereka
mengenal epos Galigo dan tak punya pilihan lain kecuali terpikat. “Sulit
dipercaya ada hal sepenting Galigo di bumi ini yang tidak dikenal secara
global,” kata Grauer.
Pertanda
baik dari kerja Restu dan Grauer–yang kini senang dipanggil dengan nama
Makkarodda (seperti salah satu tokoh dalam Galigo)– adalah kesediaan Robert
Wilson menjadi sutradara pementasan La Galigo. Wilson adalah sutradara panggung
yang sangat terkemuka di Amerika. Salah satu kerjanya yang paling kondang
adalah Einstein on the Beach (1976), yang disebut-sebut sebagai pendekatan yang
sepenuhnya baru untuk teater musikal. Film yang dijadwalkan kelar tahun 2004
kelak diharapkan bisa membuka mata banyak pihak. Sesungguhnya, keindahan La
Galigo memang bukan cuma warisan untuk suku Bugis.
La
Bolong Kuruq sumangeq anriq ponratuLe muaseng gi belo jajareng maroeqePalaguna
le goarieTekkuturusi rajung-rajummuPesewalimmu mutia simpeng masagalaeAla rini
le upatudang mulu jajareng ri laimmuTenna io mi anriq ponratuMulu jajareng ri
sao denra manurungngeSining anukku, anummu maneng anriMugiling paleppangiaq
rupa mabboja
Arti
dalam IndonesiaKur semangat adindaTahukah engkau duhai hiasan balairungku yang
ramaiBulan purnama penghias bilikkuKupenuhi seluruh keinginannmuTak ada lain
yang duduk di balairungku selain engkauEngkaulah satu-satunya
andindaPermaisuriku di istana agung manurungSegala milikki milikmu jua
adindaBerpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Andhini
Prabawati Pertama kali kami mendengar epos La Galigo karena ada seseorang yang
menyarankan untuk menampilkan epos tersebut pada pementasan budaya nusantara di
Politeknik Telkom untuk pertama kalinya. Jujur saja, pada awalnya kami sendiri
pun tidak tahu menahu tentang epos tersebut. Setelah mencari tahu, kami pun
menemukan kenyataan bahwa memang epos tersebut tidak terlalu dikenal di
negaranya sendiri, Indonesia. Epos tersebut justru lebih terkenal di luar
negeri! Ironis, ya! Namun, kami rasa belum terlambat. Daripada tidak sama
sekali, maka kami pun memutuskan untuk menuliskan sedikit mengenai sejarah epos
La Galigo melalui sumber-sumber yang kami dapatkan. Dengar-dengar epos La
Galigo pun sedang diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai Memory of
The World (MOW) atau ingatan kolektif manusia berupa warisan dokumenter yang
secara sah dapat menjadi bukti sejarah manusia. Semoga saja terlaksana. Dan
semoga saja melalui ini bisa membuat para pembaca semua mengetahui (walaupun
sedikit) mengenai epos La Galigo.
Sebagian kecil naskah La Galigo
Sejarah
La Galigo Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan
karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah hasil karya
sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian
berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan
tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama
La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang Sawerigading,
seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo sebenarnya tidak
tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos-mitos.
Namun, epos La Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai
kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. La Galigo telah dipentaskan di beberapa
negara Eropa. Pada tahun 2004, La Galigo dipentaskan di Belanda, Perancis, dan
Amerika. Pementasan tersebut mendapatkan respon yang sangat positif dari
berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, koran The New York Times yang biasanya
sangat kritis memberikan komentar yang positif. Pementasan La Galigo tersebut
terlaksana di bawah bimbingan Robert Wilson, yang sayangnya seorang seniman
teater dari Amerika Serikat dan bukan dari negeri sendiri. Sehingga pada
akhirnya cerita diadaptasi dan merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan
dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makassar. Informasi mengenai salinan
naskah-naskah La Galigo sebagian besar terdapat di perpustakaan Leiden,
Belanda. Naskah lainnya juga terdapat di Jakarta, yakni di perpustakaan
Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang
memiliki 15 buah naskah Bugis. Kandungan La Galigo Epos bermula dengan
penciptaan dunia. Ketika dunia masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan),
raja langit, La Patiganna, mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan
termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib. Musyawarah tersebut
menghasilkan keputusan berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang tertua,
La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru.
