TUMAMBUH
Tumambuh mempunyai makna pura-pura tidak tahu.
Tumambuh yaiku ethok-ethok ora wêruh (ora ngreti).
Sabdatama 7 (Katenta Nawung Prihatos). Bait ke-7, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama karya R. Ng. Ranggawarsita.
Galap gangsuling tembung,
Ki Pujangga panggupitanipun,
Rangu-rangu pamanguning reh harjanti,
Tinanggap prana tumambuh,
Katenta nawung prihatos.
Terjemahannya :
Keliru dan tidak runtut perkataan,
Ki Pujangga dalam merangkai kalimat (dalam serat ini).
Ragu-ragu dalam usaha menyenangkan hati, ditanggapi dalam hati dengan abai. Sudah terbiasa menderita prihatin.
Makna per kata :
Galap (keliru) gangsuling (tidak runtut) tembung (perkataan), Ki Pujangga (Ki Pujangga) panggupitanipun (dalam merangkai kalimat). Keliru dan tidak runtut perkataan, Ki Pujangga dalam merangkai kalimat (dalam serat ini).
Galap artinya keliru, gangsul artinya tidak tertata, tidak runtut. Varian kara gangsul adalah gingsul yang sering dipakai untuk menyebut gigi yang tidak rapi, tidak rata tumbuhnya. Gupita artinya mengarang atau menggubah. Karena serat ini berupa tembang yang ada irama dan tata penulisan, maka yang tepat adalah menggubah.
Rangu-rangu (ragu-ragu) pamanguning (dalam usaha) reh harjanti (menyenangkan hati), tinanggap (ditanggapi) prana (dalam hati) tumambuh (dengan abai). Ragu-ragu dalam usaha menyenangkan hati, ditanggapi dalam hati dengan abai.
Rangu–rangu adalah keadaan bimbang, maju-mundur, ragu-ragu, antara iya dan tidak. Pamanguning artinya bentuknya diusahakan indah. Hal ini berkaitan dengan niat beliau untuk menulis serat ini, apakah nanti dapat menyenangkan semua pihak.
S. Margana dalam Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial menyebut meski Ranggawarsita adalah abdi dalem dan pujangga yang mengabdi di keraton tetapi hampir semua karyanya ditulis atas kehendak sendiri, bukan atas perintah raja. Tercatat hanya ada beberapa naskah yang ditulis atas kehendak orang lain, Serat Cemporet atas perintah raja PB IX, Serat Aji Pamasa atas permintaan MN IV dan Serat Panji Wulung atas keinginan Carel Frederick Winter, seorang Jawanist asal Belanda.
Atas keragu-raguan tersebut Ki Ranggawarsita menanggapi sendiri dalam batin dengan mengabaikannya (tumambuh). Kira-kira: masa bodohlah, yang penting nulis.
Menurut Bratakesawa dalam Kalatidha, pujangga memang bukan jabatan resmi, yang ada adalah carik (penulis) dan tugasnya juga bukan menggubah tembang tetapi tugas administrasi kenegaraan. Jadi dari karya-karya Ranggawarsita yang jumlahnya banyak sekali memang atas keinginan beliau sebagai sumbangsih bagi kehidupan.
Katenta (terbiasa) nawung (menderita) prihatos (prihatin). Masih terbiasa menderita prihatin.
Gatra ini masih berkaitan dengan sikap abainya tadi. Bahwa sekalipun orang tidak suka atau justru memojokkannya karena beliau menulis ini dan itu, maka beliau berbesar hati menerimanya. Karena sudah terbiasa menderita hidup prihatin.
Jika dilihat sejarah pada masa itu meski Ranggawarsita terkenal sebagai punjangga besar dengan nama harum kisah hidupnya tak begitu semerbak seperti namanya. Masih menurut S. Margana dalam Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, saat itu sudah banyak berdiri sekolah-sekolah modern Belanda dan anak-anak bangsawan pun sudah banyak mengenyam pendidikan modern. Bagi mereka aliran sastra Ranggawarsita terkesan ketinggalan jaman karena dari sudut pandang modern banyak karya itu tak tergolong ilmiah. Bahkan seorang Jawa yang kemudian menempuh doktor di Leiden, Dr. Poerbatjaraka menilai karya-karya Ranggawarsita dengan nada yang amat minor. Serat Pustaka Raja Purwa oleh Poerbatjaraka dalam Kapustakaan Jawa, dinilai sarat omong kosong.
Tampaknya Ranggawarsita sadar bahwa zaman akan bergulir dan kesempatan baginya tinggal sebentar, oleh karena itu dia mengabaikan segala pandangan miring itu, dan memilih untuk terus berkarya.