Sebelum turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam.
Tidak lama sesudah ujian tersebut, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di
Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk
Bone. Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya We Nyili’timo’, anak
dari Guru ri Selleng, raja alam gaib. Batara Guru kemudian digantikan oleh
anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. La Tiuleng sendiri lalu
mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe atau Sawerigading dan seorang
anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar tersebut tidak
dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat Sawerigading ingin menikahi We
Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia
mengetahui hal tersebut, ia lantas meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan
kembali lagi. Sawerigading lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan
Tiongkok. Selama perjalanan ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk
pemerintah Jawa Wolio yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas
menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai. Sawerigading sendiri digambarkan
sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam
tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa),
Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra
Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka. Ia
pun dikisahkan pernah mengunjungi surga dan alam gaib. Sawerigading sendiri
dikisahkan merupakan ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar Datunna
Kelling. La Galigo juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau,
dan pahlawan yang hebat. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari
berbagai negara. Namun, seperti ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah
menjadi raja. Anak lelaki La Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang
dikisahkan terakhir dinobatkan menjadi raja di Luwu’.
Isi
epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai,
tempat kapal-kapal besar boleh berlabuh. Pusat pemerintahan pun yang terdiri
dari istana dan rumah-rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai.
Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai
tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang asing disambut baik di kerajaan Bugis. Para pedagang tersebut baru
boleh berniaga setelah membayar cukai kepada pemerintah. Perniagaan ketika itu
menggunakan sistem barter. Ketika itu, laut menjadi media yang sangat penting
untuk saling berhubungan antar kerajaan. Golongan muda bangsawan di Bugis
ketika itu pun dianjurkan untuk merantau sejauh mungkin sebelum mereka diberi
tanggung jawab yang besar.
Latar
belakang dan usaha pelestarian
Ada
dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik
Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis
dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang
pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La
Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan
peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan
gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi
bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.
Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya
sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian
manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa,
terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde
Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan
di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi
pemilik lain.
Hikayat
La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah
diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo olehRobert Wilson, sutradara
asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak
tahun 2004.
Isi
hikayat La Galigo
Epik
ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada
Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah
keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib
dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’
langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’
langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri
Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di
bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang
wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara
Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La
Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan
bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading
ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai
hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan
Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan
Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio
yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok,
yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga
Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah),
Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan
Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut
Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya
selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian,
orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir
dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal
dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi
raja.
Anak
lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu
yang dinobatkan di Luwu’.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar
boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan
dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar
cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu
berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui
jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh
yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan
sebagai model mereka.
La
Galigo di Sulawesi Tengah
Nama
Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan
bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu
Luwu’.
Sawerigading
dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah
merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri,
yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil
membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang
Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah
danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).
Berdekatan
dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila,
seorang ratu Makubakulu mengajakSawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam
Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga
Manilakemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya
tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwaBunga Manila dan
Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka
berdua. Betapapun juga, Bunga Manilamasih menaruh dendam dan karena itu ia
menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing
itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi
menjadi daratan.
Kisah
lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam
adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau
Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka
Cimpolo. Ayam I La Galigokalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo
meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja
Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di
Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus
tamadun dan inova
La
Galigo di Sulawesi Tenggara (Sebagian kecil naskah La Galigo)
Ratu
Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari
buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu
Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu
Sawerigading sering ke Woliomelawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang
digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di
Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah
keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna
yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan
Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama
berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe.
Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo,
yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah
anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola
Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara
nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan
nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya
Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah
Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
La
Galigo di Gorontalo
Legenda
Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade,
putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup
berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan
melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade
mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu
Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk
menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan
kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkerissementara Hulontalangi
memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke
Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara
kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat
juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe.
Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu,
pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya
menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe
kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
La
Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah
Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di
Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugisyang bermigrasi ke
Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada
abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh
‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan
adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama
sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka,
Banda dan Manggarai.
Perhubungan
yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya.
Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun
berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’
Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan
Makassarbermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di
Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang
Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari
Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716,
adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar
sebagai pemimpin bajak laut olehBelanda.
Keturunan
Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor
dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan
yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan
Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah danSelangor dan
juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng
Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan
Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada
abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita
seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan
dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri
Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari
langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti
Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan
menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun
demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama
dengan tokoh di dalam La Galigo.
La
Galigo dalam seni pentas (Sebagian kecil naskah La Galigo)
La
Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson
setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan
sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam
bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara
tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita
dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan
sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel
panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun
sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah
setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk
menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya
ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesitradisional aslinya, dan instrumen
lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang
dimainkan oleh 12 musisi. [4]Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53
pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan
sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional
bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis,
Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
Mengkaji Kitab Lagaligo
LAGALIGO
ialah putera Sawerigading dengan perkawinannya dengan WECUDAI. Sawerigading
yang menurut Legenda dikisahkan sebagai berasal dari Kayangan (TOMANURUNG
putera Batara Guru) menurut istilah Bugis. Yang kemudian menjadi asal usul
secara turun-temurun raja-raja Luwu di Sulawesi Selatan.
Semasa
hidupnya LAGALIGO terkenal sebagai pujangga yang tak ada bandingannya di
kawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk
membuktikan asli tidaknya ialah huruf H
tidak ada pada buku asli LAGALIGO tersebut. Apabila ada huruf H
jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid. Tidak ada huruf H
didalamnya. Buku Lagaligo ini tidak ada lagi di Sulawesi Selatan (?).
Jelas diangkat Pemerintah Belanda ke negerinya seperti halnya buku-buku Lontara
lainnya. Yang ada di sini tinggal keeping-keping cerita yang dikisahkan
turun-temurun, oleh manusia seseorang ke manusia yang lainnya. Atau merupakan
fragmenta-fragmenta tentang Lagaligo yang ditulis dalam aksara Bugis-Makassar
(Lontara). Dengan versi-versi penulisnya(yang mengyutipnya). Asal Mula Aksara
LONTARA.
La Galigo adalah karya sastra terpanjang dan
terbesar di dunia yang setara dengan kitab Mahabharata dan Ramayana dari India
serta sajak-sajak Homerus dari Yunani,
ungkap R.A, Kern. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan
Belanda, Sirtjof Koolhof, menyebutnya sebagai karya sastra terpanjang di dunia,
terdiri dari 300.000 baris, mengalahkan Mahabharata dan yang lainnya.
Nah,
novel di tangan Anda ini adalah pemiksian yang sangat menarik dari karya
legendaris tersebut.
Diceritakan
bahwa dahulu kala, Kerajaan Bumi hanyalah tanah kosong yang benar-benar tak
berpenghuni. Lalu, Sang Dewata (Sang Pototoqe) segera memutuskan bahwa kerajaan
tersebut tidak bisa dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan
untuk menyuburkannya dan tentu saja menyembah-Nya!
Maka,
dipilihlah sang putra sulung-Nya untuk menjadi manusia pertama yang menghuni
bumi. Dialah yang kemudian menjelma Batara Guru.
Tidaklah
mudah menjadi penguasa di Bumi, meski sang manusia titisan Dewata tersebut bisa
saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya. Tapi, Sang Dewata
mengharuskannya untuk berusaha sebelum pasrah. Di sinilah, ujian-ujian
kehidupan mulai menerpanya. Dia dipaksa untuk melewati berbagai rintangan
hingga sampailah dia pada titik di mana Sang Dewata mengizinkan Batara Guru
memiliki pendamping hidup.
Lantas,
bagaimana kehidupannya kemudian? Tentu saja sepak terjang hebat
keturunan-keturunannya semisal Sawerigading bakal mewarnai dengan sangat
menghibur karya besar ini. Bahkan, petualangan cucu Batara Guru inilah yang
nantinya sering menjadi sorotan istimewa dari para penikmat La Galigo. Selamat
membaca!
Adinda,
tidak usah khawatir bila anak kita kelak menjelma manusia lalu mengalami cobaan
hidup di Bumi. Karena, memang sudah menjadi hukum Bumi bahwa sesungguhnya hidup
adalah cobaan. Bukanlah manusia namanya bila tidak dicoba. Juga, bukanlah
manusia bila tidak tahan menghadapi cobaan,
ucap Sang Patotoqe meyakinkan istrinya.
Selama
ini naskah-naskah tua berupa manuskrip kuno yang tersebar di museum-museum
Eropa masih kurang dipublikasikan. Naskah atau manuskrip yang berasal dari
Indonesia yang jelas adalah milik Indonesiai menjadi daya tarik utama dan
menjadi andalan bagi museum-museum yang ada di Eropa yang memilikinya. Sehingga
banyak hasil-hasil penelitian dan membuahkan tulisan baik artikel atau buku
yang berkenaan dengan sejarah-sejarah di Indonesia banyak bersumber dari manuskrip yang berasal
dari Indonesia yang menjadi keloksi di berbagi museum di Eropa. Diantara
negara-negara Eropa mungkin saat ini Belanda adalah negara yang memiliki
beberapa museum dengan koleksi manuskrip berasal dari Indonesia.
Diantara
ribuan lembar koleksi manuskrip yang ada di beberapa museum Belanda, yang
paling menarik perhatian adalah manuskrip kuno kitab epos I La Galigo yang
berasal dari masyarakat Sulawesi Selatan. Naskah ini sekarang merupakan bagian
dari koleksi naskah-naskah Indonesia dari the Netherlands Bible Society, yang
diberikan hak permanen ke Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde
Leiden Perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda.
Manuskrip ini masih tersimpan rapi seperti dan menjadi salah satu naskah tua
yang paling dijaga dan sangat berharga.
Sekelumit
mengenai Kitab Epos I La Galigo bagi masyarakat Sulawesi Selatan merupakan epos
yang menceritakan asal usul peradaban masyarakat Sulawesi umumnya dan khususnya
Sulawesi bagian Selatan. Epos berkaitan dengan berbagai etnis yang ada di
daratan Sulawesi sehingga masih dapat ditemukan di tengah lapisan masyarakat di
Sulawesi khususnya di propinsi Sulawesi Selatan mensakralkan epos ini dan ada
pula menganggap ini merupakan kitab suci selain itu ada pula menganggap epos
ini hanya sebuah karya sastra karena isinya hanya mitos. Namun terpenting kisah
I La Galigo bisa di temui di hampir seluruh jazirah Sulawesi namun kisah ini
lebih banyak ditemukan di bagian Selatan pulau Sulawesi Selatan khususnya di
masyarakat etnis Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja., dalam hal ini epos I La
Galigo memberikan gambaran keterkaitan bahwa etnis yang ada memiliki hubungan
kuat dengan keterkaitan memiliki satu leluhur yang sama. Inilah membuat I La
Galigo bukan milik etnis tertentu di Sulawesi melainkan milik semua dan untuk
saat ini adalah milik masyarakat Indonesia.
Perjalanan
kitab ini sungguh panjang hingga menjadi salah satu koleksi perpustakaan
Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I
La Galigo di tulis ulang seorang wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama
Collie Puji Arung Pancana Toa yang merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang
sekarang masuk wilayah Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi
Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji menulis ulang adalah hasil dorongan
seorang misionaris dan juga seorang peneliti Antropolog asal Belanda yakni
Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan misionarisnya di sertai penelitiannya B.F
Mathees berupaya mengumpulkan lagi lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo
yang tersebar di kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Manuskrip
Epos I La Galigo memiliki 300.000 baris teks serta diperkirakan masih ada
ratusan hingga ribuan lembar masih tersebar di tengah masyarakat selain itu
telah banyak mengalami kerusakan atau hilang, namun untuk melihat secara dekat
epos ini masih bisa dijumpai beberapa lembar di Museum La Galigo Makassar.
Saat
ini Epos I La Galigo menjadi salah satu Epic terpanjang di Dunia yang dapat
disejajarkan dengan epos terpanjang dunia lainnya seperti Epos Mahabarata dan
Ramayana dari India, Shahmane peninggalan persia (Iran), dan epos peradaban
Yunani. Hal inilah membuat La Galigo diadaptasi ke dalam seni pentas yang di
sutradarai oleh Robert Wilson sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Pementasan
I La galigo menjadi pertunjukkan opera di mulai pada tahun 2004 di Asia, Eropa,
Australia dan Amerika Serikat. Epos I La galigo menjadi kebanggaan tersendiri,
begitu banyak kita mengenal epos atau epic dari luar Indonesia ketimbang epos
yang berasal dari Indonesia. Sulit bagi kita untuk mengharuskan manuskrip epos
I La Galigo pulang kampung ke tanah kelahirannya di Indonesia, faktor utama
adalah perawatan yang membutuhkan biaya cukup tinggi, dan peralatan penunjang
untuk membuat manuskrip tidak rusak atau hancur. Kondisi suhu di Indonesia
menjadikan epos ini sulit untuk kembali pulang dan di Museum Leiden Belanda
sendiri memberikan ruangan khusus dan selalu mengawasi suhu dan temperatur
ruangan tersebut. Di satu sisi kesulitan untuk mengembalikan epos ini kembali
pulang adalah kemampuan khususnya Pemerintah untuk memberikan perhatian dan
perawatan yang khusus.
Di
akhir tulisan ini sebuah ungkapan simpati untuk mengucapkan selamat kepada
manuskrip Epos I La Galigo yang telah menjadi salah satu Memori Dunia yang
tercatat di UNESCO Memory of the World Register. UNESCO adalah salah satu
lembaga di bawah naungan PBB mempunyai program yang disebut UNESCO Memory of
the World Register yang dimulai pada tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk
kepedulian dunia untuk menjaga warisan berupa hasil-hasil dokumenter terhadap
kerusakan baik sengaja atau pun tidak disengaja oleh manusia atau pun rusak
karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca. Kegiatan ini melestarikan dan
mempromosikan warisan berupa peninggalan dari hasil dokumenter dari masa lalu, yang
dapat menjadi dokumen dianggap penting dalam sejarah umat manusia. Sebuah
permata indah dari bagian timur Indonesia telah menjadi milik dunia.
Manuskrip
Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde
Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the
World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La
Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.
Karya
sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dengan
pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga menjadi bagian penyampaian
kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan
kebudayaan.
Inilah
yang tercermin dalam La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno
berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 yang saat ini menjadi kitab sakral
Bugis. Dari naskah La Galigo ini bisa diketahui kondisi masa-masa awal masuknya
Islam di tanah Bugis.
Sastra La Galigo tidak hanya dinikmati sebagai
sastra tapi juga sebagai sarana Islamisasi bagi orang Bugis, kata Dosen Fakultas Sastra Universitas
Hasanudin Andi Muhammad Akhmar, dalam ujian terbuka promosi doktornya dengan
judul "Islamisasi Bugis" di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (6/6).
Dirinya
menjelaskan, islamisasi yang memanfaatkan sastra ini dilakukan tanpa
menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis. Namun, menyesuaikan unsur Islam
dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan
baik.
Sebelum
menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah
kepercayaan kuno yakni kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang
Tunggal). Orang Bugis biasa menyebutnya
Dewata Sisinae.Bahkan sisa-sisa kepercayaan terhadap Dewata Seuwae ini dapat
dilihat pada masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng
Rappang, kata Akhmar.
Dewa-dewa
dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di
dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Tapi seiiring masuknya
islam dari Asia Barat, menggeser kepercayaan Dewata Sisinae dengan konsep Allah
Subhanahu Wa Taala, melalui ajaran-ajaran tauhid.
Pengucapan
doa-doa dan ayat Al-quran pun juga disesuaikan pengucapan bahasa Bugis. Dalam
praktik ibadah seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai
bagian mantra Bugis. Strategi yang
bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna
tersendiri di kalangan orang Bugis,
ungkapnya.
Hingga
kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang
tidak boleh dibaca tanpa didahului sebuah ritual tertentu seperti menyembelih
sapi. Umumnya naskahnya dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun
rumah, musim tanam, pesta perkawinan, atau doa tolak bencana.
(Olivia
Lewi Pramesti)
Adapun
kisah berdirinya kerajaan Luwu,diriwayatkan pada buku kesusteraan yang
berbentuk epos . Dikisahkan sebagai
berasal dari kayangan berjudul berjudul
LAGALIGO . Terdiri dari dua puluh tiga jilid, dengan satu juta suku kata
dan merukan buku sastera jenis epos yang terpanjang di dunia pada zaman itu.
Kini
buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu Belanda
berkuasa , semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda
sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya.
Kritik
Ke Aslian Naskah La Galigo
Kritik
pedas yang dilontarkan Penulis buku
Gurita Cikeas George Aditjondro
dalam makalahnya berjudul: Terlalu Bugis Sentris-Kurang Perancis , atas klaim
orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku The Bugis , karya Christian Pelras, patut
dipertimbangkan oleh orang-orang Luwu (Bija To Luwu). Selama ini, Orang Luwu
selalu berada dalam bayang-bayang suku bugis. Sebagian besar Bija To Luwu telah
latah mengakui bahwa mereka adalah suku bugis, padahal dalam kesehariannya,
mereka menggunakan bahasa TAE sebagai ciri khas kesukuan orang Luwu. Berikut 2
(dua) kutipan dari makalah tersebut yang patut direnungkan:
1.
Dan
pengamatan di Tana Luwu dan wawancara
dengan sejumlah informan kunci, cukup jelaslah bagi saya bahwa orang Luwu atau To Luwu , penduduk asli ketiga kabupaten
ex-kerajaan Luwu (Luwu, Luwu Utara dan
Luwu Timur) merupakan kelompok etno-linguistik (suku) sendiri, dan bukan
sub-etnis Bugis. Bahasanya, bahasa Tae , lebih dekat ke bahasa Toraja dari pada
ke bahasa Bugis.
2.
Klaim
Bugis atas Luwu , yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim La
Galigo sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa
mengklaim Mahabharata dan Ramayana sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya,
seperti kalau orang Jerman mengklaim Homeros sebagai karya sastra Jerman kuno,
dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau
dikatakan bahwa La Galigo menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis
dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat. Ternyata, George Aditjondro
bukan orang pertama yang berpendapat demikian. Hampir seperempat abad silam,
Andi Zainal Abidin, guru besar Fakultas Hukum Unhas, telah mengungkap hal
tersebut dalam beberapa tulisannya, yang kembali dikutip George Aditjondro
dalam makalah tersebut di atas.
Banyak
Bukti
Saya
sendiri justru penasaran dengan Kitab Lagaligo yang diklaim sebagai Karya
Sastra Bugis. Saya mengembangkan sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Kitab
Lagaligo itu dikatakan karya sastra Bugis, sementara pemerannya adalah
Raja-raja Luwu, penutur rumpun bahasa TAE ? Saya pun berinisiatif mencari tahu
melalui search google.
Jawaban
pertama saya temukan dari pernyataan Muh. Salim -salah seorang penerjemah Sureq
Lagaligo- bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur
bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di
Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Makanya, Muh. Salim butuh 5
tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000
baris yang terbagi dalam 36 Bab itu.
Dari
pernyataan Salim ini, kita dapat mengembangkan logika: kalau Kitab tersebut
berbahasa Bugis, tentu dia hanya butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan
terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar
berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab
tersebut.
Tapi,
Saya tetap menggaris bawahi phrasa Proto
Bugis+Sansekerta yang dikatakan oleh
Muh. Salim. Saya coba telusuri melalui Genesis bahasa Austronesia. Masya Allah
.., saya baru tahu kalau bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi
Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa
Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Dan
bahasa Makassar adalah turunan campur (Indo) dari bahasa TAE (Luwu) dan Bahasa BARE E (Sulawesi tengah).
Sungguh mengejutkan!
Lalu
apa alasan Muh. Salim menutupinya dengan
Proto Bugis dan hanya tersisa 100
orang saja yang mengerti? Hanya Allah
dan dia saja yang tahu.
Saya
belum puas sampai disitu. Saya berpikir bahwa untuk benar-benar memastikan
Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain dan dari tempat
asli di mana para pemeran dan episodenya berlangsung, yang harus saya lakukan
adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas,
suatu hal yang belum mampu saya lakukan, mengingat keterbatasan saya dalam hal
finansial dan kapasitas keilmuan.
Tapi
entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik di teliga saya untuk mencari
keterangan dari para pemerhati Lagaligo di Luar Negeri. Dalam benak saya,
mereka (orang luar itu) tentu pernah menulis hal-hal terkait kitab tersebut,
dan mereka tentu akan lebih objektif, semata hanya untuk pengembangan keilmuan,
dan tidak ada tendensi dan pengaruh subjektifitas kesukuan. Toh mereka bukan
orang Sulsel. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan tambahan dari V.
SIRK melalui tulisannya berjudul : On Old Buginese and Basa Bissu hal 235.
Berikut kutipannya :
1.
To determine the origin of the lexical layers formed basically by the words
that Matthes marks with O.B. and with B.B. is a complicated problem. Here I am
able to give some suggestion only regarding the first, Old Buginese
layer. This layer has apparently been brought about by the Lagaligo
tradition. As regards the original homeland of this tradition, there are
various consideratios putting forward Luwu
region. However, such a hypothesis cannot as yet be founded
linguistically : much more data about Buginese dialects and neighbouring
languages are needed to prove it. Nevertheless, already at present it seems
that there are isoglosses linking the
Old Buginese layer with the
languages of Central and Eastern Sulawesi. The following parallels are interesting
: O.B. eyo day eo id. in a number of languages of Central
Sulawesi (a specific development of the etymological rool * (q)ajaw); O.B.
rananrir) wind ranindi
cold in Toraja languages ; O.B.
tapide shield Bare e (Pu umboto dialect) tampide, Banggai
tompide id. ; O.B. kunawe buffalo Bare e (priests language)
(Artinya:
Untuk menentukan keaslian dari lexical yang melapisi pembentuk dasar kata-kata
yang ditandai Matthes dengan O.B. dan B.B., adalah sebuah masalah yang
complete. Di sini, saya dapat memberi saran hanya mengenai Bahasa Bugis Kuno dulu. Adapun mengenai tanah air asli dari
tradisi ini, ada begitu banyak pertimbangan di sepanjang wilayah Luwu. Namun
demikian, sebagaimana halnya hipotesis-hipotesis yang belum dapat ditemukan
secara linguistic: terlalu banyak data tentang dialek-dialek bahasa Bugis dan
bahasa tetangga(nya) yang harus disediakan. Kendati demikian, kelihatannya
telah ada batas pemisah yang jelas pada lapisan
Bahasa Bugis Kuno dengan
bahasa-bahasa di Sulawesi tengah dan Sulawesi bagian Timur).
2.
Besides, it should not be forgotten that the origin of the linguistic standard
of Buginese prose antedates Matthes s scarce notes about Buginese dialects
(Artinya:
Disamping itu, jangan lupa bahwa standar linguistic asli dari prosa Bugis,
lebih dulu ada daripada catatan langka Matthes tentang Dialek-dialek Bugis).
Mengakhiri
Kelatahan
Kutipan
V. Sirk di atas cukup menggambarkan kepada kita bahwa orang luar pun sudah tahu
di mana tempat asli dari Kitab Lagaligo itu dilahirkan, berikut bahasa yang
digunakan dalam Kitab Lagaligo tersebut. Jelas bukan bahasa Bugis, tapi bahasa
Luwu alias bahasa TAE yang belum
diketahui dialek apa. Jadi, tunggu apalagi? Saya sendiri tetap berkomitmen untuk
mengumpulkan data demi data untuk pembuktian tersebut. Dan insya Allah komitmen
saya tidak akan padam, walaupun ada di antara kita sekalian (Bija To Luwu)
bertanya-tanya: Apa perlunya?
Membuat
Identitas sebagai Suku tersendiri akan menguntungkan orang Luwu ke depan,
khususnya dalam bidang Pariwisata. Saat ini dunia sedang melek mata akan
keagungan Sureq Lagaligo yang lebih panjang dari pada Kisah Mahabharata dan
Ramayana dari India. Mereka sedang mencari-cari dari manakah asal muasal Kitab
yang hebat itu. Tidak menutup kemungkinan, akan ada sutradara Hollywood yang
tertarik menggarap kisah Sawerigading yang memiliki karakter yang lebih unik
daripada Hercules, atau tokoh-tokoh Mythos lainnya di dunia. Jelas, itu hanya
sebuah tips dan bukan tujuan utama jika kita memiliki identitas tersendiri[5].
Tapi,
jika Luwu tetap mendompleng dalam bayangan identitas suku bugis, maka justru
orang-orang Bugislah -yang secara geografis berada di wilayah BOSOWA- yang akan
mengeruk keuntungan tersebut. Terbukti, pernah dilakukan ekspedisi arkeologi
OXYS, di Sulsel untuk menelusuri perjalanan Kitab Lagaligo. Sayangnya, mereka
tidak menemukan apa-apa, karena diarahkan ke Kecamatan Cenrana, Kab. Bone, oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir,
tak lupa peran penting 4 pemerintahan di Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu
Utara dan Luwu Timur. 2 (dua) hal mendesak yang sebaiknya segera dilakukan
untuk penyelamatan identitas kesukuan ini, yaitu :
1.
Mengirim
putra dan putri Luwu ke perpustakaan Leiden Belanda yang punya kapasitas
keilmuan untuk melakukan translasi, transliterasi dan dokumentasi Sureq
Lagaligo.
2.
Mengembalikan
Luwu dalam kondisi originality (keasliannya), minimal dalam berbahasa.
Sungguh
pilu hati ini melihat begitu latah dan bangganya orang Luwu di Kota Palopo
disebut sebagai orang bugis, sehingga slogan berbahasa bugis pun tertera di
mana-mana. Wanua mappatuwo naewai alena, Toddopuli temmalara (ini sejak tahun
1946?), SaodenraE, SaokataE, dan lain lain. Nawawi S. Kilat dari Kec. Wotu Kab.
Luwu Timur, bahkan sudah lebih dulu teriak agar nama Sungai Cerekang
dikembalikan ke nama semula sesuai bahasa setempat menjadi Sungai Cerrea.
Semoga kelatahan ini segera diakhiri, dan kita menuju ke kondisi keaslian
identitas kita sebagai Bija To Luwu. Selebihnya
,
Kesimpulan
Kitab
Epos I La Galigo bagi masyarakat Sulawesi Selatan merupakan epos yang
menceritakan asal usul peradaban masyarakat Sulawesi umumnya dan khususnya
Sulawesi bagian Selatan. Epos berkaitan dengan berbagai etnis yang ada di
daratan Sulawesi sehingga masih dapat ditemukan di tengah lapisan masyarakat di
Sulawesi khususnya di propinsi Sulawesi Selatan mensakralkan epos ini dan ada
pula menganggap ini merupakan kitab suci selain itu ada pula menganggap epos
ini hanya sebuah karya sastra karena isinya hanya mitos.
Perjalanan
kitab ini sungguh panjang hingga menjadi salah satu koleksi perpustakaan
Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I
La Galigo di tulis ulang seorang wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama
Collie Puji Arung Pancana Toa yang merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang
sekarang masuk wilayah Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi
Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji menulis ulang adalah hasil dorongan
seorang misionaris dan juga seorang peneliti Antropolog asal Belanda yakni
Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan misionarisnya di sertai penelitiannya B.F Mathees
berupaya mengumpulkan lagi lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo yang
tersebar di kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Manuskrip
Epos I La Galigo memiliki 300.000 baris teks serta diperkirakan masih ada
ratusan hingga ribuan lembar masih tersebar di tengah masyarakat selain itu
telah banyak mengalami kerusakan atau hilang, namun untuk melihat secara dekat
epos ini masih bisa dijumpai beberapa lembar di Museum La Galigo Makassar.
Saat
ini Epos I La Galigo menjadi salah satu Epic terpanjang di Dunia yang dapat
disejajarkan dengan epos terpanjang dunia lainnya seperti Epos Mahabarata dan
Ramayana dari India, Shahmane peninggalan persia (Iran), dan epos peradaban
Yunani. Hal inilah membuat La Galigo diadaptasi ke dalam seni pentas yang di sutradarai
oleh Robert Wilson sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Manuskrip
Epos I La Galigo yang telah menjadi salah satu Memori Dunia yang tercatat di
UNESCO Memory of the World Register. UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah
naungan PBB mempunyai program yang disebut UNESCO Memory of the World Register
yang dimulai pada tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk
menjaga warisan berupa hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja
atau pun tidak disengaja oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana,
iklim dan cuaca. Kegiatan ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa
peninggalan dari hasil dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen
dianggap penting dalam sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian
timur Indonesia telah menjadi milik dunia.
Manuskrip
Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde
Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the
World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La
Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.